oleh:
Bhikkhu Sri Paññavaro
Sekarang kita telah memasuki bulan
Februari, yang di dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan bulan Magha. Pada
saat bulan purnama sempurna di bulan Februari umat Buddha memperingati hari
suci Magha.
Hari suci Magha merupakan hari yang
sangat bersejarah, hari keramat bagi umat Buddha. Bersejarah, keramat, dan
istimewa; karena hari suci ini ditandai dengan empat tanda istimewa, yaitu:
1.
Pada saat bulan purnama sempurna di bulan magha atau bulan Februari, 1250
bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat kesucian sempurna atau Arahat,
datang bertemu di Veluvana Arama di kota Rajagaha.
2.
Keseribu dua ratus lima puluh bhikkhu yang kesemuanya telah mencapai Arahat
tersebut, datang dari tempat yang berlain-lainan berkumpul ke Veluvana Arama di
kota Rajagaha untuk menjumpai Sang Buddha, tanpa janji, tanpa musyawarah, tanpa
persetujuan sebelumnya. Mereka datang serempak pada hari dan di tempat yang
sama dengan spontan.
3.
Seribu dua ratus lima puluh bhikkhu tersebut, kesemuanya, pada waktu
ditahbiskan sebagai bhikkhu, ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha sendiri.
Karena itu kesemuanya dikenal dengan sebutan Ehi Bhikkhu Upasampada, yang
artinya: para bhikkhu yang ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha sendiri.
4.
Pada kesempatan yang keramat dan istimewa ini, Sang Buddha membabarkan khotbah
Tiga Bait yang merupakan inti dari Dhamma. Sari dari ajaran Beliau. Khotbah
tiga bait ini terkenal sekali dengan sebutan Ovada patimokkha, Anjuran
Penghayatan Dhamma. Apakah isinya? Pada kesempatan ini marilah kita ulangi dan
kita renungkan bersama isi dan makna dari khotbah tiga bait tersebut.
Demikianlah yang Sang Buddha babarkan:
"Kesabaran
adalah cara membina diri yang paling baik,
Buddha
menyatakan, Nibbana —Kebebasan —adalah yang tinggi,
Bukanlah
seorang petapa,
bukanlah
seorang yang telah meninggalkan hidup keduniawian.
Bila mereka menyakiti atau menindas orang
lain,
Menghindari
semua perbuatan jahat,
Menambah
kebaikan,
Membersihkan
pikiran sendiri,
Inilah
ajaran semua Buddha.
Tidak berbicara jahat, tidak menyakiti,
Mengendalikan
diri sesuai dengan penghayatan Dhamma,
Makan
sesuai dengan kebutuhan,
Tinggal
di tempat yang tepat,
Berusaha
meluhurkan pikiran,
Inilah
ajaran semua Buddha".
"Menghindari semua perbuatan
jahat, menambah kebaikan, membersihkan pikiran sendiri, inilah ajaran semua
Buddha". Bait ini sungguh tersusun dari kalimat-kalimat yang sederhana.
Namun, kalau kita mau merenungkan dalam-dalam, sesungguhnya kalimat-kalimat
sederhana tersebut adalah jantung dari kemanusiaan. Jantung dan tuntutan setiap
umat manusia di muka bumi ini. "Menghindari semua perbuatan jahat,
menambah kebaikan; dan membersihkan pikiran sendiri".
"Tidak berbuat jahat" adalah
tuntutan semua ajaran agama. "Tidak berbuat jahat" adalah suara hati
sanubari manusia yang paling murni dan paling dalam. Kejahatan adalah pembawa
penderitaan bagi makhluk lain, bahkan penyebab utama bencana bagi dunia ini.
Dan lebih dari pada itu, kejahatan adalah perusak kehidupan kita sendiri.
Karena itu, janganlah kita berbuat jahat. "Jangan berbuat jahat"
adalah permintaan kita kepada diri kita sendiri. Juga permintaan kita kepada
setiap umat manusia. Kejahatan tidak pernah disetujui oleh hati nurani umat
manusia. Kejahatan tidak pernah disetujui oleh hati nurani umat manusia.
Kejahatan tidak pernah mendapat kompromi dari semua ajaran agama.
Pada waktu Sang Buddha ditanya oleh
Yakkha Alavaka, tentang apakah yang harus dibunuh; maka jawab Sang Buddha
dengan tegas, "Kejahatan yang harus dibunuh!" Dan yang paling utama,
kejahatan dalam diri kita sendirilah yang harus kita bunuh.
"Tambahlah kebaikan", adalah
tuntutan kuat bagi setiap umat manusia. Tuntutan dari semua ajaran agama. Dalam
kehidupan ini berusahalah kita berbuat baik. Sekali lagi, berbuat baik. Berbuat
baik dengan hati yang tulus. Berbuat baik hanya dengan tujuan, supaya orang
lain mendapat kebaikan, dan kebaikan dalam diri kita sendiri menjadi bertambah.
Karena kita sadar sesadar-sadarnya, bahwa hanya kebaikanlah yang akan
membuat
kita bahagia. Yang akan membuat kita mampu bertahan menghadapi segala macam
problem dan ketegangan dalam kehidupan ini.
Bahkan, bukan kekerasan, bukan pula
kekuasaan, bukan peperangan, bukan materi; tetapi hanyalah kebaikan, kebaikan
yang tulus, yang akan menciptakan perdamaian di bumi ini di manapun juga.
Janganlah kita berbuat baik dengan pamrih yang lain, misalnya: pamrih materi,
pamrih kedudukan, pamrih nama, pamrih itu dan ini, dan bermacam-macam pamrih
rendah lainnya. Meskipun susah, berusahalah semampu mungkin menolong mereka
yang membutuhkan pertolongan, mereka yang sedang menderita. Berusahalah
menghibur mereka yang sedang sedih, bantulah mereka; dengan niat berbuat baik
yang murni, tanpa embel-embel. Kebaikan inilah modal terbesar bagi kita untuk
mencapai semua cita-cita luhur kita. Tanpa kebaikan, kehidupan kita akan cepat
hancur.
Kalau kita berusaha berbuat baik
dengan setulus-tulusnya, maka kita pasti, merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan
sejati, yang lain daripada kebahagiaan-kebahagiaan lainnya.
Memang, dalam dunia ini, dalam
kacamata materi, kebaikan itu kelihatan lemah. Kebaikan itu berbeda jauh dengan
kekuasaan, dengan kegaiban, kekayaan, dan benda-benda dunia lainnya. Namun
kebaikan mampu mengatasi segala-galanya. Meskipun kita, mungkin, pada suatu
ketika terkena salah pengertian, ataupun fitnah, atau perbuatan-perbuatan jahat
lainnya, hendaknya kita tetap teguh dalam niat baik kita yang tulus. Niat baik
inilah yang akan mengangkat kehidupan kita dari semuanya itu.
Memang susah untuk membuktikan secara
teori, bahwa kebaikan yang kelihatan lemah mampu mengatasi kekerasan dan
kejahatan. Tetapi kebenaran ini akan membuktikannya. Alangkah menyedihkan, bila
di dunia ini sebagian besar umat manusia sudah tidak mempunyai keyakinan lagi
terhadap kebaikan yang tulus dan murni. Alangkah menyedihkan, bila di dunia ini
banyak di antara kita yang berbuat baik, tetapi baik hanya tampak luarnya saja,
sedangkan di balik itu bersembunyi pamrih, pamrih nama. pamrih kedudukan,
kemenangan, materi, dan seribu satu macam yang lain. Bila demikian, maka dunia
kita ini akan dilanda krisis kebaikan.
Di antara semuanya, kebaikanlah yang
paling unggul. Di antara senjata, kebaikan senjata yang paling tajam. Di antara
kekuatan, kebaikan kekuatan yang paling hebat. Di antara segala ilmu gaib,
kebaikan adalah kesaktian yang paling ampuh. Di antara semua materi, kebaikan adalah
kekayaan yang paling luhur. Di semesta alam ini, tidak ada yang bisa
menaklukkan kebaikan. Meskipun dewa Brahma turun ke bumi, kebaikan tetap di
atas segala-galanya.
Seorang umat Buddha hendaknya selalu
hidup dengan tenang menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari. Apapun
bentuknya. Karena seorang umat Buddha, demikian juga kita semua, hendaknya
selalu mempunyai keyakinan yang teguh kuat terhadap kebaikan. Kebaikan yang
tulus dan murni. Seandainya, kita sudah di ujung maut; kalau kita masih mempunyai
karma-karma baik, karma baik itulah yang akan menyelamatkan kita. Berbahagialah
saudara yang tetap teguh di dalam kebaikan.
Akhirnya, pada khotbah keramat dalam
bait kedua tersebut Sang Buddha mengatakan, "Bersihkan pikiran
sendiri". Tidak berbuat jahat, dan selalu menambah kebaikan dengan niat
yang tulus, adalah pangkal kebersihan pikiran. Pikiran ini harus kita bersihkan
sendiri. Karena tidak seorang pun, sekalipun dewa, bisa membuat pikiran kita
menjadi bersih. Dengan pikiran yang bersih kita akan bertahan dalam kehidupan
ini. Breseri-seri di mana pun juga. Batin kita tenang dan cemerlang.
Inilah tiga kalimat sederhana yang
keramat dan suci, yang menjadi tuntutan suci sanubari setiap umat manusia.
Jantung kemanusiaan, dan jalan kebahagiaan. "Menghindari semua perbuatan
jahat, menambah kebaikan, membersihkan pikiran sendiri".***
Sumber : Kumpulan "Dhammadesana",
Sri Paññavaro Thera Jilid 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar