Senin, 23 Juli 2012

UGGASENA



[Mencapai Pencerahan Sebagai Seniman Akrobat]


Apakah bisa seorang seniman akrobat yang kerap kali memukai penonton oleh aksi-aksinya yang membahayakan dan juga mendapatkan tepuk tangan penonton dapat memperoleh pencerahan? Tentu saja bisa, karena pada hakekatnya seorang yang telah mencapai pencerahan batin adalah seorang yang telah bebas dari ikatan keakuan, kemelekatan terhadap ego, seperti ikatan polularitas tepuk tangan penonton yang menjadikan dirinya pusat perhatian penonton, maupun rasa takut, termasuk rasa takut akan keselamatan dirinya ketika melakukan akrobatik.

Popularitas, tepuk tangan yang mengikat ego dan ketakutan ataupun kekhawatiran ataupun kekawatiran akan diri sendiri merupakan hambatan atau belenggu dalam pencapaian tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat atau pencerahan batin yang sadar akan fenomena kekosongan tiadanya aku. Seperti yang seringkali diperlihatkan oleh Hyang Buddha, bahwa pencapaian pencerahan itu dapat terjadi di dalam segala aspek kehidupan atau sesuai dengan latar belakang dan kondisi dari orang yang bersangkutan, maka pencerahan itu pun bisa terjadi pada profesi seniman ketangkasan seperti pemain akrobatik.

Profesi sebagai seniman dan pemain akrobat itu bisa juga sebagai lahan subur bagi munculnya pencerahan kekosongan, pemahaman ketiadaan diri atau kesadaran tanpa aku. Begitulah kiranya yang terjadi pada Uggasena, salah seorang siswa Hyang Buddha yang berprofesi sebagai pemain akrobatik yang mencapai pencerahannya justru ketika sedang berakrobatik dan menjalani profesinya sebagai seniman yang popular.

Tetapi,dalam hidup Uggasena sebagai seniman popular dan pemain akrobatik yang akhirnya mencapai pencerahan ketika berakrobatik itu juga memiliki latar belakang yang berliku-liku. Kisah kehidupan Uggasema, yang pernah berkecupan sebagai anak dari seorang hartawan besar, jatuh cinta pada penari dan dilecehkan sang istri sehingga bertemu Hyang Buddha ini sungguh meliuk-liuk jungkir balik bagai gerakan-gerakan akrobatik yang dilakukannya.

Jatuh Cinta Kepada Penari

Kisahnya dimulai, ketika sebuah rombongan pemain drama keliling yang terdiri dari lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang berkunjung ke Rajagaha. Di ibukota kerajaan Magadha ini, mereka mengadakan pertunjukkan di dalam lingkungan istana Raja Bimbisara selama tujuh hari. Dalam pertunjukkan itu, salah seorang penari muda yang merupakan putri dari seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu panjang.

Saat itu, Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan yang hadir dan menonton acara yang sangat menarik itu jatuh cinta dengan sang penari akrobatik itu, Uggasena ingin menyunting sang penari akrobatik itu, meskipun tidak mendapat persetujuan dari orang tuanya, semua itu tidak mampu mencegah keinginannya untuk menikahi gadis tersebut.

Uggasena tetap menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan kesenian akrobatik itu kemanapun mereka pergi. Tetapi, apa yang dialami selama mengikuti rombongan sebagai suami sang penari muda itu, tidaklah sepadan dengan status sosil yang disandang sebelumnya sebagai putra seorang hartawan, sehingga ia harus menduduki jajaran yang rendah dalam rombongan itu sebagai pengangkut perlengkapan grup kesenian itu.

Lagi pula Uggasena sendiri tidak memiliki ketramplan baik sebagai seorang penari maupun pemain akrobatik, maka jadinya di dalam rombongan itu ia tidak masuk dalam jajaran profesional, tidak terlalu dibutuhkan dan tidak menjadi pusat perhatian sebagaimana yang dimiliki artis-artis rombongan itu.

Maka dengan ketrampilan yang minim itu, apa yang dilakukan Uggasena tidaklah cukup berarti bagi grup kesenian itu. Ia hanya ditugaskan menjadi pembantu yang mengangkut kotak-kotak perlengkapan kesenian maupun mengemudikan kereta dan pekerjaan kasar lainnya ketika rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Menjadi Seniman Akrobat

Kehidupan sebagai suami yang beristrikan seorang artis dan mengikuti ke mana rombongan kesenian itu pergi terus berlangsung bertahun-tahun, hingga pada suatu saat pasangan itu dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu pun tumbuh besar dalam asuhan kedua orang tuannya, terutama perhatian dari ibunya.

Kepada anak laki-lakinya itu, sang penari sering menyanyikan sebuah lagu yang nadanya sangat menyesalkan kebodohan suaminya, ayah anak tersebut. Lagi itu berbunyi: "O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!?

Uggasena juga kerap mendengar lagu itu. Ia pun mengetahui bahwa lagu itu dinyanyikan istrinya dan dimaksudkan juga untuk menunjukkan kepadanya dan melecehkan dirinya. Karena kerap mendengar lagu yang dinyanyikan istrinya untuk menyindir dan melecehkan dirinya itu, Uggasena menjadi sangat terluka dan tertekan.

Maka, agar tidak selalu direndahkan oleh istrinya, Uggasena pun jadi ingin meningkatkan dirinya. Ia kemudian pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.

Kini Uggasena, mantan anak hartawan yang menikahi penari rombongan kesenian itu telah menjadi artis, sebagai pemain akrobatik. Ia pun tidak lagi dipandang dengan sebelah mata oleh istrinya, anaknya, mertuanya maupun pemain-pemain lainnya yang tergabung dalam rombongan itu. Ternyata, Uggasena juga cerdas dan tangkas sebagai pemain akrobatik, sehingga rasa harga dirinya pun terungkap karena ia pun kini dapat menikmati tepuk sorak penonton yang ditujukan kepadanya, dapat menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

Suatu ketika, rombongan Uggasena berkunjung ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Dan ketika hari ketujuh itu tiba, dengan menggunakan sebatang galah yang panjang Uggasena melakukan akrobatik di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu.

Pencerahan Di Atas Galah

Saat Uggasena melakukan akrobatiknya itu, dari jauh melalui pandangan mata batinNya Hyang Buddha melihat Uggasena, dan dalam batinnya, Beliau mengetahui bahwa Uggasena memiliki potensi yang besar untuk segera mencapai pencerahan. Dalam pandangan Hyang Buddha, batin Uggasena telah masak dan telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat dan mencapai penerangan Bodhi.

Kemudian Hyang Buddha memasuki kota Rajagaha, dan melakukan upaya agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena yang telah melakukan beberapa akrobatik itu. Mengalami bahwa ia ternyata tidak diperhatikan penontonnya yang beralih memperhatikan Hyang Buddha, maka ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan itu ia hanya duduk di atas galah dengan perasaan yang sangat tidak puas dan tertekan.

Hyang Buddha yang telah memberi pelajaran itu mengetahui keadaan batin Uggasena. Hyang Buddha lalu datang menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (skandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir.?

Hyang Buddha telah memberi pelajaran bahwa popularitas yang selama ini diperolehnya dari penontonnya itu bisa saja suatu saat lenyap, dan dirinya tidak diperhatikan lagi. Lalu, apakah sesungguhnya diri atau aku ini? Melalui sikapnya itu, Hyang Buddha memberi pelajaran mengenai terputusnya kemelekatan terhadap aku, yang pada umumnya sering membuat artis, seniman yang popular kerap menerima tepukan tangan dan menjadi pusat perhatian penonton itu menjadi terlena atau terikat.

Kemudian Hyang Buddha membabarkan syair  348 Dharmapada yang berbunyi: "Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun yang sekarang dan capailah pantai seberang Nirvana. Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.?

Pada saat khotbah Dharma itu berakhir, dan dengan kondisi batin yang sebenarnya juga telah masak, Uggasena yang masih saja berada di atas galah akhirnya memahami sesungguhnya mengenai ketidakmelekatan terhadap aku itu, dan ia pun akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat. Uggasena kemudian turun dan memohon kepada Hyang Buddha untuk masuk dalam persamuan sangha.

Suatu hari, ketika para bhiksu yang lain menanyakan padanya apakah ia tidak mempunya segala macam perasaan takut ketika sedang turun dari tempat yang amat tinggi (sekitar sembilan puluh kaki). Uggasena menjawab dengan tegas tidak.

Mendengar jawaban ini, para bhiksu yang belum tahu bahwa Uggasena telah mencapai tingkat Arahat menanggapi dan mengartikannya bahwa hal itu sebagai cara Uggasena untuk menyatakan dirinya telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Para Bhiksu tidak yakin bahwa Uggasena telah mencapai Arahat dan menganggap Uggasena melakukan kebohongan, dan melaporkan kepada Hyang Buddha bahwa Uggasena telah berbohong.

Para bhiksu tersebut menemui Hyang Buddha dan berkata, "Bhante! Uggasena menyatakan diri sebagai seorang arahat; dia pasti mengatakan suatu kebohongan.? Kepada mereka, Hyang Buddha menjawab, "Para bhiksu seseorang yagn telah memotong semua belenggu, seperti murid-Ku Uggasena, tidak lagi memiliki ketakutan.?

Uggasena dengan profesinya sebagai pemain akrobat telah mencapai pencerahan. Ia telah mematahkan segala belenggu dan ikatan rasa keakuan yang terbentuk karena popularitas maupun rasa takut akan keselamatan jiwanya, kepentingan akunya ketika sedang berakrobatik.

Untuk itu, Hyang Buddha membabarkan syair Dharmapada 397 yang berbunyi:
"Ia telah memotong semua belenggu, tidak lagi gemetar, 
yang bebas dan telah mematahkan semua ikatan, 
maka ia Kusebut seorang brahmana?.

(Jo Priastana)

Tidak ada komentar: