Kamis, 26 Januari 2012

PENGARUH PIKIRAN


oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro


          Sering kita mendengar komentar yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sebagai berikut: "Dulu saya melihat dia masih sehat, sekarang mengapa dia menjadi kurus". Orang lain kemudian memberikan komentar, "Ah itu kan karena dimakan oleh pikirannya sendiri". Bagaimana pikiran bisa memakan jasmani? Ini sesungguhnya bukan sesuatu yang sekedar dijadikan alasan untuk orang berbicara. Pikiran memang merupakan salah satu sebab yang membuat saudara bisa menjadi kurus dan berpenyakit.

         Saya akan menceritakan beberapa contoh yang menggambarkan betapa hebatnya pengaruh pikiran itu. Kalau misalnya saudara pulang dari kantor atau kembali dari perjalanan jauh, sesaat sebelum memasuki rumah, saudara sudah membayangi sesuatu yang ingin saudara temui. Saudara membayangkan bahwa istri akan menyambut dengan senyum yang manis, membukakan pintu, dan kemudian di meja makan tersedia nasi yang masih hangat dan ada makanan yang disenangi. Tetapi begitu saudara memasuki rumah, sang istri masih pergi ke dunia mimpi atau pulau kapuk; masuk ke kamar makan, bukan nasi hangat yang ditemui tetapi nasi yang sudah keras; bukan lauk yang saudara inginkan tetapi sekedar tempe goreng yang sudah agak layu dan sayuran pecel yang sudah bukan yang baru lagi. Timbul kejengkelan. Saudara jengkel, marah, merasa tidak senang, dan sebagainya.

         Saudara tidak menyadari bahwa selama ini saudara pulang ke rumah dalam keaadaan capek dan lapar itu sudah merupakan suatu kenyataan dari penderitaan. Saudara memerlukan kasih sayang dari istri dan anak-anak. Fisik/jasmani saudara perlu makan. Saudara memerlukan perlakuan yang baik, memerlukan makanan yang cukup untuk fisik saudara. Keadaan yang lemah dan sakit itu jelas suatu penderitaan. Tetapi jangan lagi saudara membuat penderitaan ekstra, penderitaan tambahan. Kalau pada saat saudara pulang ke rumah, tidak ada bayangan apa yang ingin saudara dapatkan, tidak mempunyai target istri harus menyambut, makanan harus yang disukai, saudara tidak akan kecewa. Tetapi kalau saudara sudah punya target, saudara membuat penderitaan ekstra atau penderitaan tambahan. Rasa tidak senang, jengkel, kecewa, akan bertumpuk-tumpuk. Apa yang sulit kita sadari? Yang sulit kita sadari adalah bahwa sesungguhnya kejengkelan, kekecewaan, kemuakan, kemarahan, tidak terletak pada istri saudara, pada tempe, pada nasi yang sudah keras, tetapi sesungguhnya ada di dalam diri saudara sendiri. Kalau saudara mungkin pada suatu saat disajikan makanan yang tidak cocok oleh istri saudara, saudara merasa tidak senang, marah, mungkin hanya di dalam hati. Kalau saudara meneliti makanan yang disajikan itu, saudara teliti, saudara buka, saudara potong kecil-kecil dan periksa, di situ tidak ada jengkel, marah. Jengkel dan marah tidak ada di dalam tempe, tahu atau yang lainnya, tetapi jengkel dan marah itu ada di dalam diri kita yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter ini. Di sini segala macam kesulitan, kesusahan, kesengsaraan, kekecewaan dan segala macam itu tumbuh. Oleh karena itu, cara untuk mengatasinya harus dimulai dari dalam diri kita sendiri. Untuk membebaskan kejengkelan, kemarahan, kekecewaan, kegelisahan, ketakutan dan sebagainya, sangat tidak bijaksana dan salah kalau kita ingin mengatasi persoalan kehidupan kita dengan memulai dari luar. Semuanya ini pengaruh dari pikiran saudara sendiri. Kalau saudara bisa menjaga pikiran, saudara tidak perlu membuat penderitaan ekstra, karena sesungguhnya secara alami kehidupan kita ini adalah dukkha, menderita.

         Saudara-saudara, acap kali memang pikiran ini mengombang-ambingkan kita. Saya pernah membaca suatu kisah di Korea. Dua orang bhikkhu mengadakan suatu perjalan jauh. Malam telah tiba, namun tujuan belum tercapai. Kedua bhikkhu ini memutuskan untuk bermalam di dalam sebuah goa. Seorang bhikkhu merasa sangat haus, dan dia berusaha mencari air untuk menghilangkan hausnya, tetapi sangat sulit karena malam gelap dan memang daerah itu tandus. Bhikkhu yang satunya, karena sudah capek begitu masuk goa langsung tertidur. Bhikkhu yang haus ini kemudian menyentuh sesuatu seperti priok, dan di dalamnya ada air. Betapa bahagia hatinya. Dia mencium air ini dan tidak ada bau yang mencurigakan. Lalu dia minum sampai habis. Alangkah segarnya, alangkah bahagianya. Dia kemudian merebahkan badan dan tidur dengan sangat nyenyak. Tidak ada persoalan. Tetapi apa yang terjadi besoknya? Begitu bhikkhu ini bangun, dia melihat ternyata semalam dia minum bukan dari priok tetapi dari tengkorak manusia. Alangkah terkejutnya ia. Timbul rasa takut, jijik, muak, tidak enak, gelisah. Tetapi kenapa semalam dia bisa tidur nyenyak? Karena semalam tidak ada pikiran bahwa dia sudah minum dari tengkorak manusia. Tidak ada pikiran yang mengganggu dia, tidak ada pikiran yang membuat dia gelisah sehingga dia bisa tertidur dengan nyenyak.

         Andaikata pagi itu temannya bangun terlebih dahulu, kemudian melihat tengkorak itu dan melemparnya jauh-jauh dan tidak memberitahukan kepada temannya yang semalam telah minum dari tempurung itu, tidak mungkin timbul sesuatu pada pikiran bhikkhu itu, rasa jijik, muak, takut, tidak senang. Inilah saudara, betapa besarnya pengaruh pikiran kepada kita.

         Ada satu lagi cerita, pada waktu vihara ini diresmikan, banyak tamu-tamu datang dari luar negeri. Suatu hari tamu-tamu ini ingin jalan-jalan ke Bandung. Selesai jalan-jalan mereka pulang. Tetapi sampai di puncak sudah jauh malam, sekitar pukul 11 malam. Maka diputuskan untuk mencari tempat bermalam di dekat puncak dekat kebun teh. Kebetulan guide yang membawa rombongan ini punya kenalan dan rombongan ini kemudian bermalam di satu villa yang cukup bagus dan sewanya cukup murah. Nah, satu malam mereka tidur di sana. Pada pagi hari, tamu-tamu kita ini bangun dan wanita-wanita berteriak. Apa yang terjadi? Ternyata di dekat villa, di dekat kamar di mana tamu-tamu ini bermalam, adalah kuburan. Seandainya mereka tahu sebelum mereka tidur bahwa di samping kamarnya ini kuburan saya percaya bahwa lebih dari separuh tidak akan tidur nyenyak. Dan mungkin di tengah malam ada yang kesurupan. Tetapi karena sebelumnya mereka tidak tahu, tidak ada pikiran yang mengganggu pada saat mereka akan tidur. Karena itu mereka dapat tidur dengan myenyak.

       Ada satu cerita lagi. Saya pernah tinggal di suatu vihara di Thailand sebelah Utara. Di vihara ini, pada bulan-bulan Maret-April sangat panas. Di siang hari tidak ada bhikkhu yang betah untuk tinggal di dalam kuti. Umumnya kuti-kuti para bhikkhu terbuat dari kayu dan ada kakinya seperti rumah panggung. Di siang hari mereka keluar mencari goa-goa untuk ditinggali. Saya memilih suatu goa di pinggir sungai Mekong yang berhadapan dengan Laos. Sembilan hari saya tinggal di goa itu dan merasa sangat tenang, udaranya sejuk, saya bisa membaca, membuat naskah, meditasi, kemudian istirahat siang, sorenya baru keluar menyapu halaman, mandi dan meditasi bersama. Hari ke-10, pada saat saya menyapu sore-sore, seseorang bertanya kepada saya, "Di mana Bhante tinggal selama ini?". "Saya tinggal di goa itu, keadaannya cukup baik, saya merasa sangat cocok di sana, anginnya sejuk, halamannya agak luas. Saya ingin tinggal beberapa hari lagi di goa itu sebelum saya kembali ke Bangkok dan pulang ke Indonesia". Dan memang beberapa bhikkhu yang tinggal di sana melihat ada potongan-potongan jubah yang sudah rusak dan sebagainya. Bhikkhu ini mengatakan kepada saya, "Bhante harus hati-hati, sebab di goa itu banyak ular King Cobra". Sering bhikkhu-bhikkhu itu melihat King Cobra itu. Kegelisahan muncul di dalam pikiran saya, ke mana saya harus pindah? Saudara tentu mengerti kalau King Cobra mamatuk kita, kalau tidak cepat-cepat diobati, kita akan jalan ke alam lain alias mati. Saya lalu berusaha untuk mengalahkan pikiran saya sendiri. Besoknya saya tetap memasuki goa itu kembali, tetapi sudah tidak merasa tenang lagi, padahal selama ini saya anggap tenang dan baik.

         Saya masuk ke goa itu, yang selama 9 hari saya telah merasa enak, bisa baca buku, meditasi, tetapi sekarang kalau saya akan masuk, saya baca paritta dulu, bersahabat, memancarkan cinta kasih kepada ular-ular supaya dia tidak mematuk saya. Saya akan mencoba sampai di mana saya mampu selesai mambaca paritta. Ketika sedang mambaca paritta, ada suara kresek-kresek, langsung saya berpikir, "jangan-jangan kepala Cobra sudah muncul di belakang". Sebetulnya suara-suara itu kemarin-kemarin sudah sering saya dengar, suara daun kering yang ditiup angin. Sekali pun saya belum pernah melihat seekor ular muncul di dalam goa itu. Tetapi selama kurang lebih 1 minggu pikiran saya sudah rusak, sudah keruh dengan kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, pertentangan, ketidakpuasan, ketidaknyamanan, dan sebagainya.

         Jadi sesungguhnya ketenangan, ketentraman, kepuasan, tidak bisa saudara cari semata-mata dari tempat, tetapi tumbuh di dalam diri saudara sendiri. Sama halnya dengan kemarahan, kejengkelan, kebencian, ketidakpuasan, itu tidak muncul dari barang-barang, atau makanan yang saudara makan atau saudara lihat, tetapi muncul dari diri saudara sendiri.

         Saudara, inilah sesungguhnya yang membuat kita sengsara, kecewa, sampai membuat badan kita menjadi kurus, tidak ada semangat, patah harapan, putus asa dan sebagainya. Pikiran saudara yang menyebabkan semuanya ini. Jadi saudara harus bisa mengendalikan semua pikiran saudara. Sang Buddha mengatakan, hanya itulah satu-satunya jalan untuk hidup bahagia. Siapakah yang bisa melihat pikiran kita? Ada orang yang mengatakan bahwa orang tua itu mempunyai kemampuan lebih, dia bisa membaca pikiran kita. Memang benar kemampuan ini ada, tetapi seseorang yang bisa membaca pikiran orang lain, hanyalah pikiran orang pada saat itu saja. Dia mungkin dan pasti tidak mengetahui pikiran saya tadi pagi, semalam, atau kemarin. Siapa yang paling mampu melihat pikiran kita? Yang paling bisa melihat pikiran kita adalah kita sendiri. Tidak ada orang lain, tidak pula dewa, tidak ada orang sakti yang bagaimana pun saktinya yang bisa melihat pikiran saudara. Hanya saudara yang dapat melihat pikiran saudara sendiri.

         Sekarang bagaimana caranya melihat pikiran itu? Cara satu-satunya tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan meditasi. Kalau saudara ingin melihat pikiran saudara, berusahalah untuk bermeditasi. Tanpa meditasi tidak mungkin kita akan melihat pikiran kita. Meditasi akan membuat kita sadar bahwa pikiran ini timbul-tenggelam, timbul-tenggelam, timbul-tenggelam. Bila kegelisahan timbul, ia bertahan sebentar, lalu timbul-tenggelam; kesusahan timbul menguasai kita, sebentar kemudian ia tenggelam; kegembiraan timbul, bertahan, kemudian tenggelam juga; kejengkelan timbul menggelisahkan kita tetapi sebentar kemudian ia tenggelam. Ini akan tampak dengan jelas sekali di dalam meditasi. Kalau kita melihat sifat yang timbul tenggelam-timbul tenggelam, maka ada manfaat yang bisa kita ambil. Sesungguhnya seluruh ajaran Sang Buddha, apakah dana, sila, meditasi, dan berbuat suatu apapun, mempunyai satu tujuan untuk mendidik kita untuk latihan tidak terikat. Kalau saudara tidak memahami pikiran saudara yang timbul tenggelam-timbul tenggelam maka pikiran saudara akan terikat erat-erat oleh apapun juga. Cobalah saudara berusaha untuk tidak terikat. Semua orang ingin sukses, ingin bahagia, cukup materi, bahagia batinnya. Tetapi kalau saudara tidak mengerti Dhamma tidak banyak belajar Dhamma, saudara harus hati-hati. Oleh karena kesuksesan materi, kebahagiaan, dan lain-lain itu secara tidak sadar akan memperkuat keterikatan saudara.

         Cerita lain lagi, ada umat Buddha baru, seorang suami-istri. Kedua orang ini sangat berbakti kepada vihara, kepada sangha. Setiap hari kalau ada waktu luang mereka pergi ke vihara. Tapi suatu saat musibah terjadi, usaha mereka (usaha tekstil), kain-kain terbakar habis. Kalau dihitung, habis 400 juta. Mereka tidak punya usaha lain sebagai usaha cadangan. Usaha yang kebakaran ini adalah satu-satunya usaha yang mereka miliki. Sang istri sangat kecewa dan sedih, meskipun sudah memiliki pengetahuan Dhamma yang lumayan. Kalau seseorang tidak mempunyai pengetahuan Dhamma, mungkin akan bertanya atau bahkan protes, "Dulu bukan umat Buddha, tidak terjadi apa-apa, koq sekarang menjadi umat Buddha yang berbakti, malahan hasilnya usaha saya habis. Ah, mungkin saya tidak cocok menjadi umat Buddha". Untung sang istri sudah punya pengertian, sehingga tidak sampai berpikir bahwa menjadi umat Buddha ini sial. Tetapi sang suami mempunyai pikiran yang lebih tenang. Sang suami mengatakan, "Bhante, kalau kebakaran ini terjadi sebelum saya menjadi umat Buddha, mungkin saya sudah menjadi gila, tapi justru kebakaran ini terjadi setelah saya mengenal agama Buddha. Agama Buddha yang menyelamatkan saya. Sekarang saya harus praktek apa yang sering Bhante katakan, yaitu jangan terikat. Kebakaran sudah terjadi, tidak bisa dibatalkan, kekayaan saya sudah habis, saya harus melihat kenyataan ini dan saya harus berusaha mencoba melepaskan keterikatan saya". Saudara, Sang Buddha mengatakan untuk tidak terikat ini, bukan berarti saudara boleh sembrono, mengendarai mobil dengan sembarangan. Kalau demikian, itu namanya belajar agama Buddha dengan setengah-setengah, dan itu sangat berbahaya.


        Kita harus mempunyai usaha yang baik, berhati-hati, tidak ceroboh, karena dengan usaha yang sungguh-sungguh, hati-hati, tidak ceroboh, adalah termasuk perbuatan yang baik. Ini bisa mencegah minimal mengurangi akibat-akibat karma jelek yang timbul. Kita yakin dengan hukum karma. Semua yang kita terima adalah akibat karma kita yang lampau dan yang sekarang. Apa yang kita rasakan sekarang, seperti keberhasilan atau musibah yang kita alami sekarang adalah akibat dari karma yang lalu dan perbuatan kita yang sekarang. Jadi kita harus tetap hati-hati, kerja keras, rajin, meskipun suatu saat kita tidak bisa menghindari Anicca (perubahan). Kalau perubahan terjadi, kalau kerusakan terjadi, kalau kematian terjadi, kita harus rela melepaskan. Oleh karena itu kita harus belajar untuk tidak terikat. Alangkah sengsaranya orang yang selalu terikat.

         Apakah yang dimaksudkan dengan tidak terikat? Kalau suatu saat saudara harus meninggalkan rumah untuk bekerja, untuk kuliah, untuk berumah tangga dengan pasangan saudara, saudara harus rela meninggalkan rumah atau keluarga yang semula tinggal bersama-sama dengan saudara. Kalau saudara selalu terikat kepada ibu saudara, terikat pada ayah, terikat pada anak-anak saudara, maka saudara dan anak-anak saudara, atau saudara dan orang tua saudara, kedua-duanya akan sulit mendapatkan kemajuan. Mereka yang terikat kepada hal-hal yang sepele ini sesungguhnya menambah penderitaan hidup mereka sendiri. Alangkah bahagianya orang yang tidak mempunyai keterikatan.

         Memang kita harus merawat orang tua, merawat anak-anak, merawat suami dengan baik. Kewajiban harus kita selesaikan dengan baik, dengan kerja keras karena itu merupakan kewajiban. Tetapi suatu saat kalau suami kita berangkat lebih dahulu, istri kita meninggal lebih dulu, bahkan mungkin anak-anak meninggal lebih dulu, bila saudara tidak pernah belajar melepaskan keterikatan, di situ saudara akan merasa sangat menderita, sangat kecewa, sangat sengsara. Dan kenyataan ini tidak bisa saudara batalkan. Saudara harus menerima apa adanya. Kalau usaha saudara suatu ketika hancur karena kalah atau mungkin hancur karena suatu sebab, saudara harus siap dan menerima itu apa adanya. Alangkah bahagianya orang yang tidak terikat. Ia bebas, bahagia, gembira, merdeka.
        Saudara-saudara, saya sengaja dan berusaha membawa uraian ini dengan banyak cerita, tapi sesungguhnya apa yang ingin saya sampaikan adalah merupakan salah satu inti utama ajaran Sang Buddha, apa yang dikehendaki Sang Buddha dari kita, yaitu belajar dan berusaha untuk tidak terikat. Alangkah sengsaranya orang yang selalu terikat, terikat oleh nafsunya.

        Oleh karena itu, tidak hanya berdana belajar tidak terikat, tetapi menjalankan sila sesungguhnya belajar melepaskan keterikatan, apalagi kalau saudara mau latihan meditasi. Saudara akan mempunyai latihan yang cukup baik untuk melepaskan keterikatan. Kalau ada problem, ada susah, ada sulit, muncul jengkel pada pikiran saudara, kemudian timbul kemalasan, semangat menjadi luntur, menjadi hilang, seorang umat Buddha tidak perlu murung. Apa yang menjadi kekuatan sehingga saya bisa bertahan menjadi bhikkhu? Karena saya bisa mengatasi problem persoalan, kesulitan yang muncul di dalam pikiran saya, dengan berpedoman: walau apapun yang muncul, ia tidaklah kekal. Pikiran gelisah itu muncul, bertahan mengacau pikiran kita sebentar, kemudian dia tenggelam. Pada saat timbul kekacauan, kegelisahan, cobalah untuk mengingat hal ini untuk menumbuhkan daya tahan atau kekuatan mental saudara. Apapun yang muncul menguasai, mengaduk-aduk kita, sebentar dia akan tenggelam kembali. Orang yang tidak pernah belajar melepaskan keterikatan akan selalu menggenggam, selalu terikat, selalu memegang sesuatu, serakah ini, serakah itu, dan dia pun akan selalu terikat oleh problemnya sendiri, tidak mudah melepaskan problemnya. Tetapi sebaliknya, seseorang yang sering latihan dan berusaha melepaskan keerikatan, dia tidak mau berlama-lama diikat oleh persoalannya sendiri, oleh problemnya sendiri, oleh kesedihannya sendiri.

         Problem/persoalan itu timbul, bertahan, tenggelam, timbul-tenggelam. Demikianlah kehidupan kita. Memang benar, kita harus kerja keras, maju, berjuang, berusaha sungguh-sungguh, tekun, ulet, hemat; tidak sebaliknya, bermalas-malasan, boros, berfoya-foya, sama sekali bukan! Tetapi jangan terikat pada hasil yang telah saudara dapatkan. Kita siap menjadi makmur tetapi jangan terikat pada kemakmuran, kita siap menjadi kaya, siap menjadi orang besar, mempunyai pangkat, kedudukan, menggunakan pangkat, kedudukan dan keberhasilan ini demi kepentingan orang banyak demi kepentingan kebaikan, tetapi jangan terikat olehnya.

         Kalau sementara ini, ada orang yang salah mengerti, seolah-olah agama Buddha itu acuh tak acuh terhadap duniawi, acuh tak acuh dengan urusan masyarakat, hanya mengajarkan meditasi, jangan melekat, meninggalkan keduniawian, jadi bhikkhu; ini sebenarnya hanya melihat satu sisi. Seperti yang saya sampaikan tadi, kita siap bekerja bahkan harus bekerja keras, tetapi kita jangan terikat oleh hasil dari semua itu.

         Demikian seharusnya sikap hidup umat Buddha. Saudara perlu kerja keras, sungguh-sungguh, tidak boros, berusaha agar usaha saudara naik menjadi besar, kemudian menggunakan hasilnya untuk diabdikan kepada orang banyak, tetapi siap untuk melepas, berusaha untuk tidak terikat. Inilah sesungguhnya yang Sang Buddha minta kepada kita. Ini memang perlu diingatkan setiap saat. Oleh karena persoalan pikiran, persoalan kehidupan ini sangat komplek. Kalau tidak sering-sering diingatkan, batin kita gampang terbakar. Mendengarkan Dhamma, mendiskusikan Dhamma, ikut Dhamma Class, ini seperti hujan. Kalau baru mendengarkan Dhamma, baru berdiskusi tentang Dhamma, batin kita tidak kering mudah terbakar, tetapi batin kita basah. Ada makanan kering, istri sedang pergi ke pulau kapuk, batin kita tidak terbakar. Tapi kalau lagi kering, aduh! Cucian tidak bersih sedikit atau suruhan tidak ada yang betul, kita mudah terbakar.

         Dengan rajin mendengarkan khotbah, mengikuti kebaktian, baca paritta; semuanya ini untuk membasahi batin kita supaya kita bisa hidup bahagia. Alangkah bahagianya batin yang basah. Ia tidak mudah terbakar, tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah, tetapi sejuk dan damai.***



Sumber : Kaset Khotbah Dhamma


Mutiara Dhamma VII, Ir. Lindawati T. (editor), pt. Indografika Utama, Denpasar-Bali, 1994

Tidak ada komentar: