Ketanpa-akuan
dan Pembebasan
oleh
Nyanaponika
Thera
Buddhist
Publication Society
Kandy –
Sri Lanka
The
Wheel Publication No. 11
Pertama
kali diterbitkan: 1959
Dicetak
ulang: 1971, 1986
by : ariyakumara
Versi
bahasa Jerman yang agak berbeda dari esai ini muncul pada tahun 1951 dalam
majalah Die Einsicht. Versi bahasa Inggris pertama kali diterbitkan dalam
majalah tiga bulanan The Light of Dhamma, Vol. IV, No. 3 (Rangoon 1957)
dengan judul “Nibbāna in the Light of the Middle Doctrine”.
Edisi
Online BPS © (2008)
Sumber
Transkripsi Digital: Proyek Transkripsi BPS
Untuk
disebarluaskan secara gratis. Karya ini dapat diterbitkan kembali, diformat
ulang, dicetak ulang dan disebarluaskan kembali dalam berbagai media. Namun,
penerbitan ulang dan penyebaran ulang tersebut harus dibuat tersedia untuk umum
dengan gratis dan tidak terbatas, serta terjemahan dan karya-karya turunan
lainnya harus ditandai dengan jelas seperti ini dan BPS harus diakui sebagai
penerbit aslinya.
Daftar
Isi
PendahuluanI.
Pandangan
Ekstrem Nihilistik-NegatifII.
Pandangan
Ekstrem Positif-MetafisikIII.
Melampaui
Pandangan-Pandangan Ekstrem
Pendahuluan
Dunia
ini, Kaccāna, biasanya bersandar pada dualitas :
atas
(kepercayaan terhadap) keberadaan atau ketiadaan....
Menghindari
kedua ekstrem ini, Sang Tathāgata menunjukkan ajaran tengah :
Bergantung
pada ketidaktahuan, muncul bentuk-bentuk karma.... Dengan lenyapnya
ketidaktahuan, bentuk-bentuk karma lenyap.... (SN 12:15)
Perkataan
Sang Buddha di atas menyatakan dualitas keberadaan (atthitā) dan ketiadaan
(natthitā). Kedua istilah ini menunjuk pada ajaran eternalisme (sassata-diṭṭhi)
dan annihilasionisme (uccheda-diṭṭhi), konsep salah mendasar atas
kenyataan yang dalam berbagai bentuk berulang-ulang muncul kembali dalam
sejarah pemikiran manusia.
Eternalisme
adalah kepercayaan terhadap substansi atau entitas kekal, apakah dipahami
sebagai sejumlah banyak jiwa atau diri individual, yang diciptakan atau tidak,
sebagai sebuah roh dunia yang tunggal, satu sosok dewa dalam berbagai
penggambaran, atau kombinasi dari beberapa pandangan ini. Annihilisionisme,
pada sisi lain, menyatakan keberadaan sementara atas diri atau personalitas,
yang sepenuhnya dihancurkan atau lenyap setelah kematian. Oleh karena itu, dua
kata kunci dari teks yang dikutip di atas menunjuk pada
(1)
keberadaan yang mutlak, yaitu yang kekal atas substansi atau entitas yang
diasumsikan, dan
(2)
kebinasaan yang tertinggi, mutlak atas entitas terpisah yang dianggap tidak
kekal, yaitu ketiadaan mereka setelah akhir masa kehidupan. Kedua pandangan
ekstrem bertahan dan gagal dengan anggapan terhadap sesuatu yang tetap baik
dari sifat yang kekal atau tidak kekal. Keduanya akan kehilangan landasan
sepenuhnya jika kehidupan dilihat dari sifat sejatinya, sebagai aliran yang
berkelanjutan dari proses fisik dan mental yang timbul dari kondisi yang
sesuai, sebuah proses yang akan lenyap hanya ketika kondisi-kondisi ini
dihilangkan. Ini akan menjelaskan mengapa teks di atas memperkenalkan rumusan awal
mula yang saling bergantungan (paṭicca-samuppāda),
dan kebalikannya, kelenyapan yang saling bergantungan.
Awal
mula yang saling bergantungan, yang merupakan proses yang tidak terputus, tidak
memasukkan gagasan atas ketiadaan mutlak, atau kekosongan, yang mengakhiri
keberadaan individual; istilah kata sifat “saling bergantungan” menunjukkan
bahwa juga tidak ada keberadaan yang mutlak, berdiri sendiri, tidak ada
keberadaan sejati yang tetap, namun hanya kemunculan fenomena yang segera
lenyap yang bergantung pada kondisi yang juga segera lenyap.
Kelenyapan
yang saling bergantungan tidak memasukkan kepercayaan atas keberadaan yang
mutlak dan permanen. Ia juga menunjukkan bahwa tidak ada kemerosotan yang
otomatis ke dalam ketiadaan, karena lenyapnya keberadaan yang relatif juga
terjadi secara berkondisi.
Dengan
demikian ajaran awal mula yang saling bergantungan dan kelenyapan yang saling
bergantungan merupakan ajaran tengah yang sejati, melampaui ekstrem keberadaan
dan ketiadaan.
Namun
berpikir dengan cara konseptual yang bertentangan seperti dalam pandangan
keberadaan dan ketiadaan telah menggenggam kuat pada manusia. Genggaman itu
sangat kuat karena cara pikir ini terus-menerus dipupuk oleh beberapa akar kuat
yang tertanam dalam pada pikiran manusia. Yang terkuat dari mereka adalah
gagasan praktis dan teoritis atas keakuan atau diri. Ini adalah keinginan kuat
untuk pertahanan dan pelestarian personalitas, atau versi yang halus atas hal
ini, yang berdiam di belakang semua kepercayaan eternalistik yang
beranekaragam. Tetapi bahkan pada orang-orang yang telah membuang keyakinan
atau ajaran eternalistik, kepercayaan naluriah atas keunikan dan pentingnya kepribadian
mereka tertentu masih sedemikian kuat hingga mereka menganggap kematian, akhir
dari kepribadian, berarti kemusnahan total atau ketiadaan. Dengan demikian
kepercayaan terhadap diri bertanggung jawab tidak hanya untuk pandangan
eternalisme, tetapi juga untuk annihilasionisme, baik dalam bentuk tidak
filsofis yang umum yang menganggap kematian sebagai akhir segalanya atau dalam
ajaran materialistik yang menguraikan hal yang sama.
Terdapat
akar penyebab lain dari gagasan keberadaan dan ketiadaan ini yang berhubungan
erat dengan akar utama kepercayaan akan diri. Sebagai contoh, terdapat akar
linguistik yang menyusun struktur dasar bahasa (subjek dan predikat, kata benda
dan kata sifat) dan kecenderungannya untuk menyederhanakan kalimat persetujuan
dan penyangkalan untuk kepentingan kemudahan komunikasi dan orientasi. Ciri
struktural dari bahasa dan kebiasaan berbahasa dari kalimat-kalimat yang
disederhanakan telah mengakibatkan pengaruh yang halus tetapi kuat pada cara
berpikir kita, menyebabkan kita cenderung menganggap bahwa “pasti terdapat
sesuatu jika terdapat kata untuk hal tersebut.”
Pandangan
satu sisi ini dapat juga timbul dari alasan emosional, sifat dasar terhadap
kehidupan yang berlebihan. Ini dapat mencerminkan suasana hati yang optimis dan
pesimis, harapan dan keputusasaan, keinginan untuk merasa aman melalui dukungan
metafisik, atau keinginan untuk hidup tanpa kekangan dalam semesta yang
dibayangkan secara materialistik.Pandangan teoritis atas eternalisme dan
annahilasionisme yang dianut oleh seseorang dapat berubah selama masa hidupnya,
bersamaan dengan kebutuhan suasana hati atau emosi yang berhubungan.
Terdapat
juga akar intelektual : kecenderungan pikiran yang spekulatif dan teoritis.
Beberapa pemikir, orang-orang dengan watak berteori (diṭṭhicarita)
dalam psikologi Buddhis, cenderung membuat sistem filosofi yang panjang lebar
yang beranekaragam di mana, dengan kecerdasan yang luar biasa, mereka bermain
satu sama lain dengan pasangan lawan konseptual. Kepuasan besar ini memberikan
mereka ikut serta dalam kontruksi pikiran yang demikian lebih jauh memperkuat
ketaatan mereka pada pandangan ini.
Dari
kata-kata singkat ini, seseorang akan dapat menghargai kekuatan dan perbedaan
kekuatan-kekuatan yang menyebabkan orang berpikir, merasakan dan mengatakan
dalam cara yang bertentangan ini: keberadaan mutlak atau ketiadaan mutlak.
Demikianlah Sang Buddha memiliki alasan yang bagus karena mengatakan, dalam
bacaan pendahuluan kita, bahwa orang-orang biasanya bersandar pada dualitas.
Kita tidak perlu terkejut bahwa bahkan Nibbāna, tujuan pembebasan Buddhis,
telah dengan salah diartikan dalam pengertian ekstrem ini. Namun konsep kaku
keberadaan dan ketiadaan tidak dapat bersifat adil pada sifat kenyataan yang
berubah-ubah. Kurang tepat juga mereka diterapkan pada Nibbāna, yang dinyatakan
Sang Buddha sebagai di atas duniawi (lokuttara) dan di luar pemikiran
konseptual (attakkāvacara).
Pada
masa modern ini, ketika pengetahuan tentang ajaran Buddhis baru mencapai Barat,
kebanyakan penulis dan sarjana (dengan beberapa pengecualian seperti
Schopenhauer dan Max Müller) menganggap Nibbāna sebagai murni dan hanya
ketiadaan. Akibatnya, penulis Barat dengan terlalu mudah menjelaskan Buddhisme
sebagai ajaran nihilistik yang mengajarkan annihilasi sebagai tujuan
tertingginya, sebuah pandangan yang dianggap para penulis ini sebagai
samar-samar secara filosofis dan tercela secara moral. Pernyataan yang sama
masih kadangkala muncul dalam literatur non-Buddhis yang menimbulkan prasangka.
Tanggapan yang berlawanan atas pandangan ini adalah konsep Nibbāna sebagai
keberadaan. Ini sekarang diartikan dalam titik terang pandangan filosofis dan
agama yang sudah familiar sebagai sesuatu yang murni, kesadaran murni, diri
yang murni, atau beberapa konsep metafisik lainnya.
Tetapi
bahkan pemikiran Buddhis tidak dapat selalu menjelaskan penafsiran yang tidak
seimbang atas Nibbāna. Ini terjadi bahkan pada zaman awal: aliran Sautrāntika
memiliki pandangan yang agak nihilistik atas Nibbāna sementara konsep
Mahāyānistik atas tanah Buddha (Buddhakṣtra), Buddha
awal mula (Ādi-Buddha), Tathāgatagarbha, dst, cenderung pada penafsiran yang
positif-metafisik.
Oleh
sebab itu, tidak mengejutkan bahwa penulis Buddhis modern juga kadangkala
mendukung pandangan ekstrem ini. Namun, di negeri-negeri Buddhis di Timur
sekarang tidak ada aliran Buddhis yang diketahui penulis yang cenderung pada
penafsiran Nibbāna yang nihilistik. Bertentangan dengan pendapat yang salah,
yang disuarakan terutama oleh para penulis Barat yang tidak tahu atau menimbulkan
prasangka, Buddhisme Theravada sepenuhnya menolak pandangan bahwa Nibbāna
hanyalah kelenyapan. Pernyataan ini akan diperkuat dengan fakta-fakta pada
bagian pertama uraian ini.
Terhadap
alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, adalah tidak mudah untuk memisahkan
dengan jelas kedua pandangan keberadaan dan ketiadaan yang berlawanan tersebut,
dan untuk menjaga tetap mendekati jalan tengah yang ditunjukkan Sang Buddha,
ajaran awal mula yang saling bergantungan dan kelenyapan yang saling
bergantungan. Hingga cara berpikir yang sesuai dengan batas kondisionalitas
telah sepenuhnya diserap dalam pikiran, perhatian terus-menerus akan dibutuhkan
untuk menghindari tergelincir secara tak sadar ke dalam salah satu pandangan
eternalisme dan annihilasionisme, atau mendekati keduanya. Ketika membahas
pertanyaan-pertanyaan ini, terdapat bahaya yang seseorang akan bawa melalui
argumennya dan membalas salah satu ekstrem dengan menganut lawannya. Oleh sebab
itu, dalam perlakuan terhadap masalah tersebut, kehati-hatian ekstra dan
otokritik diperlukan agar seseorang tidak kehilangan penglihatan atas jalan
tengah.
Tujuan
utama risalah ini adalah untuk memberikan bahan materi guna membatasi dengan
jelas ajaran Sang Buddha tentang Nibbāna dari kedua penafsiran salah tersebut.
Maksudnya tidak untuk mendorong spekulasi tentang sifat Nibbāna, yang akan
sia-sia dan bahkan dapat merusak perjuangan untuk mencapainya. Teks kanon yang
menjelaskan Empat Kebenaran Mulia mengatakan bahwa Nibbāna, kebenaran yang
ketiga, adalah untuk direalisasikan (sacchikātabbaṃ);
ia bukan untuk dipahami (seperti kebenaran pertama), ataupun untuk dikembangkan
(seperti kebenaran keempat). Kita juga harus menekankan bahwa bahan-bahan
materi yang dikemukakan di sini tidak seharusnya digunakan dalam sikap satu
sisi sebagai sebuah argumen untuk menuju pada salah satu pandangan ekstrem
melawan yang lainnya. Masing-masing dari kedua bagian dalam risalah ini
membutuhkan yang lainnya untuk kualifikasi dan kelengkapannya. Diharapkan
materi dari sumber kanonik dan komentar yang dikumpulkan dalam halaman-halaman
ini, dengan menjelaskan posisi Theravada, sedikitnya akan mengurangi titik
pertentangan antara penafsiran-penafsiran yang berlawanan.
I.
Pandangan Ekstrem Nihilistik-Negatif
Bagian 1
Kita
akan menimbang karya utama literatur post-kanonik Theravada, Jalan Penyucian
(Visuddhimagga), yang disusun pada abad ke-5 M oleh komentator besar,
Bhadantācariya Buddhaghosa. Karya bernilai tinggi ini memoles uraian yang
sistematik dan komprehensif tentang ajaran utama Buddhis. Ia diturunkan dari
Kanon Pali dan literatur komentar kuno yang sebagian menggabungkan bahan-bahan
yang mungkin berasal dari masa awal ajaran.
Dalam
karya ini, pada Bab XVI tentang Kemampuan dan Kebenaran, dalam bagian yang
berhubungan dengan kebenaran mulia ketiga, kita menemukan uraian yang panjang
tentang Nibbāna. Menyolok bahwa bagian polemik darinya secara khusus ditujukan
pada apa yang kita sebut “pandangan ekstrem nihilistik-negatif” dalam
penafsiran atas Nibbāna. Kita tidak dapat memastikan tentang alasan atas
pembatasan itu, karena tidak ada penyataan eksplisit yang diberikan. Namun,
mungkin Yang Mulia Buddhaghosa (atau mungkin bahan tradisional yang ia gunakan)
sedang tajam mendiskusikan pandangan Theravada atas pokok bahasan itu yang
berbeda dari aliran sezaman yang terkenal, Sautrāntika, yang dalam hal-hal lain
mendekati pada sudut pandangan umum Theravada. Sautrāntika termasuk pada
kelompok aliran yang kita anggap seharusnya disebut Sāvakayāna, yang menurut
pengelompokan Mahāyānis awal dimasukkan dalam istilah yang merendahkan
“Hīnayāna”. Para Theravadin jelas tidak mau dimasukkan dalam tuduhan nihilisme
yang dimunculkan Mahāyānis terhadap Sautrāntika. Ini mungkin menjadi alasan
eksternal penekanan Visuddhimagga atas penolakan konsep nihilistik tentang
Nibbāna.
Sementara
untuk pandangan positif-metafisik, Yang Mulia Buddhaghosa mungkin berpikir
cukup dibahas oleh berbagai bacaan dalam Visuddhimagga yang berhubungan dengan
penolakan terhadap pandangan kekekalan dan terhadap diri yang terpisah. Namun
itu mungkin juga, bahkan Buddhisme saat ini, dan Therada pada khususnya, sangat
sering dituduh dengan salah sebagai nihilisme. Itulah sebabnya tepat untuk
menyingkatkan di sini argumen yang ditemukan dalam Visuddhimagga, yang diikuti
(di Bagian 2) dengan tambahan dari komentar atas karya ini[1]. Banyak bacaan
dari sutta-sutta yang relevan untuk menolak nihilisme dikutip dalam kedua
petikan ini, untuk membuatnya tidak dibutuhkan untuk membahas mereka secara
terpisah.
Dalam
bab Visuddhimagga yang disebut di atas, argumen itu sendiri didahulukan dengan
sebuah definisi tentang Nibbāna. Definisi ini menggunakan tiga kategori yang
biasanya digunakan dalam literatur komentar untuk keperluan penjelasan:Nibbāna
memiliki kedamaian sebagai cirinya. Fungsinya bukan untuk lenyap; atau
fungsinya adalah untuk menenangkan. Ia ditunjukkan sebagai tanpa tanda [tanpa
“tanda-tanda”, atau ciri-ciri, dari keserakahan, kebencian dan kebodohan
batin]; atau ia ditunjukkan sebagai tanpa pembedaan.Dalam argumen itu sendiri,
Yang Mulia Buddhaghosa pertama-tama menolak pandangan bahwa Nibbāna itu yang
tidak ada, dengan mengasumsikan ia pasti ada karena dapat direalisasikan dengan
menjalankan sang jalan. Namun, lawan diskusinya, sementara menerima Nibbāna itu
bukan yang tidak ada, masih bersikeras dalam pengertian yang negatif atas sifat
Nibbāna. Ia berargumen pertama bahwa Nibbāna seharusnya dipahami semata-mata
sebagai ketiadaan semua faktor keberadaan, yaitu lima kelompok kehidupan.
Buddhaghosa menentang hal ini dengan menjawab bahwa Nibbāna dapat dicapai
selama masa kehidupan seseorang, ketika kelompok kehidupannya masih ada. Lawan
diskusi tersebut kemudian mengemukakan bahwa Nibbāna terjadi hanya dalam
penghancuran semua kekotoran batin, dengan mengutip dukungan atas hal ini dari
bacaan sutta: “Itu, sahabat, adalah pelenyapan keserakahan, kebencian dan
kebodohan batin itulah Nibbāna” (SN 38:1). Buddhaghosa menolak pandangan ini
juga, dengan menunjukkan bahwa itu membawa pada akibat-akibat tertentu yang
tidak diinginkan: itu akan membuat Nibbāna bersifat sementara, karena
pelenyapan kekotoran batin adalah kejadian yang terjadi dalam waktu; dan ini
membuat Nibbāna berkondisi, karena pelenyapan kekotoran batin yang sebenarnya
terjadi melalui kondisi. Ia menunjukkan bahwa Nibbāna disebut pelenyapan
keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dalam pengertian kiasan: karena
realitas tidak berkondisi, Nibbāna, merupakan landasan atau pendukung untuk
pelenyapan sepenuhnya kekotoran-kekotoran batin ini.
Yang
Mulia Buddhaghosa kemudian membahas istilah negatif yang digunakan Sang Buddha
untuk menggambarkan Nibbāna. Ia menjelaskan bahwa istilah demikian digunakan
karena sifat Nibbāna yang sangat mendalam. Lawan diskusinya berargumentasi
bahwa karena Nibbāna dicapai dengan mengikuti sang jalan, ia tidak mungkin
tidak tercipta. Buddhaghosa menjawab bahwa Nibbāna hanya dicapai melalui sang
jalan, tetapi bukan dihasilkan dari jalan tersebut; dengan demikian ia tidak
tercipta, tanpa awal, dan bebas dari usia tua dan kematian. Ia lalu melanjutkan
membahas sifat Nibbāna secara lebih eksplisit:... Tujuan Sang Buddha itu satu
dan tidak jamak. Tetapi (tujuan yang tunggal, Nibbāna) ini pertama disebut
“dengan hasil kemelekatan masa lampau yang tersisa” (sa-upādisesa) karena ia
dibuat diketahui bersama-sama dengan kemelekatan (kelompok kehidupan yang
dihasilkan dari masa lampau) masih tersisa (selama kehidupan Arahat tersebut),
yang dengan demikian dibuat diketahui dalam istilah penenangan dari kekotoran
batin dan sisa-sisa kemelekatan (hasil dari masa lampau) yang muncul dalam
seseorang yang telah mencapainya dengan pengembangan batin. Tetapi yang kedua,
ia disebut “tanpa hasil kemelekatan masa lampau yang tersisa” (anupādisesa)
karena setelah kesadaran terakhir sang Arahat, yang telah melepaskan kemunculan
(kelompok kehidupan masa yang akan datang) dan dengan demikian mencegah kamma
memberikan hasil pada (kehidupan) masa mendatang, tidak ada kemunculan kelompok
kehidupan lagi, dan kelompok kehidupan yang telah muncul telah lenyap. Jadi kemelekatan
(hasil dari masa lampau) yang tersisa itu tidak ada, dan adalah dalam istilah
ketiadaan ini, dalam pengertian bahwa “tidak ada kemelekatan (hasil dari masa
lampau) yang tersisa di sini” itulah, (tujuan yang sama) itu disebut “tanpa
hasil kemelekatan masa lampau yang tersisa.” (Lihat It 44)
Karena
ia dapat digapai dengan pembedaan atas pengetahuan yang berhasil melalui
ketekunan yang tidak kenal lelah[2], dan karena inilah kata-kata Yang
Mengetahui Segalanya[3], Nibbāna bukan yang tidak ada berkenaan dengan sifatnya
dalam pengertian tertinggi (paramatthena nāvijjamānaṃ
sabhāvato nibbānaṃ); karena itulah dikatakan :
“Para
bhikkhu, terdapat yang tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak diciptakan, tidak
dibentuk.”
(Ud 73;
It 45)
Bagian 2
Mengambil
kutipan terakhir di atas, komentar Visuddhimagga (Paramatthamañjūsā)[4], yang
ditulis oleh Ācariya Dhammapāla (abad ke-6) mengatakan:Dalam kata-kata ini Sang
Guru menyatakan keberadaan sejati Nibbāna dalam pengertian tertinggi.* Tetapi
Beliau tidak menyatakannya semata-mata sebagai ajaran-Nya [yaitu sebagai dogma
yang harus dipercaya begitu saja], dengan mengatakan “Akulah Guru dan Ahli
Dhamma”; tetapi, demi belas kasih terhadap mereka yang pengertian
intelektualnya adalah yang tertinggi yang dapat dicapai, Beliau juga
menyatakannya sebagai kesimpulan yang masuk akal dalam kelanjutan dari bacaan
yang dikutip di atas (Udāna 73): “Jika, para bhikkhu, tidak ada yang tidak
dilahirkan kembali, dst, jalan keluar dari apa yang dilahirkan, dst, tidak
dapat diketahui. Tetapi karena, para bhikkhu, terdapat yang tidak dilahirkan,
dst, jalan keluar dari apa yang dilahirkan, dst, dapat diketahui.”
Inilah
maknanya: jika unsur yang tidak diciptakan (Nibbāna), yang memiliki sifat tidak
dilahirkan, dst, tidak ada, tidak ada jalan keluar dari yang diciptakan atau
yang berkondisi, yaitu lima kelompok kehidupan, yang dapat diketahui di dunia
ini; akhir kemunculan mereka untuk berhenti (yaitu pelenyapannya) tidak dapat
diketahui, tidak dapat ditemukan atau dipahami, tidak akan mungkin. Tetapi jika
pengertian benar dan tujuh faktor jalan lainnya, masing-masing menjalankan
fungsinya, mengambil Nibbāna sebagai objek, maka mereka akan sepenuhnya
menghancurkan kekotoran batin. Oleh karena itu seseorang dapat mengetahui di
sini pembebasan, jalan keluar dari penderitaan kehidupan sepenuhnya.
Sekarang,
dalam pengertian tertinggi keberadaan unsur Nibbāna telah ditunjukkan oleh Sang
Buddha, yang berbelas kasih terhadap seluruh dunia, dalam banyak bacaan sutta,
seperti “Dhamma yang tidak berkondisi”, “Dhamma yang tidak tercipta”, (lihat
Dhammasaṅgaṇī, Abhidhamma
Piṭaka); “Para bhikkhu, terdapat
landasan (āyatana) di mana tidak ada tanah...” (Udāna 71); “Ini adalah keadaan
yang sulit dilihat, yang dapat dikatakan, penenangan semua bentukan, pelepasan
semua unsur kemenjadian” (DN 14; MN 26); “Para bhikkhu, aku akan mengajarkan
kalian yang tidak terbentuk dan jalan menuju yang tidak terbentuk” (SN 43:12)
dan lain sebagainya; dan dalam sutta ini “Para bhikkhu, terdapat yang tidak
dilahirkan...” (Udāna 73)...
Kata-kata
“Para bhikkhu, terdapat yang tidak dilahirkan, yang tidak diciptakan, yang
tidak dibentuk” dan seterusnya, yang menunjukkan keberadaan Nibbāna dalam
pengertian tertinggi, tidak menyesatkan karena mereka dikatakan oleh Yang
Mengetahui Segalanya, seperti perkataan “Semua bentukan adalah tidak kekal,
semua bentukan adalah tidak menyenangkan, semua dhamma (keadaan) adalah bukan
diri.” (Dhp vv. 277-79; AN 3:134, dst)
*Jika
Nibbāna semata-mata yang tidak ada, ia tidak dapat digambarkan dalam istilah
seperti “halus [mendalam, sulit untuk dilihat, sulit untuk dipahami, damai,
mulia, tidak dapat dipahami oleh akal, halus, dapat diketahui oleh para
bijaksana]”, dst; atau sebagai “yang tidak terbentuk, [yang tanpa kekotoran,
pantai yang lain, sejati]”, dst[5]; atau sebagai “netral secara kamma, tanpa
kondisi, tidak termasuk [dalam tiga alam kehidupan]”, dst[6].
Bagian 3
Referensi
pada teks-teks sutta, yang dikutip dalam kutipan dari Visuddhimagga dan
komentarnya, membuatnya jelas bahwa Sang Buddha menyatakan Nibbāna merupakan
entitas yang dapat dicapai dan tidak dianggap hanya sebagai pemusnahan atau
kelenyapan. Semua pernyataan yang dirumuskan secara negatif tentang Nibbāna
seharusnya dipahami dalam titik terang bacaan sutta yang dikutipkan di sini,
dan tidak diinterpretasikan bertentangan dengan teks-teks ini. Interpretasi
yang dipaksakan atau terlalu jauh atas teks-teks ini akan bertentangan dengan
cara pemaparan Sang Buddha yang langsung.
Jika
kita telah menyebutkan di atas Nibbāna sebagai “entitas”, ini seharusnya
dianggap hanya sebagai label kata yang bertujuan untuk tidak memasukkan
“ketiadaan”. Ini dipakai dalam pengertian sama yang terbatas atas kebiasaan
berbahasa seperti kata-kata penegasan dalam Udāna: “Terdapat yang tidak
dilahirkan...”; “Terdapat landasan di mana tidak ada tanah....” Ini tidak
dimaksudkan untuk menyatakan makna “keberadaan” dalam pengertian biasa, yang
seharusnya dibatasi pada “lima kelompok kehidupan atau salah satu dari mereka.”
Nibbāna tidak dapat dijelaskan dalam pengertian yang sangat terbatas
(avacanīya).
Kutipan
kita dari karya yang diakui seperti Visuddhimagga menunjukkan betapa tradisi
Theravada dengan tegas menolak konsep nihilistik atas tujuan tertingginya,
Nibbāna. Kenyataan ini mungkin membantu menghilangkan satu poin kontroversi di
antara para penulis modern dan aliran-aliran Buddhis: prasangka bahwa
Theravada, atau bahkan kanon Pali, mendorong “annihilasi” sebagai tujuan
tertingginya.
Namun,
terdapat beberapa poin perbedaan dasar lainnya dalam penafsiran terhadap
Buddhisme, dan kanon Pali khususnya, yang juga sangat dekat dengan konsep
Nibbāna. Ini adalah pertanyaan atas jangkauan validitas, atau penerapan, dari
ajaran Anattā, yaitu ajaran tanpa diri. Ajaran ini, yang kita pertahankan,
berlaku tidak hanya pada dunia fenomena yang berkondisi, tetapi juga pada
Nibbāna. Sejauh penolakan penerapannya pada yang terakhir jatuh di bawah bagian
dari “pandangan ekstrem positif-metafisik”, ini akan dibahas pada bagian
berikut ini.
II.
Pandangan Ekstrem Positif-Metafisik
Bagian 4
Di
India, sebuah negeri yang sangat religius dan sangat kreatif dalam filosofi,
jauh lebih besar bahaya terhadap pelestarian sifat Dhamma sebagai sebuah “jalan
tengah” datang dari pandangan ekstrem lain. Ini terdiri atas
mengidentifikasikan, atau menghubungkan, konsep Nibbāna dengan salah satu dari
banyak sekali gagasan teistik, panteistik atau gagasan spekulatif lainnya dari
jenis pandangan positif-metafisik, terutama dengan berbagai konsepsi atas
sebuah diri yang kekal.
Menurut
analisis penetratif dalam Brahmajāla Sutta (DN 1), semua pandangan metafisik
dan teologis yang berbeda-beda tentang sifat diri, dunia dan dasar ketuhanan di
mana mereka berasal, timbul dari salah satu dari dua sumber: (1) dari
pengalaman meditatif yang terbatas dan disalahtafsirkan (di mana kita juga
dapat memasukkan wahyu, ilham kenabian yang dianggap benar, dst), dan (2) dari
penalaran kosong (filosofi dan teologi spekulatif). Namun di balik semua
gagasan metafisik dan teologis, terdapat mesin tenun, sebagai kekuatan yang
menggerakkan, dorongan yang kuat dalam diri manusia untuk melestarikan, dalam
beberapa cara, kepercayaannya terhadap suatu personalitas yang kekal di mana ia
dapat menanamkan semua kerinduan atas keabadian, keamanan dan kebahagiaan
kekal. Oleh sebab itu, tidak mengejutkan bahwa sejumlah orang yang menafsirkan
agama Buddha saat ini, mungkin melalui kekuatan dorongan yang kuat, naluriah
atas pelestarian diri dan pengaruh pandangan-pandangan yang lama diharapkan dan
banyak dianut, menyokong sebuah penafsiran positif-metafisik atas Nibbāna dan
Anattā. Beberapa dari orang-orang ini sungguh-sungguh mempercayai diri mereka adalah
Buddhis yang benar, dan memiliki ketaatan yang tulus terhadap Sang Buddha dan
sebuah penghargaan yang tepat terhadap aspek lain dari ajaran-Nya. Kita
sekarang akan membahas pandangan-pandangan ini.
Dalam
semangat jalan tengah, sanggahan terhadap pandangan ekstrem positif-metafisik
berikut ini juga dimaksudkan untuk menjaga berbagai kesimpulan metafisik yang
dapat secara salah diambil dari penolakan kami terhadap nihilisme pada bagian
pertama tulisan ini. Sebaliknya, bagian pertama dapat berfungsi untuk melawan
suatu “reaksi defensif" yang berlebihan terhadap pandangan metafisik yang
dibahas saat ini.
Pandangan
ekstrem positif-metafisik dalam penafsiran terhadap Nibbāna terdiri atas
identifikasi, atau asosiasi metafisik, atas suatu diri (attā) yang
disempurnakan atau disucikan dengan apa, dalam konteks pandangan masing-masing,
yang dianggap sebagai Nibbāna. Dua jenis utama pandangan metafisik dapat
dibedakan, seperti yang sudah dinyatakan dalam paragraf sebelumnya.
(1)
Anggapan suatu prinsip yang universal dan tunggal (tidak mendua dan tidak
jamak) di mana suatu diri yang disucikan, seseorang yang dianggap terbebaskan
dari personalitas empiris, baik itu menyatu, atau diangap pada dasarnya satu.
Pandangan-pandangan ini berbeda dalam detailnya, berdasarkan apakah mereka
dipengaruhi baik oleh Teosofi, Vedānta atau Mahāyāna (yang terakhir, dengan
tingkat pembenaran yang bervariasi).[7]
(2)
Anggapan bahwa “diri-diri” para Arahat yang di luar pemahaman biasa, bebas dari
kelompok kehidupan, memasuki Nibbāna, yang dianggap sebagai “rumah abadi”
mereka dan sebagai “satu-satunya keadaan yang memadai bagi mereka”. Nibbāna
sendiri diterima sebagai tanpa diri (anattā), sedangkan para orang suci
(Arahat) dianggap mempertahankan “di Nibbāna” semacam individualitas, dalam
suatu cara yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dipahami. Pandangan ini,
berdasarkan pengetahuan kami, disokong sedemikian rupa hanya oleh penulis
Jerman Gerog Grimm dan pengikutnya.
Bagian 5
(a)
Umumnya pada kedua pandangan terdapat anggapan suatu diri yang kekal yang
dianggap ada di luar lima kelompok kehidupan yang membentuk personalitas dan
keberadaan secara keseluruhan. Anggapan bahwa Sang Buddha seharusnya
mengajarkan sesuatu seperti itu yang dengan jelas dan cukup disanggah oleh
pernyataan tunggal berikut ini:
Siapa
pun pertapa atau brāhmana yang menganggap bermacam-macam (hal atau gagasan)
sebagai diri, semuanya mengganggap lima kelompok kehidupan (sebagai diri) atau
salah satu dari darinya. (SN 22:47)
Kutipan
tekstual ini juga mengecualikan penafsiran yang salah atas rumusan standar
ajaran Anattā: “Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku”. Beberapa
penulis meyakini bahwa rumusan ini membenarkan kesimpulan bahwa Sang Buddha
menganggap suatu diri ada di luar, atau melampaui, lima kelompok kehidupan yang
biasanya ditunjukkan oleh rumusan tersebut. Pengambilan kesimpulan yang salah
ini disanggah oleh pernyataan Sang Buddha yang dikutip di atas yang dengan
jelas mengatakan bahwa semua konsepsi bermacam-macam tentang suatu diri dapat
memiliki referensi hanya pada lima kelompok kehidupan apakah secara
bersama-sama ataupun satu-satu. Bagaimana mungkin gagasan apa pun tentang suatu
diri atau personalitas dapat dibentuk, jika bukan dari bahan kelima kelompok
kehidupan dan dari kesalahpahaman tentang mereka? Pada hal lain apa gagasan
tentang suatu diri didasarkan? Kenyataan tentang satu-satunya cara yang mungkin
di mana gagasan tentang suatu diri dapat dibentuk ini dinyatakan oleh Sang
Buddha sendiri dalam kelanjutan teks yang dikutip di atas:
Terdapat,
para bhikkhu, seorang awam.... Ia menganggap jasmani sebagai diri, atau diri
sebagai yang memiliki jasmani (hal yang sama untuk keempat kelompok batin)[8].
Dengan cara ini ia tiba pada konsep “inilah aku”.
Lebih
lanjut dikatakan: “Jika terdapat jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan
dan kesadaran, oleh karena kelompok-kelompok kehidupan ini dan bergantung pada
mereka timbul kepercayaan dalam individualitas... dan spekulasi tentang suatu
diri” (SN 22:154, 155).
(b) Jika
kata-kata “aku”, “ego”, “personalitas”, dan “diri” seharusnya memiliki arti
sepenuhnya, berbagai bentuk konsep ego, bahkan yang paling abstrak dan halus,
tentunya harus berhubungan dengan gagasan tentang ciri khas atau keterpisahan
dengan sebuah pembedaan dari apa yang dianggap bukan “ego”. Tetapi dari apa
ciri khas atau pembedaan dapat berasal jika bukan dari satu-satunya data
pengalaman yang tersedia, fenomena fisik dan mental yang tersusun dari lima kelompok
kehidupan?
Dalam
sutta Majjhima Nikāya yang disebut “Perumpamaan Ular” (MN 22), dikatakan:
“Jika, para bhikkhu, terdapat suatu diri, apakah akan ada juga apa yang
dimiliki diri itu?” – “Ya, Bhante.” – “Jika terdapat apa yang dimiliki oleh
diri, apakah akan ada juga ‘diriku’?” – “Ya, Bhante” – “Tetapi karena suatu
diri dan milik diri itu sesungguhnya tidak dapat ditemukan, bukankah ini sebuah
ajaran yang benar-benar bodoh: ‘Inilah dunia, inilah diri. Tetap, kekal, abadi,
tidak berubah diriku setelah kematian, yang bertahan dalam identitas yang
abadi’?” – “Ya, Bhante, ini adalah ajaran yang benar-benar bodoh.”[9]
Kalimat
pertama dari teks ini menyatakan, dalam cara yang sesederhana penegasannya,
kenyataan yang ditunjukkan sebelumnya: bahwa anggapan tentang suatu diri
memerlukan juga sesuatu yang menjadi milik diri itu (attaniya), yaitu hal-hal
di mana diri mendapatkan ciri-ciri yang membedakannya. Mengatakan suatu diri
yang tanpa atribut-atribut yang membedakan demikian, oleh sebab itu tidak ada
yang mencirikannya dan memberikan makna pada kata tersebut, akan sepenuhnya
tidak masuk akal dan bertentangan dengan penggunaan yang diterima atas istilah
“diri”, “ego”, dst. Namun hal yang mendasar ini dilakukan oleh mereka yang
menyokong yang pertama dari dua jenis utama “pandangan ekstrem
positif-metafisik”: yaitu, anggapan suatu “diri universal atau melampaui-diri
yang besar” (mahatma) yang dianggap menyatu dengan, atau pada dasarnya sama
dengan, suatu prinsip metafisik universal dan yang tidak terbedakan (nirguṇa)
yang kadangkala disamakan dengan Nibbāna. Mereka yang menganut
pandangan-pandangan ini kadangkala ditemukan membuat pernyataan bahwa Sang
Buddha hendak menolak hanya suatu diri yang terpisah dan bahwa tidak ada dalam
pernyataan-Nya Beliau menolak keberadaan suatu diri yang melampaui pemahaman
biasa. Apa yang telah dikatakan sebelumnya pada bagian ini dapat menjadi suatu
jawaban terhadap kepercayaan-kepercayaan ini.
Pandangan-pandangan
ini yang telah kita masukkan pada kelompok kedua mengambil cara pandang yang
berlawanan. Mereka menyatakan dengan tegas tentang keberadaan terpisah atas
diri-diri yang terbebaskan, yang di luar pemahaman biasa di dalam unsur
Nibbāna. Namun demikian, sokongan mereka meninggalkan sejumlah besar masalah
yang tidak dapat dijelaskan. Mereka tidak menunjukkan bagaimana mereka tiba
pada gagasan keterpisahan tanpa referensi pada dunia pengalaman; dan mereka
gagal menunjukkan terdiri dari apakah keterpisahan itu sesungguhnya dan
bagaimana ia dapat dikatakan terus ada dalam unsur Nibbāna, di mana, dalam
definisinya, adalah tidak terbedakan (nippapañca), sangat berkebalikan dengan
keterpisahan.
Kedua
jenis kepercayaan individualitas ingin menggabungkan berbagai konsep tentang
diri dengan ajaran Buddhis tentang Nibbāna. Mereka, pada bagian awal, disanggah
oleh pernyataan yang secara filosofi sangat penting dalam kotbah tentang
“Perumpamaan Ular”, yang menyatakan bahwa “aku” dan “milikku”, pemilik dan
milik, substansi dan atribut, subjek dan predikat adalah istilah yang tidak terpisahkan
dan berhubungan, yang, bagaimana pun, tidak nyata dalam pengertian tertinggi.
Bagian 6
Dua
jenis utama penafsiran atas Nibbāna dapat dengan mudah dimasukkan dalam
sejumlah besar pandangan salah yang disebutkan, dikelompokkan dan disangkal
oleh Sang Buddha. Suatu pemilihan atas pengelompokan yang dapat dipakai akan
disajikan berikut ini. Bahan-bahan ini, sebagai tambahan pada pernyataan
fundamental pada bagian terdahulu, akan melengkapi sejumlah besar dokumentasi
atas kenyataan bahwa tidak ada satu pun konsep eternalistik tentang diri dan
Nibbāna, dalam bentuk yang dapat dibayangkan, sesuai dengan ajaran Sang Buddha
seperti yang ditemukan dalam penyajian tertua yang ada dalam kanon Pali.
(a)
Dalam Saṃyutta Nikāya (SN 22:86) kita
membaca: “Apakah engkau berpikir, Anurādha, bahwa Yang Sempurna (tathāgata)
terlepas dari jasmani (aññatra rūpā)... terlepas dari kesadaran?”[10] – “Tentu
saja tidak, O Bhante.” – “Apakah engkau berpikir bahwa Yang Sempurna adalah
seseorang yang tanpa jasmani (arūpī)... seseorang yang tanpa kesadaran?”[11] –
“Tentu saja tidak, O Bhante.” – “Karena Yang Sempurna, Anurādha, tidak dapat,
sesungguhnya dan sebenarnya, ditemukan oleh dirimu bahkan selama masa hidup,
apakah sesuai untuk menyatakan: ‘Ia yang adalah Yang Sempurna, makhluk
tertinggi... bahwa Yang Sempurna dapat diketahui di luar keempat kemungkinan
ini: Yang Sempurna ada setelah kematian... tidak ada... ada dalam beberapa cara
dan dalam cara lain tidak ada... tidak dapat dikatakan ada atau pun tidak
ada’?” – “Tentu saja tidak, O Bhante.”
Teks ini
berlaku pada kedua jenis utama pandangan yang menganggap suatu diri di luar
kelompok kehidupan. Harus disebutkan di sini bahwa komentar mengubah kata-kata
“Yang Sempurna” (tathāgata) dengan “makhluk hidup” (satta). Ini mungkin
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pernyataan dalam teks berlaku tidak hanya
untuk istilah konvensional “Yang Sempurna” tetapi juga semua istilah lain yang
menunjuk pada suatu individualitas.
(b)
Karena konsep tentang suatu diri tentunya dikaitkan dengan suatu kepemilikan
atas kualitas-kualitas dan hal-hal yang dimiliki (lihat 5b), kedua jenis utama
pandangan ini termasuk dalam bagian dua puluh jenis kepercayaan individualitas
(sakkāya-diṭṭhi; lihat 5a).
Ia
menganggap diri sebagai yang memiliki jasmani... sebagai yang memiliki
perasaan... persepsi... bentukan-bentukan... kesadaran.
Ini
berlaku, khususnya, pada jenis utama yang kedua yang disokong oleh Georg Grimm,
yang dengan jelas mengatakan bahwa lima kelompok kehidupan sebagai “atribut”
(“Beilegungen”) dari diri. Ini tidak membuat perbedaan apa pun di sini bahwa
“atribut-atribut” ini dianggap Grimm sebagai “tidak sepadan” dengan diri dan
dapat dibuang. Apa yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa hubungan yang
demikian antara diri dan kelompok kehidupan diasumsikan, dan ini membenarkan
pencantuman pandangan ini dalam jenis kepercayaan individualitas yang
disebutkan di atas.
(c) Dari
“Kotbah tentang Sebab Akar” (Mūlapariyāya Sutta; MN 1) pengelompokan berikut
berlaku pada kedua jenis pandangan: “Ia berpikir (dirinya) berbeda dari (atau
melampaui) empat unsur jasmani, alam-alam surga, keadaan tak berbentuk; dari
apa pun yang dilihat, didengar, (dengan berbeda) dirasakan dan dikenali; dari
seluruh alam semesta (sabbato).” Untuk jenis yang kedua berlaku pandangan: “Ia
berpikir (dirinya) dalam Nibbāna (nibbānasmiṃ maññati)
atau berbeda dengan Nibbāna (nibbānato maññati).” Yaitu, ia mempercayai diri
yang terbebaskan yang dianggap memasuki unsur Nibbāna yang berbeda darinya.
(d)
Dalam sutta “Semua Kekotoran” (Sabbāsava Sutta; MN 2) contoh-contoh pemikiran
yang bodoh dan dangkal (ayoniso manasikāra) berikut disebutkan dan disangkal:
Enam teori tentang diri di mana hal-hal berikut berlaku di sini: “Aku memiliki
suatu diri” dan “Oleh diri aku mengetahui diri”.[12]
Enam
belas jenis keragu-raguan tentang keberadaan dan sifat diri, dengan menunjuk
pada masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang, contohnya, “Aku ada
atau tidak?”, “Apakah aku di masa sekarang?”, “Apakah aku akan ada atau
tidak?”, “Apakah aku di masa depan?”
Dengan
ini semua jenis spekulasi tentang suatu diri yang dinyatakan tanpa bukti
disangkal.
(e)
Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1) teori-teori tentang suatu diri dirincikan sampai
detail-detailnya. Namun, mereka yang menyokong kedua jenis utama pandangan
ekstrem positif-metafisik, yang kita bahas di sini, umumnya menghindari atau
menolak pernyataan rinci tentang sifat Nibbāna dan diri. Tetapi jika mereka
mengasumsikan suatu diri yang kekal dan di luar pemahaman biasa, ia harus
dibayangkan sebagai pasif, diam dan kekal. Karena setiap hubungan yang aktif
dengan dunia akan melibatkan suatu penolakan atas keadaan yang melampaui
pemahaman biasa yang diasumsikan. Oleh sebab itu kedua jenis utama pandangan
ini jatuh dalam kelompok pandangan eternalis, yang dicirikan dan disangkal
dalam Brahmajāla Sutta sebagai berikut: “Kekal adalah diri dan dunia, tandus,
diam bagaikan sebuah puncak gunung, kokoh bagaikan sebuah pilar.”
(f)
Penyangkalan atas berbagai kepercayaan tentang suatu diri (yang sama secara
tetap atau pun sementara), dan pandangan-pandangan ekstrem keberadaan dan
ketiadaan, tidak dapat lebih baik disimpulkan dibandingkan dengan mengutip
kelanjutan pernyataan yang membentuk semboyan dari uraian ini:Bagi ia, Kaccāna,
yang memandang, berdasarkan pada kenyataan dan dengan kebijaksanaan sejati,
asal mula dari (dan dalam) dunia, tidak ada di dunia ini (yang disebut)
“ketiadaan” (natthitā). Bagi ia, Kaccāna, yang memandang, berdasarkan pada
kenyataan dan dengan kebijaksanaan sejati, kelenyapan dari (dan dalam) dunia,
tidak ada di dunia ini (yang disebut) “keberadaan” (atthitā). Dunia ini,
Kaccāna, umumnya terbelenggu oleh kecenderungan, kemelekatan dan prasangka.
Namun berkenaan dengan kecenderungan, kemelekatan, sifat mental yang tetap,
prasangka dan kecenderungan yang berakar kuat, ia (seseorang dengan pengertian
benar) tidak mendekati, tidak melekat, tidak memiliki sikap mental: “Aku
memiliki suatu diri” (n’adhiṭṭhāti attā me’ti). Ia tidak memiliki
keraguan atau pun ketidakpastian bahwa adalah penderitaan, yang sesungguhnya
timbul, dan penderitaanlah yang lenyap. Di sini pengetahuannya tidak bergantung
pada orang lain. Sejauh ini, Kaccāna, adalah seorang dengan pengertian benar.
(SN 12:15)
III.
Melampaui Pandangan-Pandangan Ekstrem
Jika
kita memeriksa ungkapan-ungkapan tentang Nibbāna dalam kanon Pali, kita
menemukan bahwa ia digambarkan (atau lebih baik: diuraikan) baik dalam istilah
positif maupun negatif. Pernyataan-pernyataan tentang suatu sifat positif
termasuk sebutan seperti “yang mendalam, yang sejati, yang kekal, yang
menakjubkan”, dst. (SN 43); dan seperti teks-teks yang dikutip di atas (lihat
Bagian 2), “Terdapat landasan...”; “Terdapat sesuatu yang tidak dilahirkan...”,
dst. Pernyataan-pernyataan dalam bentuk istilah negatif termasuk definisi
Nibbāna sebagai “pelenyapan keserakahan, kebencian dan kebodohan batin” dan
sebagai “pelenyapan kemenjadian” (bhava-nirodha). Jika konsep Buddhis atas
Nibbāna dipahami dengan benar, seseorang akan memberikan bobot yang penuh pada
pentingnya kedua jenis ungkapan ini. Jika seseorang hanya mengutip salah satu
jenis sebagai pertahanan atas pendapat diri sendiri yang berat sebelah,
hasilnya akan menjadi pandangan yang timpang.
Terhadap
ungkapan-ungkapan dari sifat positif kita dapat mengasumsikan tujuan-tujuan
berikut ini: (1) untuk meniadakan pandangan ekstrem nihilistik; (2) untuk
menenangkan ketakutan dari mereka yang masih tanpa pemahaman yang cukup atas
kebenaran tentang penderitaan dan anattā, dan dengan demikian beralih dari pelenyapan
akhir atas penderitaan, yaitu dari kelahiran kembali, seakan-akan melompat dari
kejatuhan ke dalam sebuah lubang yang tidak berdasar; (3) untuk menunjukkan
Nibbāna sebagai sebuah tujuan yang dapat dicapai dan benar-benar diinginkan.
Penekanan
“Terdapat” yang membukan dua teks yang cukup terkenal tentang Nibbāna dalam
Udāna, tidak meninggalkan keraguan bahwa Nibbāna tidak dipahami sebagai
semata-mata kelenyapan atau sebagai suatu penyamaran untuk sebuah nol absolut.
Tetapi, pada sisi lain, sebagai pencegahan terhadap penafsiran metafisik yang
salah atas ungkapan yang mendalam “Terdapat... (atthi)”, kita juga memiliki
penolakan tegas atas pandangan ekstrem atas keberadaan (atthitā) dan ketiadaan
(natthitā).
Tetapi
bahkan ungkapan-ungkapan tentang Nibbāna tersebut yang difrasakan secara
positif, memasukkan istilah yang hampir negatif juga:“Terdapat suatu landasan
di mana tidak ada tanah... tidak ada dunia ini atau pun berikutnya, tidak ada
kedatangan atau pun kepergian.”
“Terdapat
sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak menjadi....”
“Aku
akan mengajarkan kalian yang tidak tercipta... yang mendalam... dan jalan
menuju hal itu. Sekarang apakah yang tidak tercipta... yang mendalam itu? Ia
adalah pelenyapan keserakahan, pelenyapan kebencian, pelenyapan kebodohan
batin.”Teks-teks ini, yang menggabungkan pernyataan positif dan negatif,
melukiskan pernyataan awal kita bahwa baik ungkapan positif maupun negatif
tentang Nibbāna memerlukan batasan timbal-balik, sebagai pencegahan
tergelincirnya ke dalam posisi ekstremis.
Ungkapan
negatif dimaksudkan untuk menekankan sifat Nibbāna yang melampaui duniawi dan
tidak terlukiskan dalam kata-kata, yang menghindari penggambaran yang cukup
dalam istilah positif. Bahasa kita pada dasarnya tidak cocok untuk penggambaran
yang demikian, karena ia tentunya berkaitan dengan dunia pengalaman kita di
mana struktur dan istilah-istilahnya berasal. Oleh sebab itu pernyataan positif
dalam sutta-sutta tidak dapat lebih dari kiasan atau perumpamaan (pariyāya
desanā). Mereka memanfaatkan nilai-nilai emosional yang dapat dimengerti oleh
kita untuk mengkarakteristikkan pangalaman dan reaksi yang diketahui oleh
mereka yang telah melalui jalan menuju Keabadian. Walaupun untuk alasan-alasan
yang disebutkan di atas mereka memiliki nilai praktis yang besar, mereka lebih
menggugah daripada benar-benar deskritif. Tetapi pernyataan negatif cukup dalam
dan masuk akal dalam mereka sendiri. Mereka menguraikan Nibbāna kepada dunia
pengalaman hanya dengan negasi. Metode pendekatan yang menegasikan terdiri atas
suatu proses menghilangkan apa yang tidak berlaku pada Nibbāna dan tidak
sepadan dengannya. Ini memungkinkan kita untuk membuat pernyataan yang lebih
nyata dan bermanfaat tentang keadaan Nibbāna yang melampaui duniawi daripada
dengan menggunakan istilah-istilah abstrak, sifat positif yang hanya bersifat
sebagai perumpamaan. Pernyataan-pernyataan negatif juga merupakan cara yang
paling cocok dan terhormat untuk mengatakan tentang yang disebut “yang
menakjubkan” (acchariya) dan “yang luar biasa” (abbhuta) tersebut.
Cara
pengungkapan yang negatif memiliki keuntungan penting lainnya.
Pernyataan-pernyataan seperti yang mendefinisikan Nibbāna sebagai “pelenyapan
keserakahan, kebencian dan kebodohan batin” menunjukkan arah yang diambil, dan
tugas yang dikerjakan untuk benar-benar mencapai Nibbāna. Dan ini sangat
berarti. Kata-kata tentang mengatasi keserakahan, kebencian dan kebodohan batin
memberikan tugas yang jelas dan meyakinkan yang dapat diambil di sini dan saat
ini. Lebih lanjut, mereka tidak hanya menunjuk pada suatu cara yang dapat
dipraktekkan dan bermanfaat untuk tujuan itu sendiri, tetapi mereka juga
menyatakan tentang tujuan yang mulia itu sendiri yang juga dapat dialami di
sini dan saat ini, dan tidak hanya dalam keadaan yang tidak diketahui di luar.
Karena telah dikatakan:Jika keserakahan, kebencian dan kebodohan batin telah
sepenuhnya dilenyapkan, sepanjang itulah Nibbāna terlihat di sini dan saat ini,
tidak ada jeda, mengundang penyelidikan, dan dapat dialami secara langsung oleh
para bijaksana. (AN 3:55)Nibbāna yang terlihat tersebut dipujikan oleh mereka
yang mencapainya sebagai kebahagiaan yang murni dan tidak dapat dicabut,
sebagai kedamaian tertinggi, sebagai kelegaan yang tidak dapat diucapkan atas
terbebasnya dari beban dan ikatan. Rasa pendahuluan yang samar-samar darinya
dapat dialami dalam setiap tindakan pelepasan yang menyenangkan dan dalam momen
ketidakterikatan yang hening. Untuk diketahui sendiri, jika bukan bersifat
sementara dan sebagian, untuk bebas dari perbudakan nafsu dan kebutaan karena
muslihat diri; untuk menjadi tuan dari diri sendiri dan untuk hidup dan
berpikir dari sudut pandang pengetahuan, jika bukan untuk suatu waktu dan
jangkauan yang terbatas – ini sesungguhnya bukan “semata-mata kenyataan
negatif”, tetapi pengalaman yang paling positif dan menggugah bagi mereka yang
mengetahui lebih dari kebahagiaan indera yang sekejap dan bersifat
menipu.“Terdapat dua jenis kebahagiaan, O para bhikkhu: kebahagiaan dari
kesenangan indera dan kebahagiaan dari pelepasan. Tetapi yang tertinggi dari
keduanya adalah kebahagiaan dari pelepasan” (AN 2:64).Demikianlah kata-kata
yang kelihatannya negatif dari pelenyapan keserakahan, kebencian dan kebodohan
batin akan membawa pada pesan positif yang membangkit semangat dan dalam: dari
suatu jalan yang dapat dilalui, dari suatu tujuan yang dapat dicapai, dari
suatu kebahagiaan yang dapat dialami.
Namun
aspek dari kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai di sini dan saat ini tidak
seharusnya diperbolehkan untuk menutupi diri kita dari kenyataan bahwa
pencapaian Nibbāna adalah akhir dari kelahiran kembali, pelenyapan kemenjadian.
Tetapi akhir atau pelenyapan ini tidak melibatkan penghancuran atau anihilasi
dari apa pun yang subtansial. Apa yang sebenarnya terjadi adalah akhir dari kemunculan
baru yang disebabkan oleh penghentian atas sebab-sebab akarnya: ketidaktahuan
dan keinginan.
Ia yang
melihat secara dalam dan sepenuhnya kebenaran penderitaan “tidak lagi terbawa
oleh yang tidak nyata, dan tidak lagi beralih dari yang nyata”. Ia mengetahui:
“Inilah penderitaan, yang sesungguhnya muncul, inilah penderitaan yang lenyap”.
Dengan pikiran yang teguh ia berjuang mencapai keabadian, pelenyapan akhir dari
penderitaan - Nibbāna.Orang Mulia mengetahuinya sebagai kebahagiaan:pelenyapan personalitas;Menjijikkan
bagi orang-orang biasa,tetapi tidak bagi mereka yang melihat dengan jelas.
Apa yang
orang lain anggap sebagai kebahagiaan tertinggi,Orang Mulia menganggapnya
sebagai penderitaan;Apa yang mereka anggap sebagai hanya penderitaanbagi Orang
Mulia adalah semata-mata kebahagiaan. (Sn vv. 761–62)
Catatan
Kaki
1.
Kutipan dari kedua karya ini terutama diambil, dengan sedikit perubahan, dari
terjemahan Bhikkhu Ñāṇamoli (lihat Catatan Sumber).
Penjelasan
tambahan oleh penulis ada di dalam tanda kurung siku, penjelasan oleh Bhikkhu
Ñāṇamoli dalam tanda kurung biasa.
2. Comy.
: Ini untuk menunjukkan bahwa, bagi para Arahat, Nibbāna dikembangkan dengan
pengalaman mereka sendiri.
3. Comy.
: Bagi orang lain ia dikembangkan dengan menyimpulkan berdasarkan kata-kata
Sang Guru.
4.
Paragraf-paragraf yang diawali dengan * diterjemahkan oleh penulis; yang tidak
ditandai diterjemahkan oleh Bhikkhu Ñāṇamoli
(diambil dari catatan pada terjemahannya atas Visuddhimagga).
5. Ini
adalah beberapa dari keseluruhan 33 sebutan untuk Nibbāna dalam SN 43:12-44.
6. Ini
menunjuk pada pengelompokan Abhidhammik di mana Nibbāna dimasukkan, yang
muncul, misalnya dalam Dhammasaṅgaṇī.
7.
Variasi teosofis, misalnya yang diwakili oleh kelompok neo-Buddhis di Britania
dan tempat lain di mana jika tidak telah melakukan pekerjaan yang baik dalam
memperkenalkan orang Barat pada Buddhis atau pada konsep mereka atas hal ini.
Pengaruh
Vedantik mencolok, misalnya dalam ungkapan bahasa India yang diketahui maknanya
dengan baik, di antara mereka yang terkemuka, yang mempertahankan identitas
atau kesamaan yang mendasar, dari posisi Vedanta dan Buddhis mengenai
Ātman.Sementara itu, ini cukup bertentangan pada pendapat dalam pokok bahasan
tersebut, yang diungkapkan oleh orang yang menafsirkan Vedanta secara klasik.
Lihat Vedanta
and Buddhism oleh H. v. Glasenapp (Wheel Publication No. 5).Pengaruh
Mahayanistik dapat diperhatikan dalam beberapa perwakilan dari kedua variasi
terdahulu. Tetapi juga dalam karya Mahāyāna itu sendiri, pandangan ekstrem
positif-metafisik ditemukan dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Mulai
dari kitab-kitab Madhyamika di mana ia relatif diabaikan, sampai dengan aliran
Yogācara di mana Asaṅga bahkan menggunakan istilah
mahātma dan paramātma dalam pengertian yang membenarkan (lihat Mahāyāna-sūtrālaṅkāra-śāstra
dan komentar Asaṅga sendiri).
8. Ini
adalah dua puluh jenis kepercayaan individualitas (sakkāya-diṭṭhi).
9. Lihat
The Discourse on the Snake Simile, terjemahan oleh Nyanaponika Thera (Wheel No.
47/48).
10.
Yaitu di luar kelompok-kelompok kehidupan yang diambil secara tunggal.
11.
Yaitu di luar kelompok-kelompok kehidupan secara keseluruhan.
12. Pali
: attanā’va attānaṃ sañjānāmi.Ini menunjuk pada konsep
Vedanta.Rumusan yang hampir sama telah ditemukan dalam Saṃhitā,
kitab Upanishad pre-Buddhis, dan yang belakangan dalam Bhagavadgītā.
Diterjemahkan
dari : Wh 011 – Anatta & Nibbana – Plain text
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar