Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang membawa
modernisasi dan industrialisasi sering dipandang oleh sementara bangsa-bangsa
Timur sebagai meluasnya pengaruh Barat. Modernisasi dan industrialisasi
ditanggapi juga sebagai penyebab makin meluasnya agama yang dianut oleh
sebagian besar bangsa-bangsa Barat. Sebagian umat Buddha, dan juga Hindu,
melihatnya sebagai budaya yang memacu materi yang akan membahayakan kehidupan
spritual. Dengan demikian akan menjauhkan manusia dari Tuhan.
Pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi
modern adalah dorongan alami manusia untuk berkembang dan mencapai hidup yang
lebih baik. Tetapi, menggunakan teknologi untuk mencapai hidup lebih baik tidak
mungkin dicapai hanya dengan ketrampilan. Demikian juga untuk mencapai kemajuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih besar, tidak mungkin
dicapai hanya dengan bekal kecerdasan otak.
Selisih kecerdasan otak dan ketrampilan, agama harus mampu merasuki
suatu bangsa untuk modernisasi dan industrialisasi dengan membekali sikap-sikap
mental: disiplin, kesungguhan, tekun, berani menghadapi kehidupan, jujur, dan
bertanggung jawab.
Antara Iman dan Akal
Persoalannya sekarang adalah agama bersumber pada keyakinan atas
kebenaran mutlak sedangkan ilmu pengetahuan berdasarkan pada akal. Keyakinan
atau iman itu bukanlah akal. Dan sebaliknya, akal yang terus berkembang
kadang-kadang tidak bisa menerima keyakinan apabila akal tidak terelakkan untuk
berhadapan dengan keyakinan.
Bangsa yang ingin mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, menginginkan modernisasi dan industrialisasi; tidak bisa terelakkan
lagi cara hidupnya telah dirasuki oleh kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.
Kehidupannya berdsarkan alur akal. Sebagai contoh: hari depan harus kita atur
dan kita persiapkan sekarang. Majunya taraf hidup suatu bangsa adalah hasil
kerja keras bangsa itu sendiri. keberhasilan adalah hasil usaha kita. Kalau
sekarang kita tidak membangun dengan kerja keras, hari depan kita akan gelap.
Kita menjadi tertinggal jauh di tengah-tengah bangsa lain. Kalau kita malas,
menerima apa adanya yang ada di depan mata tanpa usaha, maka kehancuran pasti
terjadi.
Cara
berpikir rasional ini tidak jarang memojokkan atau paling tidak menyisihkan
keyakinan. Di manakah kemudian bisa tampak keyakinan terhadap Tuhan dalam cara
berpikir zaman modern ini? Apakah keyakinan itu hanya tinggal bahwa pada awal
Tuhan mencipta, selanjutnya tergantung tingkah laku manusia itu sendiri? Apakah
maju mundurnya kehidupan, makmur-miskinnya bangsa, suka-duka manusia, urusan
mereka sendiri?
Kebaikan, kejahatan, dan dosa mulai disentuh juga oleh akal. Apakah
batasan kebaikan dan kejahatan? Apa gunanya berbuat baik? Mengapa tidak boleh
melakukan kejahatan? Mengapa manusia bisa berbuat jahat? Mengapa bisa melakukan
dosa? Jawaban atas keragu-raguan ini harus diberikan oleh agama dalam dimensi
yang dituntut ilmu pengetahuan.
Pemuka-pemuka agama dihadapkan pada suatu tantangan untuk menerjemahkan
ajaran-ajaran agama ke dalam alur ilmu pengetahuan. Ajaran agama adalah
kebenaran, bagi kita tidak ada persoalan. Tetapi sekarang, bagaimana
pokok-pokok kebenaran yang menjadi keyakinan itu diajarkan kepada bangsa yang
menuju modernisasi dan industrialisasi dengan alur ilmu pengetahuan.
Kalau ini tidak disadari dan dimulai, maka orang akan hidup dengan
rasional karena maju dalam industrialisasi; tetapi mengambang dalam keyakinan
beragama. Bukannya menjadi tidak beragama, tetapi keyakinannya tidak hidup
dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan membawa resiko, manusia kehilangan
nilai-nilai kejujuran, kesabaran, siap menghadapi penderitaan, rendah hati,
kerukunan, dan tanggung jawab. Atau sebaliknya, kalau pemuka agama tidak
menempatkan diri pada alur ilmu pengetahuan, maka orang akan mengembangkan dan
menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pincang.
Tuhan Menyatukan Makhluk
Agama
Buddha memandang Tuhan sebagai Yang Mahaesa, Yang Mutlak, Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan. Tuhan bukan makhluk,
dan juga bukan dewa, bukan alam. Oleh karena apapun yang dipandang sebagai
makhluk atau memiliki sifat makhluk adalah tidak kekal, rangkaian, dan selalu
berubah. Hakikat Tuhan akan disadari oleh semua makhluk pada akhir perjuangan
hidup, akhir penderitaan. Oleh karena itu Tuhan menyatukan semua makhluk.
Keyakinan ini akan membuahkan rasa satu, persaudaraan, kerja sama, dan
saling menghargai. Masing-masing ingin membantu yang lain, tanpa perlu lagi
dikenal nama agamanya, timbul rendah hati, tanggung jawab, jujur, dan cinta
kasih tanpa perlu menonjolkan agama yang dianutnya. Ini bukan berarti identitas
agamanya lenyap, tetapi sikap-sikap yang telah dipunyai itu adalah identitas
agama yang sesungguhnya.
Hukum
Dharma
Timbul tenggelamnya kehidupan, bergeraknya tata surya, dan sesuatu di alam
semesta ini diatur oleh Tuhan dengan dipahami oleh agama Buddha sebagai Hukum
Dharma. Hukum Dharma ini adalah Tuhan sebagai Maha Pengatur, Maha Tahu, ada di
mana-mana. Demikian sepanjang masa, tanpa awal, tanpa akhir dan tanpa berubah.
Hukum Dharma harus dimengerti dan diyakini untuk memberikan arah pada
setiap perbuatan. Kesengsaraan dan kemiskinan adalah akibat dari kelalaian,
kemalasan, kejahatan. Keberhasilan adalah hasil dari kerja keras, disiplin, dan
kebajikan. Hari depan kita adalah tanggung jawab kita. Kita tidak mungkin
menggantungkan diri pada siapapun juga. Berani menghadapi persoalan dalam
kehidupan ini, karena persoalan-persoalan itu tidak kekal. Timbul tenggelam
silih berganti. Apa yang terjadi pada kehidupan kita adalah akibat tindakan
yang kita lakukan sendiri. Kita harus berusaha menyadari dan menerima dengan
wajar. Kemudian berjuang kembali menuju yang lebih baik. Ini adalah Hukum
Dharma yang tidak mungkin berubah.
Kelaparan di Ethiopia, bencana-bencana alam yang banyak membawa korban,
dan segala macam penderitaan hendaknya disadari sebagai akibat yang menjadi
tanggung jawab manusia atas perbautannya. Jawaban ini tidak memberi tempat lagi
bagi akal untuk mempertentangkan kepincangan-kepincangan dunia itu dengan Maha Dewa
atau Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan sebagai Hukum Dharma
meliputi semuanya, baik Buddha, manusia biasa, dewa maupun binatang. Tetapi
pada saat yang sama, penderitaan dan kesulitan menuntut kita untuk melakukan
amal kebajikan. menggunakan sepenuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
menolong orang lain. Melihat penderitaan dan kesulitan dengan tanpa melakukan
amal kebajikan apapun adalah kejahatan mental.
Tuhan
sebagai tujuan semua makhluk, Yang Maha Esa dan Yang Mutlak, dan Tuhan sebagai
Hukum Dharma bukan kebenaran yang datang dari akal. Kebenaran yang merupakan
keyakinan bagi umatnya ini bukan hasil renungan filosofis, tetapi bersumber
pada Penerangan Sempurna (Bodhi) yang dicapai oleh Manusia Yang Telah Bangun
(Buddha). Tetapi keyakinan itu adalah keyakinan yang bisa diterima oleh alur
akal.
Agama Buddha tidak mengakui bahwa akal adalah sumber kebenaran
(atakkavacara). Malahan kalau akal dijadikan sumber kebenaran maka akan timbul
rimba pendapat (takkagahana). Sumber kebenaran adalah pengetahuan langsung
melalui pencapaian. Tetapi karena semua orang mempunyai akal, maka akal harus
dipakai untuk menuntun orang dalam usahanya mencapai pengetahuan langsung.
Akal
harus digunakan untuk memberi pegangan iman. Iman yang diterima akal akan
membuat manusia sepenuhnya beragama, dan sepenuhnya bisa menggunakan serta
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk modernisasi dan
industrialisasi.
Modernisasi
sebagai Kebajikan
Umat
beragama harus bisa menggunakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dengan sepenuhnya demi kesejahteraan dan demi kepentingan
manusiawi seutuhnya. Kerja dengan sungguh-sungguh adalah kebajikan. Sebaliknya,
kerja setengah hati akan membuahkan akibat yang tidak baik, bukan kebajikan.
Hasil kerja yang dimanfaatkan demi kepentingan diri sendiri, keluarga, dan demi
kepentingan bangsa adalah kebajikan. Sebaliknya, kalau mempunyai cara hidup
bahwa hasil kerja keras harus dimiliki sebanyak mungkin, dipakai sedikit dan tidak
peduli orang lain; adalah kejahatan yang muncul dari keserakahan dan kepicikan.
Umat
beragama menggunakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan penuh
kesungguhan, sebagai upaya memupuk amal kebajikan tanpa kontradiksi dalam
dirinya dengan keyakinan agama. Dampak-dampak negatif yang muncul dari
modernisasi dan industrialisasi, dan persoalan-persoalan kehidupan harus
dihadapi dengan ulet dan sabar, siap menderita, tidak gampang mengeluh dan
menyerah.
Kesulitan hidup yang disadari sebagai ketidak-kekalan akan dihadapi
dengan lebih banyak mendalami pengetahuan agama. Semua itu akan menumbuhkan dan
memperkuat sikap-sikap mental: keuletan, ketabahan, kebijaksanaan; dan makin
teguhnya keyakinan terhadap Tuhan. Semua itu adalah kebajikan dalam iman.
Umat
beragama seperti pisau. Ilmu pengetahuan dan teknologi laksana batu asah.
Setelah diasah tajam, pisau digunakan untuk berbagai keperluan dengan fungsi
utama memotong. Ketajaman sebagai kebajikan. Kebajikan menyebabkan terpotongnya
kemalasan, kekikiran, keserakahan, keputus-asaan, dan kejahatan. Juga
terpotongnya keterbelakangan, kesengsaraan, dan kemiskinan. Selesai tugas
memotong, selesailah kewajiban hidup.
Cita-cita bersama mewujudkan citra masyarakat Pancasila yang utuh
sejahtera, beragama sepenuhnya dan berteknologi modern bukan suatu impian.
Tetapi benar-benar paduan harmoni yang bisa terwujud.***
Sumber : KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 3; Sri
Paññavaro Thera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar