Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Sri
Pannavaro Mahathera
Saat
ini saya akan membicarakan suatu uraian Dhamma yang agak luas dan mendalam.
Oleh karena itu saya minta perhatian saudara, karena mungkin uraian ini bukan
sesuatu yang mudah ditangkap. Meskipun memang hampir semua ajaran Sang Buddha
bukan ajaran yang sederhana. Ajaran Sang Buddha adalah suatu ajaran yang jelas;
Sang Buddha tidak pernah mengajarkan ajaran yang samar-samar atau dengan
perumpamaan-perumpamaan yang mungkin bisa disalah-tafsirkan.
Sang
Buddha selalu mengajarkan Dhamma dengan terang dan jelas itu seperti kalau kita
melihat suatu benda, siapa yang mempunyai mata akan dapat melihat benda itu
dengan terang dan jelas. Ajaran Sang Buddha yang terang dan jelas itu akan menjadi
terang dan menjadi jelas, kalau saudara melihatnya dengan pikiran, dengan
pengertian dan perenungan; karena ajaran Sang Buddha tidak hanya menawarkan:
"Anda percaya atau tidak!" Tidak hanya begitu.
Saudara-saudara,
untuk mengerti agama Buddha memang harus menggunakan akal; dalam bahasa
Indonesia sering dikatakan penalaran. Kalau saudara tidak menggunakan
penalaran, saudara bisa mendengar tetapi tidak mengerti. Apalagi kalau kita
menguraikan hal-hal yang sangat mendalam, karena ajaran Sang Buddha ini tidak
hanya mengajarkan saudara menjadi orang yang baik tetapi ingin mengajak saudara
menjadi orang yang bijaksana. Mengapa demikian?
Karena
menjadi orang yang baik saja tidak cukup, sangat tidak cukup! Orang yang baik
tapi kurang memiliki kebijaksanaan, maka bila suatu saat ia menghadapi
persoalan, ia akan luntur, ia akan meninggalkan kebaikan yang dilakukannya.
Buddha Dhamma mengajarkan kita bagaimana menjadi orang yang baik dan dilengkapi
dengan kebijaksanaan. Oleh karena itu, berusahalah untuk mengerti Dhamma dengan
baik. Dhamma itu seolah-olah permata atau pelita yang kalau kita dalam kebingungan,
keruwetan, Dhamma itu memberikan kita arah sehingga memberikan semangat untuk
melanjutkan kehidupan ini.
Ajaran
Sang Buddha yang pertama adalah jangan menjadi orang bodoh. Bodoh yang dimaksud
Sang Buddha ini bukan bodoh karena kurang sekolah, tetapi bodoh tidak mengerti
sifat kehidupan ini. Dhamma membuat saudara menjadi mengerti tentang kehidupan
ini, menjadi bijaksana.
Saudara-saudara,
tidak usah kita mempunyai keinginan yang macam-macam, yang macam-macam itu
adalah yang 'wonder-wonder', yang ajaib-ajaib. Saya tidak cenderung
untuk bicara tentang dewa, makhluk halus, alam lain, meskipun itu memang ada
dibicarakan oleh Sang Buddha, tetapi sangat sedikit. Apakah yang menjadi tujuan
utama Sang Buddha? Yang menjadi tujuan utama Sang Buddha adalah bagaimana umat
manusia ini bisa menjadi bijaksana. Kebijaksanaan itu sangat mahal sekali
harganya, dan sangat berguna. Bukan melihat dewa, bukan melihat makhluk halus.
Dalam
kehidupan ini, kita mengalami bermacam-macam perubahan. Bila itu perubahan yang
menyenangkan, tidak jadi masalah; dari rendah menjadi tinggi, dari miskin
menjadi kaya, dari kecil menjadi dewasa, semua orang dapat menerimanya; Dhamma,
agama, tidak perlu campur tangan. Tetapi sebaliknya, dari yang berpangkat
menjadi tidak berpangkat, dari kaya menjadi menurun, kalau tinggi menjadi
rendah, kalau di atas kemudian sekarang menjadi di bawah, kalau utuh kemudian
pecah, kalau sehat kemudian sakit, kalau sekarang rambut hitam kemudian menjadi
warna keputih-putihan, siapkah saudara menghadapi itu? Hal-hal itu tidak bisa
dihindari. Setiap saat kita bisa meninggal, dan kita tidak tahu kapan kita
meninggal. Ini adalah kenyataan dari kehidupan ini. Biasanya kenyataan yang
tidak enak, orang-orang tidak mau mengerti. Manusia inginnya bicara tentang
surga, bahagia, untung besar, dan sebagainya, tetapi sulit menerima perubahan
yang tidak menyenangkan.
Ada
satu contoh, kenyataan yang terjadi:
Seorang ibu di
Samarinda punya anak 2 orang, satu perempuan, satu laki-laki. Yang perempuan
sudah lulus SMA dan kuliah di Petra, Surabaya. Yang laki-laki ini baru lulus
dari SMA dan mendaftarkan di suatu Perguruan Tinggi di Yogya, dan kemudian dia
ikut posma. Suatu ketika perutnya sakit, teman-temannya membawanya ke rumah
sakit, sampai kemudian masuk ICU. Malamnya meninggal dunia. Ibunya yang di
Samarinda ditelpon, dan spontan besok paginya dia datang. Orangtuanya ini
pingsan berkali-kali. Orangtua ini tidak pernah mengira, tidak pernah diramal,
tidak pernah punya firasat, bahwa anaknya yang sekolah di Yogya akan meninggal
di sana. Tidak pernah terpikir. Dan kenyataannya anaknya telah meninggal.
Tetapi seleranya, pikirannya, tidak bisa menerima kalau anaknya meninggal.
Saudara-saudara,
apakah seseorang yang pikirannya belum siap, seperti si ibu yang belum siap
menerima kenyataan tersebut, lalu anaknya akan hidup kembali? Tidak bisa.
Terjadilah konflik di dalam batin si ibu. Konflik itu perang. Konflik yang
dahsyat itu bukan perang antara suami dan istri, tapi perang antara
selera/nafsu kita dengan kenyataan. Kenyataannya anaknya sudah meninggal, tapi
seleranya tidak mau kalau anaknya meninggal, jadi perang terus. Siapa yang
menang? Kenyataan yang menang. Tetapi kalau dia sudah mau menerima kenyataan
bahwa anaknya sudah meninggal, pada saat itu stresnya akan berkurang, ketegangan
mentalnya akan berkurang. Tetapi selama dia masih belum bisa menerima anaknya
meninggal, selama itu dia konflik. Mungkin satu bulan, dua bulan, tiga bulan,
sampai mungkin satu tahun, dua tahun, penasaran terus.
Apakah
semua orang akan mengalami kasus seperti ibu yang di Samarinda itu? Belum
tentu. Tetapi yang pasti, saudara akan mengalami perubahan yang tidak sesuai
dengan keinginan saudara. Sudah siapkah saudara menerima semua itu? Jadi, hanya
sekedar menjadi orang baik itu tidaklah cukup. Kalau orang ini tidak dilengkapi
dengan kebijaksanaan, maka ia kemudian akan meninggalkan kebaikan.
"Saya
sudah berbuat baik sekian lamanya, tapi kok saya masih menghadapi
bermacam-macam kesulitan. Ah... apa gunanya melakukan kebaikan, apa perlunya
melakukan kebaikan, saya tidak mendapat manfaat dari kebaikan yang saya lakukan".
Orang seperti itu tidak dilengkapi dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan Dhamma
itu yaitu mengerti sifat kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Pengertian
yang lainnya lagi. Kalau kita berdagang, maka resikonya kita bisa mengalami
kerugian. Itu sudah hukumnya. Inilah Dhamma. Kalau saudara berdagang tetapi
saudara tidak siap menerima kerugian, maka saudara akan menjadi orang yang
sangat kecewa. Demikian juga bila punya mobil baru, resikonya mungkin bisa
digores orang, ditabrak oleh sopir, hancur, harus begini. Sebetulnya jawabannya
mudah. Saudara mengalami begitu karena saudara punya mobil. Kalau anda tidak
ingin resiko seperti itu, jangan punya mobil, selesai! Mudah sekali. Semakin
banyak saudara punya keinginan atau hawa nafsu, bila tidak dilengkapi dengan
kebijaksanaan, saudara akan semakin menderita.
Punya
anak juga harus menanggung resiko, seperti misalnya anak nakal, tidak mau
pulang ke rumah, menghabiskan uang dan lain-lain. Itu resikonya, saudara. Bila
tidak ingin punya persoalan dengan anak, jangan punya anak. Lalu apakah kita
tidak boleh punya anak, tidak boleh punya mobil, tidak boleh punya rumah? Bukan
demikian.
Kalau
saudara menginginkan yang banyak, tidak ingin mempunyai barang-barang yang
banyak, itu baik, itu salah satu cara. Tetapi ada cara yang lain. Silakan punya
mobil, silakan punya rumah yang besar, silakan punya pabrik yang besar, silakan
punya anak, punya istri, punya suami, dan sebagainya, tetapi siap dengan resiko
yang akan dihadapi. Kalau tidak siap dengan resiko yang akan dihadapi lebih
baik tidak punya. Jadi Sang Buddha itu menjelaskan kepada kita seperti
menjelaskan aksioma. Banyak keinginan, banyak masalah; banyak barang-barang,
banyak masalah. Sedikit keinginan, sedikit masalah; sedikit barang-barang,
sedikit masalah. Itu cara yang pertama.
Cara
yang kedua: siap mempunyai barang-barang tetapi siap juga mengalami perubahan.
Itulah pilihan untuk saudara. Mengurangi masalah dengan mengurangi keinginan.
Atau mengurangi masalah dengan menambah kebijaksanaan. Siap menerima perubahan
setiap saat. Kalau saudara tidak siap menerima perubahan, lebih baik saudara
tidak banyak keinginan.
Dari penjelasan
ini saudara akan melihat dengan jelas bahwa menjadi orang baik saja tidaklah
cukup. Saudara harus siap menghadapi perubahan. Perubahan atas istri, atas
suami, atas anak, atas rumah, atas pekerjaan. Saudara tidak bisa mengatakan:
"Aku tidak mau perubahan". Tidak bisa saudara.
"Aku mau
perubahan yang baik-baik saja. Aku tidak mau perubahan yang tidak menyenangkan".
Memang keinginan kita itu begitu, tetapi kondisi tidak memungkinkan begitu.
Inilah Dhamma.
Saudara melihat
dewa, melihat mahluk halus, itu memang sulit. Sulit sekali. Saudara harus
meditasi, mengembangkan Jhana, harus mempunyai dibbacakkhu, baru bisa melihat
makhluk halus. Tetapi saudara, ada yang lebih sulit daripada melihat dewa,
melihat makhluk halus. Namun walaupun lebih sulit, bukan berarti tidak bisa
didapatkan. Apa yang lebih sulit dari melihat makhluk halus itu? Yang lebih sulit
adalah melihat Perubahan.
Seperti
yang sudah saya jelaskan di depan, sudah siapkah saudara melihat perubahan;
perubahan yang tidak enak yang akan saudara hadapi? Itu lebih sulit daripada
melihat Dewa. Inilah kebijaksanaan Dhamma.
Satu
cerita di zaman Sang Buddha ada seorang pertapa yang bisa berjalan di atas air,
menyeberangi sungai. Dia menunjukkan kepandaiannya itu di depan Sang Buddha.
"Pertapa,
berapa lama kamu bisa mempunyai kepandaian seperti itu?" tanya Sang
Buddha. "Dua puluh tahun, Bhagava".
Kalau kita
mendengar jawaban seperti itu, kita akan mengatakan,"Aduh, kamu hebat
sekali! Dua puluh tahun dengan keuletan, kesungguhan bermeditasi sehingga bisa
berjalan di atas air. Aku tidak mampu".
Tetapi
komentar Sang Buddha berbeda. Apa komentar Sang Buddha?
"Pertapa
kalau Aku dengan uang satu ketip bisa menyeberang sungai (yaitu dengan mengupah
perahu menyeberang sungai), tidak perlu 20 tahun".
Bukan sinis,
saudara. Kalau Sang Buddha bukan maha bijaksana, tidak mungkin Beliau akan memberikan
jawaban seperti itu, tetapi mungkin akan memuji, "Hebat meditasimu,
tinggi meditasimu, Aku memujimu, engkau berhasil".
Itu
kalau kita. Tetapi Sang Buddha maha bijaksana. Kebijaksanaan Sang Buddha itu
membuat Sang Buddha memberikan komentar yang sangat tepat sekali.
"Dengan
uang satu ketip, Aku bisa menyeberang sungai, tidak perlu 20 tahun bersusah
payah". Itulah kebijaksanaan.
Oleh karena itu,
umat Buddha tidak perlu terheran-heran mendengar yang wonder-wonder,
tentang kegaiban, kesaktian, karena itu tidak seberapa kalau dibandingkan
dengan kebijaksanaan, apalagi kebijaksanaan Dhamma, sangat tinggi nilainya,
tidak bisa dibandingkan sekalipun dengan kegaiban atau kesaktian. Justru Sang
Buddha menghargai sangat rendah kesaktian dibandingkan dengan kebijaksanaan.
Inilah yang ditunjukkan Sang Buddha.
Cobalah
saudara mempunyai wawasan yang luas. Orang yang wawasannya luas tidak mudah
marah, tidak mudah tersinggung, tidak mudah naik darah, tidak mudah brangasan.
Itulah orang yang kuat. Sekalipun dipancing-pancing, dia akan tenang. Bukan
tenang masa bodoh, tetapi tenang karena dia tidak ingin terpancing.
Saudara,
apakah yang saya maksudkan dengan pandangan yang luas? Yaitu pandangan yang
tidak hanya melihat pada satu arah. Itu bukan pandangan Buddhis. Pandangan
seorang umat Buddha harus melihat pada banyak faktor. Satu sebab atau satu
faktor tidak mungkin membuat satu keadaan. Satu keadaan itu banyak sekali
faktornya. Kalau saudara mau mengerti ini, saudara adalah seorang umat Buddha
yang baik. Tetapi kalau saudara tidak mau mengerti ini, meskipun saudara
mempunyai altar, rajin baca paritta, saya sulit menganggap saudara sebagai umat
Buddha.
Yang
membuat seseorang menjadi umat Buddha itu adalah cara berpikirnya, bukan
upacaranya. Kalau saudara yang siap menjadi umat Buddha, saudara harus siap
mengubah cara berpikir yang tidak sesuai dengan Dhamma.
Saya
pernah mencontohkan demikian. Kalau anda ingin makan pisang goreng, anda harus
punya pisang. Kalau tidak punya pisang apa yang akan digoreng? Jika punya
pisang tapi tidak punya minyak, mau menggoreng dengan apa? Apakah dengan air?
Tidak hanya punya pisang, harus punya minyak, tepung, gula, air, wajan, kompor,
minyak kompor, sumbu kompor, korek api, ada manusia dan manusia itu mau
menggoreng pisang goreng. Dua belas sebab/faktor untuk bisa makan pisang
goreng. Nah, kalau beli kan tidak usah 12 sebab/faktor, Bhante?
Kalau beli,
sebabnya lebih banyak lagi. Saudara mau beli pisang goreng dengan apa? Dengan
duit. Duitnya dari mana? Ya, minta dari ibu. Khan harus punya ibu. Minta dari
kenalan khan harus punya kenalan. Saudara punya kenalan sebabnya bagaimana.
Saya kenal dengan dia itu sebabnya panjang. Kan begitu. Itulah Paticcasamuppada. Itulah Dhamma.
Saya
tidak berbangga hati. Saudara boleh belajar dari sistem-sistem yang lain apakah
saudara akan menemui pelajaran seperti ini? Sulit. Inilah penemuan Sang Buddha
yang luar biasa. Yang membuat kita terbuka, pandai, bijaksana, tidak hanya
sekedar menjadi baik.
Dari
pelajaran ini, kita menarik kesimpulan, tidak ada alasan untuk sombong. Anda
bisa membuat pisang goreng, yang membantu itu banyak sekali, dan semuanya itu
yang saudara tidak bisa buat sendiri. Ada orang lain yang membuat kompor,
penggorengan, ada orang lain yang menjual minyak, ada orang lain yang membuat
terigu, gula, ada orang lain yang menjual gula. Bagaimana saudara bisa
mengatakan hal ini pisang gorengku. Aku membuat pisang goreng ini sendirian.
Tidak masuk akal saudara.
Demikian
juga misalnya saudara menolong orang sakit, saudara mencarikan obat, kemudian
memberikannya kepada orang sakit itu.
Kalau
ditanya, "Siapa yang menolong, yang memberikan obat kepada dia? O...
saya".
Untuk
berbicara sehari-hari, boleh. Siapa yang membuat pisang goreng ini. Kok enak?
Saya. Untuk berbicara sehari-hari, boleh.
Saudara
tidak usah menjelaskan: 'Pisang goreng ini bukan saya sendiri yang buat. Saya
sebagian, yang lain ada minyak, ada air, ada tepung, ada gula. Yang bikin gula,
tepung, orang lain'. Sudah beragama Buddha, kok jadi sinting.
Lalu
apa gunanya Bhante menjelaskan begitu? Gunanya untuk mendidik mental kita,
mengerti siapa kita sesungguhnya, agar kita tidak sombong. Yang menolong orang
sakit itu, bukan saudara. Saudara adalah sebagian faktor dari perbuatan
menolong. Tidak ada aku yang menolong, yang ada hanya proses menolong. Ini
lebih tinggi lagi. Bila saudara tidak mengerti yang ini, tidak usah pusing,
tinggalkan saja. Ingat-ingat pisang goreng saja.
Mengapa
hanya ada proses menolong, tidak ada aku yang menolong? Bagaimana saudara bisa
mengatakan aku yang menolong, karena bukan saudara sendiri yang menolong. Kalau
tidak ada orang yang akan saudara tolong, saudara mau menolong siapa? Ada orang
sakit, ada saudara, saudara ingin menolong, ada obat; nah, terjadilah
pertolongan.
Jadi siapa yang
berbuat baik saudara? Ya, bareng-bareng. Yang sakit, obatnya, dan orang yang
menolong itu. Itulah Anatta. Yang ada hanya kebaikan, tidak ada AKU
yang berbuat baik; karena saudara tidak bisa berbuat baik sendirian. Bagaimana
saudara bisa berbuat baik sendirian, sedangkan itu harus punya pasangan.
Mengerti saudara?
Ini
sudah kelas tinggi. Itulah Dhamma, sangat mendalam sekali. Orang yang mengerti
Dhamma dengan benar, kebijaksanaannya akan tinggi sekali. Meskipun saudara
berkeluarga, berumah tangga, masih muda, orang sakti tidak dapat mengukur
sampai di mana kebijaksanaan saudara. Mungkin sudah tinggi, mungkin masih
rendah. Dan zaman yang modern seperti ini, kebijaksanaan yang saya sebutkan
tadi sangat perlu. Kita tidak hanya sekedar pasang dupa, pasang lilin, minta
selamat, minta rejeki, itu tidak cukup. Saudara harus punya kebijaksanaan.
Dunia semakin maju, persaingan semakin keras, saudara tidak boleh menjadi
bodoh, tapi harus bijaksana.
Semoga
apa yang saya sampaikan ini menambah pengertian saudara menjadi lebih luas,
mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi kehidupan ini, sehingga saudara
tidak perlu merasa kecil hati, putus asa, dan sebagainya. Dan yang paling
penting, saudara tidak menjadi salah tingkah, tidak salah langkah, karena
saudara sudah mempunyai kebijaksanaan yang lengkap. Semoga Sang Triratna selalu
memberkahi kita.
[Dikutip
dari Mutiara Dhamma XI ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar