Sumber: Sutta Pitaka Digha Nikaya IV -
Oleh: Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Diterbitkan : Proyek Sarana keagamaan Buddha Departemen Agama RI Tahun 1993
Oleh: Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Diterbitkan : Proyek Sarana keagamaan Buddha Departemen Agama RI Tahun 1993
Demikianlah yang saya dengar.
1. Pada suatu ketika Sang Bhagava serta sekelompok besar bhikkhu sangha, sebanyak lima ratus bhikkhu, sedang mengadakan perjalanan melalui kerajaan Magadha dan tiba di Brahmanagama, menginap di Ambalatthika, Khanumata.
Pada waktu itu Brahmana Kutadanta tinggal di Khanumata, tempat yang ramai, banyak padang rumput, hutan dan jagung, daerah yang dihadiahkan oleh Raja Bimbisara kepadanya dan ia menguasai daerah itu bagaikan raja.
Ketika itu persiapan untuk upacara korban besar telah dipersiapkan atas nama Brahmana Kutadanta. Seratus pasang sapi dan seratus pasang kambing telah disiapkan di tempat upacara.
2. Sementara itu, para brahmana dan penduduk Khanumata mendengar berita tentang kedatangan Samana Gotama, maka mereka berduyun-duyun pergi ke Ambalatthika.
3. Pada saat itu, Brahmana Kutadanta berada di teras atas rumahnya untuk istirahat, ia melihat orang-orang yang bepergian itu, ia bertanya kepada penjaga pintu tentang kepergian orang-orang itu. Penjaga pintu menerangkannya.
4. Kemudian Kutadanta berpikir: “Saya mendengar bahwa Samana Gotama mengerti tentang pelaksanaan upacara korban yang sukses dengan ‘tiga metoda serta enam belas peralatan tambahannya’.” Saya tidak mengetahui semua hal ini, namun saya akan melaksanakan upacara korban. Nampaknya baik bagi saya bila saya menemui dan menanyakan hal ini kepada Samana Gotama. Maka ia menyuruh penjaga pintu agar menemui para brahmana dan penduduk Khanumata untuk menunggunya karena ia pun mau menemui Sang Bhagava.
5 – 8. Ketika itu pula, ada banyak brahmana yang berada di Khanumata untuk mengambil bagian dalam upacara korban besar itu. Pada saat mereka mendengar berita ini, mereka menemui Kutadanta dan membujuknya, dengan alasan seperti yang telah mereka ajukan kepada Sonadanda, agar ia jangan pergi. Namun Kutadanta menjawab seperti apa yang dikatakan oleh Sonadanda kepada mereka. Mereka menjadi puas dan pergi bersama Kutadanta menemui Sang Bhagava.
9. Setelah Brahmana Kutadanta duduk, ia mengatakan apa yang telah ia dengar kepada Sang Bhagava dan memohon Beliau menerangkan tentang pelaksanaan upacara korban yang sukses dengan tiga metoda serta enam belas kondisi.
“Brahmana yang baik, dengar dan perhatikanlah apa yang akan Saya katakan.”
“Baik,” jawab Brahmana Kutadanta.
“Dahulu kala ada seorang raja bernama Mahavijito yang memiliki harta dan kekayaan yang besar sekali; memiliki gudang-gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang serta panen yang baik; lumbung dan penyimpanan harta yang penuh. Pada suatu hari ia sedang duduk sendiri, merenung dan berpikir:
“Saya memiliki segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Seluruh dunia menjadi milikku karena saya taklukkan. Suatu hal yang baik jika saya melakukan upacara korban yang besar guna memantapkan kesejahteraan dan kejayaanku saya untuk kemudian hari.” Raja memanggil brahmana penasehat spiritualnya dan mengatakan apa yang telah dipikirkannya dengan berkata: “Saya akan senang sekali melakukan upacara pengorbanan yang besar demi kejayaan dan kesejahteraanku untuk masa yang lama. Katakan padaku bagaimana caranya?”
Penasehat raja menjawab: “Kerajaan sedang dalam kekacauan. Ada perampok yang merajalela di desa-desa dan kota-kota dan mengakibatkan jalan-jalan tidak aman. Bilamana hal itu masih seperti itu, lalu raja akan menarik pajak, maka raja akan bertindak salah. Namun bilamana raja berpendapat, ‘saya akan segera menghentikan perampok-perampok itu dengan cara penangkapan, mendenda, mengikat dan menghukum mati!’ Tetapi kejahatan itu tidak akan lenyap dengan seperti itu. Karena penjahat yang tak tertangkap akan tetap melakukan kejahatan.
Ada sebuah cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan kekacauan ini. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai peternak dan petani, raja berikan makanan dan bibit kepada mereka. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai pedagang, raja berikan modal kepada mereka. Siapa saja dalam kerajaan yang hidupnya sebagai pegawai negara, raja berikan gaji dan makanan kepada mereka. Orang-orang itu melaksanakan pekerjaan mereka masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, kerajaan akan aman dan damai, rakyat akan senang dan bahagia, mereka akan menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.
Raja Mahavijita menerima dan melaksanakan seperti apa yang disampaikan oleh penasehat kepadanya. Demikianlah, rakyat hidup melaksanakan tugas mereka masing-masing, akibatnya kejahatan lenyap. Perbendaharaan raja bertambah.
Kerajaan menjadi aman dan damai. Rakyat menjadi senang dan bahagia, mereka menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.
12. Kemudian raja memanggil penasehat dengan berkata: “Kerajaan telah aman dan damai. Saya mau melaksanakan upacara korban yang besar guna kesejahteraan dan kejayaan pada masa mendatang. Bagaimana cara melakukannya dengan baik?”
“Seyogyanya, raja mengirimkan undangan kepada siapa saja dalam kerajaan ini sebagai kesatrianya di kota-kota atau desa-desa; atau para menteri, brahmana atau perumah tangga di kota maupun di desa, dengan mengatakan: ‘Saya akan melaksanakan upacara korban yang besar. Saya harap anda sekalian menjadi saksi guna kesejahteraan dan kejayaanku di masa mendatang’.”
“Brahmana, Raja Mahavijita menerima anjuran penasehat dan ia melakukannya. Maka mereka masing-masing para kesatria, menteri, brahmana dan perumah tangga memberikan jawaban yang sama: ‘Semoga maha raja melaksanakan upacara korban. Raja, waktu telah tepat’.”
Begitulah, empat kelompok ini menyetujui pelaksanaan upacara serta ikut bagian dalam upacara tersebut.
13. Raja Mahavijita memiliki delapan hal, yaitu:
Ia dilahirkan dari ayah dan ibu yang memiliki garis keturunan yang baik dari tujuh generasi, tanpa cacat maupun kritikan untuk kelahirannya.
Ia rupawan, berpenampilan yang menyenangkan, dipercayai, tubuhnya yang bagus, berwarna cerah, berpotongan yang baik dan tegap.
Ia maha besar, memiliki harta kekayaan yang besar, gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang dan panen yang baik, lumbung dan penyimpanan harta yang penuh.
Ia sangat berkuasa, komandan pasukan yang loyal dan disiplin, terdiri dari empat divisi yaitu: pasukan gajah, kuda, kereta dan pemanah; nampaknya musuhnya dikalahkan oleh keperkasaannya.
Ia yakin pada agama, dermawan, penyantun menyokong para samana, brahmana, orang miskin, pengembara, minta-minta dan pemohon; pelaku perbuatan-perbuatan baik.
Ia terpelajar untuk berbagai macam pengetahuan.
Ia mengetahui apa yang telah dikatakan dan dapat menerangkan: ‘Kata-kata itu mempunyai arti anu dan itu dst..’
Ia pintar, ahli, bijaksana dan dapat memikirkan hal sekarang, yang lampau atau yang akan datang.
Inilah delapan hal yang dimilikinya, yang juga menjadi bahan persiapan untuk upacara korban.
14. Brahmana penasehat spiritualnya memiliki empat hal, yaitu:
Ia dilahirkan dari ayah dan ibu yang memiliki garis keturunan yang baik dari tujuh generasi, tanpa cacat maupun kritikan untuk kelahirannya.
Ia siswa yang telah menghafal mantra-mantra, menguasai tiga veda dengan semua indeks, ritual, phonologi, tafsiran, legenda, terpelajar dalam idiom dan gramatika, menguasai pengetahuan alam (lokayata) dan tiga puluh dua tanda tubuh orang besar (maha purisa).
Ia saleh, bermoral dan memiliki sila yang berkembang dengan baik.
Ia pintar, ahli dan bijaksana, merupakan orang yang terutama atau kedua dari orang yang berkuasa.
Inilah empat hal yang dimilikinya, yang juga menjadi bahan persiapan untuk upacara korban.
15. Namun sebelum upacara dimulai, penasehat menerangkan tiga hal kepada raja:
‘Bilamana, sebelum upacara mulai, raja menyesal: ‘Betapa besar kekayaan yang aku akan habiskan dalam upacara ini’, janganlah raja berpikiran seperti ini. Bilamana sementara melaksanakan upacara, raja menyesal: ‘Betapa besar kekayaan yang aku akan habiskan dalam upacara ini’, maka janganlah raja berpikiran seperti itu. Bilamana upacara korban telah selesai, raja menyesal: ‘Betapa besar kekayaan yang telah saya habiskan’, janganlah raja berpikiran seperti itu.’
Demikianlah penasehat menerangkan tiga hal kepada raja.
16. “Brahmana, selanjutnya sebelum upacara mulai dan untuk mencegah penyesalan yang muncul pada orang-orang yang ikut melaksanakan upacara, penasehat berkata: “Saudara-saudara mungkin dalam pelaksanaan upacara korban ada orang-orang yang membunuh makhluk hidup dan ada yang menghindari pembunuhan; orang yang mengambil yang tidak diberikan dan orang yang menghindarinya; orang yang memuaskan nafsu dengan cara yang salah dan orang yang menghindarinya; orang yang berdusta dan orang yang tak berdusta, orang yang bicara kasar dan orang yang tak bicara kasar, orang yang memfitnah dan orang yang tak memfitnah, orang yang bergunjing dan orang yang tak bergunjing; orang yang serakah dan orang yang tak serakah; orang yang membenci dan orang yang tak membenci; dan orang yang berpandangan salah serta orang yang berpandangan benar. Mengenai orang-orang ini, mereka yang berbuat jahat, biarkanlah dengan kejahatan mereka itu. Sedangkan bagi mereka yang berbuat baik, semoga raja dan saudara sekalian mempersilahkan mereka melaksanakan upacara dan seyogyanya raja memberikan hadiah kepada mereka sesuai dengan kesediaan raja.”
17. “Brahmana, sementara raja melaksanakan upacara, penasehat mengarahkan dan menyenangkan serta menggembirakan hatinya dengan enam belas hal: Bilamana ada orang yang membicarakan tentang raja, selagi raja melakukan upacara: ‘Raja Mahavijita melaksanakan upacara korban tanpa mengundang empat kelas masyarakat dari rakyatnya, ia sendiri tak memiliki delapan hal, juga tanpa bantuan dari penasehat yang memiliki empat hal; maka mereka tidak berbicara berdasarkan fakta. Karena raja telah mendapat persetujuan dari empat kelas masyarakat, raja memiliki delapan hal dan penasehatnya memiliki empat hal. Sehubungan dengan setiap faktor dari enam belas hal, semoga raja yakin bahwa semua hal itu telah terpenuhi. Ia dapat melaksanakan upacara, gembira dan damai.’”
18. “Brahmana, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, kambing, unggas, babi yang dibunuh atau tidak ada makhluk hidup mana pun yang dibunuh. Tidak ada pohon yang ditebang untuk dijadikan tiang, tidak ada rumput ‘Dabba’ yang disabit dan diletakkan di sekeliling tiang. Para pekerja dan pembantu atau pekerja yang bekerja, tidak ada yang diancam dengan cambuk atau tongkat, sehingga tidak ada tangisan maupun air mata bercucuran di wajah mereka. Siapa yang ingin membantu, ia bekerja; ia yang tidak mau membantu, tidak bekerja. Setiap orang melakukan sesuai apa yang ia inginkan; melakukan atau tidak melakukan. Upacara dilaksanakan dengan hanya menggunakan ghee, minyak, mentega, susu, madu dan gula.
19. “Brahmana, selanjutnya para kesatria, menteri, brahmana, petugas dan perumah-tangga, apakah dari kota atau desa, dengan membawa banyak harta, pergi menemui Raja Mahavijita, dan berkata: “Raja, harta yang banyak ini, kami bawa kemari untuk raja. Semoga raja menerimanya langsung dari kami!” “Saudara-saudara, saya telah memiliki cukup banyak harta yang didapat berdasarkan penarikan pajak yang adil. Bawa kembali milikmu itu dan ambil lagi secukupnya.!”
Setelah raja menolak menerima, mereka bersama-sama ke samping dan berembuk: “Tidak pantas bagi kita untuk membawa kembali harta ini ke rumah kita masing-masing. Raja Mahavijita telah mengorbankan banyak untuk upacara. Sebaiknya kita melakukan upacara pula.”
20. Maka para kesatria membangun sambungan bagian upacara di sebelah timur lobang upacara; para pegawai membangun di selatan, para brahmana membangun di barat di utara. Barang-barang dan bentuk dana mereka adalah mirip dengan yang dilakukan oleh raja sendiri.
Demikianlah, ada empat kelas masyarakat, Raja Mahavijita memiliki delapan hal dan brahmana penasehatnya memiliki empat hal. Ada tiga metoda melaksanakan upacara korban. Ini yang disebut pelaksanaan upacara dalam tiga metoda dan enam belas kondisi.
21. Setelah Sang Bhagava menerangkan, para brahmana membuat suara riuh dan berkata: “Betapa agung upacara itu, sungguh suci pelaksanaannya!” Tetapi Brahmana Kutadanta hanya duduk diam saja.
Lalu para brahmana itu berkata kepada Kutadanta: “Mengapa anda tidak menyetujui uraian yang baik dari Samana Gotama?”
“Saya bukan tidak menyetujui, karena barang siapa tidak menyetujui apa yang telah diterangkan dengan baik oleh Samana Gotama, maka kepalanya akan pecah tujuh. Saya sedang memikirkan bahwa Samana Gotama tidak berkata: “Demikian yang Saya dengar”, atau “Demikian itu terlihat”, tetapi hanya berkata “Begitulah hal itu,” atau “Itu demikian”. Jadi, saya berpendapat: “Sesungguhnya Samana Gotama sendiri pada waktu itu adalah Raja Mahavijita atau Brahmana Penasehat Spiritual raja. Apakah Samana Gotama mengakui bahwa ia yang melaksanakan upacara korban atau menyebabkan upacara itu dilaksanakan, yang setelah meninggal dunia ia terlahir di alam bahagia di surga?”
“Brahmana, ya saya mengakuinya. Pada waktu itu saya adalah brahmana penasehat pada upacara korban.”
“Gotama, apakah ada upacara korban yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat yang lebih baik daripada upacara itu?”
“Ya ada, brahmana.”
“Gotama, apakah itu?”
“Dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik.”
22. “Gotama, tetapi apakah alasan dan sebab maka dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik adalah tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat yang lebih baik daripada upacara yang memiliki tiga metoda dan enam belas kondisi.”
Brahmana, karena para arahat tidak akan pergi atau tidak ada jalan kearahatan pada upacara korban. Mengapa tidak ada? Sebab pada upacara korban terjadi pemukulan dan penangkapan di leher. Namun para arahat akan mendatangi tempat pemberian dana secara tetap, karena di situ tidak ada pemukulan atau penangkapan. Dengan demikian, maka pemberian dana secara tetap lebih tinggi daripada upacara korban.”
23. “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada kedua cara ini?”
“Ya ada, brahmana.”
“Gotama, apakah itu?”
“Mendirikan vihara atas nama Sangha pada empat arah.”
24. “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada tiga cara ini?”
“Ya ada, brahmana.”
“Gotama, apakah itu?”
“Orang yang memiliki keyakinan dan berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha; inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada tiga cara itu.”
25. “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada empat cara ini?”
“Ya ada, brahmana.”
“Gotama, apakah itu?”
“Jika seseorang dengan keyakinan melaksanakan sila, yaitu menghindari diri dari: pembunuhan makhluk hidup, mengambil barang yang tidak diberikan, pemuasan nafsu dengan cara yang salah, dusta, minum minuman yang dapat menyebabkan ketidakwaspadaan; inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada empat cara itu.”
26. “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada lima cara ini?”
“Ya ada, brahmana.”
“Gotama, apakah itu?”
“Brahmana, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, yang maha suci, telah mencapai Penerangan Agung, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh Jalan, pengenal segenap alam, pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, guru para dewa dan manusia, yang Sadar, patut dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan para dewa brahmana; para pertapa, brahma, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir, dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup selibat (brahmacariya) yang sempurna dan suci.”
“Kemudian, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga-rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya ia memperoleh keyakinan, ia ingin menjadi bhikkhu. Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-murni dan pengertian-jelas (sati-sampajanna); dan hidup puas.”
“Bagaimanakah, seorang bhikkhu yang sempurna silanya? Dalam hal ini, seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk; menjauhi pencurian, menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan; ia hidup selibat dan menjauhi kedustaan.
Ia menjauhi ucapan menfitnah, menahan diri dari menfitnah; apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakan di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan di sini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan di sana. Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah, pemersatu, mencintai persatuan, mendambakan persatuan, persatuan merupakan tujuan pembicaraannya.
Ia menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar, ia menjauhi pembicaraan yang menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat, ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, berguna, tentang Dhamma dan Vinaya.
Ia melaksanakan Cula Sila, Majjhima Sila dan Maha Sila (seperti yang tersebut dalam Brahmajala Sutta).
‘Selanjutnya, seorang Bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian terhadap sila. Sama seperti seorang ksatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuhnya telah dikalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukham). Demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki sila-sempurna’.
Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya? Bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya.
Bilamana ia melihat suatu obyek dengan matanya, ia mendengar suara dengan telinganya, mencium bau dengan hidungnya, ia mengecap rasa dengan lidahnya, ia merasakan sentuhan dengan tubuhnya, atau ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera-inderanya. Ia menjaga indera-inderanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera-inderanya.
Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki perhatian murni dan pengertian jelas? Dalam hal ini seorang bhikkhu mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun berbicara atau diam.
Bagaimanakah seorang bhikkhu merasa puas? Dalam hal ini seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Kemana pun ia pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini.
Setelah memiliki kelompok-sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki perhatian murni dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan’.
Dengan menyingkirkan keinginan nafsu keduniawian, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari keinginan nafsu, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad-jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad-jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad-jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada penyerapan terhadap cahaya (akkasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkirkan keragu-raguan, ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan.
Demikianlah, selama lima rintangan (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang. Tetapi setelah lima rintangan itu disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang.
Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan itu telah disingkirkan dari dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana I; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan vitaka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara (obyek telah tertangkap oleh pikiran). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebasan (viveka).
Selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan diri dari vitaka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana II; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitaka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi, dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi.
Selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian-murni; ia memasuki dan berdiam dalam Jhana III. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu’.
Selanjutnya, dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam Jhana IV, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian-murni (satiparisuddhi) bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih’.
Brahmana, inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada cara-cara lain.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan-terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Demikianlah ia mengerti: “Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas empat unsur-pokok (mahabhuta) berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus menerus; bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran, dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya’.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat diguncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘tubuh-ciptaan-batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh-ciptaan-batin’ melalui pikirannya, yang memiliki bentuk memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun’.
Demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘wujud-ciptaan-batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh-ciptaan-batin’ melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apa pun’.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan; ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan-perbuatan gaib). Ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya; dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam ia timbul melalui tanah, seolah-olah berjalan di atas tanah, dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara. Seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa, ia dapat pergi mengunjungi alam-alam dewa brahma dengan membawa tubuh kasarnya.’
Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan dibbasota (telinga-dewa). Dengan kemampuan dibba-sota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat’.
Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang lain.
Ia mengetahui: Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu, pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu. Pikiran yang disertai kebencian …. pikiran tanpa kebencian …., pikiran disertai ketidaktahuan …., pikiran tanpa ketidaktahuan , pikiran yang teguh, ragu-ragu, berkembang, tidak berkembang, rendah, luhur dan bebas.
Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu … sepuluh … seratus … seribu … seratus ribu kelahiran, kelahiran-kelahiran pada banyak masa-menjadinya-bumi (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran bumi (vivatta-kappa), melalui banyak masa-menjadi-kehancuran bumi (samvatta-vivatta-kappa). Ia ingat, di suatu tempat demikian, namaku, makananku, keluargaku, suku-bangsaku, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat, disana namaku, makananku keluargaku, suku-bangsaku, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini’. Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya, dalam seluruh macamnya’.
Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana), Dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata-dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kehidupan, muncul dalam kehidupan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia, dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: ‘Makhluk-makhluk ini memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru.
Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk yang lain memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan benar, dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga’. Demikianlah, dengan kemampuan dibba cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kehidupan, muncul dalam kehidupan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita’.
Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asava). Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah dukkha’, ‘Inilah sebab dukkha’, ‘Inilah akhir dari dukkha’ dan ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir asava’ dan ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya asava’. Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui: ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini’.
‘Brahmana, inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada cara-cara lain.”
27. Setelah Sang Bhagava berkata, Brahmana Kutadanta berkata kepada Sang Bhagava: “Gotama, sangat bagus kata-kata yang diungkapkan! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada ia yang tersesat atau memberikan cahaya dalam kegelapan agar mereka yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula dengan berbagai cara Dhamma telah dibabarkan oleh Samana Gotama kepadaku. Saya menyatakan bahwa saya berlindung kepada Samana Gotama, Dhamma dan Sangha. Semoga Samana Gotama menerima saya sebagai upasaka, mulai hari ini sampai selama-lamanya. Samana Gotama, saya sendiri akan melepasbebaskan tujuh ratus pasang sapi dan tujuh ratus pasang kambing. Saya menyelamatkan hidup mereka. Mereka dapat makan rumput hijau, minum air sejuk dan angin sejuk meliputi mereka.”
28. Kemudian secara berurutan Sang Bhagava membabarkan kepada Kutadanta tentang: dana, perbuatan baik, surga, bahaya dari pemuasan nafsu dan manfaat hidup meninggalkan kehidupan duniawi. Ketika Sang Bhagava mengetahui bahwa Brahmana Kutadanta telah siap, lembut, tidak curiga, waspada dan berkeyakinan, maka dibabarkannya Dhamma yang ditemukannya yaitu tentang dukkha (penderitaan), asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan Jalan untuk melenyapkan dukkha.
Bagaikan kain bersih, yang nodanya tercuci bersih, siap untuk dicelup; demikian pula Brahmana Kutadanta yang sedang duduk di situ mencapai Mata Kebenaran yang bersih tanpa noda dan ia mengetahui bahwa ‘Segala sesuatu yang mempunyai sebab, pasti akan lenyap’.
29. Selanjutnya Brahmana Kutadanta sebagai seorang yang telah melihat ‘Kebenaran, menguasainya, mengerti, menyelam ke dalamnya, yang telah melampaui keragu-raguan dan melenyapkan kegelisahan dan memiliki keyakinan kuat, yang tidak tergantung lagi pada orang lain karena pengetahuannya pada ajaran Sang Guru, berkata kepada Sang Bhagava: “Semoga Samana Gotama bersama bhikkhu sangha memberikan kesempatan kepada saya dengan menerima makanan pada besok hari.”
Sang Bhagava menerima undangan itu dengan bersikap diam. Brahmana Kutadanta setelah melihat Sang Bhagava telah menerimanya, bangkit dari duduk dan meninggalkan Sang Bhagava dengan berjalan di sisi kanan beliau. Setelah menjelang pagi ia menyediakan makanan manis, keras dan lembut pada lobang upacara, selanjutnya ia memberitahukan kepada Sang Bhagava: ‘Telah tiba waktunya, makanan telah siap’.
Sang Bhagava setelah mengenakan jubah, mengambil jubah luar (civara) dan patta, bersama dengan para bhikkhu pergi ke lobang upacara Brahmana Kutadanta, Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Brahmana Kutadanta dengan tangannya sendiri melayani bhikkhu sangha yang dikepalai oleh Sang Bhagava, dengan makanan manis, keras dan lembut, hingga mereka menolak untuk menerimanya lagi. Setelah Sang Bhagava selesai makan, membersihkan patta dengan tangan-Nya, Brahmana Kutadanta duduk di tempat duduk yang rendah di samping Beliau. Setelah ia duduk, Sang Bhagava membabarkan membangkitkan, mendorong dan menggembirakan Brahmana Kutadanta dengan uraian dhamma; sesudah itu Beliau bangkit dari duduk dan pergi.
http://www.samaggi-phala.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar