oleh: Bhikkhu
Sri Paññavaro
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pandangan seseorang terhadap kehidupan ini akan mewarnai
sikapnya dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Kehidupan adalah rahasia terbesar bagi manusia yang akan selalu
dibicarakan di sepanjang masa. Dorongan yang wajar akan timbul dalam diri
manusia —sebagai makhluk yang berakal budi— untuk mencari jawaban tentang
kehadiran dan peranannya di muka bumi ini. Sedangkan kebahagiaan atau
keberhasilan adalah tema sentral yang tidak akan pernah dilepaskan.
Pandangan Fatalistik
Terhadap tiga macam pandangan yang sangat berbeda tentang keberhasilan
dalam kehidupan ini:
- Suatu pandangan menganggap bahwa keberhasilan
dalam kehidupan ini telah ditentukan oleh suatu makhluk agung atau dewa-dewa.
Perbuatan manusia tidak berperan.
- Pandangan yang lain menganggap bahwa
keberhasilan dan kehancuran manusia tidak ada sebabnya. Semua itu terjadi
dengan sendirinya. Perbuatan baik maupun tidak baik sama sekali tidak mempunyai
pengaruh.
- Pandangan yang lain lagi menganggap bahwa semua
fenomena kehidupan ini terjadi semata-mata sebagai akibat perbuatan seseorang
dari hidupnya yang lampau. Perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya sekarang
tidak berpengaruh.
Ketiga pandangan di atas adalah pandangan-pandangan yang fatalistik.
Oleh karena dengan berpandangan seperti itu apapun yang terjadi dalam kehidupan
seseorang ini harus diterima dengan ketidak-berdayaan manusia untuk
mengubahnya. Apapun yang dilakukannya sekarang tidak akan membawa perubahan
bagi hidupnya sekarang.
Agama Buddha mengajak kita untuk menyadari bahwa fenomena kehidupan ini,
baik keberhasilan maupun kemunduran, merupakan akibat dari dua faktor
kehidupan: yaitu faktor-faktor kehidupan yang lalu dan faktor-faktor kehidupan
yang sedang terjadi sekarang.
Kemerdekaan
Dan Tanggung Jawab
Makhluk manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan dan kemerdekaan
untuk berperan dan mengubah faktor-faktor hidupnya sendiri.
Manusia dituntut tanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan-perbuatannya
yang lalu sebagai faktor-faktor kehidupan yang lalu dan juga
perbuatan-perbuatannya yang dilakukannya sekarang sebagai faktor kehidupan
sekarang. Manusia adalah arsitek dan sekaligus penanggung jawab tunggal atas
kehidupannya sendiri. Kesadaran ini menuntut manusia untuk membawa dirinya
dengan penuh ketekunan dan keuletan dalam mencapai keberhasilan dan
kebahagiaan.
Kehidupan sama sekali tidak boleh dipandang
sebagai sandiwara boneka. Manusia bukan anak wayang yang memainkan peranan di
tangan sutradara. Tetapi kita semua adalah sutradara bagi kehidupan kita
masing-masing dalam tatanan Hukum Dharma.
Kemampuan manusia adalah akumulasi dari perjuangannya dalam menghadapi
tantangan kehidupan ini. Akumulasi dari pandangan, pemikiran, tindakan
mengatasi problema-problema, dan keuletan mencapai tujuan. Kemampuan kita bukan
suatu kemampuan yang sudah ditakar untuk diterima sebagai hadiah. Kemampuan itu
akan berkembang seiring dengan totalitas sikap mental dan perbuatan kita. Dan
sebaliknya, kemampuan itupun akan merosot karena sikap mental dan perbuatan
kita sendiri.
Sekarang pilihan tidak boleh menjadi lain. Pilihan manusia satu-satunya
adalah mempersiapkan dirinya dengan menumbuhkan sikap mental dan perbuatan yang
benar untuk membangkitkan kemampuan dari dalam dirinya sendiri; demikian
sebaliknya, dengan kemampuannya itu membuat faktor-faktor yang berguna dalam
hidupnya sekarang untuk mencapai keberhasilan.
"Diri
sendiri sesungguhnya tuan bagi dirinya sendiri, karena siapa lagi yang akan
dapat menjadi tuan bagi dirinya? Seseorang yang dapat melatih dirinya sendiri
dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang amat sukar
diperoleh". (Dhammapada 160)
Menggantungkan diri pada orang atau makhluk lain, atau sekadar menjalani
nasib yang dianggapnya telah ditentukan, adalah sikap mental yang menghancurkan
kemampuan yang seharusnya dikembangkan. Tetapi juga sebaliknya, dengan
kemampuan yang dipunyainya ingin mencapai segala sesuatu yang diinginkan,
adalah sikap mental yang akan membuahkan kekecewaan.
Hukum Dharma —Hukum Karma— yang bersifat universal, yang melingkupi
setiap bentuk kehidupan harus dijadikan tumpuan keyakinan. Tumbuhnya kemampuan,
terwujudnya keberhasilan, dan semua fenomena kehidupan ini akan berjalan
selaras dengan Hukum Dharma. Hanya harus selalu diingat, meskipun kemampuan,
keberhasilan, dan segala warna kehidupan ini timbul selaras dengan Hukum
Dharma; tetapi, semua itu kita sendiri yang harus membuat sebabnya. Bukan Hukum
Dharma yang semata-mata menjadi sang penentu. Yang kepadanya kita menyerahkan
nasib kita, memohonkan berkah dan ampunan. Hukum Dharma —Hukum Karma—
mengisyaratkan Idhapaccayata, segala sesuatu timbul karena adanya sebab yang
mendasarinya. Dan sebab itu kita sendiri yang harus membuatnya.
Menumbuhkan kemampuan
Sang
Buddha menunjukkan lima sikap mental yang seharusnya dikembangkan untuk
menumbuhkan kemampuan (bala) :
1.
Keyakinan (Saddha). Setiap manusia memerlukan sesuatu yang bisa dipegangnya
sebagai keyakinan. Keyakinan itu akan memotivasi setiap tindakannya. Seseorang
akan mempunyai kekuatan bertahan untuk mencapai sesuatu karena keyakinannya
terhadap yang dilakukannya itu.
2. Semangat (Vinya). Semangat adalah faktor
terpenting untuk keberhasilan. Semangat dan kemampuan adalah dua faktor yang
sulit untuk dipisahkan. Banyak orang yang tidak mau mengerjakan sesuatu
bukannya karena tidak mampu, tetapi tidak adanya semangat untuk melakukan.
Banyak orang yang merasa bahwa hidup ini tidak berguna bagi dirinya, dan juga
dirinya tidak berguna bagi orang lain; sesungguhnya bukan karena tidak
mempunyai kepandaian, tetapi tidak mau berusaha untuk mengerjakan sesuatu.
Suatu pepatah kuno mengatakan:
"Puncak kebesaran seseorang tidak dicapai
secara mendadak. Mereka bekerja keras melewati tengah malam, sementara temannya
tidur".
Bekerja
dengan penuh semangat, disertai ketekunan dan kegigihan menghadapi
tantangan-tantangan yang muncul, merupakan proses terus-menerus terbentuknya
sikap mental yang sangat berharga bagi setiap orang.
3.
Kesadaran (sati). Kesadaran adalah milik manusia yang paling berharga.
Menyadari, memperhatikan dengan cermat setiap saat pada perbuatan yang kita
lakukan akan membuahkan pengetahuan. Sesungguhnya dengan memperhatikan
fenomena-fenomena kehidupan yang kita hadapi dan alami setiap saat, kita akan
banyak mendapatkan hal-hal baru yang berharga. Penemuan-penemuan besar dalam
dunia spiritual dan ilmu pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang muncul
tiba-tiba. Tetapi semua itu memerlukan perhatian yang disertai ketekunan dan
kegigihan. Juga dengan kesadaran —penuh perhatian— setiap orang akan mampu
menjaga dirinya sendiri dari kehancuran.
4. Meditasi (samadhi). Meditasi akan menumbuhkan
ketenangan bagi seseorang. Kegagalan, kekecewaan, ketegangan mental, seringkali
menghancurkan kemampuan seseorang. Seseorang yang sebenarnya mampu, pada suatu
saat merasa tidak mempunyai kemampuan lagi. Bukan karena memang benar-benar
tidak mampu lagi, tetapi kesanggupannya telah dihancurkan oleh kondisi
mentalnya sendiri yang kacau. Meditasi akan menguatkan mental seseorang.
Menjadikan tenang dan tangguh menghadapi segala sesuatu.
5. Kebijaksanaan (Panna). Dalam arti yang
sesungguhnya, kebijaksanaan adalah memahami kehidupan ini sebagaimana adanya.
Memahami bahwa kehidupan ini mempunyai sifat tidak kekal, berubah terus
menerus, tidak memuaskan, dan tidak tunduk pada kehendak kita. Perubahan dan
kegagalan yang pasti dialami pada suatu saat, harus berusaha diterima sebagai
suatu hal yang wajar dalam kehidupan ini. Tetapi demikian juga sebaliknya,
perubahan, ketidak-puasan, dan kenyataan bahwa segala sesuatu tidak akan tunduk
begitu saja pada kehendak kita; menuntut kita untuk berjuang dengan gigih,
terus-menerus, penuh perhatian, dan selaras Hukum Dharma.
Tumbuhnya kemampuan diri, tergantung pada diri kita sendiri. Demikian
juga, kita sendiri pulalah faktor utama yang menghancurkan kemampuan diri.
Itikad jahat, nafsu mengejar kenikmatan indria, kebimbangan, kegelisahan dan
ketegangan, malas dan keengganan, adalah musuh-musuh yang siap setiap saat
menyerbu, mengoyak, dan menghancurkan kemampuan diri.
Sekalipun terdapat faktor dari luar yang menggoyahkan seseorang, tetapi
bila seseorang berusaha sekuat tenaga menjaga dirinya dengan sikap yang tepat;
faktor itu tidak akan mampu menghancurkannya.
Kemampuan diri merupakan tanggung jawab kita sendiri sepenuhnya.
Kemampuan itu bukan hadiah yang sudah ditakar. Kita sendiri harus
menumbuhkannya, dan kita sendiri pula yang mempunyai kebebasan untuk
menggunakannya.
Dalam Dhammapada 165 amat jelas Sang Buddha menyatakan:
Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
Oleh diri sendiri pula seseorang ternoda.
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri;
Tidak seorangpun yang dapat membuat suci orang lain.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar