( Bhiksu Seniman
Yang Tercerahkan Didalam Jalan Tengah)
Kisah
tentang jalan tengah yang membuat petapa Siddharta mencapai cita-citanya
menjadi Buddha telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Buddha dan
menjadi karakterisitk Buddha dharma. Namun, apa dan bagaimana, serta persisnya
jalan tengah itu adalah terletak pada orang atau individu itu sendiri di dalam
menghindari kutub-kutub ekstrimnya sesuai dengan kondisi dan keadaannya.
Adalah
Sona, putra seorang pengusaha kaya, yang dalam sejarah upaya pencapaian
pencerahan spiritual, harus mengalami dan terjatuh dalam suatu kutub ekstrim di
dalam pelatihan spiritualnya. Untuk itu, Sona yang memiliki bakat seniman musik
ini harus memerlukan pandangan mendalam tentang jalan tengah untuk dapat keluar
dari perangkap kutub ekstrim yang menjadikannya hampir putus asa.
Adalah
Hyang Buddha pula, master dalam jalan tengah yang melihat kemungkinan bagi Sona
untuk berada di jalan tengah dalam pelatihannya, melalui potensi dan bakat yang
dimiliki Sona sendiri sebagai seniman musik. Sona yang senang mendengar musik
kecapi dan memainkan alat musik itu akhirnya menemukan jalan tengah, persis
sebagaimana yang terjadi dengan Hyang Buddha sendiri dahulu, melalui
perumpamaan kendor dan kerasnya tali kecapi.
Apa
yang telah diperoleh adalah juga dapat diberikan. Hyang Buddha yang
terselamatkan oleh seniman musik yang memberinya inspirasi dan pelajaran jalan
tengah sewaktu petapaannya dulu, kini harus memberikan inspirasi yang persis
itu, jalan tengah melalui perumpamaan tali kecapi kepada Sona, pemuda berbakat
musik yang sedang dirundung putus asa karena terperangkap dalam kutub ekstrim
terlalu keras berlatih.
Terlalu
Keras Berlatih
Kisah
pelajaran spiritual jalan tengah yang dialami pemuda yang dibesarkan dalam
kemewahan dan memiliki tubuh yang sangat lembut dan halus ini dimulai, ketika ia suatu hari
pergi ke Puncak Bukit Gunung Nazar untuk mendengar khotbah Hyang Buddha. Dalam
kesempatan itu, pemuda yang memiliki kulit tubuh halus dan memiliki bulu badan
di telapak kakinya ini mendengar khotbah Hyang Buddha mengenai kebahagiaan yang
akan dialami secara langsung bila tiada kemelekatan lagi terhadap
keinginan-keinginan duniawi.
Sona
begitu tertarik akan isi khotbah Hyang Buddha itu, karena ia sendiri memang
ingin mengalami kebahagiaan. Untuk mencapai keinginannya itu, kemudian Sona
menjadi bhiksu. Setelah menjadi seorang bhiksu, Sona diajar untuk selalu sadar
(sati/perhatian murni) secara terus menerus, bahkan ketika sedang berjalan.
Sona
sangat antusias sekali dalam pelatihan spiritualnya itu. Semangatnya untuk
memperoleh kebahagiaan itu luar biasa sekali. Ia berlatih sangat keras, dimana
setiap hari ia berjalan mondar-mandir di dalam vihara tak henti-hentinya,
sampai-sampai suatu hari kakinya jadi melepuh dan berdarah.
Meskipun
sudah berlatih begitu keras, Sona tetap saja tidak mengalami kebahagiaan,
bahkan yang didapati akhirnya adalah rasa kekecewaan. Karena kecewanya, lalu
niatnya pun jadi terganggu. Pikiran-pikiran tentang keinginan-keinginan terhadap
hal-hal duniawi akhirnya masuk ke dalam batinnya.
“Ini
tidak berguna,” kata Sona pada dirinya. “Saya sudah berlatih dengan demikian
keras, tetapi tetap tidak dapat mencapai apa yang saya harapkan. Lebih baik
saya kembali ke kehidupan awam dan menikmati kebahagiaan yang dulu saya alami
dengan berbuat amal saja." Katanya.
Jalan
Tengah Melalui Senar Kecapi
Keadaan
yang dialami Sona terjatuh dalam kutub ekstrim sehingga melahirkan keputusasaan
itu diketahui oleh Hyang Buddha. Kemudian Hyang Buddha pergi untuk melihat Sona
dan berkata kepadanya. “Sona, Tathagata tlah mendengar bahwa engkau tidak
mendapat hasil yang baik dari latihan kesadaranmu dan ingin kembali ke
kehidupan awam. Seandainya Tathagata menjelaskan mengapa engkau tidak
mendapatkan hasil yang bagus, maukah engkau tetap menjadi bhiksu dan berlatih
kembali?"
"Ya,
saya mau, Bhante", jawab Sona.
Dengan
melihat sebab yang menjadikan Sona tidak menemukan kebahagiaan dalam
pelatihannya dan juga mengenali potensi dan bakat yang dimiliki Sona, lalu
Hyang Buddha pun memberikan pelajaran tentang Jalan Tengah. Kini pelajaran yang
dulu pernah diterimanya dari serombongan pengamen, memperoleh kesempatan untuk
diberikan dan disampaikan kembali kepada orang yang tepat, Sona yang sedang
dililit kutub ekstrim pelatihan namun memiliki bakat musik.
Lalu,
Hyang Buddha pun memulai Jalan Tengahnya, “Sona, engkau adalah seorang pemusik
dan engkau biasanya memainkan kecapi. Katakan pada Tathagata, Sona, apakah
engkau menghasilkan musik yang bagus bilamana senar-senar kecapi disetel dengan
baik, tidak terlalu kencang, tidak pula terlalu kendor?"
"Saya
dapat menghasilkan musik yang bagus, Bhante." jawab Sona.
"Apa
yang terjadi bilamana senar-senarnya diputar terlalu kencang?"
"Saya
tidak dpat menghasilkan musik apapun, Bhante," jawab Sona.
Dengan
membicarakan tentang sesuatu yang menjadi kesenangan lawan bicaranya, maka
Hyang Buddha pun membuat lawan bicaranya menjadi lebih mudah untuk melihat apa
yang menjadi sebab permasalahnnya itu. Begitulah Hyang Buddha mengajar sesuai
dengan kondisi orang yang dihadapi, karena Hyang Buddha tahu bahwa potensi
pencapaian pencerahan itu memang berada di dalam diri orang yang bersangkutan.
Dengan kepiawaiannya sebagai guru spiritual, Hyang Buddha hanya memperlihatkannya
saja sehingga orang itu sendiri yang menyadari.
Lanjut,
Sona, "apakah sekarang engkau mengerti mengapa engkau tidak dapat
mengalami kebahagiaan dari pelepasan nafsu-keinginan duniawi? Karena engkau
telah memaksa terlalu keras dalam meditasimu. Untuk itu, rubahlah. Seperti
dawai kecapi yang menghasilkan suara yang merdu, lakukanlah kini dalam cara
yang rileks, tetapi tidak kendor. Cobalah lagi dan engkau akan mengalami hasil
yang bagus dan memuaskan."
Belajar
dari Kesenimanannya
Mendengar
tuturan Jalan Tengah Hyang Buddha ini, Sona akhirnya mengerti dan memahami
dengan jelas. Pintu kunci pencerahan telah terbuka baginya. Ia tidak lagi
memutuskan untuk keluar dari kebhiksuan dan menjalani keduniawian, namun tetap
tinggal di vihara sebagai seorang bhiksu.
Dengan
berpatokan kepada kesenimanannya yang mengerti bagaimana memainkan alat musik
sehingga menghasilkan suara yang merdu, Sona menjalani hidup kebhiksuannya
dengan bercermin dari bakatnya sebagai seniman musik. Ia merubah cara
berlatihnya, tidak lagi terlalu keras, namun juga tidak kendor atau seperti
sekarang yang sering anak muda jalani S3 : Santai (tidak ekstrim keras namun
tetap berjalan menuju tujuan), Serius (tidak ekstrim kendor dan melepas tujuan)
dan Sukses (berkat Jalan Tengah).
Sebagai
seniman yang hidupnya rileks, meditasi yang dilatihpun berjalan secara rileks
tanpa lagi disertai ambisi yang menggebu-gebu sampai terjatuh dalam kutub
pelatihan ekstrim. Kini kebhiksuannya dijalaninya dengan berpegang pada bakat
kesenimanannya, dan segala dijalaninya dengan rileks dan menghasilkan
keindahan.
Tak
ada lagi ambisi kebahagiaan yang harus diburu dengan keras, karena segalanya
memang harus dilepaskan. Semua dilakoninya secara wajar dan cara berlatih pun
jadi tepat berada di Jalan Tengah. Dan akhirnya, dalam waktu yang singkat
Bhiksu seniman ini pun mencapai tingkat kesucian dan pencerahan. (Jp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar