[Mencapai Pencerahan Sebagai Seniman Akrobat]
Apakah bisa seorang seniman
akrobat yang kerap kali memukai penonton oleh aksi-aksinya yang membahayakan
dan juga mendapatkan tepuk tangan penonton dapat memperoleh pencerahan? Tentu
saja bisa, karena pada hakekatnya seorang yang telah mencapai pencerahan batin
adalah seorang yang telah bebas dari ikatan keakuan, kemelekatan terhadap ego,
seperti ikatan polularitas tepuk tangan penonton yang menjadikan dirinya pusat
perhatian penonton, maupun rasa takut, termasuk rasa takut akan keselamatan
dirinya ketika melakukan akrobatik.
Popularitas, tepuk tangan
yang mengikat ego dan ketakutan ataupun kekhawatiran ataupun kekawatiran akan
diri sendiri merupakan hambatan atau belenggu dalam pencapaian tingkat kesucian
tertinggi sebagai Arahat atau pencerahan batin yang sadar akan fenomena
kekosongan tiadanya aku. Seperti yang seringkali diperlihatkan oleh Hyang
Buddha, bahwa pencapaian pencerahan itu dapat terjadi di dalam segala aspek kehidupan
atau sesuai dengan latar belakang dan kondisi dari orang yang bersangkutan,
maka pencerahan itu pun bisa terjadi pada profesi seniman ketangkasan seperti
pemain akrobatik.
Profesi sebagai seniman dan
pemain akrobat itu bisa juga sebagai lahan subur bagi munculnya pencerahan
kekosongan, pemahaman ketiadaan diri atau kesadaran tanpa aku. Begitulah
kiranya yang terjadi pada Uggasena, salah seorang siswa Hyang Buddha yang
berprofesi sebagai pemain akrobatik yang mencapai pencerahannya justru ketika
sedang berakrobatik dan menjalani profesinya sebagai seniman yang popular.
Tetapi,dalam hidup Uggasena
sebagai seniman popular dan pemain akrobatik yang akhirnya mencapai pencerahan
ketika berakrobatik itu juga memiliki latar belakang yang berliku-liku. Kisah
kehidupan Uggasema, yang pernah berkecupan sebagai anak dari seorang hartawan
besar, jatuh cinta pada penari dan dilecehkan sang istri sehingga bertemu Hyang
Buddha ini sungguh meliuk-liuk jungkir balik bagai gerakan-gerakan akrobatik
yang dilakukannya.
Jatuh Cinta Kepada Penari
Kisahnya dimulai, ketika
sebuah rombongan pemain drama keliling yang terdiri dari lima ratus penari dan
beberapa pemain akrobat datang berkunjung ke Rajagaha. Di ibukota kerajaan
Magadha ini, mereka mengadakan pertunjukkan di dalam lingkungan istana Raja
Bimbisara selama tujuh hari. Dalam pertunjukkan itu, salah seorang penari muda
yang merupakan putri dari seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas
sebuah galah bambu panjang.
Saat itu, Uggasena, putra
yang masih muda dari seorang hartawan yang hadir dan menonton acara yang sangat
menarik itu jatuh cinta dengan sang penari akrobatik itu, Uggasena ingin
menyunting sang penari akrobatik itu, meskipun tidak mendapat persetujuan dari
orang tuanya, semua itu tidak mampu mencegah keinginannya untuk menikahi gadis
tersebut.
Uggasena tetap menikahi
penari muda itu dan mengikuti rombongan kesenian akrobatik itu kemanapun mereka
pergi. Tetapi, apa yang dialami selama mengikuti rombongan sebagai suami sang
penari muda itu, tidaklah sepadan dengan status sosil yang disandang sebelumnya
sebagai putra seorang hartawan, sehingga ia harus menduduki jajaran yang rendah
dalam rombongan itu sebagai pengangkut perlengkapan grup kesenian itu.
Lagi pula Uggasena sendiri
tidak memiliki ketramplan baik sebagai seorang penari maupun pemain akrobatik,
maka jadinya di dalam rombongan itu ia tidak masuk dalam jajaran profesional,
tidak terlalu dibutuhkan dan tidak menjadi pusat perhatian sebagaimana yang
dimiliki artis-artis rombongan itu.
Maka dengan ketrampilan yang
minim itu, apa yang dilakukan Uggasena tidaklah cukup berarti bagi grup
kesenian itu. Ia hanya ditugaskan menjadi pembantu yang mengangkut kotak-kotak
perlengkapan kesenian maupun mengemudikan kereta dan pekerjaan kasar lainnya ketika
rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Menjadi Seniman Akrobat
Kehidupan sebagai suami yang
beristrikan seorang artis dan mengikuti ke mana rombongan kesenian itu pergi
terus berlangsung bertahun-tahun, hingga pada suatu saat pasangan itu
dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu pun tumbuh besar dalam
asuhan kedua orang tuannya, terutama perhatian dari ibunya.
Kepada anak laki-lakinya itu,
sang penari sering menyanyikan sebuah lagu yang nadanya sangat menyesalkan kebodohan
suaminya, ayah anak tersebut. Lagi itu berbunyi: "O kamu, putera seorang
lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan
buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat
melakukan apapun!?
Uggasena juga kerap mendengar
lagu itu. Ia pun mengetahui bahwa lagu itu dinyanyikan istrinya dan dimaksudkan
juga untuk menunjukkan kepadanya dan melecehkan dirinya. Karena kerap mendengar
lagu yang dinyanyikan istrinya untuk menyindir dan melecehkan dirinya itu,
Uggasena menjadi sangat terluka dan tertekan.
Maka, agar tidak selalu
direndahkan oleh istrinya, Uggasena pun jadi ingin meningkatkan dirinya. Ia
kemudian pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar
diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain
akrobat yang trampil.
Kini Uggasena, mantan anak
hartawan yang menikahi penari rombongan kesenian itu telah menjadi artis,
sebagai pemain akrobatik. Ia pun tidak lagi dipandang dengan sebelah mata oleh
istrinya, anaknya, mertuanya maupun pemain-pemain lainnya yang tergabung dalam
rombongan itu. Ternyata, Uggasena juga cerdas dan tangkas sebagai pemain
akrobatik, sehingga rasa harga dirinya pun terungkap karena ia pun kini dapat
menikmati tepuk sorak penonton yang ditujukan kepadanya, dapat menjadikan
dirinya sebagai pusat perhatian.
Suatu ketika, rombongan
Uggasena berkunjung ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan
memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Dan ketika hari ketujuh
itu tiba, dengan menggunakan sebatang galah yang panjang Uggasena melakukan
akrobatik di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia
berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu.
Pencerahan Di Atas Galah
Saat Uggasena melakukan akrobatiknya
itu, dari jauh melalui pandangan mata batinNya Hyang Buddha melihat Uggasena,
dan dalam batinnya, Beliau mengetahui bahwa Uggasena memiliki potensi yang
besar untuk segera mencapai pencerahan. Dalam pandangan Hyang Buddha, batin
Uggasena telah masak dan telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai
tingkat kesucian arahat dan mencapai penerangan Bodhi.
Kemudian Hyang Buddha
memasuki kota Rajagaha, dan melakukan upaya agar orang-orang (penonton)
mengalihkan perhatiannya kepada Beliau dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena
yang telah melakukan beberapa akrobatik itu. Mengalami bahwa ia ternyata tidak
diperhatikan penontonnya yang beralih memperhatikan Hyang Buddha, maka ketika
Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan itu ia hanya
duduk di atas galah dengan perasaan yang sangat tidak puas dan tertekan.
Hyang Buddha yang telah
memberi pelajaran itu mengetahui keadaan batin Uggasena. Hyang Buddha lalu
datang menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan
semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (skandha), dan berjuang
untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir.?
Hyang Buddha telah memberi
pelajaran bahwa popularitas yang selama ini diperolehnya dari penontonnya itu
bisa saja suatu saat lenyap, dan dirinya tidak diperhatikan lagi. Lalu, apakah
sesungguhnya diri atau aku ini? Melalui sikapnya itu, Hyang Buddha memberi
pelajaran mengenai terputusnya kemelekatan terhadap aku, yang pada umumnya
sering membuat artis, seniman yang popular kerap menerima tepukan tangan dan
menjadi pusat perhatian penonton itu menjadi terlena atau terikat.
Kemudian Hyang Buddha
membabarkan syair 348 Dharmapada yang
berbunyi: "Tinggalkan apa yang
telah lalu, yang akan datang maupun yang sekarang dan capailah pantai seberang
Nirvana. Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak
akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.?
Pada saat khotbah Dharma itu
berakhir, dan dengan kondisi batin yang sebenarnya juga telah masak, Uggasena
yang masih saja berada di atas galah akhirnya memahami sesungguhnya mengenai
ketidakmelekatan terhadap aku itu, dan ia pun akhirnya mencapai tingkat
kesucian arahat. Uggasena kemudian turun dan memohon kepada Hyang Buddha untuk
masuk dalam persamuan sangha.
Suatu hari, ketika para
bhiksu yang lain menanyakan padanya apakah ia tidak mempunya segala macam
perasaan takut ketika sedang turun dari tempat yang amat tinggi (sekitar
sembilan puluh kaki). Uggasena menjawab dengan tegas tidak.
Mendengar jawaban ini, para
bhiksu yang belum tahu bahwa Uggasena telah mencapai tingkat Arahat menanggapi
dan mengartikannya bahwa hal itu sebagai cara Uggasena untuk menyatakan dirinya
telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Para Bhiksu tidak yakin bahwa Uggasena
telah mencapai Arahat dan menganggap Uggasena melakukan kebohongan, dan
melaporkan kepada Hyang Buddha bahwa Uggasena telah berbohong.
Para bhiksu tersebut menemui
Hyang Buddha dan berkata, "Bhante! Uggasena menyatakan diri sebagai
seorang arahat; dia pasti mengatakan suatu kebohongan.? Kepada mereka, Hyang
Buddha menjawab, "Para bhiksu seseorang yagn telah memotong semua
belenggu, seperti murid-Ku Uggasena, tidak lagi memiliki ketakutan.?
Uggasena dengan profesinya
sebagai pemain akrobat telah mencapai pencerahan. Ia telah mematahkan segala
belenggu dan ikatan rasa keakuan yang terbentuk karena popularitas maupun rasa
takut akan keselamatan jiwanya, kepentingan akunya ketika sedang berakrobatik.
Untuk itu, Hyang Buddha
membabarkan syair Dharmapada 397 yang berbunyi:
"Ia telah memotong semua belenggu, tidak lagi gemetar,
yang
bebas dan telah mematahkan semua ikatan,
maka ia Kusebut seorang brahmana?.
(Jo Priastana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar