Selasa, 03 Januari 2012

BAB ENAM




Kelompok Enam




116. Bagaimana Seorang Siswa Agung Berdiam
Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Kapilavatthu di Vihara Pohon Beringin. Pada saat itu seorang suku Sakya bernama Mahanama mendekati Yang Terberkahi, menghormat Beliau dan duduk di satu sisi.1 Setelah duduk, dia berkata kepada Yang Terberkahi:
“Tuan, dengan cara bagaimana seorang siswa agung sering berdiam bila dia telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran?” 2
“Mahanama, bila seorang siswa agung telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran, dia sering berdiam dengan cara ini. Di sini seorang siswa agung mengingat Sang Tathagata demikian: ‘Yang Terberkahi adalah arahat … (seperti dalam Teks 92) … guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Terberkahi.’ Ketika siswa agung mengingat Sang Tathagata demikian, pada saat itu pikirannya tidak terobsesi oleh nafsu, kebencian atau kebodohan batin; pikirannya lurus, dengan Sang Tathagata sebagai objeknya. Siswa agung yang pikirannya lurus akan memperoleh inspirasi dari makna, inspirasi Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika dia gembira, suka-cita muncul; bagi orang yang terangkat oleh suka-cita, tubuhnya menjadi tenang; orang yang tenang tubuhnya akan merasa bahagia; pikiran orang yang bahagia akan menjadi terkonsentrasi. Ini disebut siswa agung yang berdiam secara mantap di antara generasi yang tidak mantap, yang berdiam tak-menderita di antara generasi yang menderita, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan terhadap Buddha.
“Selanjutnya, Mahanama, seorang siswa agung mengingat Dhamma demikian: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Yang Terberkahi, segera terlihat, tidak tergantung waktu, mengundang orang untuk datang dan melihat, berharga untuk diterapkan, harus dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika siswa agung mengingat Dhamma demikian, pada saat itu pikirannya tidak terobsesi oleh nafsu, kebencian atau kebodohan batin; pikirannya lurus, dengan Dhamma sebagai objeknya … ini disebut siswa agung yang berdiam dengan mantap di antara generasi yang tidak mantap, yang berdiam tak-menderita di antara generasi yang menderita, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan terhadap Dhamma.
“Selanjutnya, Mahanama, seorang siswa agung mengingat Sangha demikian: ‘Sangha siswa-siswa Yang Terberkahi mempraktekkan jalan yang baik, mempraktekkan jalan yang lurus, mempraktekkan jalan yang benar, mempraktekkan jalan yang pantas; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu – Sangha siswa Yang Terberkahi ini pantas memperoleh pemberian, pantas menerima keramah-tamahan, pantas menerima persembahan, pantas mendapatkan penghormatan, ladang jasa yang tak tertandingi bagi dunia. Ketika siswa agung merenungkan Sangha demikian, pada saat itu pikirannya tidak terobsesi oleh nafsu, kebencian atau kebodohan batin; pikirannya lurus, dengan Sangha sebagai objeknya … ini disebut siswa agung yang berdiam dengan mantap di antara generasi yang tidak mantap, yang berdiam tak-menderita di antara generasi yang menderita, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan terhadap Sangha.
“Selanjutnya, Mahanama, seorang siswa agung mengingat moralitasnya sendiri demikian: ‘Aku memiliki moralitas yang dihargai oleh orang-orang agung, tidak patah, tidak robek, tidak ternoda, tidak cacat, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak melekat, menuju pada konsentrasi.’ 3Ketika siswa agung merenungkan moralitasnya demikian, pada saat itu pikirannya tidak terobsesi oleh nafsu, kebencian atau kebodohan batin; pikirannya lurus, dengan moralitas sebagai objeknya … ini disebut siswa agung yang berdiam dengan mantap di antara generasi yang tidak mantap, yang berdiam tak-menderita di antara generasi yang menderita, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan akan moralitas.
“Selanjutnya, Mahanama, seorang siswa agung mengingat kemurahan hatinya sendiri demikian: ‘Kemurahan hati ini merupakan keuntungan bagiku, ini diperoleh dengan baik olehku, bahwa di generasi yang diobsesi oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang tak-ternoda oleh kekikiran, dermawan secara bebas, dengan tangan terbuka, bergembira dalam melepas, orang yang membaktikan diri untuk berdana, bergembira dalam berbagi dan memberi.’ 4 Ketika siswa agung merenungkan kedermawanannya demikian, pada saat itu pikirannya tidak terobsesi oleh nafsu, kebencian atau kebodohan batin; pikirannya lurus, dengan kedermawanan sebagai objeknya … ini disebut siswa agung yang berdiam dengan mantap di antara generasi yang tidak mantap, yang berdiam tak-menderita di antara generasi yang menderita, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan akan kedermawanan.
“Selanjutnya, Mahanama, seorang siswa agung mengembangkan perenungan terhadap para dewa demikian: ‘Ada dewa-dewa di surga Empat Raja Besar, dewa-dewa Tavatimsa, dewa-dewa Yama, dewa-dewa Tusita, dewa-dewa Yang Bergembira Dalam Penciptaan, dewa-dewa Yang Menguasai Apa Yang Diciptakan Oleh Yang Lain, dewa-dewa Kelompok Brahma, dan dewa-dewa yang lebih tinggi daripada ini.5 Terdapat di dalam diriku keyakinan seperti yang dimiliki para dewa itu, yang menyebabkan mereka telah terlahir kembali di sana ketika mereka mati dari alam ini; terdapat di dalam diriku moralitas seperti itu … pelajaran seperti itu … kedermawanan seperti itu … kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para dewa yang menyebabkan mereka telah terlahir kembali di sana ketika mereka meninggal dari alam ini.’ Ketika seorang siswa agung merenungkan keyakinannya sendiri, moralitasnya sendiri, belajarnya sendiri, kedermawanannya sendiri, kebijaksanaannya sendiri, termasuk juga sifat-sifat itu di dalam diri para dewa, pada saat itu pikirannya tidak terobsesi oleh nafsu, kebencian atau kebodohan batin; pikirannya lurus, dengan para dewa sebagai objeknya …. Ini disebut siswa agung yang berdiam dengan mantap di antara generasi yang tidak mantap, yang berdiam tak-menderita di antara generasi yang menderita, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan akan para dewa.
“Mahanama, seorang siswa agung yang telah sampai pada buah dan memahami ajaran sering berdiam dengan cara ini.”
(VI, 10)
117. Prinsip-prinsip Keramahtamahan
Para bhikkhu, ada enam prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat dan menuju sifat mau membantu, tanpa perselisihan, keharmonisan dan kesatuan. Apakah yang enam itu?
Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan perbuatan-perbuatan cinta kasih lewat fisik -baik di tempat umum maupun secara pribadi- terhadap sesama bhikkhu. Ini merupakan prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat ….
Demikian juga, seorang bhikkhu mempertahankan perbuatan-perbuatan cinta kasih lewat ucapan -baik di tempat umum maupun secara pribadi- terhadap sesama bhikkhu. Ini juga merupakan prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat ….
Demikian juga, seorang bhikkhu mempertahankan perbuatan-perbuatan cinta kasih secara mental -baik di tempat umum maupun secara pribadi- terhadap sesama bhikkhu. Ini juga merupakan prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat ….
Demikian juga, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda yang sama dengan sesama bhikkhu yang luhur: tanpa keberatan, dia berbagi bersama mereka apa pun hasil yang telah diperoleh dengan benar, termasuk bahkan isi mangkoknya. Ini juga merupakan prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat ….
Demikian juga, seorang bhikkhu berdiam -baik di tempat umum maupun secara pribadi- dengan memiliki kesamaan dengan sesama bhikkhu mengenai moralitas yang tidak terpatahkan, tidak terkoyak, tidak cacat, tidak ternoda, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dilekati, menuju pada konsentrasi. Ini juga merupakan prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat ….
Demikian juga, seorang bhikkhu berdiam -baik di tempat umum maupun secara pribadi- dengan memiliki kesamaan dengan sesama bhikkhu mengenai pandangan yang luhur dan membebaskan, serta yang membawa orang yang bertindak demikian pada hancurnya penderitaan secara total.6 Ini juga merupakan prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat ….
Para bhikkhu, inilah prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat serta membawa pada sikap suka membantu, tanpa-perselisihan, keharmonian dan kesatuan.
(VI,12)
118. Enam Rute Jalan Keluar
Para bhikkhu ada enam rute jalan keluar.7 Apakah yang enam itu?
Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin berkata: “Aku telah mengembangkan dan mengolah pembebasan pikiran lewat cinta kasih, membuatnya sebagai kendaraan dan landasanku, dengan kokoh membentuknya, mengukuhkannya, dan dengan benar menjalankannya, namun tetap saja niat jahat masih mengobsesi pikiranku.” Dia harus diberitahu: “Tidak demikian! Yang mulia tidak boleh berkata demikian. Janganlah menyalahtafsirkan Yang Terberkahi; karena tidak baik salah-menafsirkan Yang Terberkahi. Yang Terberkahi tentu tidak akan berbicara dengan cara demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal bila orang mengolah pembebasan pikiran lewat cinta kasih … dengan benar menjalankannya, namun tetap saja niat jahat masih mengobsesi pikiran seseorang: tidak ada kemungkinan semacam itu. Karena, sahabat, inilah jalan keluar dari niat jahat, yaitu pembebasan pikiran lewat cinta kasih.”
Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu di sini mungkin berkata: “Aku telah mengembangkan dan mengolah pembebasan pikiran lewat kasih sayang, membuatnya sebagai kendaraan dan landasanku, dengan kokoh membentuknya, mengukuhkannya, dan dengan benar menjalankannya, namun tetap saja kekejaman masih mengobsesi pikiranku.” Dia harus diberitahu: “Tidak demikian! Yang mulia tidak boleh berkata demikian …. tidak ada kemungkinan semacam itu. Karena, sahabat, inilah jalan keluar dari kekejaman yaitu pembebasan pikiran lewat kasih sayang.”
Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu di sini mungkin berkata: “Aku telah mengembangkan dan mengolah pembebasan pikiran lewat suka-cita simpati, membuatnya sebagai kendaraan dan landasanku, dengan kokoh membentuknya, mengukuhkannya, dan dengan benar menjalankannya, namun tetap saja ketidakpuasan masih mengobsesi pikiranku.” Dia harus diberitahu: “Tidak demikian! Yang mulia tidak boleh berkata demikian … tidak ada kemungkinan semacam itu. Karena, sahabat, inilah jalan keluar dari ketidakpuasan, yaitu pembebasan pikiran suka-cita simpati.”
Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu di sini mungkin berkata: “Aku telah mengembangkan dan mengolah pembebasan pikiran lewat ketenangseimbangan, membuatnya sebagai kendaraan dan landasanku, dengan kokoh membentuknya, mengukuhkannya, dan dengan benar menjalankannya, namun tetap saja kemelekatan masih mengobsesi pikiranku.” 8 Dia harus diberitahu: “Tidak demikian! Yang mulia tidak boleh berkata demikian …. tidak ada kemungkinan semacam itu. Karena, sahabat, inilah jalan keluar dari kemelekatan, yaitu, pembebasan pikiran lewat ketenangseimbangan.”
Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu di sini mungkin berkata: “Aku telah mengembangkan dan mengolah pembebasan pikiran tanpa-tanda, membuatnya sebagai kendaraan dan landasanku, dengan kokoh membentuknya, mengukuhkannya, dan dengan benar menjalankannya, namun tetap saja kesadaranku masih mengejar tanda.” 9 Dia harus diberitahu: “Tidak demikian! Yang mulia tidak boleh berkata demikian. Janganlah menyalahtafsirkan Yang Terberkahi; karena tidak baik salah-menafsirkan Yang Terberkahi. Yang Terberkahi tentu tidak akan berbicara dengan cara demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal bila orang mengembangkan pembebasan pikiran tanpa-tanda … dengan benar menjalankannya, namun tetap saja kesadarannya masih mengejar tanda: tidak ada kemungkinan semacam itu. Karena, sahabat, inilah jalan keluar dari semua tanda, yaitu pembebasan pikiran lewat tanda.”
Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu di sini mungkin berkata: “Aku telah meninggalkan (pandangan) ‘Aku ada’, dan aku tidak menganggap apa pun sebagai ‘Ini adalah aku’, namun tetap saja anak panah keraguan dan kebingungan masih mengobsesi pikiranku.” 10 Dia harus diberitahu: “Tidak demikian! Yang mulia tidak boleh berkata demikian. Janganlah menyalahtafsirkan Yang Terberkahi; karena tidak baik salah-menafsirkan Yang Terberkahi. Yang Terberkahi tentu tidak akan berkata dengan cara demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal bila ketika (pandangan) ‘Aku ada’ telah ditinggalkan, dan orang tidak menganggap apa pun sebagai ‘Inilah aku’, namun tetap saja anak panah keraguan dan kebingungan masih mengobsesi pikirannya: tidak ada kemungkinan semacam itu. Karena inilah, sahabat, jalan keluar dari anak panah keraguan dan kebingungan, yaitu tercabutnya akar kesombongan tentang ‘Aku ada’.”
Inilah, para bhikkhu, enam rute jalan keluar.
(VI, 13)
119. Nafsu Indera
Para bhikkhu, “bahaya” adalah nama untuk nafsu indera, “penderitaan” adalah nama untuk nafsu indera, “penyakit” adalah nama untuk nafsu indera, “tumor” … “belenggu”… “kekacauan” adalah nama untuk nafsu indera.
Mengapa, para bhikkhu, “bahaya” adalah nama untuk nafsu indera? Terbakar oleh nafsu-nafsu indera dan terbelenggu di dalam nafsu indera, orang tidak terbebas dari bahaya-bahaya alam ini, dan juga tidak terbebas dari bahaya alam berikutnya.
Terbakar oleh nafsu-nafsu indera dan terbelenggu di dalam nafsu indera, orang tidak terbebas dari penderitaan, penyakit, tumor, belenggu, kekacauan di alam ini atau di alam berikutnya.
(VI, 23)
120. Enam Hal yang Tak Tertandingi
Para bhikkhu, ada enam hal yang tidak tertandingi ini.11 Apakah yang enam itu?
“Melihat” yang tak tertandingi, “mendengar” yang tak tertandingi, “perolehan” yang tak tertandingi, “latihan” yang tak tertandingi, “pelayanan” yang tak tertandingi dan “perenungan” yang tak tertandingi.
Apakah “melihat” yang tak tertandingi itu? Di sini, para bhikkhu, beberapa pergi untuk melihat harta gajah, harta kuda, harta perhiasan, atau melihat ini atau itu; atau kalau tidak, mereka pergi untuk melihat dan menemui petapa atau brahmana yang berpandangan salah, yang berpraktek salah.12Para bhikkhu, itukah yang disebut “melihat”? Tidak, kukatakan bukan demikian, karena “melihat” seperti itu sungguh-sungguh rendah, biasa, duniawi, tidak agung dan tidak bermanfaat; tidak juga menuju pada hilangnya kekecewaan, hilangnya nafsu, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana. Tetapi bila orang pergi untuk melihat dan menemui Sang Tathagata atau siswa Sang Tathagata, mantap di dalam keyakinan, mantap di dalam cinta kasih, benar-benar pergi untuk berlindung, secara tenang merasa yakin: O para bhikkhu, itulah “melihat” yang tak tertandingi untuk pemurnian para makhluk, untuk melampaui kesengsaraan dan ratap tangis, untuk hancurnya penderitaan dan kesedihan, untuk mencapai jalan mulia, untuk realisasi Nibbana.13 Inilah, para bhikkhu, yang disebut “melihat” yang tak tertandingi.
Demikianlah “melihat” yang tak tertandingi itu, tetapi apakah “mendengar” yang tak tertandingi itu? Di sini, para bhikkhu, beberapa orang pergi untuk mendengarkan suara drum, suara seruling, suara nyanyian, atau mendengarkan ini atau itu; kalau tidak, mereka pergi untuk mendengarkan para petapa atau brahmana yang berpandangan salah, atau berpraktek salah. Itukah, para bhikkhu, yang disebut “mendengar”? Tidak, kukatakan bukan demikian, karena “mendengar” seperti itu sungguh-sungguh rendah … tidak juga menuju pada hilangnya kekecewaan … dan Nibbana. Tetapi ketika orang pergi untuk mendengarkan Dhamma dari Sang Tathagata atau siswa Sang Tathagata, mantap di dalam keyakinan, mantap di dalam cinta kasih, benar-benar pergi untuk berlindung, secara tenang merasa yakin: O para bhikkhu, itulah “mendengar” yang tak tertandingi untuk pemurnian para makhluk, untuk melampaui kesengsaraan dan ratap tangis, untuk hancurnya penderitaan dan kesedihan, untuk mencapai jalan mulia, untuk realisasi Nibbana. Inilah, para bhikkhu, yang disebut “mendengar” yang tak tertandingi.
Demikianlah “melihat” yang tak tertandingi dan “mendengar” yang tak tertandingi; tetapi apakah “perolehan” yang tak tertandingi itu? Di sini, para bhikkhu, beberapa orang memperoleh anak, memperoleh istri, memperoleh kekayaan, memperoleh ini atau itu; kalau tidak, mereka memperoleh keyakinan di dalam petapa atau brahmana yang berpandangan salah, yang berpraktek salah. Itukah, para bhikkhu, yang disebut “perolehan”? Tidak, kukatakan bukan demikian, karena perolehan itu sungguh-sungguh rendah … tidak juga menuju pada hilangnya kekecewaan … dan Nibbana. Tetapi ketika orang memperoleh keyakinan di dalam Sang Tathagata atau siswa Sang Tathagata, mantap di dalam keyakinan, mantap di dalam cinta kasih, benar-benar pergi untuk berlindung, dengan tenang merasa yakin: itulah, O para bhikkhu, “perolehan” yang tak tertandingi untuk pemurnian para makhluk, untuk melampaui kesengsaraan dan ratap tangis, untuk hancurnya penderitaan dan kesedihan, untuk mencapai jalan mulia, untuk realisasi Nibbana. Inilah, para bhikkhu, yang disebut perolehan yang tak tertandingi.
“Demikianlah ‘melihat’ yang tak tertandingi, ‘mendengar’ yang tak tertandingi, ‘perolehan’ yang tak tertandingi, tetapi apakah ‘latihan’ yang tak tertandingi itu? Di sini, para bhikkhu, beberapa orang berlatih agar ahli menunggang gajah, ahli berkuda, ahli mengendarai kereta, ahli memanah, ahli menggunakan pedang, atau ini atau itu; kalau tidak, mereka berlatih di bawah petapa atau brahmana yang berpandangan salah, yang berpraktek salah. Itukah, para bhikkhu, yang disebut ‘latihan’? Tidak, kukatakan bukan demikian, karena latihan seperti itu sungguh-sungguh rendah … tidak juga menuju pada hilangnya kekecewaan … dan Nibbana. Tetapi ketika orang berlatih di dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi dan kebijaksanaan yang lebih tinggi sebagaimana diajarkan di dalam Dhamma dan Vinaya yang dibabarkan oleh Sang Tathagata, mantap di dalam keyakinan, mantap di dalam cinta kasih, benar-benar pergi untuk berlindung, dengan tenang merasa yakin: O para bhikkhu, itulah latihan yang tak tertandingi untuk pemurnian para makhluk, untuk melampaui kesengsaraan dan ratap tangis, untuk hancurnya penderitaan dan kesedihan, untuk mencapai jalan mulia, untuk realisasi Nibbana. Inilah, para bhikkhu, yang disebut latihan yang tak tertandingi.
“Demikianlah ‘melihat’ yang tak tertandingi, ‘mendengar’ yang tak tertandingi, ‘perolehan’ yang tak tertandingi dan ‘latihan’ yang tak tertandingi; tetapi apakah ‘pelayanan’ yang tak tertandingi itu? Di sini, para bhikkhu, beberapa orang melayani raja, brahmana, perumah tangga, atau orang ini atau itu; kalau tidak, mereka melayani petapa atau brahmana yang berpandangan salah, yang berpraktek salah. Itukah, para bhikkhu, yang disebut ‘pelayanan’? Tidak, kukatakan bukan demikian, karena pelayanan seperti itu sungguh-sungguh rendah … tidak juga menuju pada hilangnya kekecewaan … dan Nibbana. Tetapi ketika orang melayani Sang Tathagata atau siswa Sang Tathagata, mantap di dalam keyakinan, mantap di dalam cinta kasih, benar-benar pergi untuk berlindung, dengan tenang merasa yakin: O para bhikkhu, itulah pelayanan yang tak tertandingi untuk pemurnian para makhluk, untuk melampaui kesengsaraan dan ratap tangis, untuk hancurnya penderitaan dan kesedihan, untuk mencapai jalan mulia, untuk realisasi Nibbana. Inilah, para bhikkhu, yang disebut pelayanan tak tertandingi.
“Demikianlah ‘melihat’ yang tak tertandingi, ‘mendengar’ yang tak tertandingi, ‘perolehan’ yang tak tertandingi, ‘latihan’ yang tak tertandingi, dan ‘pelayanan’ yang tak tertandingi; tetapi apakah ‘perenungan’ yang tak tertandingi itu? Di sini, para bhikkhu, beberapa orang merenungkan memperoleh anak, memperoleh istri, memperoleh kekayaan, atau merenungkan ini atau itu; kalau tidak, mereka merenungkan petapa atau brahmana yang berpandangan salah, yang berpraktek salah. Itukah, para bhikkhu, yang disebut ‘perenungan’? Tidak, kukatakan bukan demikian, karena perenungan seperti itu sungguh-sungguh rendah, biasa, duniawi, tidak agung, tidak bermanfaat; tidak juga menuju pada hilangnya kekecewaan, lenyapnya nafsu, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana. Tetapi ketika orang merenungkan Sang Tathagata atau siswa Sang Tathagata, mantap di dalam keyakinan, mantap di dalam cinta kasih, benar-benar pergi untuk berlindung, dengan tenang merasa yakin: O para bhikkhu, itulah yang disebut perenungan tak tertandingi untuk pemurnian para makhluk, untuk melampaui kesengsaraan dan ratap tangis, untuk hancurnya penderitaan dan kesedihan, untuk mencapai jalan mulia, untuk realisasi Nibbana. Inilah, para bhikkhu, yang disebut perenungan yang tak tertandingi.
Para bhikkhu, inilah enam hal yang tak tertandingi.
(VI, 30)
121. Akar-akar Perselisihan
Para bhikkhu, ada enam akar perselisihan ini. Apakah yang enam itu?
Di sini, seorang bhikkhu marah dan penuh dendam; atau tidak hormat dan mendominasi, atau iri hati dan serakah; atau suka menipu dan berbohong; atau dia memiliki keinginan-keinginan yang jahat serta pandangan-pandangan yang salah; atau dia melekat pada pandangannya sendiri, mengukuhinya dengan sangat dan sulit melepaskan pandangan-pandangan itu. Bhikkhu seperti itu tidak memiliki rasa hormat terhadap Sang Guru, Dhamma dan Sangha, dan dia tidak menjalankan latihan. Bhikkhu seperti itu akan menciptakan perselisihan di dalam Sangha, yang akan menjadi kerugian, ketidakbahagiaan dan kehilangan bagi orang banyak, untuk menciptakan kerugian dan penderitaan para dewa dan manusia. Jika kalian melihat akar-akar perselisihan yang mana pun -baik di dalam diri sendiri atau di luar diri- kalian harus berusaha meninggalkan akar-akar perselisihan jahat yang seperti itu. Dan jika kalian tidak melihat akar-akar perselisihan ini -baik di dalam diri atau di luar diri- kalian harus berlatih sedemikian rupa sehingga akar-akar perselisihan jahat seperti itu tidak muncul di masa mendatang. Dengan demikian akar-akar perselisihan jahat itu ditinggalkan; dengan demikian tidak ada letupan akar-akar perselisihan jahat itu di masa mendatang.
Inilah, para bhikkhu, enam akar perselisihan.
(VI, 36)
122. Penyebab-penyebab bagi Asal Mula Tindakan
Ada tiga penyebab bagi asal mula tindakan.14 Keserakahan adalah penyebab bagi asal mula tindakan. Kebencian adalah penyebab bagi asal mula tindakan. Kebodohan adalah penyebab bagi asal mula tindakan.
Para bhikkhu, bukanlah tanpa-keserakahan yang muncul dari keserakahan; justru keserakahanlah yang muncul lagi dari keserakahan. Bukanlah tanpa-kebencian yang muncul dari kebencian; justru kebencianlah yang muncul lagi dari kebencian. Bukan tanpa-kebodohan yang muncul dari kebodohan; justru kebodohanlah yang muncul lagi dari kebodohan.
Bukanlah melalui tindakan yang terlahir dari keserakahan, kebencian atau kebodohan maka muncullah para dewa, manusia atau makhluk-makhluk lain yang menuju ke alam yang baik; justru makhluk-makhluk dari alam neraka, alam binatang, dan alam setan kelaparan atau alam-alam lain yang buruklah yang muncul melalui tindakan yang terlahir dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Inilah tiga penyebab bagi asal mula tindakan-tindakan yang tidak bajik.
Ada tiga penyebab lain bagi asal mula tindakan. Tanpa-keserakahan adalah penyebab bagi asal mula tindakan, tanpa-kebencian adalah penyebab bagi asal mula tindakan, tanpa-kebodohan adalah penyebab bagi asal mula tindakan.
Para bhikkhu, bukanlah keserakahan yang muncul dari non-keserakahan; justru tanpa-keserakahanlah yang muncul lagi dari tanpa-keserakahan. Bukanlah kebencian yang muncul dari tanpa-kebencian; justru tanpa-kebencianlah yang muncul lagi dari tanpa-kebencian. Bukanlah kebodohan yang muncul dari tanpa-kebodohan; justru tanpa-kebodohanlah yang muncul lagi dari tanpa-kebodohan batin.
Bukan melalui tindakan yang terlahir dari tanpa-keserakahan, tanpa-kebencian, dan tanpa-kebodohan batin maka muncul para makhluk dari neraka, dari alam binatang, atau dari alam setan kelaparan, atau alam-alam buruk lainnya; justru para dewa, manusia, atau makhluk-makhluk lain yang ada di alam-alam lain yang bahagia yang muncul melalui tindakan yang terlahir dari tanpa-keserakahan, tanpa-kebencian dan tanpa-kebodohan.
Inilah tiga penyebab bagi asal mula tindakan-tindakan yang bajik.
(VI, 39)
123. Jangan Menghakimi Orang Lain!
Suatu ketika YM Ananda, setelah mengenakan jubahnya di pagi hari, membawa mangkuknya dan pergi ke rumah Migasala, seorang siswa awam wanita. Di situ beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah memberikan hormat, siswa awam wanita Migasala itu duduk di satu sisi dan berkata:
“Tuan Yang Mulia, bagaimanakah seharusnya orang memahami ajaran yang diajarkan oleh Yang Terberkahi ini: yaitu, bahwa orang yang menjalankan kehidupan yang murni dan selibat serta orang yang tidak menjalankannya, setelah kematian keduanya akan memiliki status yang persis sama? Tuan Yang Mulia, ayah saya Purana (di tahun-tahun terakhirnya) hidup selibat, jauh dari sensualitas, tidak menjalani kehidupan seksual yang rendah. Ketika ayah saya meninggal, Yang Terberkahi menyatakan bahwa dia telah mencapai keadaan yang-kembali-sekali-lagi dan telah terlahir lagi di antara para dewa Tusita.15
“Tetapi Yang Mulia, ayah saya mempunyai saudara bernama Isidatta, yang tidak selibat. Dia menjalani kehidupan perkawinan yang memuaskan. Ketika dia meninggal, Yang Terberkahi berkata bahwa dia juga mencapai keadaan yang-kembali-lagi dan telah terlahir lagi di antara para dewa Tusita.
“Yang Mulia Ananda, kalau demikian, bagaimanakah orang harus memahami pernyataan Yang Terberkahi ini, bahwa keduanya memiliki status yang persis sama?”
“Saudari, hanya dalam hal itu sajalah Yang Terberkahi menyatakan demikian.”
Ketika YM Ananda telah menerima dana makanan dari siswa awam wanita Migasala, beliau bangkit dari duduknya dan pergi. Dan di siang hari, setelah waktu makan, beliau pergi menghadap Yang Terberkahi, memberi hormat dan duduk di satu sisi. Setelah duduk, beliau memberi tahukan apa yang telah terjadi kepada Yang Terberkahi.
Yang Terberkahi berkata: “Siapakah sesungguhnya siswa awam wanita Migasala ini, wanita yang bodoh dan tidak berpengalaman, dengan akal wanita? Dan siapakah (dalam perbandingan) mereka yang memiliki pengetahuan mengenai sifat-sifat orang lain yang berbeda-beda.16
“Ananda, ada enam jenis orang yang terdapat di dunia ini. Apakah yang enam itu?
(1) “Ananda, ada orang yang lembut, teman yang menyenangkan, dan sesama bhikkhu senang tinggal bersamanya. Tetapi dia belum mendengar ajaran dan belum memperoleh banyak pelajaran, dia tidak memiliki pemahaman yang tajam dan dia belum juga mencapai bahkan pembebasan pikiran sementara.17 Ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, dia pasti akan turun, bukan maju; dia akan merosot dan tidak naik lebih tinggi.
(2) “Kemudian ada orang yang lembut, teman yang menyenangkan, dan sesama bhikkhu senang tinggal bersamanya. Dan dia telah mendengar ajaran dan telah memperoleh banyak pelajaran; dia memiliki pemahaman yang tajam dan telah mencapai pembebasan pikiran sementara. Bersama dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, dia pasti akan maju, bukan mundur; dia akan naik lebih tinggi dan tidak akan merosot.
“Kemudian, Ananda, para pengkritik akan menyampaikan penilaian demikian ini: ‘Orang ini memiliki sifat-sifat yang sama seperti itu. Walau demikian, mengapa yang satu harus lebih rendah dan yang lain lebih baik?’ Penilaian semacam ini sungguh-sungguh akan menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi para pengkritik itu untuk waktu yang lama.
“Ananda, orang yang telah mendengar ajaran dan memperoleh banyak pelajaran, yang memiliki pemahaman yang tajam dan mencapai pembebasan pikiran sementara – orang seperti itu melampaui dan melebihi yang lain. Mengapa? Karena arus Dhamma akan membawanya serta. Tetapi siapa yang dapat menyadari perbedaan-perbedaan ini, kecuali seorang Tathagata, Manusia Yang Sempurna?
“Karena itu, Ananda, janganlah tergesa-gesa mengkritik orang lain, janganlah secara sepintas mengemukakan penilaian terhadap orang lain. Orang yang menilai orang lain berarti merugikan dirinya sendiri. Ananda, hanya aku sendiri, atau orang yang seperti aku, yang dapat menilai orang.
(3) “Selanjutnya, ada orang yang cenderung marah dan sombong, dan dari saat ke saat keadaan-keadaan keserakahan muncul di dalam dirinya. Dan dia belum mendengar ajaran dan memperoleh banyak pelajaran; dia tidak memiliki pemahaman yang tajam, dan belum mencapai pembebasan pikiran sementara. Bersama hancurnya tubuh, setelah kematian, dia pasti akan turun, bukan maju; dia akan merosot dan tidak naik lebih tinggi.
(4) “Kemudian ada orang yang juga cenderung marah dan sombong, dan dari saat ke saat keadaan-keadaan keserakahan muncul di dalam dirinya. Tetapi dia telah mendengar ajaran dan memperoleh banyak pelajaran; dia memiliki pemahaman yang tajam dan mencapai pembebasan pikiran sementara. Bersama hancurnya tubuh, setelah kematian, dia pasti akan maju, bukan turun; dia akan naik lebih tinggi dan tidak akan merosot.
“Ananda, kemudian para pengkritik itu akan menyampaikan penilaian demikian: ‘Orang ini memiliki sifat-sifat yang sama seperti yang lain. Kalau demikian, mengapa yang satu lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ Penilaian semacam itu benar-benar akan menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi para pengkritik itu untuk waktu yang lama.
“Ananda, orang yang telah mendengar ajaran … melebihi dan melampaui yang lain. Mengapa? Karena arus Dhamma membawanya serta. Tetapi siapa yang dapat menyadari perbedaan ini kecuali seorang Tathagata, Manusia Yang Sempurna?
“Oleh karenanya, Ananda, janganlah tergesa-gesa mengkritik orang lain ….
(5) “Selanjutnya, ada orang lain yang cenderung marah dan sombong, dan dari saat ke saat pembicaraan bertele-tele muncul di dalam dirinya. Dan dia belum mendengarkan ajaran dan memperoleh banyak pelajaran; dia tidak memiliki pemahaman yang tajam dan belum mencapai bahkan pembebasan pikiran sementara. Bersama hancurnya tubuh, setelah kematian, dia pasti akan turun, bukan maju; dia akan merosot dan tidak akan naik lebih tinggi.
(6) Kemudian ada orang yang juga cenderung marah dan sombong; dan dari saat ke saat pembicaraan bertele-tele muncul di dalam dirinya. Tetapi dia sudah mendengar ajaran dan memperoleh banyak pelajaran; dia memiliki pemahaman yang tajam dan telah mencapai pembebasan pikiran sementara. Bersama hancurnya tubuh, setelah kematian, dia pasti akan maju, bukan turun; dia akan naik lebih tinggi dan tidak akan merosot.
Kemudian, Ananda, para pengkritik itu akan menyampaikan penilaian demikian: ‘Orang ini memiliki sifat-sifat yang sama seperti yang lain. Kalau demikian, mengapa yang satu bisa lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ Penilaian semacam ini benar-benar akan menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi para pengkritik untuk waktu yang lama.
“Ananda, ada orang yang telah mendengarkan ajaran dan telah memperoleh banyak pelajaran, yang memiliki pemahaman yang tajam dan mencapai pembebasan pikiran sementara – orang seperti itu melampau dan melebihi yang lain. Mengapa? Karena arus Dhamma membawanya serta. Tetapi siapakah yang dapat menyadari perbedaan ini kecuali seorang Tathagata, Manusia Yang Sempurna?
“Karena itu, Ananda, janganlah tergesa-gesa mengkritik orang lain, janganlah secara sepintas menilai orang lain. Orang yang menyampaikan penilaian mengenai orang lain merugikan dirinya sendiri. Hanya Aku sendiri, Ananda, atau orang seperti aku, yang dapat menilai orang lain.
“Siapakah sesungguhnya, Ananda, murid awam wanita Migasala ini, wanita bodoh yang tidak berpengalaman, dengan akal wanita? Dan siapa (dalam perbandingan) mereka yang memiliki pengetahuan mengenai sifat-sifat orang-orang lain yang berbeda-beda?
“Ananda, inilah enam jenis orang yang terdapat di dunia ini.
“Seandainya saja Isidatta telah memiliki tingkat moralitas yang sama dengan Purana, Purana tidak akan dapat menyamai status Isidatta. Dan seandainya saja Purana telah memiliki kebijaksanaan yang sama seperti Isidatta, Isidatta tidak akan dapat menyamai status Purana.18 Tetapi kedua orang ini masing-masing kurang dalam satu hal.
(VI, 44)
124. Kemiskinan
“Para bhikkhu, kemiskinan merupakan penderitaan di dunia bagi orang yang menikmati kesenangan-kesenangan indera.” – “Demikianlah adanya, Bhante.”
“Jika seorang pengemis, orang yang miskin dan papa, terbelit hutang, hutangnya itu juga merupakan penderitaan di dunia ini bagi orang yang menikmati kesenangan-kesenangan indera.” – “Demikianlah adanya, Bhante.”
“Dan jika orang miskin itu, karena berhutang, berjanji untuk membayar bunga, pembayaran bunga ini juga merupakan penderitaan di dunia bagi orang yang menikmati kesenangan-kesenangan indera.” – “Demikianlah adanya, Bhante.”
“Dan jika orang miskin itu tidak dapat membayar bunga yang sudah jatuh tempo dan dia ditekan oleh para kreditor, maka tekanan semacam itu juga merupakan penderitaan di dunia bagi orang yang menikmati kesenangan-kesenangan indera.” – “Demikianlah adanya, Bhante.”
“Dan jika, karena ditekan, orang miskin itu masih tetap tidak dapat membayar dan para kreditor terus-menerus mengejarnya, pengusikan seperti itu juga merupakan penderitaan di dunia bagi orang yang menikmati kesenangan-kesenangan indera.” – “Demikianlah adanya, Bhante.”
“Dan jika karena diusik dan masih tidak dapat membayar, orang yang malang itu dimasukkan ke penjara, penahanan itu juga merupakan penderitaan di dunia bagi orang yang menikmati kesenangan-kesenangan indera.” – “Demikianlah adanya, Bhante.”
“Jadi, para bhikhhu, kemiskinan, hutang, membayar bunga, ditekan dan diusik oleh para kreditor, serta masuk penjara – semua ini merupakan penderitaan di dunia bagi orang yang menikmati kesenangan-kesenangan indera.
“Demikian pula halnya, O para bhikkhu, dengan orang yang kurang memiliki keyakinan dalam sifat-sifat yang bajik, yang tidak memiliki malu atau takut moral sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, tidak memiliki semangat atau kebijaksanaan sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik. Orang semacam itu disebut miskin, papa dan melarat di dalam Peraturan Latihan dari Yang Mulia.
“Jika sekarang orang yang miskin, papa dan melarat karena kurangnya keyakinan, malu, takut moral, semangat dan kebijaksanaan sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, berperilaku sangat buruk di dalam perbuatan, kata-kata dan pikiran, dia kusebut ‘terlibat hutang’.
“Jika untuk menutupi perilaku buruknya di dalam perbuatan, kata-kata dan pikiran, kemudian dia menyimpan keinginan-keinginan jahat; jika dia bernafsu, merencanakan, memilih kata-kata dan berusaha bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengetahui sifatnya – hal ini kusebut sebagai ‘bunganya’ (yang harus dibayar atas hutang-hutang moralnya).19
“Kemudian para bhikkhu yang luhur berbicara mengenai dia demikian: ‘Yang mulia bhikkhu ini bertindak begini; dia berperilaku begitu.’ Hal ini kusebut sebagai ‘tekanan pada dirinya’.
“Jika dia pergi ke hutan, kaki pohon atau tempat yang sunyi, dia dikejar oleh buah-buah pikir yang jahat dan tidak bajik sehubungan dengan penyesalan. Hal ini kusebut sebagai ‘diusik’.
“Orang yang (secara moral) miskin, papa dan melarat, yang memiliki perilaku buruk ini, bersama hancurnya tubuh, setelah kematian, pasti akan dilibat ikatan neraka atau ikatan alam binatang. Dan aku tidak mengetahui penjara lain, O para bhikkhu, yang begitu kejam, begitu keras, begitu menyakitkan dan merupakan hambatan yang begitu besar untuk mencapai kebebasan yang tak tertandingi, kebebasan dari ikatan, seperti halnya ikatan neraka dan ikatan alam binatang.”
(VI, 45)
125. Orang Terpelajar dan Meditator
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat YM Mahacunda berdiam di Sahajati di antara orang-orang Ceti. Di sana beliau menyapa para bhikkhu demikian:
“Sahabat, ada bhikkhu-bhikkhu yang menyenangi Dhamma20 dan mereka menghina bhikkhu-bhikkhu meditator dengan berkata: ‘Lihatlah para bhikkhu itu! Mereka berpikir, ‘Kami sedang bermeditasi, kami sedang bermeditasi!’ Maka mereka bermeditasi ke sana bermeditasi ke sini, bermeditasi ke atas dan bermeditasi ke bawah!21 Mereka bermeditasi mengenai apa, dan mengapa mereka bermeditasi?’ Dengan demikian, para bhikkhu yang menyenangi Dhamma maupun para bhikkhu meditator tidak akan merasa senang, dan mereka tidak akan berlatih untuk kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, untuk kebaikan banyak makhluk, untuk kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.22
“Kemudian, sahabat, ada bhikkhu-bhikkhu meditator yang menghina para bhikkhu yang menyenangi Dhamma, dengan berkata: ‘Lihatlah para bhikkhu itu! Mereka berpikir, “Kami adalah ahli Dhamma, kami adalah ahli Dhamma!” Dan oleh karenanya mereka sombong, besar kepala dan congkak; mereka cerewet dan terlalu banyak bicara. Mereka kurang kewaspadaan dan pemahaman yang jernih, dan mereka kurang konsentrasi; buah-buah pikir mereka berkelana dan indera mereka tidak terkendali. Jadi, apa yang membuat mereka ahli Dhamma, mengapa dan bagaimana mereka itu ahli dhamma?’ Dengan demikian, para bhikkhu meditator maupun para bhikkhu yang menyenangi Dhamma tidak akan merasa senang, dan mereka tidak akan berlatih untuk kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, untuk kebaikan banyak makhluk, untuk kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.
“Ada ahli Dhamma yang memuji hanya bhikkhu yang juga ahli Dhamma, tetapi tidak memuji meditator. Dan ada meditator yang memuji hanya bhikkhu yang juga meditator, tetapi tidak memuji yang ahli Dhamma. Karena itu, dua kelompok itu tidak akan merasa senang, dan mereka tidak akan berlatih untuk kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, untuk kebaikan banyak makhluk, untuk kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.
“Oleh karenanya, sahabat, kalian seharusnya melatih diri demikian: ‘Walaupun kami sendiri adalah ahli Dhamma, kami akan memuji juga para bhikkhu meditator. Mengapa? Orang-orang luar biasa seperti itu jarang ditemukan di dunia, orang-orang yang memiliki pengalaman pribadi mengenai elemen tanpa kematian (Nibbana).
“Dan bhikkhu-bhikkhu lain juga seharusnya melatih diri demikian: ‘Walaupun kami sendiri adalah meditator, kami akan memuji juga para bhikkhu yang ahli Dhamma.’ Mengapa? Orang-orang luar biasa seperti itu jarang ditemukan di dunia, orang-orang yang dapat dengan jelas memahami subjek yang sulit lewat kebijaksanaan mereka.”
(VI, 46)
126. Ajaran yang Tampak
Pada suatu ketika, Moliya Sivaka -seorang petapa pengembara- menyapa Yang Terberkahi demikian:
“Dikatakan, Tuan Yang Mulia, ‘Dhamma langsung terlihat.’ Tuan Yang Mulia, dengan cara bagaimana Dhamma langsung dapat dilihat, tak tergantung waktu, mengundang orang untuk datang dan melihat, berharga untuk diterapkan, harus dialami secara pribadi oleh para bijaksana?” 23
“Sivaka, saya akan bertanya balik tentang hal ini. Anda boleh menjawab menurut pemahamanmu.
“Bagaimana pendapatmu, Sivaka: ketika ada keserakahan di dalam dirimu, apakah Anda mengetahui, ‘Ada keserakahan di dalam diriku’? Dan ketika tidak ada keserakahan di dalam dirimu, apakah Anda mengetahui ‘Tidak ada keserakahan di dalam diriku’?” – “Ya, Tuan Yang Mulia, saya mengetahuinya.”
“Jika demikian Anda mengetahui bahwa keserakahan yang ada di dalam dirimu itu ada di sana; dan ketika keserakahan tidak ada, ia tidak ada di sana – demikianlah Dhamma langsung dapat dilihat.
“Bagaimana pendapatmu, Sivaka: ketika ada kebencian atau kebodohan di dalam dirimu, apakah Anda mengetahui, ‘Ada kebencian, … ada kebodohan di dalam diriku’? Dan ketika tidak ada kebencian, … tidak ada kebodohan di dalam dirimu, apakah Anda mengetahui, ‘Tidak ada kebencian, … tidak ada kebodohan di dalam diriku’?” – “Ya, Tuan Yang Mulia, saya mengetahuinya.”
“Jika demikian Anda mengetahui bahwa kebencian dan kebodohan batin yang ada di dalam dirimu itu ada di sana; dan ketika kebencian atau kebodohan tidak ada, ia tidak ada di sana – demikianlah Dhamma langsung dapat dilihat.24
“Dengan cara ini, Sivaka, Dhamma dapat langsung dilihat, tak tergantung waktu, mengundang orang untuk datang dan melihat, berharga untuk diterapkan, harus dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”
(VI, 47)
127. Salah Menyatakan Pencerahan
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi, di Hutan Jeta, Vihara Anathapindika. Pada saat itu YM Khema dan YM Sumana berdiam di Hutan Gelap di dekat Savatthi. Suatu hari keduanya pergi menemui Yang Terberkahi. Setelah tiba, mereka memberi hormat dan duduk di satu sisi, dan YM Khema menyapa Yang Terberkahi demikian:
“Bhante, seorang bhikkhu yang merupakan arahat, orang yang nodanya telah hancur, yang telah menjalani kehidupan suci, telah menyelesaikan tugasnya, menaruh bebannya, mencapai tujuannya, membuang belenggu dumadi, dan telah terbebas oleh pengetahuan akhir – dia tidak memiliki buah-pikir seperti misalnya, ‘Ada orang yang lebih baik daripada saya; ada orang yang sama; ada orang yang lebih buruk.’ “25 Demikian YM Khema berbicara dan Sang Guru setuju. Setelah mengetahui persetujuan Sang Guru, YM Khema bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Yang Terberkahi dan pergi.
Segera setelah YM Khema pergi, YM Sumana menyapa Yang Terberkahi demikian:
“Bhante, seorang bhikkhu yang merupakan arahat, orang yang nodanya telah hancur, yang telah menjalani kehidupan suci, telah menyelesaikan tugasnya, menaruh bebannya, mencapai tujuannya, membuang belenggu dumadi, dan terbebas oleh pengetahuan akhir – dia tidak memiliki buah-pikir seperti misalnya, ‘Tidak ada yang lebih baik daripada saya; tidak ada yang sama; tak ada yang lebih buruk.’ ” Demikian YM Sumana berbicara dan Sang Guru setuju. Setelah mengetahui persetujuan Sang Guru, YM Sumana bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Yang Terberkahi dan pergi.
Segera setelah YM Khema dan YM Sumana pergi, Yang Terberkahi berbicara kepada para bhikkhu demikian:
“Para bhikhhu, dengan cara demikianlah putra-putra yang agung menyatakan pengetahuan akhir: kenyataan telah disebutkan, tetapi tidak ada sindiran terhadap diri. Tetapi ada beberapa orang tolol yang menyatakan dengan cara sekenanya bahwa mereka telah mencapai pengetahuan akhir. Namun sesudahnya kesedihan akan menghantam mereka.”
Mereka tidak menganggap dirinya lebih baik,
Tidak juga sama, tidak juga lebih buruk.
Dengan hancurnya kelahiran, bebas dari belenggu,
Mereka menjalani kehidupan yang suci dan murni.

(VI, 49)
128. Langkah Demi Langkah
Jika tidak ada pengendalian indera, O para bhikkhu, maka landasan untuk moralitas akan hancur bagi orang yang kurang pengendalian indera. Jika tidak ada moralitas, maka landasan untuk konsentrasi benar akan hancur bagi orang yang kurang moralitas. Jika tidak ada konsentrasi benar, maka landasan untuk pengetahuan dan pandangan tentang hal-hal sebagaimana adanya akan hancur bagi orang yang kurang konsentrasi benar. Jika tidak ada pengetahuan dan pandangan tentang hal-hal sebagaimana adanya, maka landasan untuk kemuakkan dan tanpa-nafsu akan hancur bagi orang yang kurang pengetahuan dan pandangan seperti itu. Jika tidak ada kemuakkan dan tanpa-nafsu, maka landasan untuk pengetahuan dan pandangan pembebasan akan hancur bagi orang yang kurang kemuakan dan tanpa-nafsu.26
Hal ini bagaikan pohon tanpa cabang dan daun: kuncup-kuncupnya tidak akan matang; demikian juga kulit kayu, kayu muda dan inti kayunya tidak akan matang. Seperti itu pula, jika pengendalian indera tidak ada, maka tidak akan ada landasan untuk moralitas … untuk pengetahuan dan pandangan pembebasan.
Tetapi jika ada pengendalian indera, O para bhikkhu, maka moralitas akan memiliki landasan bagi orang yang memiliki pengendalian indera. Jika ada moralitas, maka konsentrasi benar akan memiliki landasan bagi orang yang memiliki moralitas. Jika ada konsentrasi benar, maka pengetahuan dan pandangan tentang hal-hal sebagaimana adanya akan memiliki landasan bagi orang yang memiliki konsentrasi benar. Jika ada pengetahuan dan pandangan tentang hal-hal sebagaimana adanya, maka kemuakan dan tanpa-nafsu akan menjadi landasan bagi orang yang memiliki pengetahuan dan pandangan tentang hal-hal sebagaimana adanya. Jika ada kemuakkan dan tanpa-nafsu, maka pengetahuan dan pandangan pembebasan akan memiliki landasan bagi orang yang memiliki kemuakkan dan tanpa-nafsu.
Hal ini bagaikan pohon dengan cabang dan daun yang utuh: kuncupnya akan matang, begitu juga kulit kayu, kayu muda, dan inti kayunya akan matang. Seperti itu pula, jika pengendalian indera ada, maka ia akan memberikan landasan bagi moralitas … bagi pengetahuan dan pandangan pembebasan.
(VI, 50)
129. Tujuan-tujuan Manusia
Suatu ketika brahmana Janussoni menghampiri Yang Terberkahi dan bertanya:
“Guru Gotama, apakah tujuan orang yang mulia, apa yang dicarinya, apa penopangnya, keinginannya, dan cita-citanya?”27
“Kekayaan, O brahmana, adalah tujuan orang yang mulia, yang dicari adalah pengetahuan, penopangnya adalah kekuatan, keinginannya adalah mengatur bumi, dan cita-citanya adalah kedaulatan.” 28
“Dan Guru Gotama, apakah tujuan seorang brahmana?”
“Kekayaan, O brahmana, adalah tujuan seorang brahmana, yang dicari adalah pengetahuan, penopangnya adalah teks-teks sucinya, keinginannya adalah kurban-kurban, dan cita-citanya adalah alam Brahma.”
“Dan Guru Gotama, apakah tujuan seorang perumah tangga?”
“Kekayaan, O brahmana, adalah tujuan seorang perumah tangga, yang dicari adalah pengetahuan, penopangnya adalah keterampilannya, keinginannya adalah bekerja, dan cita-citanya adalah menyelesaikan pekerjaannya.”
“Dan Guru Gotama, apakah tujuan seorang wanita?”
“Seorang pria, O brahmana, adalah tujuan seorang wanita, yang dicari adalah perhiasan, penopangnya adalah putra-putra,29 keinginannya adalah tidak dimadu, dan cita-citanya adalah mendominasi.”
“Dan Guru Gotama, apakah tujuan seorang pencuri?”
“Mencuri, O brahmana, adalah tujuan seorang pencuri, yang dicari adalah tempat persembunyian, penopangnya adalah senjata-senjata, keinginannya adalah kegelapan, cita-citanya adalah tidak ditangkap.”
“Dan Guru Gotama, apakah tujuan seorang petapa?”
“Kesabaran dan kemurnian, O brahmana, adalah tujuan seorang pertapa, yang dicari adalah pengetahuan, penopangnya adalah moralitas, keinginannya adalah tidak terhalang dan cita-citanya adalah Nibbana.”
“Luar biasa, Guru Gotama! Indah sekali, Guru Gotama! Sungguh, Guru Gotama mengetahui tujuan, pencarian, penopang, keinginan dan cita-cita orang luhur, brahmana, perumah tangga, wanita, pencuri dan petapa. Bagus sekali, Guru Gotama! … Biarlah Guru Gotama menerima saya sebagai pengikut awam yang telah pergi untuk berlindung mulai hari ini sampai akhir hayat.”
(VI, 52)
130. Perumpamaan Kecapi
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Rajagaha di Puncak Gunung Burung Nasar. Pada waktu itu YM Sona berdiam di Hutan Sejuk, di dekat Rajagaha.30
Sementara YM Sona berdiam di sana sendirian dan terpencil, buah-pikir ini muncul di dalam dirinya: “Aku adalah salah satu siswa Yang Terberkahi yang paling bersemangat, tetapi pikiranku belum terbebas dari noda dengan cara tidak-melekat. Keluargaku kaya, dan aku dapat menikmati harta kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan yang berjasa. Maka lebih baik aku berhenti berlatih, kembali ke keadaan (umat awam) yang lebih rendah, menikmati harta kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan yang berjasa.”
Karena di dalam pikirannya Yang Terberkahi mengetahui apa yang menjadi buah-pikir YM Sona, Beliau meninggalkan Puncak Gunung Burung Nasar; dan secepat orang kuat meregangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terenggang, Beliau muncul di Hutan Sejuk di hadapan YM Sona. Di sana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. YM Sona, setelah memberi hormat kepada Yang Terbekati, duduk di satu sisi dan Yang Terbekati berkata kepadanya:
“Sona, bukankah baru saja engkau berpikir untuk berhenti berlatih dan kembali ke kehidupan umat awam?”
“Ya, Bhante.”
“Katakan padaku, Sona, ketika dulu engkau tinggal di rumah, tidakkah engkau terampil memainkan kecapi?” – “Ya, Bhante.”
“Sona, jika senar kecapimu terlalu kencang, apakah kecapimu menghasilkan suara yang bagus dan mudah dimainkan?” – “Tidak, Bhante.”
“Dan jika senar kecapimu terlalu kendor, apakah kecapimu menghasilkan suara yang bagus dan mudah dimainkan?” – “Tidak, Bhante.”
“Tetapi Sona, jika senar kecapimu tidak terlalu kencang dan tidak terlalu kendor, melainkan diatur sampai ke nada yang tepat, apakah kecapimu kemudian dapat menghasilkan suara yang bagus dan mudah dimainkan?” – “Ya, Bhante.”
“Demikian juga, Sona, jika semangat diterapkan dengan terlalu kuat, semangat itu akan menuju pada kegelisahan, dan jika semangat itu terlalu kendor, semangat itu akan menuju pada kemalasan. Oleh karena itu Sona, jagalah agar semangatmu berada di dalam keseimbangan, menembus sampai keseimbangan kemampuan spiritual, dan di sana peganglah objekmu.” 31
“Ya, Bhante,” YM Sona menjawab setuju.
Setelah Yang Terbekati menegur YM Sona dengan keterangannya, Beliau segera lenyap dari Hutan Sejuk dan muncul lagi di Puncak Gunung Burung Nasar.
Sesudahnya, YM Sona menjaga agar semangatnya berada di dalam keseimbangan, menembus sampai keseimbangan kemampuan spiritual, dan di sana memegang objeknya. YM Sona, karena hidup sendirian dan terpencil, rajin, tekun tanpa henti dan mantap, segera merealisasikan, di sini dan kini, oleh pengetahuan langsungnya, tujuan kehidupan suci yang tiada bandingnya itu, yang untuknya para putra dari keluarga baik-baik pergi meninggalkan kehidupan berumah tangga menuju kehidupan yang tak-berumah, dan setelah memasukinya, dia berdiam di dalamnya. Dan dia mengetahui: “Hancurlah sudah kelahiran, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk dunia ini.” Dan YM Sona menjadi salah satu arahat.
Setelah mencapai tingkat arahat, YM Sona berpikir: “Biarlah aku pergi menghadap Yang Terbekati dan di hadapan Beliau menyatakan pengetahuan akhir. Maka YM Sona pergi menghadap Yang Terbekati, memberikan hormat dan duduk di satu sisi. Setelah duduk, dia berkata kepada Yang Terbekati:
“Bhante, seorang bhikkhu yang merupakan arahat, orang yang noda-nodanya telah hancur, yang telah menjalani kehidupan suci, telah menyelesaikan tugasnya, menaruh bebannya, mencapai tujuannya, membuang belenggu dumadi, dan terbebas oleh pengetahuan akhir – dia mengabdikan dirinya untuk enam hal: dia mengabdikan diri untuk meninggalkan keduniawian, untuk kesendirian, untuk tidak menyakiti, untuk menghancurkan keserakahan, untuk menghancurkan kemelekatan dan untuk tanpa-kebingungan.
“Bhante, mungkin salah satu dari yang mulia di sini bisa berpikir: ‘Mungkinkah Yang Mulia ini mengabdikan dirinya untuk meninggalkan keduniawian hanya dengan mengandalkan keyakinan saja?’ Tetapi seharusnya orang tidak memandangnya demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, yang telah menjalani kehidupan suci, menjalankan tugasnya dan tidak melihat di dalam dirinya sesuatu yang masih harus dilakukan atau ditambahkan pada apa yang telah dilakukan – orang semacam itu benar-benar telah mengabdikan dirinya untuk meninggalkan keduniawian karena dia telah terbebas dari nafsu lewat hancurnya nafsu; karena dia telah terbebas dari kebencian lewat hancurnya kebencian; dan dia telah terbebas dari kebodohan lewat tidak adanya kebodohan.
“Bhante, mungkin salah satu dari yang mulia di sini bisa berpikir: ‘Mungkinkah Yang Mulia ini mengabdikan dirinya untuk kesendirian karena dia menginginkan perolehan, kehormatan dan kemashyuran? … Dan mungkinkah dia mengabdikan dirinya untuk tidak merugikan karena dia menganggap perlunya terikat pada peraturan dan tekad?’ Tetapi seharusnya orang tidak memandangnya demikian. Orang yang noda-nodanya telah hancur, yang telah menjalani kehidupan suci, menjalankan tugasnya dan tidak melihat di dalam dirinya sendiri sesuatu yang masih harus dilakukan atau ditambahkan pada apa yang telah dilakukan – orang semacam itu benar-benar mengabdikan dirinya untuk kesendirian … untuk tidak merugikan karena dia telah terbebas dari nafsu lewat hancurnya nafsu; karena dia telah terbebas dari kebencian lewat hancurnya kebencian; karena dia telah terbebas dari kebodohan lewat tidak adanya kebodohan
“Karena hancurnya nafsu, kebencian dan kebodohan, karena tidak adanya hal-hal itu maka dia mengabdikan dirinya untuk hancurnya keserakahan, mengabdikan dirinya untuk hancurnya kemelekatan, membaktikan dirinya untuk tanpa-kebingungan.
“Bhante, bahkan jika bentuk-bentuk yang dapat dipahami lewat mata menimpa dengan kuat pada indera mata seorang bhikkhu yang pikirannya telah sepenuhnya terbebas, hal-hal itu tidak akan menguasai pikirannya; hatinya tetap tidak dinodai oleh hal-hal itu; kokoh dan tidak terganggu dia merenungkan sifatnya yang tidak kekal. Bahkan jika suara yang dapat dipahami lewat telinga … bau yang dapat dipahami lewat hidung … cita rasa yang dapat dipahami lewat lidah … benda-benda konkrit yang dapat dipahami lewat tubuh … objek-objek pikiran yang dapat dipahami lewat pikiran secara kuat menimpa dengan kuat pada indera pikiran seorang bhikkhu yang telah sepenuhnya terbebas, hal-hal itu tidak akan menguasai pikirannya; hatinya tatap tidak ternoda oleh hal-hal itu; kokoh dan tidak terganggu dia merenungkan sifatnya yang tidak kekal.
“Bhante, seandainya saja ada sebuah gunung karang yang berdiri kokoh, tanpa celah atau jurang, dan dari penjuru mana pun hujan badai kencang menghantamnya, batu karang itu tidak akan dapat digerakkan olehnya, tidak dapat digoyahkan, tidak dapat digetarkan. Demikian pula, bahkan kesan indera yang sangat kuat pun tidak akan menguasai seorang bhikkhu yang pikirannya sudah sepenuhnya terbebas; pikirannya tetap tidak ternoda olehnya; kokoh dan tidak terganggu dia merenungkan sifatnya yang tidak kekal.”
Jika orang cenderung untuk meninggalkan keduniawian dan untuk sendiri,
Tekun untuk tidak merugikan, berada di akhir kemelekatan;
Jika orang cenderung untuk mengakhiri keserakahan,
Mengabdikan diri untuk pandangan yang tidak bingung,
Ketika orang telah melihat munculnya landasan-landasan indera,
Pikirannya akan sepenuhnya terbebas
Bagi bhikkhu yang telah terbebas demikian, dengan pikiran yang damai,
Tidak perlu lagi dia menambahkan pada apa yang telah dilakukannya,
Tidak ada tugas atau pekerjaan selanjutnya yang harus dijalankan.
Bagaikan gunung karang yang tidak tergoncang oleh badai,
Demikian pula penglihatan, suara, cita-rasa, bau, kontak dan ide,
Apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan,
Tidak akan pernah menggentarkan orang yang bersifat mantap,
Yang pikirannya kokoh dan bebas,
Yang melihat bagaimana semua hal itu berlalu.

(VI, 55)
131. Penjelasan Yang Menembus
“Para bhikkhu, aku akan mengajarkan penjelasan yang menembus,32 penjelasan Dhamma. Dengarkan dan perhatikanlah baik-baik. Aku akan berbicara.” – “Ya, Bhante,” jawab para bhikkhu. Yang Terbekati kemudian berkata demikian:
“Para bhikkhu, apakah penjelasan yang menembus, penjelasan Dhamma itu?
Nafsu-nafsu indera harus diketahui; asal mula nafsu-nafsu indera yang terkondisi harus diketahui; perbedaannya, akibatnya, penghentiannya dan jalan menuju penghentian itu harus diketahui.
Perasaan-perasaan harus diketahui; asal mula perasaan yang terkondisi harus diketahui; perbedaannya, akibatnya, penghentiannya dan jalan menuju penghentian itu harus diketahui.
Persepsi … Noda-noda … Kamma … Penderitaan harus diketahui; asal mula penderitaan yang terkondisi harus diketahui; perbedaannya, akibatnya, penghentiannya dan jalan menuju penghentiannya harus diketahui.
(1) Dikatakan bahwa nafsu-nafsu indera harus diketahui, asal mulanya yang terkondisi, dan seterusnya harus diketahui.33 Karena apakah hal ini dikatakan?
Ada lima tali kesenangan indera, yaitu: bentuk-bentuk yang dapat dipahami lewat mata, yang diinginkan, menarik, menyenangkan, memikat, disayangi, berhubungan dengan sensualitas dan menggoda; suara yang dapat dipahami lewat telinga … bau yang dapat dipahami lewat hidung … cita-rasa yang dapat dipahami lewat lidah … objek sentuhan yang dapat dipahami lewat tubuh, yang diinginkan, menarik, menyenangkan, memikat, disayangi, berhubungan dengan sensualitas dan menggoda. Namun hal-hal ini bukan benar-benar sensualitas; di dalam Peraturan Latihan Manusia Agung hal-hal itu hanya disebut ‘tali-tali kesenangan indera’. Sensualitas seseorang terletak di dalam buah-pikir yang dipenuhi nafsu.
Sensualitas tidaklah terletak di dalam hal-hal indah milik dunia;
Sensualitas seseorang terletak di dalam buah-pikir yang penuh nafsu.
Sementara hal-hal indah dunia ini tetap seperti apa adanya,
Para bijaksana menghilangkan nafsu untuk hal-hal itu.
34
Para bhikkhu, apakah asal mula nafsu-nafsu indera yang terkondisi itu? Kontak merupakan asal mula nafsu-nafsu yang terkondisi.35
Dan para bhikkhu, apakah perbedaan nafsu-nafsu indera itu? Ada nafsu indera terhadap bentuk, yang lain terhadap suara, terhadap bau, terhadap cita-rasa dan terhadap objek-objek sentuhan. Inilah yang disebut perbedaan nafsu-nafsu indera.
Dan para bhikku, apakah akibat nafsu-nafsu indera? Orang yang termotivasi oleh nafsu indera menghasilkan keberadaan berpribadi yang terlahir dari nafsu ini atau itu, yang termasuk keberadaan yang berjasa atau yang tanpa-jasa. Inilah yang disebut akibat dari nafsu-nafsu indera.36
Dan para bhikkhu, apakah berhentinya nafsu-nafsu indera itu? Melalui penghentian kontak maka ada penghentian nafsu-nafsu indera.
Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan jalan menuju berhentinya nafsu-nafsu indera, yaitu pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, kewaspadaan benar dan konsentrasi benar.
Para bhikkhu, jika seorang siswa agung dengan suatu cara mengetahui nafsu indera; jika dengan suatu cara dia mengetahui asal mulanya yang terkondisi, perbedaan, akibat dan berhentinya nafsu indera, dan jalan menuju penghentian itu – maka dia mengetahui kehidupan suci yang menembus ini sebagai berhentinya nafsu-nafsu indera.37
Karena hal ini maka dikatakan bahwa nafsu-nafsu indera harus diketahui, asal mulanya yang terkondisi dan sebagainya harus diketahui.
(2) Dikatakan bahwa perasaan-perasaan harus diketahui, asal mulanya yang terkondisi dan sebagainya harus diketahui. Karena apakah hal ini dikatakan?
Para bhikkhu, ada tiga jenis perasaan: perasaan yang menyenangkan, perasaan yang menyakitkan dan perasaan yang bukan-menyenangkan-pun-bukan-menyakitkan.
Dan para bhikkhu, apakah asal mula perasaan yang terkondisi itu? Kontak merupakan asal mulanya yang terkondisi.
Para bhikku, apakah perbedaan perasaan-perasaan itu? Ada perasaan-perasaan yang menyenangkan yang bersifat jasmani atau bukan-jasmani; perasaan-perasaan tidak menyenangkan yang bersifat jasmani atau bukan-jasmani; dan perasaan-perasaan yang bukan-menyakitkan-pun-bukan-menyenangkan yang bersifat jasmani atau bukan jasmani. Inilah yang disebut perbedaan perasaan.
Dan para bhikkhu, apakah akibat dari perasaan-perasaan itu? Orang yang memiliki perasaan akan menghasilkan keberadaan berpribadi yang terlahir dari perasaan ini atau itu,38 yang termasuk keberadaan yang berjasa atau tanpa jasa. Inilah yang disebut akibat dari perasaan-perasaan.
Dan para bhikkhu, apakah penghentian perasaan itu? Melalui penghentian kontak maka ada penghentian perasaan.
Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan jalan menuju pada berhentinya perasaan yaitu, pandangan benar… konsentrasi benar.
Para bhikku, jika seorang siswa agung dengan suatu cara mengetahui perasaan-perasaan; jika dengan suatu cara dia mengetahui asal mulanya yang terkondisi, perbedaannya, akibat dan berhentinya perasaan, dan jalan menuju pada penghentian itu – maka dia mengetahui kehidupan suci yang menembus ini sebagai berhentinya perasaan.
Karena hal ini maka dikatakan bahwa perasaan-perasaan harus diketahui, asal mulanya yang terkondisi dan sebagainya harus diketahui.
(3) Dikatakan bahwa persepsi harus diketahui, asal mulanya yang terkondisi dan sebagai harus diketahui. Karena apakah maka hal ini dikatakan?
Para bhikkhu, ada enam jenis persepsi: persepsi bentuk, suara, bau, cita-rasa, objek sentuhan dan objek pikiran.
Dan para bhikkhu, apakah asal mula persepsi yang terkondisi? Kontak merupakan asal mulanya yang terkondisi.
Dan para bhikkhu, apakah perbedaan persepsi-persepsi ini? Ada persepsi yang berhubungan dengan bentuk, dan yang lain berhubungan dengan suara, bau, cita-rasa, objek sentuhan dan objek pikiran.
Dan para bhikkhu, apakah akibat dari persepsi-persepsi ini? Kukatakan bahwa persepsi memiliki komunikasi lewat ucapan sebagai hasilnya. Ketika seseorang memahami sesuatu, dia mengungkapkannya dengan berkata: ‘Demikianlah saya telah memahaminya’.
Dan para bhikkhu, apakah berhentinya persepsi-persepsi ini? Melalui berhentinya kontak maka ada penghentian persepsi.
Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan jalan menuju pada berhentinya persepsi, yaitu pandangan benar … konsentrasi benar.
Para bhikkhu, jika seorang siswa agung dengan suatu cara mengetahui persepsi; jika dengan suatu cara dia mengetahui asal mulanya yang terkondisi, perbedaan, akibat dan berhentinya persepsi, dan jalan menuju pada berhentinya persepsi – maka dia mengetahui kehidupan suci yang menembus ini sebagai berhentinya persepsi.
Karena hal ini maka dikatakan bahwa persepsi harus diketahui, asal mulanya yang berkondisi dan sebagainya harus diketahui.
(4) Dikatakan bahwa noda-noda harus diketahui, asal mulanya yang berkondisi dan sebagainya harus diketahui. Karena apakah hal ini dikatakan?
Para bhikkhu, ada tiga noda ini: noda nafsu indera, noda nafsu dumadi dan noda ketidaktahuan.
Dan para bhikkhu, apakah asal mula noda-noda yang terkondisi itu? Ketidaktahuan merupakan asal mulanya yang terkondisi.39
Dan para bhikkhu, apakah perbedaan noda-noda itu? Ada noda-noda yang menuju ke neraka, ke alam binatang, ke alam setan kelaparan, ke alam manusia dan ke alam surgawi.
Dan para bhikkhu, apakah akibat dari noda-noda itu? Orang yang tenggelam di dalam ketidaktahuan akan menghasilkan keberadaan berpribadi yang terlahir dari noda ini atau itu, yang termasuk keberadaan yang berjasa atau tidak berjasa. Inilah yang disebut akibat dari noda-noda itu.
Dan para bhikkhu, apakah berhentinya noda-noda itu? Melalui berhentinya ketidaktahuan maka noda-noda berhenti.
Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan jalan menuju pada berhentinya noda-noda, yaitu pandangan benar … konsentrasi benar.
Para bhikkhu, jika seorang siswa agung dengan suatu cara mengetahui noda-noda itu; jika dengan suatu cara dia mengetahui asal mulanya yang terkondisi, perbedaan, akibat dan berhentinya noda-noda, dan jalan menuju pada penghentian – maka dia mengetahui kehidupan suci yang menembus ini sebagai berhentinya noda-noda.
Karena ini maka dikatakan bahwa noda-noda harus diketahui, asal mulanya yang berkondisi dan sebagainya harus diketahui.
(5) Dikatakan bahwa kamma harus diketahui, asal mulanya yang berkondisi dan sebagainya harus diketahui. Karena apakah hal ini dikatakan?
Para bhikkhu, kehendaklahlah yang kunyatakan sebagai kamma.40 Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran.
Dan para bhikkhu, apakah asal mula kamma yang terkondisi itu? Kontak merupakan asal mulanya yang terkondisi.
Dan para bhikkhu, apakah perbedaan kamma itu? Ada kamma yang menuju ke neraka, ke alam binatang, ke alam setan kelaparan, ke alam manusia dan ke alam surgawi.
Dan para bhikkhu, apakah akibat kamma itu? Kunyatakan bahwa kamma memiliki akibat yang berunsur tiga: di dalam kehidupan ini, di dalam kehidupan mendatang, atau di dalam kehidupan-kehidupan selanjutnya.”
Dan para bhikkhu, apakah berhentinya kamma itu? Melalui penghentian kontak maka ada penghentian kamma.
Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan jalan menuju penghentian kamma, yaitu pandangan benar … konsentrasi benar.
Para bhikkhu, jika seorang siswa agung dengan suatu cara mengetahui kamma; jika dengan suatu cara dia mengetahui asal mulanya yang terkondisi, perbedaan, akibat dan berhentinya kamma, dan jalan menuju penghentian itu – maka dia mengetahui kehidupan suci yang menembus ini sebagai berhentinya kamma.
Karena inilah maka dikatakan bahwa kamma harus diketahui, asal mulanya yang berkondisi dan sebagainya harus diketahui.
(6) Dikatakan bahwa penderitaan harus diketahui, asal mulanya yang terkondisi dan sebagai harus diketahui. Karena apakah dikatakan demikian?
Kelahiran adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kepedihan, ratap tangis, kesengsaraan, kesedihan dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, lima kelompok khanda yang terkena kemelekatan ini adalah penderitaan.
Dan para bhikkhu, apakah asal mula penderitaan yang terkondisi itu? Kecanduan merupakan asal mula penderitaan yang terkondisi.
Dan para bhikkhu, apakah perbedaan penderitaan itu? Ada penderitaan yang kuat dan penderitaan yang sedang; ada penderitaan yang berlalu dengan perlahan dan penderitaan yang berlalu dengan cepat.
Dan para bhikkhu, apakah akibat dari penderitaan itu? Ada orang yang dikuasai oleh penderitaan, pikirannya di dalam cengkeraman penderitaan; dia meratap, menangis, menderita, memukul dadanya, tersedu dan menjadi gila; atau di dalam kesengsaraannya dia mencari obat yang berada di luar: ‘Siapakah yang mengetahui satu atau dua kata untuk mengakhiri penderitaanku?’ Maka kukatakan, akibat dari penderitaan adalah kekacauan atau pencarian.
Dan para bhikku, apakah penghentian penderitaan itu? Dengan berhentinya kecanduan maka ada penghentian penderitaan.
Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan jalan menuju pada penghentian penderitaan, yaitu pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tindakan benar, penghidupan benar, usaha benar, kewaspadaan benar dan konsentrasi benar.
Para bhikkhu, jika seorang siswa agung dengan suatu cara mengetahui penderitaan; jika dengan suatu cara dia mengetahui asal mulanya yang terkondisi, perbedaan, akibat dan berhentinya penderitaan, dan jalan menuju penghentian itu maka dia mengetahui kehidupan suci yang menembus ini sebagai berhentinya penderitaan.
Karena inilah maka dikatakan bahwa penderitaan harus diketahui, asal mulanya yang terkondisi dan sebagainya harus diketahui.
Para bhikku, inilah penjelasan yang menembus, penjelasan Dhamma.
(VI, 63)
132. Tidak-Kembali-Lagi
Para bhikkhu, tanpa berhasil menghentikan enam sifat, orang tidak akan mampu merealisasikan buah dari yang-tidak-kembali-lagi.42 Apakah yang enam itu? Kurangnya keyakinan, kurangnya malu moral, kurangnya takut moral, kemalasan, kurangnya kewaspadaan, dan kurangnya kebijaksanaan. Tetapi dengan menghentikan enam sifat ini, orang akan mampu merealisasikan buah dari yang-tidak-kembali-lagi.
(VI, 65)
133. Tingkat Arahat
Para bhikkhu, tanpa berhasil menghentikan enam sifat, orang tidak akan mampu merealisasikan tingkat arahat. Apakah yang enam itu?
(VI, 66) Kemalasan, kelambanan, keresahan, kecemasan, kurangnya keyakinan dan kelalaian.
(VI, 76) Kesombongan, kesombongan karena merasa lebih rendah, kesombongan karena merasa lebih tinggi, memandang diri terlalu hebat, keras kepala dan watak mau diperbudak.
Tetapi dengan menghentikan enam sifat ini, orang akan mampu merealisasikan tingkat arahat.
(VI, 66, 76)
134. Keunggulan di dalam Pengetahuan dan Pandangan
Tanpa berhasil menghentikan enam sifat ini, orang tidak akan mampu merealisasikan keunggulan supranormal di dalam pengetahuan dan pandangan yang dihargai oleh para suci.43 Apakah yang enam itu? Tidak waspada, kurangnya pemahaman yang jelas, tidak terjaga kemampuan inderanya, kurangnya sikap madya dalam hal makanan, suka menipu, dan suka berbicara. Tetapi dengan menghentikan enam sifat ini, orang akan mampu merealisasikan keunggulan supranormal di dalam pengetahuan dan pandangan yang dihargai oleh para suci.
(VI, 77)
135. Enam Kelangkaan
Para bhikkhu, enam hal ini jarang muncul di dunia: Yang langka di dunia ini adalah munculnya Sang Tathagata. Yang langka di dunia ini adalah munculnya orang yang mengajarkan Dhamma dan Vinaya yang dicetuskan oleh Sang Tathagata. Yang langka di dunia ini adalah terlahir di tanah manusia-manusia luhur. Yang langka di dunia ini adalah memiliki kemampuan fisik dan mental yang tidak cacat. Yang langka di dunia ini adalah tidak adanya kebodohan dan kedunguan. Yang langka di dunia ini adalah keinginan terhadap hal-hal yang bajik.44
(VI, 96)
136. Berkah-berkah Pemasuk Arus
Para bhikkhu, ada enam berkah dalam merealisasikan buah pemenang-arus: Dia kokoh di dalam Dhamma yang baik. Dia tidak dapat jatuh kembali. Dia telah menentukan batas penderitaan. Dia memiliki pengetahuan yang tidak biasa. Dia telah mengerti sepenuhnya penyebab dan fenomena yang dimunculkan oleh sebab-sebab.45
(VI, 97)
137. Keyakinan Sesuai dengan Dhamma
Para bhikkhu, apakah benar bahwa seorang bhikkhu yang menganggap suatu bentukan adalah kekal, suatu bentukan adalah menyenangkan, sesuatu adalah diri, Nibbana adalah penderitaan, dapat memiliki keyakinan yang sesuai dengan Dhamma,46 hal itu tidak mungkin; dan bahwa orang yang tidak memiliki keyakinan yang sesuai dengan Dhamma dapat masuk ke dalam kepastian kebenaran, itu pun tidak mungkin; dan bahwa orang yang belum memasuki kepastian kebenaran dapat mewujudkan buah-buah pemasuk-arus, yang-kembali-sekali- lagi, yang-tidak-kembali-lagi, atau arahat, itu juga tidak mungkin.47
(VI, 98-101; gabungan)
138. Manfaat Merenungkan Ketidakkekalan
Bila seorang bhikkhu melihat enam manfaat, sudahlah cukup baginya untuk memantapkan persepsi ketidakkekalan di dalam semua bentukan tanpa kecuali. Apakah yang enam itu?
“Semua bentukan akan tampak bagiku sebagai tidak kekal, pikiranku tidak akan bergembira di dalam apa pun yang bersifat duniawi. Pikiranku akan tidak terikat pada keadaan seluruh dunia. Pikiranku akan cenderung menuju Nibbana. Belenggu-belenggu akan dibuang olehku. Dan aku akan memiliki status petapa tertinggi.” 48
(VI, 102)
139. Manfaat Merenungkan Penderitaan
Bila seorang bhikkhu melihat enam manfaat, sudahlah cukup baginya untuk memantapkan persepsi penderitaan dalam semua bentukan tanpa kecuali. Apakah yang enam itu?
“Persepsi kemuakkan akan muncul di dalam diriku terhadap semua bentukan, seperti terhadap pembunuh dengan pedang terhunus. Pikiranku akan tidak terikat pada keadaan seluruh dunia. Aku akan dapat melihat kedamaian di dalam Nibbana. Kecenderungan-kecenderungan yang mendasari akan tercabut akarnya. Aku akan menjadi orang yang telah menyelesaikan tugasnya. Dan aku akan melayani Sang Guru dengan cinta kasih.” 49
(VI, 103)
140. Manfaat Merenungkan Tanpa-Diri
Bila seorang bhikkhu melihat enam manfaat ini, sudahlah cukup baginya untuk memantapkan persepsi tanpa-diri di dalam semua hal tanpa kecuali.50 Apakah yang enam itu?
“Aku akan menjauh dari seluruh dunia. Pengertian-pengertian ‘aku’ akan lenyap di dalam diriku. Pengertian-pengertian ‘milikku’ akan lenyap di dalam diriku. Aku akan memiliki pengetahuan yang tidak umum. Aku akan dengan jelas mengerti sebab-sebab dan fenomena yang muncul dari sebab-sebab.”
(VI, 104)
Catatan
1 Mahanama adalah saudara sepupu Sang Buddha dan anggota suku Sakya yang penting.
2 AA. ” ‘Sampai pada buah’ (agataphala): sampai pada buah yang agung. ‘Memahami ajaran’ (viññatasasana): memahami ajaran dari latihan berunsur tiga. Dia menanyakan tentang tempat berdiam ketergantungan orang yang telah menjadi pemasuk-arus (nissayavihara).” Lihat juga Teks 63.
3 Istilah-istilah ini dikomentari di Vism VII, 101-106.
4 Dikomentari di Vism VII, 107-114.
5 Enam yang pertama adalah para dewa dari enam surga lingkup-indera. Mengenai dewa-dewa di Kelompok Brahma, lihat Teks 77. “Dewa-dewa yang lebih tinggi daripada ini” adalah para dewa dari alam-alam yang lebih tinggi di alam berbentuk dan alam tanpa-bentuk; lihat Tabel 1 (Jilid 1). Subjek meditasi ini dikomentari di Vism VII, 115-118.
6 Ini adalah pandangan benar yang dihubungkan dengan jalan mulia.
7 Bandingkan dengan Teks 115, 142.
8 Kata raga seperti yang digunakan di sini, tampaknya mempunyai arti yang lebih luas daripada hanya nafsu keinginan atau nafsu yang kuat. Karena itu saya menerjemahkannya menjadi “kemelekatan”.
9 AA: “Pembebasan pikiran tanpa-tanda (animittacetovimutti) adalah pandangan terang yang kuat; tetapi pencerita Digha Nikaya mengatakan bahwa itu adalah pencapaian buah tingkat arahat. Dikatakan ‘tanpa-tanda’ karena tidak adanya tanda nafsu, dll., tidak adanya tanda-tanda bentuk, dll., dan tidak adanya tanda-tanda kekekalan, dll.” Di MN 43 “pembebasan pikiran tanpa-tanda” diterangkan dengan jelas hubungannya dengan buah tingkat arahat: di sana nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan dinyatakan sebagai “pembuat-tanda” (nimittakarana), yang telah ditinggalkan sepenuhnya oleh arahat. Tetapi di tempat lain, “konsentrasi tanpa-tanda” (animitta-samadhi) diacu di konteks yang menjelaskan bahwa orang yang telah mencapainya belumlah arahat; lihat misalnya MN 121, SN 40:9. “Tanda-bentuk” dll, tak lain tak bukan adalah bentuk itu sendiri, yang diambil sebagai objek kemelekatan; lihat MN 138 dan Kitab Komentar.
10 “Aku ada”, menurut AA, berarti kesombongan “Aku ada” (asmimana), yang dihilangkan hanya oleh arahat. Menganggap apa pun sebagai “Ini adalah aku” merupakan pandangan kepribadian (sakkayaditthi), yang sudah ditanggulangi oleh pemasuk-arus. Mengenai hubungan antara keduanya, lihat SN 22:89. “Anak panah keraguan dan kebingungan” (vicikicchakathamkathasalla) adalah keraguan berunsur enam belas yang berkenaan dengan realitas, sifat, dan nasib dari diri ini di masa lampau, masa kini dan masa mendatang; lihat MN 2, SN 12:20, dst. Di sini bhikkhu itu tampaknya menyatakan tingkat arahat.
11 Anuttariya-dhamma. Terjemahan ini didasarkan atas terjemahan konsep oleh Bhikkhu Khantipalo.
12 Harta-gajah, dll.: istilah-istilah ini mungkin berarti gajah utama, dll. yang merupakan milik raja.
13 Penjelasan yang sama ini -”untuk pemurnian para makhluk … untuk realisasi Nibbana”- digunakan oleh Sang Buddha pada pembukaan Satipatthana Sutta (DN 22, MN 10) dengan acuan pada praktek empat fondasi kewaspadaan.
14 Bandingkan Teks 24. Di sini, karena akar-akar yang bajik sangat membantu bagi kelahiran ulang, tindakan-tindakan yang dimotivasikan harus dipahami sebagai kamma bajik biasa dan bukannya kehendak untuk jalan mulia, seperti di Teks 24, di mana tindakan-tindakan bajik dikatakan “dipotong di akarnya.”
15 Surga keempat pada alam lingkup-indera.
16 AA menganggap ini mengacu pada “pengetahuan tentang kondisi kemampuan orang-orang lain yang lebih rendah atau lebih tinggi” (indriyaparopariyañana), satu dari jenis-jenis pengetahuan khusus yang dimiliki sepenuhnya hanya oleh Sang Buddha. Lihat Teks 188 § 6.
17 Samayikam pi vimuttim. Ekspresi ini biasanya berarti jhana-jhana, tetapi di sini AA menjelaskan secara berbeda: “Dia kadang-kadang tidak mengalami kegembiraan dan semangat ketika mendengarkan Dhamma dari waktu ke waktu.”
18 AA: “Purana (hidup selibat) lebih tinggi moralitasnya, dan Isidatta lebih tinggi kebijaksanaannya. Moralitas Purana mengimbangi kebijaksanaan Isidatta yang lebih tinggi; dan kebijaksanaan Isidatta mengimbangi moralitas Purana yang lebih tinggi.”
19 Hutang moralnya meningkat karena perilakunya yang salah.
20 Dhammayoga. AA berkata bahwa istilah ini mengacu pada pengkhotbah (dhamma-kathika), tetapi mungkin itu mengacu pada semua yang amat senang belajar dan secara prinsip mengembangkan pendekatan intelektual. Istilah ini tampaknya unik bagi teks yang sekarang dan perbedaan yang terdapat antara meditator dan “mereka yang menyenangi Dhamma” mungkin berasal dari teks sesudahnya.
21 Jhayanti pajjhayanti nijjhayanti avajjhayanti. Sinonim-sinonim ini, yang dibentuk dengan awalan pada kata kerja “bermeditasi”, tidak dapat diterjemahkan secara lengkap di dalam bahasa Inggris. Kata-kata itu dipakai untuk menunjukkan nada merendahkan dan mengejek.
22 Jika orang-orang menolak menghormati atau mengakui mereka yang mempunyai bakat, watak atau tujuan yang berbeda, maka hasilnya adalah saling tidak menyukai. Tekanan eksklusif pada perkembangan sepihak tidak akan membawa kemajuan dan kebahagiaan sejati, yang hanya terdapat di dalam upaya terus-menerus untuk mengharmoniskan apa yang harus dilengkapi, bukan yang dilawan, di dalam pikiran manusia dan di masyarakat.
23 Lihat Teks 32.
24 Di Teks aslinya, bagian-bagian yang berbeda hanyalah dalam pemakaian kata-kata keserakahan, kebencian dan kebodohan yang diganti dengan “keadaan-keadaan mental yang berhubungan dengan keserakahan (lobhadhamma)”, dll., yang oleh AA dijelaskan sebagai “keadaan-keadaan mental yang menyertainya” (tamsampayutta-dhamma).
25 Ini adalah tiga macam kesombongan, yang disebut tiga diskriminasi (tisso vidha), yaitu kesombongan karena lebih tinggi, kesombongan karena sama, dan kesombongan karena lebih rendah (seyyamana, sadisamana, hiramana). Lihat SN 45: 162; Vibh 367 (§920). Arahat telah bebas dari semua kesombongan itu, termasuk kebalikannya juga, seperti yang ditunjukkan oleh YM Sumana.
26 AA menjelaskan “pengetahuan dan pandangan tentang hal-hal sebagaimana adanya” (yathabhuta-ñanadassana) sebagai pengetahuan pandangan terang yang lembut; “kemuakan” (nibbida) sebagai pengetahuan pandangan terang yang kuat; “tanpa-nafsu” (viraga) sebagai jalan mulia (empat tahap keadaan terjaga); dan “pengetahuan dan pandangan pembebasan” (vimutti-ñana-dassana) sebagai pengetahuan pengkajian. Vimutti (tidak disebutkan secara terpisah di sini) berarti buah tingkat arahat (arahatta phala).
27 Khattiya adalah kasta ksatria, yang di India kuno mewakili bangsawan.
28 Kata pañña di sini, yang biasanya diterjemahkan “kebijaksanaan” juga berarti “inteligensi” dalam pengertian yang lebih luas. Di dalam hal para bangsawan, brahmana dan perumah tangga, kata itu mungkin mengacu pada pengetahuan duniawi yang relevan pada statusnya masing-masing -dalam pengertian bahwa “pengetahuan adalah kekuatan”- walaupun bagi para petapa, “kebijaksanaan” merupakan terjemahan yang sesuai. AA berkata bahwa ambisi bangsawan adalah ditahbiskan sebagai raja atau kedaulatan yang berkuasa.
29 Di masyarakat India di waktu itu, hanya keturunan laki-laki yang membuat posisi seorang istri aman di dalam keluarga.
30 Ini adalah Sona Kolivisa, yang dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang terkemuka di antara mereka yang kuat semangatnya. Syair-syairnya muncul di Thag 632-44. Syair-syair 638-39 mengacu pada “Perumpamaan kecapi” kita; syair-syair 640-44 identik dengan syair-syair di akhir khotbah ini. Teks kami muncul di dalam bentuk perluasan di Vin I 179-85.
31 AA: “Berpegang pada ketenangan yang dikombinasikan dengan semangat. Gabungkan ketenangan dengan semangat. Berpeganglah pada keseimbangan dari (lima) kemampuan spiritual. Bila keyakinan dihubungkan dengan kebijaksanaan dan kebijaksanaan dihubungkan dengan keyakinan; bila semangat dihubungkan dengan konsentrasi dan konsentrasi dengan semangat, maka keseimbangan kemampuan itu akan dipertahankan.” Mengenai “di sana peganglah objekmu” (tattha ca nimittam ganhahi), AA berkata: “Bila keseimbangan seperti itu ada, objek dapat muncul dengan jelas, persis seperti bayangan wajah di cermin; dan engkau harus memegang objek ini, entah itu objek ketenangan, pandangan terang, sang jalan atau buahnya.”
32 Nibbedhika-pariyaya. AA menganggap pariyaya di sini berarti “sebab” (karana), yaitu, sarana untuk menembus, atau menusuk, kekotoran batin: “Itu disebut ‘menembus’ karena menembus melalui massa keserakahan, dll. Yang sebelumnya belum pernah ditembus atau dipotong.”
33 Kama mungkin mengacu pada “kekotoran sensualitas” (kilesakama), yaitu nafsu indera; atau pada “sensualitas objektif” (vatthukama), yaitu objek-objek yang menggoda indera.
34 Syair ini, yang memainkan arti ganda dari kama, menekankan bahwa pemurnian harus dicapai dengan cara menanggulangi kekotoran sensualitas, bukan dengan cara menghindari objek-objek yang menggoda indera.
35 Phassa. AA: “Itu adalah kontak (indera) yang muncul secara bersamaan (dengan buah-pikir sensual).” “Kontak” adalah menyatunya kesadaran dan objek melalui kemampuan indera.
36 Arti biasa dari vipaka, “buah-kamma”, tidak cocok untuk semua hal yang dibahas di khotbah ini; maka “hasil” dipakai agar artinya bisa lebih luas. AA: “Jika orang yang menginginkan kesenangan-kesenangan surgawi dan menjalani kehidupan yang baik terlahir kembali di alam dewa, maka keberadaan pribadinya itu berkenaan dengan yang berjasa. Jika karena perilakunya yang jahat dia terlahir kembali di alam menderita, keberadaan pribadinya itu berkenaan dengan yang tidak berjasa.”
37 Nibbedhikam brahmacariyam. AA: “Kehidupan suci (brahmacariya) di sini berarti jalan supra-duniawi (dari pemasuk-arus, dll.).” Harus dicatat bahwa setiap bagian dari khotbah ini dibangun di atas perancah Empat Kebenaran Mulia, dengan dua kategori tambahan: perbedaan dan hasilnya.
38 AA: ” ‘Terlahir dari perasaan ini atau itu’: terlahir dari perasaan yang telah muncul secara bersamaan dengan kesadaran yang aktif secara kamma.”
39 Di MN 9, noda-noda (termasuk noda kebodohan) dikatakan merupakan sebab bagi kebodohan, dan kebodohan merupakan sebab bagi noda-noda. Tentang bagaimana kebodohan dapat merupakan sebab bagi ‘noda kebodohan’, Kitab Komentar MN 9 menjelaskan: “Kebodohan yang muncul berikutnya harus dipahami sebagai ‘noda kebodohan’. Kebodohan yang telah muncul sebelumnya itu sendiri menjadi kondisi penopang yang kuat bagi noda kebodohan yang muncul berikutnya.” Prinsip yang sama menjelaskan bagaimana noda kebodohan dapat merupakan sebab bagi kebodohan (sederhana). (Lihat Bhikkhu Ñanamoli, Khotbah tentang Pandangan Benar, hal. 67.)
40 Cetana ‘ham bhikkhave kammam vadami. AT: “Ini mencakup semua kehendak yang bajik dan tidak bajik (secara kamma).” Selain kehendak, tentu saja ada juga faktor-faktor mental lain yang muncul secara bersamaan di dalam buah-pikir kamma, tetapi kehendak merupakan faktor yang memberikan makna moral atau amoral pada suatu tindakan.
41 Lihat Teks 24 dan Bab III, no. 13.
42 Anagamiphala. Tingkat kesucian ketiga. Lihat Bab III, no. 66, Bab IV, no. 4.
43 Uttarimanussadhamma alamariyañanadassana. AA menerangkan ini sebagai empat jalan dan buah.
44 Ariyayatane. AA: Di tengah-negara (India).
45 Pemasuk-arus telah “menentukan batas bagi penderitaan” dengan cara membatasi jumlah keberadaan mendatang yang harus dijalaninya sampai paling banyak tujuh kali. “Pengetahuan yang tidak umum” (asadharana-ñana) adalah pengetahuan supra-duniawi dengan Nibbana sebagai objeknya, yang tidak dimiliki oleh penghuni dunia secara umum. Pemahaman tentang sebab-sebab, dan tentang hal-hal yang muncul karena sebab-sebab, dianggap sebagai dua berkah yang besar.
46 “Keyakinan yang sesuai” (yaitu dengan Dhamma; anuloma-khanti). Patis II 236 mengutip teks kami secara penuh, diikuti oleh serangkaian tanya jawab. Patis Comy mengatakan mengenai bacaan ini: ” ‘Penyesuaian’ adalah penyesuaian pengetahuan pandangan terang (vipassanañana) dengan jalan supra-duniawi (lokuttara-magga). Penyesuaian itu mengacu pada penerimaan (atau keyakinan) itu saja. Untuk menerima dan menyetujui bahwa semua bentukan adalah tidak kekal, penderitaan dan tanpa-diri – inilah keyakinan (khanti). ‘Keyakinan penyesuaian’ itu berunsur tiga: (1) yang ringan (muduka), yang meluas dari (pengetahuan pandangan terang dari) pemahaman oleh kelompok-kelompok sampai pada pengetahuan tentang muncul dan lenyapnya; (2) yang sedang (majjhima), yang meluas dari perenungan tentang penguraian sampai pada pengetahuan tentang ketenang-seimbangan tentang bentukan-bentukan; (3) yang kuat (tikkha), yaitu pengetahuan tentang penyesuaian dengan kebenaran (saccanuloma-ñana).”
47 “Kepastian kebenaran” (sammatta-niyama), menurut Patis Comy mengacu pada jalan supra-duniawi, yang khususnya mengacu pada jalan pemasuk-arus. Karena pastinya jaminan-jalan (magga-niyama) itu, dikatakan tentang pemasuk-arus: “Dia dijamin (untuk akhir dari kelahiran kembali), dan pasti (meraih) pencerahan” (niyato sambodhi-parayano). “Kebenaran” ini mengacu pada keyakinan seseorang memiliki arah yang benar, dan mengacu pada pandangan realitas yang benar, yakni yang tidak terselewengkan. “Kepastian” (niyama) adalah bahwa jalan ini akan segera memberikan buahnya (phala) dan hasil akhirnya adalah tingkat arahat.
“Kelompok enam” di dalam teks ini (yang menyebabkan dimasukkan ke dalam Buku tentang Kelompok Enam) diangkat dari keyakinan penyesuaian, kepastian kebenaran, dan empat buah pemasuk-arus, dll.
48 Mengenai belenggu, lihat Bab III, no. 65-67.
49 Mengenai kecenderungan yang mendasari, lihat Bab I, no. 25.
50 Catat bahwa persepsi tentang tanpa-diri harus diperluas pada semua benda (dhamma) tanpa syarat, dan bukan hanya semua “bentukan” atau fenomena terkondisi (sankhara) seperti persepsi ketidakkekalan dan tanpa-diri. Lihat Bab I, no. 20

Tidak ada komentar: