KELAHIRAN KEMBALI
1. “Orang yang terlahir kembali, Nagasena, apakah dia orang yang sama atau berbeda?”
“Bukan sama namun juga bukan berbeda.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Sama halnya seperti susu yang pertama-tama berubah menjadi dadih lalu menjadi mentega dan kemudian menjadi ghee. Tidak benar bila dikatakan bahwa ghee, mentega, dan dadih tersebut sama dengan susu, tetapi semuanya itu berasal dari susu. Begitu juga tidaklah benar bila dikatakan bahwa ghee, mentega, dan dadih itu sesuatu yang bukan susu.”
2. “Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali itu menyadari tentang kenyataan ini?”
“Ya, baginda.”
“Bagaimana dia tahu?”
“Dengan lenyapnya semua yang menjadi penyebab atau kondisi dari kelahiran kembali. Seperti halnya seorang petani yang tidak membajak atau menabur atau memanen akan mengetahui bahwa lumbungnya tidak akan terisi.”
3. “Nagasena, di dalam diri seseorang di mana pengetahuan (ñana) telah timbul, apakah kebijaksanaan (pañña) juga timbul?”
“Ya, baginda.”
“Apakah pengetahuan sama dengan kebijaksanaan?”
“Ya, baginda.”
“Kalau begitu, apakah dengan pengetahuan dan kebijaksanaan itu ada kemungkinan dia tidak mengetahui tentang suatu hal?”
“Dia akan tetap berada di dalam ketidaktahuan tentang hal-hal yang belum dipelajarinya. Akan tetapi mengenai hal yang telah dicapai oleh kebijaksanaan -yaitu pemahaman tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tidak-adanya-diri- dia tidak akan tidak tahu.”
“Kalau begitu, apa yang terjadi pada pandangan kelirunya tentang hal-hal itu tadi?”
“Pada saat pengetahuan muncul, pada saat itu pula pandangan salahnya lenyap. Seperti ketika sinar datang, maka kegelapan pun hilang.”
“Tetapi apa yang terjadi pada kebijaksanaannya?”
“Setelah melakukan tugasnya, kebijaksanaan itu kemudian lenyap; tetapi pengertian orang itu tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tidak-adanya-diri tidak ikut lenyap.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Seperti halnya orang yang ingin menulis surat pada malam hari akan menyalakan lampu dan kemudian menulis surat tersebut. Setelah selesai dia akan memadamkan lampu. Tetapi meskipun lampu telah dipadamkan, suratnya tetap ada.”
4. “Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali merasakan kesakitan?”
“Mungkin dia merasakan kesakitan fisik, O baginda, tetapi bukan kesakitan mental.”
“Jika dia merasakan kesakitan fisik, mengapa dia tidak mati saja dan mencapai keadaan lenyapnya kemelekatan, dan menghentikan penderitaan?”
“Arahat tidak memiliki kesukaan atau kebencian terhadap kehidupan. Dia tidak menggoncangkan pohon agar buahnya yang masih belum matang jatuh, melainkan menanti sehingga buahnya masak. Demikian ini dikatakan oleh Bhante Sariputta, siswa utama Sang Buddha:
‘Bukan kematian, atau kelahiran yang kunantikan;
Bagaikan pekerja menantikan upah, aku menantikan waktuku.
Bukan kematian atau kelahiran yang kurindukan,
Dengan waspada dan jelas mengerti,
Begitulah aku menantikan waktuku’.”
5. “Apakah perasaan yang menyenangkan itu bermanfaat, tidak bermanfaat, atau netral?”
“Mungkin salah satu di antara tiga itu.”
“Tetapi, Yang Mulia, tentunya jika kondisi yang bermanfaat itu tidak menyakitkan, sedangkan yang menyakitkan itu tidak bermanfaat, maka tidak akan mungkin ada keadaan yang bermanfaat yang sekaligus menyakitkan.”
“Bagaimana pendapat baginda seandainya saja ada orang yang memegang bola besi panas di satu tangannya, dan di tangan lain menggenggam bongkah es, apakah kedua-duanya akan menyakitkan orang itu?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu hipotesa baginda pasti keliru. Jika keduanya tidak sama-sama panas, tetapi rasa panas itu menyakitkan, atau jika keduanya tidak sama-sama dingin, tetapi rasa dingin itu menyakitkan, maka rasa sakit itu tidak datang dari rasa panas atau dingin.”
“Aku tidak mampu berbantahan dengan Anda. Tolong jelaskan.”
Kemudian Nagasena mengajarkan Abhidhamma:- “Ada enam rasa senang yang berhubungan dengan kehidupan duniawi dan enam yang berhubungan dengan kehidupan orang yang telah meninggalkan keduniawian; enam kesengsaraan di dalam kehidupan duniawi dan enam di dalam kehidupan orang yang telah meninggalkan keduniawian; dan enam perasaan netral pada kedua-duanya. Semuanya ada tiga puluh enam. Kemudian ada tiga puluh enam perasaan pada masa lalu, pada masa kini, dan semuanya ada seratus delapan perasaan.”
6. “Apa yang terlahir kembali itu, Nagasena?’
“Batin dan jasmani.”
“Apakah batin dan jasmani yang ini juga yang terlahir kembali?”
“Bukan, tetapi oleh batin dan jasmani inilah maka perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itulah maka batin dan jasmani yang lain terlahir kembali. Walaupun demikian, batin dan jasmani itu tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Seperti halnya api yang dinyalakan seseorang. Setelah merasa hangat, mungkin orang itu pergi meninggalkan dalam keadaan menyala. Andaikan saja api tersebut kemudian menjalar dan membakar ladang orang lain, lalu pemilik ladang itu menyeretnya ke hadapan raja serta menuntut orang yang menyalakan api tersebut. Bila dia berkata, ‘Baginda yang mulia, saya tidak membakar ladang orang ini. Api yang saya tinggalkan itu berbeda dengan api yang membakar ladang orang ini. Saya tidak bersalah’, apakah dia patut dihukum?”
“Tentu saja, karena tak peduli apa pun yang dia katakan, api itu berasal dari api sebelumnya.”
“Demikian juga, O baginda, oleh batin dan jasmani ini perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itu maka batin dan jasmani baru akan terlahir kembali; tetapi batin dan jasmani tersebut tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.”
7. “Apakah Anda, Nagasena, akan terlahir kembali?”
“Apa gunanya menanyakan hal itu lagi? Bukankah telah saya katakan bahwa jika saya mati dengan nafsu keinginan di pikiran saya, maka saya akan terlahir kembali? Jika tidak, ya tidak.”
8. “Anda tadi baru saja menjelaskan tentang batin dan jasmani. Apakah batin itu, dan apakah jasmani itu?”
“Apa pun yang kasar adalah jasmani (materi). Apa pun yang halus dan pikiran atau keadaan mental, adalah batin (mentalitas).”
“Mengapa jasmani dan batin ini tidak dilahirkan secara terpisah?”
“Kondisi-kondisi ini saling berhubungan seperti halnya kuning telur dan kulitnya. Keduanya selalu timbul bersama dan hubungan ini sudah ada sejak waktu yang lama sekali.” 3
9. “Nagasena, ketika Anda mengatakan, ‘Waktu yang lama sekali’, apakah artinya? Apakah ‘waktu’ itu ada?”
“Waktu berarti masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Bagi beberapa orang, waktu itu ada; bagi orang lain tidak. Di mana ada makhluk yang akan dilahirkan kembali, bagi mereka waktu itu ada; di mana ada makhluk yang tidak akan terlahir kembali, bagi mereka waktu itu tidak ada.”
“Bagus sekali, Nagasena, Anda pandai menjawab.”
Catatan:
Thag.1002,1003.
Perbuatan-perbuatan bajik tidak menyakitkan hasilnya, tetapi mungkin kita sulit melakukannya karena kemelekatan dan kebencian kita. Padahal kekotoran batinlah yang menyebabkan kita menderita bukan perbuatan bajik. Perbuatan-perbuatan jahat menyakitkan hasilnya, tetapi mungkin kita senang melakukannya karena kebodohan kita. Kemudian bila hasilnya datang, kita harus menderita.
Rhys Davids, dengan menggunakan Teks Sinhala, membaca kalimat ini sebagai evametam dighamaddhanam sambhavitam tetapi di Teks Burma tertulis: sandhavitam.
www.samaggi-phala.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar