Suffering
Penderitaan
109
There are
two kinds of suffering: the suffering, which leads to more suffering, and the
suffering, which leads to the end of suffering. The first is the pain of
grasping after fleeting pleasures and aversion for the unpleasant, the
continued struggle of most people day after day. The second is the suffering,
which comes when you allow yourself to feel fully the constant change of
experience - pleasure, pain, joy, and anger - without fear or withdrawal. The
suffering of our experience leads to inner fearlessness and peace.
Ada dua macam penderitaan,
penderitaan yang mengarah pada
penderitaan lainnya dan
penderitaan yang mengarah pada akhir
dari penderitaan.
Pertama adalah kesakitan
setelah menikmati kesenangan yang
telah berlalu
dan penolakan pada ketidaksenangan,
perjuangan terus menerus pada
kebanyakan orang dari hari ke hari.
Kedua adalah penderitaan yang datang
ketika Anda membiarkan diri Anda
sendiri untuk
merasakan secara penuh perubahan
terus menerus dari pengalaman
--kesenangan,kesakitan, kebahagiaan,
dan kemarahan
-- tanpa ketakutan atau menarik
kembali.
Penderitaan dari pengalaman kita
menuntun
pada ketidaktakutan dan kedamaian di
dalam diri.
110
We want
to take the easy way, but if there’s no suffering, there’s no wisdom. To be
ripe for wisdom, you must really break down and cry in your practice at least
three times.
Kita ingin mengambil jalan termudah,
tetapi bila tanpa penderitaan, tidak
akan ada kebijaksanaan.
Untuk mematangkan kebijaksanaan,
Anda harus benar-benar hancur dan
menangis dalam latihan, setidaknya
selama tiga kali.
111
We don’t
become monks or nuns to eat well, sleep well, and be very comfortable, but to
know suffering:
1. how to
accept it…
2. how to
get rid of it…
3. how
not to cause it.
So don’t
do that which causes suffering, like indulging in greed, or it will never leave
you.
Kita tidak menjadi bhikkhu atau
bhikkhuni untuk makan enak,
tidur nyenyak, dan menjadi sangat
nyaman;
tetapi untuk mengenal penderitaan :
1- Bagaimana menerimanya ....
2- Bagaimana menyingkirkannya ....
3- Bagaimana mengakhirinya ....
Jadi, jangan lakukan sesuatu yang
dapat menyebabkan penderitaan,
seperti menuruti keserakahan
atau penderitaan tidak akan
meninggalkan Anda.
112
In truth,
happiness is suffering in disguise but in such a subtle form that you don’t see
it. If you cling to happiness, it’s the same as clinging to suffering, but you
don’t realize it. When you hold on to happiness, it is impossible to throw away
the inherent suffering. They’re inseparable like that. Thus the Buddha taught
us to know suffering, see it as the inherent harm in happiness, to see them as
equal. So be careful! When happiness arises, don’t be overjoyed, and don’t get
carried away. When suffering comes, don’t despair, don’t lose yourself in it.
See that they have the same equal value.
Sebenarnya, kebahagiaan adalah
penderitaan dalam penyamaran
namun dalam bentuk halus yang Anda
tidak lihat.
Bila Anda melekat pada kebahagiaan,
sama halnya dengan melekat pada
penderitaan,
tetapi Anda tidak menyadari.
Ketika Anda berpegangan pada kebahagiaan,
tidak mungkin membuang penderitaan
yang melekat.
Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Itulah yang diajarkan Sang Buddha
pada kita untuk mengenal penderitaan,
melihatnya seperti bahaya yang
melekat pada kebahagiaan,
melihat keduanya sepadan. Jadi,
berhati-hatilah!
Ketika kebahagiaan muncul,
jangan terlena dan jangan terbawa
perasaan.
Ketika penderitaan datang,
jangan putus asa, jangan tenggelam
di dalamnya.
Lihat, keduanya memiliki nilai yang
setara.
113
When
suffering arises, understand that there is no one to accept it. If you think
suffering is yours, happiness is yours, you will not be able to find peace.
Ketika penderitaan muncul,
pahamilah bahwa tidak seorangpun
bersedia menerimanya.
Bila Anda beranggapan penderitaan
milik Anda, kebahagiaan milik Anda,
Anda tidak akan mampu menemukan
kedamaian.
114
People
who suffer will accordingly gain wisdom. If we don’t suffer, we don’t
contemplate. If we don’t contemplate, no wisdom is born. Without wisdom, we
don’t know. Not knowing, we can’t get free of suffering - that’s just the way
it is. Therefore we must train and endure in our practice. When we then reflect
on the world, we won’t be afraid like before. It isn’t that the Buddha was
enlightened outside of the world but within the world itself.
Orang yang menderita akan langsung
memperoleh kebijaksanaan.
Bila kita tidak menderita, kita
tidak merenung.
Bila kita tidak merenung, tidak ada
kebijaksanaan yang lahir.
Tanpa kebijaksanaan, kita tidak akan
mengetahui.
Tanpa mengetahui, kita tidak akan dapat bebas
dari penderitaan—
demikianlah seharusnya.
Oleh karena itu kita harus berlatih
dan bertahan dalam latihan kita.
Ketika kita merenungkan dunia,
kita tidak akan takut lagi seperti
sebelumnya.
Sang Buddha bukan mencapai Penerangan di luar dunia,
tetapi di dalam dunia ini.
115
Sensual
indulgence and self-mortification are two paths the Buddha discouraged. This is
just happiness and suffering. We imagine we have freed ourselves from
suffering, but we haven’t. If we just cling to happiness, we will suffer again.
That’s the way it is, people think contrarily.
Mengikuti hawa nafsu dan menyiksa
diri adalah dua hal yang dihindari Sang
Buddha.
Keduanya hanyalah kesenangan dan
penderitaan.
Kita membayangkan diri kita telah
bebas dari penderitaan,tetapi ternyata belum.
Jika kita hanya berpegang teguh pada
kebahagiaan, kita akan menderita lagi.
Itulah yang sebenarnya, tetapi orang
berpikir sebaliknya.
116
People
have suffering in one place, so they go somewhere else. When suffering arises
there, they run off again. They think they’re running away from suffering, but
they’re not. Suffering goes with them. They carry suffering around without knowing
it. If we don’t know suffering, then we can’t know the cause of suffering. If
we don’t know the cause of suffering, then we can’t know the cessation of
suffering. There’s no way we can escape it.
Orang-orang yang menderita di suatu
tempat akan pergi ke tempat lain.
Ketika di tempat tersebut muncul
penderitaan,mereka melarikan diri lagi.
Mereka berpikir bahwa mereka sedang
menghindari penderitaan,
tetapi kenyataannya tidak.
Penderitaan pergi bersamanya.
Mereka selalu membawa penderitaan
tanpa menyadarinya.
Bila kita tidak mengenal
penderitaan,
maka kita tidak dapat mengetahui
penyebab penderitaan.
Bila kita tidak mengetahui penyebab
penderitaan,
lalu kita tidak akan mengenal akhir penderitaan.
Tidak akan ada jalan untuk
menghindarinya.
117
Students
today have much more knowledge than students of previous times. They have all
the things they need; everything is more convenient. But they also have a lot
more suffering and confusion than before. Why is this?
Pelajar masa kini memiliki lebih banyak
pengetahuan dari pelajar sebelumnya.
Mereka telah mendapatkan semua hal
yang dibutuhkan,
segalanya lebih menyenangkan.
Tetapi mereka juga memiliki lebih
banyak penderitaan
dan kebingungan di banding sebelumnya.
Mengapa demikian?
118
Do not be
a bodhisatta; do not be an arahant; do not be anything at all. If you are a
bodhisatta, you will suffer; if you are an arahant, you will suffer; if you are
anything at all, you will suffer.
Jangan menjadi Bodhisatta,
jangan menjadi Arahat, jangan
menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda
akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda
akan menderita.
119
Love and
hate are both suffering because of desire. Wanting is suffering; wanting not to
have is suffering. Even if you get what you want, it’s still suffering because
once you have it, you then live in the fear of losing it. How are you going to
live happily with fear?
Cinta dan benci sama-sama merupakan
penderitaan karena nafsu.
Menginginkan sesuatu merupakan
penderitaan,
menginginkan untuk tidak memiliki
adalah penderitaan
walaupun Anda mendapatkan apa yang
Anda inginkan,
hal itu juga merupakan penderitaan.
Karena sekali Anda mendapatkan,
Anda akan hidup dengan perasaan
takut kehilangan.
Bagaimana Anda dapat hidup bahagia
bersama ketakutan.
120
When
you’re angry, does it feel good or bad? If it feels so bad, then why don’t you
throw it away? Why bother to keep it? How can you say that you are wise and
intelligent if you hold on to such things? Some days the mind can even cause
the whole family to quarrel or cause you to cry all night. And, yet, we still
continue to get angry and suffer. If you see the suffering of anger, then just
throw it away. If you don’t throw it away, it’ll go on causing suffering
indefinitely, with no chance of respite. The world of unsatisfactory existence
is like this. If we know the way it is, we can solve the problem.
Bila Anda
sedang marah, apakah terasa baik atau buruk?
Bila terasa buruk, mengapa tidak
Anda jauhi?
Mengapa terganggu dengan perasaan
itu?
Bagaimana Anda dapat mengatakan
bahwa Anda bijak dan pandai
bila Anda berpegang pada kondisi
seperti itu?
Suatu hari pikiran dapat menyebabkan
seluruh keluarga bertengkar atau
menyebabkan Anda menangis sepanjang
malam.
Dan, lalu , kita tetap terus marah
dan menderita.
Bila Anda melihat penderitaan dari
kemarahan, buanglah.
Bila Anda tidak membuangnya, akan
tetap menyebabkan penderitaan,
tanpa ada kesempatan untuk menghentikan.
Dunia dari kehidupan yang tidak
terpuaskan adalah seperti ini.
Bila kita mengetahui jalannya, maka
kita dapat menyelesaikan masalah.
121
A woman
wanted to know how to deal with anger. I asked her when anger arose whose anger
it was. She said it was hers. Well, if it really was her anger, then she should
be able to tell it to go away, shouldn’t she? But it really isn’t hers to
command. Holding on to anger, as a personal possession will cause suffering. If
anger really belonged to us, it would have to obey us. If it doesn’t obey us,
that means that it’s only a deception. Don’t fall for it. Whether the mind is
happy or sad, don’t fall for it. It’s all a deception.
Seorang wanita ingin mengetahui
bagaimana mengendalikan kemarahan.
Saya bertanya ketika kemarahan
muncul, kemarahan siapakah itu?
Dia menjawab, itu kemarahannya. Baik,
bila itu kemarahannya,
lalu dia seharusnya dapat memerintah
kemarahan itu untuk pergi,
bukankah demikian? Tetapi bukan
kemampuannya untuk memerintah.
Berpegang pada kemarahan sebagai
milik pribadi.
hanya akan menyebabkan penderitaan.
Bila penderitaan benar-benar milik kita, seharusnya menurut pada perintah kita.
Bila kemarahan tidak menuruti kita, kemarahan hanyalah muslihat. Jangan terpancing.
Bagaimanapun pikiran itu, sedih atau
senang, jangan terpancing.
Semua hanyalah muslihat.
122
If you
see certainty in that which is uncertain, you are bound to suffer.
Bila Anda melihat kepastian dalam
sesuatu yang tidak pasti,
Anda terikat pada penderitaan.
123
The
Buddha is always here teaching. See for yourself. Here is happiness and there
is unhappiness. There is pleasure and there is pain. And they’re always here.
When you understand the nature of pleasure and pain, there you see the Buddha,
there you see the Dhamma. The Buddha is not apart from them.
Sang Buddha selalu di sini mengajar.
Lihatlah diri Anda.
Terdapat kebahagiaan dan ketidakbahagiaan.
Terdapat kesenangan dan penderitaan.
Dan selalu ada di sini.
Ketika Anda mengerti penderitaan dan
kesenangan secara alami,
Anda telah melihat Buddha,
di sana Anda melihat Dhamma. Buddha
tidak terpisah dari mereka.
124
Contemplating
them together, we see that happiness and suffering are equal, just as hot and
cold are. The heat from a fire can burn us to death, while the coldness from
ice can freeze us to death. Neither is greater. It’s the same with happiness
and suffering. In the world, everyone desires happiness and no one desires
suffering. Nibbana has no desire. There is only tranquility.
Merenungkan semuanya bersama-sama,
kita melihat kebahagiaan dan
penderitaan seimbang seperti panas dan dingin.
Panas dari api dapat membakar kita
hingga meninggal
sedangkan dingin dari es dapat
membekukan kita hingga meninggal.
Tidak ada yang lebih kuat. Ini sama
dengan kebahagiaan dan penderitaan.
Di dunia, setiap orang menginginkan
kebahagiaan
dan tidak ada yang menginginkan
penderitaan.
Nibbana tidak memiliki keinginan.
Hanya ada keseimbangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar