INGATAN
1. “Dalam berapa cara, Nagasena, ingatan muncul?”
“Tujuh belas cara,1 O baginda, yaitu:
Karena pengalaman pribadi, seperti misalnya ketika Yang Ariya Ananda dapat mengingat kembali kehidupan-kehidupan beliau yang lampau (tanpa perkembangan khusus);
Karena bantuan dari luar, seperti misalnya ketika seseorang mengingatkan temannya yang pelupa;
Karena keagungan suatu peristiwa, seperti misalnya ketika seorang raja mengingat pentahbisannya atau ketika seseorang mengingat saat ia mencapai tingkat Pemenang-Arus;
Karena kesan yang membawa manfaat, seperti misalnya ketika seseorang mengingat hal-hal yang menyenangkan hatinya;
Karena kesan yang merugikan, seperti misalnya ketika seseorang mengingat hal-hal yang menyakitkan;
Karena kemiripan penampilan, seperti misalnya ketika seseorang mengingat ibunya, ayahnya, atau saudaranya setelah melihat orang yang mirip mereka;
Karena ketidakmiripan, seperti misalnya ketika orang mengingat seseorang setelah melihat orang yang sama sekali berbeda dengan orang itu;
Lewat pengetahuan bahasa, seperti misalnya ketika seseorang diingatkan temannya;
Lewat tanda, seperti misalnya ketika seseorang mengenali kereta setelah melihat merknya;
Lewat usaha untuk mengingat, seperti misalnya ketika seseorang berulang-ulang didesak;
Lewat pengetahuan mengeja, seperti misalnya ketika seseorang yang bisa membaca mengingat bahwa huruf ini mengikuti huruf itu;
Lewat ilmu hitung, seperti misalnya ketika akuntan bekerja dengan pengetahuannya tentang angka;
Lewat hafalan, seperti misalnya ketika penghafal kitab suci mengulang di luar kepala;
Lewat meditasi, seperti misalnya ketika bhikkhu mengingat kehidupannya yang lalu;
Lewat referensi buku, seperti misalnya ketika raja mengingat kembali peraturan yang telah dibuat sebelumnya dengan referensi sebuah buku;
Lewat sumpah, seperti misalnya ketika seseorang mengingat -setelah melihat barang-barang yang tersimpan- keadaan ketika disumpah; atau
Lewat hubungan, seperti misalnya ketika seseorang melihat atau mendengar sesuatu kemudian dia teringat akan hal lain yang berhubungan dengannya.”
2. “Anda katakan bahwa seseorang yang telah menjalani kehidupan jahat selama seratus tahun, dapat dilahirkan di alam dewa -dengan cara memikirkan Sang Buddha pada saat kematiannya; dan bahwa seseorang yang baik dapat dilahirkan di neraka -karena satu tindakan jahat. Dua hal ini aku tidak percaya.”
“Bagaimana pendapat baginda, dapatkah batu kerikil kecil terapung di air tanpa perahu?”
“Tidak.”
“Tetapi bahkan batu sekereta penuh pun dapat terapung bila ditaruh di dalam perahu. Demikian juga baginda harus memikirkan perbuatan baik bagaikan perahu.”
3. “Apakah kalian, para bhikkhu, berjuang untuk menghapus penderitaan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang?”
“Tidak. Kami berjuang agar penderitaan ini berakhir dan tidak ada penderitaan lain yang muncul.”
“Tetapi, Nagasena, apakah di masa sekarang ini terdapat penderitaan di masa mendatang ?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, para bhikkhu luar biasa pandai bila mampu berjuang untuk menghapusnya !”
“Apakah musuh baginda pernah bergolak untuk menentang baginda?”
“Ya.”
“Apakah hanya ketika mereka bergolak saja maka baginda bersiap-siap untuk berperang?”
“Tidak sama sekali. Semua telah dilakukan sebelumnya untuk menangkal bahaya yang mungkin terjadi di masa mendatang.”
“Tetapi, O baginda, apakah pada masa sekarang ini terdapat bahaya di masa mendatang?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, baginda luar biasa pandai bila mampu berjuang untuk menghapusnya!”
“Jawaban yang baik, Nagasena. Anda pandai menjawab.”
4. “Seberapa jauhkah alam Brahma itu?”
“Sangat jauh, O baginda; dari alam Brahma sebongkah batu besar membutuhkan waktu empat bulan untuk mencapai bumi meskipun batu itu jatuh 48.000 league (1 league =sekitar7 mil) setiap hari.”
“Tetapi bagaimanakah seorang bhikkhu dapat begitu cepat pergi ke sana dengan kekuatan supra-normalnya?”
“Di manakah baginda dilahirkan?”
“Ada sebuah pulau bernama Alasanda; aku dilahirkan di sana.”
“Berapa jauhnya dari sini?”
“Sekitar 200 league.”
“Dapatkah baginda mengingat apa pun yang telah baginda lakukan di sana?”
“Ya”
“Begitu cepatnya baginda menempuh 200 league. Sama seperti itulah seorang bhikkhu dapat segera mencapai alam Brahma dengan kekuatan supra-normalnya.”
5. “Jika seseorang meninggal dunia dan kemudian terlahir di alam Brahma, sementara pada saat yang sama ada orang lain yang meninggal dunia dan kemudian terlahir di Kashmir, siapakah yang akan sampai terlebih dahulu?”
“Berapa jauhkah kota kelahiran baginda dari sini?”
“200 league.”
“Dan berapa jauhkah Kashmir?”
“12 league.”
“Yang manakah di antaranya yang lebih cepat baginda ingat?”
“Keduanya sama, Yang Mulia.”
“Demikian juga, O baginda, orang-orang yang meninggal pada saat yang sama itu akan terlahir pada saat yang sama pula.”
6. “Ada berapakah faktor Pencerahan Spiritual itu?”
“Tujuh, O baginda.”
“Berapa banyak faktor yang membuat orang terbangkitkan kesadarannya akan kebenaran?”
“Satu, yaitu penyelidikan akan kebenaran, karena tidak ada apa pun yang dapat dimengerti tanpa adanya hal itu.”
“Kalau demikian mengapa dikatakan ada tujuh?”
“Dapatkah pedang baginda yang ada di dalam sarungnya memotong apa pun jika tidak digenggam oleh tangan?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Demikian juga, O baginda, tanpa ada faktor-faktor Pencerahan lainnya, penyelidikan akan kebenaran tidak dapat membangkitkan kesadaran akan kebenaran.”
7. “Manakah yang lebih hebat, perbuatan bajik ataukah perbuatan tercela?”
“Perbuatan bajik, O baginda. Bila seseorang melakukan kesalahan namun kemudian merasa menyesal dan menyadari kesalahannya, maka perbuatan tercelanya tidak akan bertambah. Tetapi seseorang yang melakukan perbuatan bajik tidak akan merasakan penyesalan; maka timbullah kegembiraan serta suka cita. Karena gembira dia akan merasa tenang, karena tenang dia akan merasa puas, karena puas lalu pikirannya mudah terkonsentrasi, karena terkonsentrasi dia dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan demikian jasa kebajikannya akan bertambah. Jadi perbuatan bajik selalu lebih hebat. Secara relatif, perbuatan tercela tidak bermakna.”
8. “Mana yang lebih jelek, perbuatan tercela yang disadari ataukah yang tidak disadari?”
“Perbuatan tercela yang tidak disadari, baginda.”2
“Kalau begitu, orang-orang yang melakukan perbuatan tercela tanpa menyadarinya harus dihukum dua kali lebih berat.”
“Bagaimana menurut baginda, apakah seseorang akan terbakar lebih parah jika dia menggenggam besi yang merah membara tanpa mengetahui bahwa itu panas, dibandingkan dengan orang yang mengetahuinya?”
“Dia akan terbakar lebih parah jika tidak mengetahui bahwa besi itu panas.”
“Demikian juga, O baginda, sama seperti orang yang melakukan perbuatan tercela tanpa menyadarinya.”
9. “Apakah ada orang yang secara fisik dapat pergi ke alam Brahma?”
“Ada, baginda. Semudah kita melompati jarak yang pendek dengan tekad di pikiran, ‘Saya akan mendarat di sana,’ demikian juga seseorang yang telah mengembangkan jhana dapat pergi ke alam Brahma.”
10. “Adakah tulang yang panjangnya 100 league?”
“Ya, ikan di samudera yang panjangnya 500 league (kira-kira 3500 mil!) memiliki tulang sepanjang itu.” 3
11. “Apakah mungkin pernafasan ditekan?”
“Ya. Sama mungkinnya seperti menghentikan dengkur orang yang pikirannya belum berkembang dengan cara menekuk tubuhnya, demikian pula orang yang pikirannya sudah berkembang baik mungkin saja menekan pernafasannya.”
12. “Mengapa samudera dinamakan demikian?”
“Karena ia adalah campuran yang merata dari air dan garam.” (Sama = rata, Udda = air, Samudda = samudera).
13. “Mengapa seluruh samudera itu hanya mempunyai satu cita rasa?”
“Karena samudera telah ada sejak amat sangat lama.”4
14. “Apakah mungkin untuk memisah-misahkan hal yang sudah sangat halus?”
“Ya, O baginda. Kebijaksanaan mampu memisah-misahkan semua hal yang halus.”
“Apa yang dimaksud dengan semua yang halus?”
“Dhamma5 adalah semua yang halus. Tetapi tidak semua dhamma itu halus, beberapa di antaranya kasar. Namun halus dan kasar itu hanyalah konsep. Apa pun yang masih dapat dibagi pasti dapat dipisah-pisahkan oleh kebijaksanaan. Namun tidak ada yang dapat memisah-misahkan kebijaksanaan.”
15. Ketiga hal ini, Nagasena, yaitu kesadaran (viññana), kebijaksanaan (pañña) dan jiwa (bhutasmim jivo), apakah berbeda pada intinya atau hanya berbeda sebutannya?”
“Mengetahui, O baginda, merupakan ciri kesadaran sedangkan membeda-bedakan6 merupakan ciri kebijaksanaan. Jiwa tidak dapat ditemukan.”
16. Bhikkhu Nagasena berkata, “Sesuatu yang sulit telah dilakukan oleh Sang Buddha; membeda-bedakan semua kondisi mental yang bergantung pada organ indera menunjukkan bahwa ini dan itu adalah kontak, ini adalah perasaan, ini adalah pencerapan, ini adalah niat dan ini adalah pikiran (citta).”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Seandainya saja seseorang meraup air dari laut setelah mencicipinya dapat mengatakan, ‘Air ini dari Sungai Gangga, yang ini dari Jumna, yang ini dari Gandak, ini dari Sarabhu, dan ini dari Mahi.’ Lebih sulit daripada hal itu adalah membedakan semua keadaan mental yang menyertai setiap indera.”
17. Karena telah tengah malam, raja memberikan persembahan kepada Nagasena dan kemudian berkata “Bagaikan seekor singa di kandang emas yang merindukan hanya kebebasan, demikian pula aku merindukan kehidupan sebagai bhikkhu. Tetapi aku tidak akan hidup lama, karena banyak musuhku.”
Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Raja Milinda, Nagasena kemudian bangkit dari tempat duduknya dan kembali menuju petapaannya. Tidak lama setelah Nagasena pergi, Raja Milinda merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban itu dan menyimpulkan, “Semuanya telah aku tanyakan dengan benar dan semuanya telah dijawab dengan baik oleh Nagasena.” Di petapaannya, Nagasena pun merenungkan dan menyimpulkan hal yang sama.
Catatan:
Menurut Rhys Davids dan IB. Horner ada enam belas tetapi edisi Teks Burma menyebut ‘sattarasa‘ (17) sehingga di sini dicantumkan 17 cara.
Semua perbuatan salah berakar dari kebodohan batin dan ketidaktahuan. Maka orang yang melakukan perbuatan salah dengan sadar akan merasa menyesal dan dapat memperbaiki dirinya secara lebih cepat dibandingkan dengan orang yang tidak tahu. (Komentar penerjemah)
Yang tidak tertangkap! Bandingkan dengan A. iv. 200.
Bandingkan: sebagaimana samudera memiliki satu cita rasa, yaitu cita rasa asin; demikian pula Dhamma memiliki satu cita rasa yaitu cita rasa kebebasan [dari penderitaan].
Dhamma di sini merupakan istilah teknis yang berarti fenomena atau keadaan. Di tempat lain Dhamma juga dapat berarti kebenaran, hukum, ajaran.
Termasuk juga ‘memotong’ dan ‘menerangi’ seperti yang telah diberikan di atas.
sumber : www.samaggi-phala.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar