[Berjuang Mencapai Pembebasan Setelah Mengalahkan Keangkuhannya]
Memperoleh sesuatu, seperti keinginan yang tercapai, kesuksesan atau memperoleh status yang baru kadangkala menjadikan seseorang itu lupa. Orang menjadi angkhu, congkak, dan sombong. Seorang yang semula pembantu, bisa menjadi lebih berkuasa, sombong setelah menjadi tuan atau merasa dekat dengan tuannya.
Psikologis seorang abdikrat yang kemudian menjadi otokrat sering dialami oleh banyak manusia terhadap status barunya. Demikianlah yang dialami oleh Channa, kusir Paneran Siddharta yang kemudian menjadi Bhiksu, masuk dalam status sosial baru dalam kalangan para Ariya dan bahkan merasa dekat dengan Sang Buddha.
Memperoleh status sosial yang baru, dan kedekatannya dengan Hyang Buddha menjadikan Channa lupa diri. Channa menjadi sombong, congkak, angkuh sehingga tidak disenangi oleh rekan-rekan Sangha lainnya. Ia begitu terpukau dengan status barunya. Lompantan status sosialnya dari seorang kusir menjadi anggota Sangha menjadikannya ia lupa diri.
Bhiksu Sombong
Kesombongan itu semakin bertambah, karena Bhiksu Channa merasa tiada orang lain yang paling dekat dengan Hyang Buddha. Tiada orang lain yang paling disayangi oleh Hyang Buddha. Bahkan Channa tidak menghormati murid utama Sang Buddha yang memiliki keistimewaan seperti Shariputra dan Maudgalyayana. Channa merasa, dialah orang yang mempunyai andil besar dalam kehidupan Hyang Buddha.
Pikir Channa, "Bukankah semasa pangeran, sebelum Siddharta itu menjadi Buddha, hanya akulah yang melayani sang Pangeran kemana-mana. Bukankah akulah yang menerangkan tentang empat peristiwa sehingga menyebabkan pangeran jadi pergi bertapa dan akhirnya menjadi Buddha. Bukankah, aku yang menyertakan pangeran ke tepi sungai Anoma untuk menggunting rambut dan melepaskan mahkota kerajaannya... Bukankah, aku pula yang membawa mahkota itu kehadapan ayahandanya dan melaporkan pangeran telah menjadi pertapa. Akulah orang pertama yang menyebabkan pangeran menjadi Buddha". Demikianlah, mungkin pikiran dan perasaan Channa, sehingga ia menganggap dirinya sebagai sesuatu yang lebih istimewa dimata rekan-rekan Sangha lainnya.
Kesombongan Channa, akhirnya menuai petaka. Ia semakin tidak disenangi oleh rekan-rekan Sangha lainnya. Channa jadi sok kuasa, sok pintar, sok orang yang paling dekat Hyang Budha, sok tahu, dan sok, sok, sok lainnya. Sikap-sikap dan tingkah laku Channa yang tidak baik inipun diketahui oleh Hyang Buddha. Tetapi Hyang Buddha menyatakan bahwa Channa tidak bisa berubah semasih Hyang Buddha masih hidup. Sampai menjelang hari-hari akhir kehidupanNya, Hyang Budha belum sempat menjatuhkan hukumanNya kepada anggota Sangha yang reseh dan meresehkan itu.
Hukuman Berat
Hingga saat-asat akhir kehiduapNya itu tiba. Ketika, Hyang Buddha merasa saat-saat terakhir kehidupannya akan tiba, maka dalam kesempatan wejangan terakhirNya yang disampaikan kepada Ananda, Hyang Buddha sempat menyinggung perihal Bhiksu Channa.
Kepada Ananda dikatakanNya, "Ananda, bila Hyang Tathagatha sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhiksu Channa." Ananda bertanya, "Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?"
Hyang Buddha menjelaskan, "Ananda, Bhiksu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi Bhiksu-Bhiksu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya."
Beberapa waktu setelah pembacaan Vinaya dan Dharma selesai (Pesamuan Sangha Pertama), Bhiksu Ananda menghadap para Thera dan menyampaikan pesan terakhir Hyang Buddha itu. Bhiksu Ananda juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan mengenai hukuman berat yang harus dijatuhkan kepada Bhiksu Channa itu.
Para Bhiksu lalu mengatakan, "Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhiksu Channa." Ananda menjawab, "Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan hukuman berat tersebut, kepada Bhiksu Channa, karena Bhiksu Channa orangnya kuat dan kekar badannya."
"Kalau begitu, Bhiksu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus Bhiksu lain." "Baiklah Bhante," jawab Bhiksu Ananda. Kemudian berangkatlah Bhiksu Ananda dengan lima ratus Bhiksu lain, menjumpai Bhiksu Channa di vihara Ghosita, Kosambi, daerah Raja Udena.
Di vihara Ghosita, Bhiksu Ananda memberitahukan Bhiksu Channa mengenai keputusan Sangha yang menjatuhkan hukuman kepadanya. "Bhiksu Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri anda." Channa bertanya: "Tetapi Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?"
Dijelaskan oleh Ananda, "Bhiksu Channa, anda boleh mengatakan apa saja yang anda suka, tetapi Bhiksu-Bhiksu lain tidak diperkenankan untuk menasehati anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada anda."
Bhiksu Channa lalu menjawab, "Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada Bhiksu yang boleh bicara kepadaku, tidak ada Bhiksu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada Bhiksu yang boleh memberi petunjuk kepadaku." Setelah berkata begitu, Bhiksu Channa kemudian jatuh pingsan, tidak sadarkan diri di tempat itu juga. Ia merasa malu, cemas, dan muak dengan dirinya sendiri.
Kembali Berjuang
Channa tidak menyangka hukuman berat itu akan menimpa dirinya sampai-sampai tak sadarkan diri ketika menerimanya. Tetapi hukuman berat itu bagaimanapun beratnya tidak dapat ditolak dan harus dijalaninya. Kesalah dan kegagalan bukanlah akhir dari segala-galanya, tapi bisa menjadi hikmah untuk kembali bangkit berjuang. Menjadikan kekalahan itu sebagai motivasi untuk merebut kemenangan.
File naskah dalam komputer yang bisa terhapus dan hilang, bukanlah alasan untuk tidak berjuang menulis naskah itu kembali. Seribu kali kegagalan, sejuta kali kekalahan, tetapi satu langkah kemenangan itu harus dimulai dengan perjuangan dan kebangkitan kembali. Seperti Konfusius berujar, perjalanan seribu lie tetap harus dimulai oleh langkah pertama, maka meski berpuluh kali rumah didirikan di tepi pantai itu terhapus oleh ombak dan angin ribut, namun bagi seorang pejalan kesucian seperti praktisi Zen Buddhis akan selalu siap kembali membangunnya dari awal.
Channa pingsan dan tidak sadarkan diri mendengar hukuman yang dijatuhkannya. Tetapi haruskah ia tenggelam dalam ketidaksadaran? Tidak! Channa tahu, ketidaksadaran akan berakhir dengan kematian, dan hanya orang yang sadarlah yang akan mencapai kehidupan yang sejati. Karena itu, tak lama setelah siuman kembali, Bhiksu Channa pun bergegas membangkitkan motivasi dan tekadnya untuk berjuang melatih diri.
Bhiksu Channa itu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat yang sunyi itulah ia kemudian dengan giat, tekun dan semangat yang menyala-nyala melatih diri. Melatih mengatasi sifat-sifat keakuan, kesombongan, dan kepongahannya. Karena ketekunan dan perjuangannya, maka dalam waktu tidak terlalu lama, Bhiksu Channa akhirnya dapat mencapai tingkat kesucian Arahat. "Hancurlah tumimbal lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa." Demikian suara Bhiksu Channa yang menjadi Arahat.
Setelah mencapai Arahat itu, kemudian Bhiksu Channa mencari Bhiksu Ananda. Setelah bertemu dengan Bhiksu Ananda, ia berkata: "Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman berat terhadap diriku." Dijawab oleh Bhiksu Ananda: "Bhiksu Channa, pada saat anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah hukuman berat terhadai diri anda telah dicabut kembali."
Channa bekas kusir pangeran Siddharta, telah terbebas dari hukuman beratnya, karena berhasil mencapai Arahat. Sungguh suatu perjuangan yang luar biasa. Dari suatu keadaan kekalahan dan bahkan sampai pingsan tak sadarkan diri sewaktu mendengar hukuman berat yang dijatuhkan kepadanya, menjadi pencapaian kemenangan, pencerahan, kesadaran sepenuhnya dalam pembebasan dan kesucian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar