oleh:
Bhikkhu Sri Paññavaro
Sering kita mendengar komentar yang
diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sebagai berikut: "Dulu saya
melihat dia masih sehat, sekarang mengapa dia menjadi kurus". Orang lain
kemudian memberikan komentar, "Ah itu kan karena dimakan oleh pikirannya
sendiri". Bagaimana pikiran bisa memakan jasmani? Ini sesungguhnya bukan
sesuatu yang sekedar dijadikan alasan untuk orang berbicara. Pikiran memang
merupakan salah satu sebab yang membuat saudara bisa menjadi kurus dan
berpenyakit.
Saya akan menceritakan beberapa contoh
yang menggambarkan betapa hebatnya pengaruh pikiran itu. Kalau misalnya saudara
pulang dari kantor atau kembali dari perjalanan jauh, sesaat sebelum memasuki
rumah, saudara sudah membayangi sesuatu yang ingin saudara temui. Saudara
membayangkan bahwa istri akan menyambut dengan senyum yang manis, membukakan pintu,
dan kemudian di meja makan tersedia nasi yang masih hangat dan ada makanan yang
disenangi. Tetapi begitu saudara memasuki rumah, sang istri masih pergi ke
dunia mimpi atau pulau kapuk; masuk ke kamar makan, bukan nasi hangat yang
ditemui tetapi nasi yang sudah keras; bukan lauk yang saudara inginkan tetapi
sekedar tempe goreng yang sudah agak layu dan sayuran pecel yang sudah bukan
yang baru lagi. Timbul kejengkelan. Saudara jengkel, marah, merasa tidak
senang, dan sebagainya.
Saudara tidak menyadari bahwa selama
ini saudara pulang ke rumah dalam keaadaan capek dan lapar itu sudah merupakan
suatu kenyataan dari penderitaan. Saudara memerlukan kasih sayang dari istri
dan anak-anak. Fisik/jasmani saudara perlu makan. Saudara memerlukan perlakuan
yang baik, memerlukan makanan yang cukup untuk fisik saudara. Keadaan yang
lemah dan sakit itu jelas suatu penderitaan. Tetapi jangan lagi saudara membuat
penderitaan ekstra, penderitaan tambahan. Kalau pada saat saudara pulang ke
rumah, tidak ada bayangan apa yang ingin saudara dapatkan, tidak mempunyai
target istri harus menyambut, makanan harus yang disukai, saudara tidak akan
kecewa. Tetapi kalau saudara sudah punya target, saudara membuat penderitaan
ekstra atau penderitaan tambahan. Rasa tidak senang, jengkel, kecewa, akan
bertumpuk-tumpuk. Apa yang sulit kita sadari? Yang sulit kita sadari adalah
bahwa sesungguhnya kejengkelan, kekecewaan, kemuakan, kemarahan, tidak terletak
pada istri saudara, pada tempe, pada nasi yang sudah keras, tetapi sesungguhnya
ada di dalam diri saudara sendiri. Kalau saudara mungkin pada suatu saat
disajikan makanan yang tidak cocok oleh istri saudara, saudara merasa tidak
senang, marah, mungkin hanya di dalam hati. Kalau saudara meneliti makanan yang
disajikan itu, saudara teliti, saudara buka, saudara potong kecil-kecil dan
periksa, di situ tidak ada jengkel, marah. Jengkel dan marah tidak ada di dalam
tempe, tahu atau yang lainnya, tetapi jengkel dan marah itu ada di dalam diri
kita yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter ini. Di sini segala macam
kesulitan, kesusahan, kesengsaraan, kekecewaan dan segala macam itu tumbuh.
Oleh karena itu, cara untuk mengatasinya harus dimulai dari dalam diri kita
sendiri. Untuk membebaskan kejengkelan, kemarahan, kekecewaan, kegelisahan, ketakutan
dan sebagainya, sangat tidak bijaksana dan salah kalau kita ingin mengatasi
persoalan kehidupan kita dengan memulai dari luar. Semuanya ini pengaruh dari
pikiran saudara sendiri. Kalau saudara bisa menjaga pikiran, saudara tidak
perlu membuat penderitaan ekstra, karena sesungguhnya secara alami kehidupan
kita ini adalah dukkha, menderita.
Saudara-saudara, acap kali memang
pikiran ini mengombang-ambingkan kita. Saya pernah membaca suatu kisah di
Korea. Dua orang bhikkhu mengadakan suatu perjalan jauh. Malam telah tiba,
namun tujuan belum tercapai. Kedua bhikkhu ini memutuskan untuk bermalam di
dalam sebuah goa. Seorang bhikkhu merasa sangat haus, dan dia berusaha mencari
air untuk menghilangkan hausnya, tetapi sangat sulit karena malam gelap dan
memang daerah itu tandus. Bhikkhu yang satunya, karena sudah capek begitu masuk
goa langsung tertidur. Bhikkhu yang haus ini kemudian menyentuh sesuatu seperti
priok, dan di dalamnya ada air. Betapa bahagia hatinya. Dia mencium air ini dan
tidak ada bau yang mencurigakan. Lalu dia minum sampai habis. Alangkah
segarnya, alangkah bahagianya. Dia kemudian merebahkan badan dan tidur dengan
sangat nyenyak. Tidak ada persoalan. Tetapi apa yang terjadi besoknya? Begitu
bhikkhu ini bangun, dia melihat ternyata semalam dia minum bukan dari priok
tetapi dari tengkorak manusia. Alangkah terkejutnya ia. Timbul rasa takut,
jijik, muak, tidak enak, gelisah. Tetapi kenapa semalam dia bisa tidur nyenyak?
Karena semalam tidak ada pikiran bahwa dia sudah minum dari tengkorak manusia.
Tidak ada pikiran yang mengganggu dia, tidak ada pikiran yang membuat dia
gelisah sehingga dia bisa tertidur dengan nyenyak.
Andaikata pagi itu temannya bangun
terlebih dahulu, kemudian melihat tengkorak itu dan melemparnya jauh-jauh dan
tidak memberitahukan kepada temannya yang semalam telah minum dari tempurung
itu, tidak mungkin timbul sesuatu pada pikiran bhikkhu itu, rasa jijik, muak,
takut, tidak senang. Inilah saudara, betapa besarnya pengaruh pikiran kepada
kita.
Ada satu lagi cerita, pada waktu
vihara ini diresmikan, banyak tamu-tamu datang dari luar negeri. Suatu hari
tamu-tamu ini ingin jalan-jalan ke Bandung. Selesai jalan-jalan mereka pulang.
Tetapi sampai di puncak sudah jauh malam, sekitar pukul 11 malam. Maka
diputuskan untuk mencari tempat bermalam di dekat puncak dekat kebun teh.
Kebetulan guide yang membawa rombongan ini punya kenalan dan rombongan ini
kemudian bermalam di satu villa yang cukup bagus dan sewanya cukup murah. Nah,
satu malam mereka tidur di sana. Pada pagi hari, tamu-tamu kita ini bangun dan
wanita-wanita berteriak. Apa yang terjadi? Ternyata di dekat villa, di dekat
kamar di mana tamu-tamu ini bermalam, adalah kuburan. Seandainya mereka tahu
sebelum mereka tidur bahwa di samping kamarnya ini kuburan saya percaya bahwa
lebih dari separuh tidak akan tidur nyenyak. Dan mungkin di tengah malam ada
yang kesurupan. Tetapi karena sebelumnya mereka tidak tahu, tidak ada pikiran
yang mengganggu pada saat mereka akan tidur. Karena itu mereka dapat tidur
dengan myenyak.
Ada satu cerita lagi. Saya pernah
tinggal di suatu vihara di Thailand sebelah Utara. Di vihara ini, pada
bulan-bulan Maret-April sangat panas. Di siang hari tidak ada bhikkhu yang
betah untuk tinggal di dalam kuti. Umumnya kuti-kuti para bhikkhu terbuat dari
kayu dan ada kakinya seperti rumah panggung. Di siang hari mereka keluar
mencari goa-goa untuk ditinggali. Saya memilih suatu goa di pinggir sungai
Mekong yang berhadapan dengan Laos. Sembilan hari saya tinggal di goa itu dan
merasa sangat tenang, udaranya sejuk, saya bisa membaca, membuat naskah,
meditasi, kemudian istirahat siang, sorenya baru keluar menyapu halaman, mandi
dan meditasi bersama. Hari ke-10, pada saat saya menyapu sore-sore, seseorang
bertanya kepada saya, "Di mana Bhante tinggal selama ini?".
"Saya tinggal di goa itu, keadaannya cukup baik, saya merasa sangat cocok
di sana, anginnya sejuk, halamannya agak luas. Saya ingin tinggal beberapa hari
lagi di goa itu sebelum saya kembali ke Bangkok dan pulang ke Indonesia".
Dan memang beberapa bhikkhu yang tinggal di sana melihat ada potongan-potongan
jubah yang sudah rusak dan sebagainya. Bhikkhu ini mengatakan kepada saya,
"Bhante harus hati-hati, sebab di goa itu banyak ular King Cobra".
Sering bhikkhu-bhikkhu itu melihat King Cobra itu. Kegelisahan muncul di dalam
pikiran saya, ke mana saya harus pindah? Saudara tentu mengerti kalau King
Cobra mamatuk kita, kalau tidak cepat-cepat diobati, kita akan jalan ke alam
lain alias mati. Saya lalu berusaha untuk mengalahkan pikiran saya sendiri.
Besoknya saya tetap memasuki goa itu kembali, tetapi sudah tidak merasa tenang
lagi, padahal selama ini saya anggap tenang dan baik.
Saya masuk ke goa itu, yang selama 9
hari saya telah merasa enak, bisa baca buku, meditasi, tetapi sekarang kalau
saya akan masuk, saya baca paritta dulu, bersahabat, memancarkan cinta kasih
kepada ular-ular supaya dia tidak mematuk saya. Saya akan mencoba sampai di
mana saya mampu selesai mambaca paritta. Ketika sedang mambaca paritta, ada
suara kresek-kresek, langsung saya berpikir, "jangan-jangan kepala Cobra
sudah muncul di belakang". Sebetulnya suara-suara itu kemarin-kemarin
sudah sering saya dengar, suara daun kering yang ditiup angin. Sekali pun saya
belum pernah melihat seekor ular muncul di dalam goa itu. Tetapi selama kurang
lebih 1 minggu pikiran saya sudah rusak, sudah keruh dengan kegelisahan,
kekhawatiran, ketakutan, pertentangan, ketidakpuasan, ketidaknyamanan, dan
sebagainya.
Jadi sesungguhnya ketenangan,
ketentraman, kepuasan, tidak bisa saudara cari semata-mata dari tempat, tetapi
tumbuh di dalam diri saudara sendiri. Sama halnya dengan kemarahan,
kejengkelan, kebencian, ketidakpuasan, itu tidak muncul dari barang-barang,
atau makanan yang saudara makan atau saudara lihat, tetapi muncul dari diri
saudara sendiri.
Saudara, inilah sesungguhnya yang
membuat kita sengsara, kecewa, sampai membuat badan kita menjadi kurus, tidak
ada semangat, patah harapan, putus asa dan sebagainya. Pikiran saudara yang
menyebabkan semuanya ini. Jadi saudara harus bisa mengendalikan semua pikiran
saudara. Sang Buddha mengatakan, hanya itulah satu-satunya jalan untuk hidup
bahagia. Siapakah yang bisa melihat pikiran kita? Ada orang yang mengatakan
bahwa orang tua itu mempunyai kemampuan lebih, dia bisa membaca pikiran kita.
Memang benar kemampuan ini ada, tetapi seseorang yang bisa membaca pikiran
orang lain, hanyalah pikiran orang pada saat itu saja. Dia mungkin dan pasti
tidak mengetahui pikiran saya tadi pagi, semalam, atau kemarin. Siapa yang
paling mampu melihat pikiran kita? Yang paling bisa melihat pikiran kita adalah
kita sendiri. Tidak ada orang lain, tidak pula dewa, tidak ada orang sakti yang
bagaimana pun saktinya yang bisa melihat pikiran saudara. Hanya saudara yang dapat
melihat pikiran saudara sendiri.
Sekarang bagaimana caranya melihat
pikiran itu? Cara satu-satunya tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan
meditasi. Kalau saudara ingin melihat pikiran saudara, berusahalah untuk
bermeditasi. Tanpa meditasi tidak mungkin kita akan melihat pikiran kita.
Meditasi akan membuat kita sadar bahwa pikiran ini timbul-tenggelam,
timbul-tenggelam, timbul-tenggelam. Bila kegelisahan timbul, ia bertahan
sebentar, lalu timbul-tenggelam; kesusahan timbul menguasai kita, sebentar
kemudian ia tenggelam; kegembiraan timbul, bertahan, kemudian tenggelam juga;
kejengkelan timbul menggelisahkan kita tetapi sebentar kemudian ia tenggelam.
Ini akan tampak dengan jelas sekali di dalam meditasi. Kalau kita melihat sifat
yang timbul tenggelam-timbul tenggelam, maka ada manfaat yang bisa kita ambil.
Sesungguhnya seluruh ajaran Sang Buddha, apakah dana, sila, meditasi, dan
berbuat suatu apapun, mempunyai satu tujuan untuk mendidik kita untuk latihan
tidak terikat. Kalau saudara tidak memahami pikiran saudara yang timbul
tenggelam-timbul tenggelam maka pikiran saudara akan terikat erat-erat oleh
apapun juga. Cobalah saudara berusaha untuk tidak terikat. Semua orang ingin
sukses, ingin bahagia, cukup materi, bahagia batinnya. Tetapi kalau saudara
tidak mengerti Dhamma tidak banyak belajar Dhamma, saudara harus hati-hati.
Oleh karena kesuksesan materi, kebahagiaan, dan lain-lain itu secara tidak
sadar akan memperkuat keterikatan saudara.
Cerita lain lagi, ada umat Buddha
baru, seorang suami-istri. Kedua orang ini sangat berbakti kepada vihara,
kepada sangha. Setiap hari kalau ada waktu luang mereka pergi ke vihara. Tapi
suatu saat musibah terjadi, usaha mereka (usaha tekstil), kain-kain terbakar
habis. Kalau dihitung, habis 400 juta. Mereka tidak punya usaha lain sebagai
usaha cadangan. Usaha yang kebakaran ini adalah satu-satunya usaha yang mereka
miliki. Sang istri sangat kecewa dan sedih, meskipun sudah memiliki pengetahuan
Dhamma yang lumayan. Kalau seseorang tidak mempunyai pengetahuan Dhamma,
mungkin akan bertanya atau bahkan protes, "Dulu bukan umat Buddha, tidak
terjadi apa-apa, koq sekarang menjadi umat Buddha yang berbakti, malahan
hasilnya usaha saya habis. Ah, mungkin saya tidak cocok menjadi umat Buddha".
Untung sang istri sudah punya pengertian, sehingga tidak sampai berpikir bahwa
menjadi umat Buddha ini sial. Tetapi sang suami mempunyai pikiran yang lebih
tenang. Sang suami mengatakan, "Bhante, kalau kebakaran ini terjadi
sebelum saya menjadi umat Buddha, mungkin saya sudah menjadi gila, tapi justru
kebakaran ini terjadi setelah saya mengenal agama Buddha. Agama Buddha yang
menyelamatkan saya. Sekarang saya harus praktek apa yang sering Bhante katakan,
yaitu jangan terikat. Kebakaran sudah terjadi, tidak bisa dibatalkan, kekayaan
saya sudah habis, saya harus melihat kenyataan ini dan saya harus berusaha
mencoba melepaskan keterikatan saya". Saudara, Sang Buddha mengatakan
untuk tidak terikat ini, bukan berarti saudara boleh sembrono, mengendarai mobil
dengan sembarangan. Kalau demikian, itu namanya belajar agama Buddha dengan
setengah-setengah, dan itu sangat berbahaya.
Kita harus mempunyai usaha yang baik,
berhati-hati, tidak ceroboh, karena dengan usaha yang sungguh-sungguh,
hati-hati, tidak ceroboh, adalah termasuk perbuatan yang baik. Ini bisa
mencegah minimal mengurangi akibat-akibat karma jelek yang timbul. Kita yakin
dengan hukum karma. Semua yang kita terima adalah akibat karma kita yang lampau
dan yang sekarang. Apa yang kita rasakan sekarang, seperti keberhasilan atau
musibah yang kita alami sekarang adalah akibat dari karma yang lalu dan
perbuatan kita yang sekarang. Jadi kita harus tetap hati-hati, kerja keras,
rajin, meskipun suatu saat kita tidak bisa menghindari Anicca (perubahan). Kalau
perubahan terjadi, kalau kerusakan terjadi, kalau kematian terjadi, kita harus
rela melepaskan. Oleh karena itu kita harus belajar untuk tidak terikat.
Alangkah sengsaranya orang yang selalu terikat.
Apakah yang dimaksudkan dengan tidak
terikat? Kalau suatu saat saudara harus meninggalkan rumah untuk bekerja, untuk
kuliah, untuk berumah tangga dengan pasangan saudara, saudara harus rela
meninggalkan rumah atau keluarga yang semula tinggal bersama-sama dengan
saudara. Kalau saudara selalu terikat kepada ibu saudara, terikat pada ayah,
terikat pada anak-anak saudara, maka saudara dan anak-anak saudara, atau
saudara dan orang tua saudara, kedua-duanya akan sulit mendapatkan kemajuan.
Mereka yang terikat kepada hal-hal yang sepele ini sesungguhnya menambah
penderitaan hidup mereka sendiri. Alangkah bahagianya orang yang tidak
mempunyai keterikatan.
Memang kita harus merawat orang tua,
merawat anak-anak, merawat suami dengan baik. Kewajiban harus kita selesaikan
dengan baik, dengan kerja keras karena itu merupakan kewajiban. Tetapi suatu
saat kalau suami kita berangkat lebih dahulu, istri kita meninggal lebih dulu,
bahkan mungkin anak-anak meninggal lebih dulu, bila saudara tidak pernah
belajar melepaskan keterikatan, di situ saudara akan merasa sangat menderita,
sangat kecewa, sangat sengsara. Dan kenyataan ini tidak bisa saudara batalkan.
Saudara harus menerima apa adanya. Kalau usaha saudara suatu ketika hancur
karena kalah atau mungkin hancur karena suatu sebab, saudara harus siap dan menerima
itu apa adanya. Alangkah bahagianya orang yang tidak terikat. Ia bebas,
bahagia, gembira, merdeka.
Saudara-saudara, saya sengaja dan
berusaha membawa uraian ini dengan banyak cerita, tapi sesungguhnya apa yang
ingin saya sampaikan adalah merupakan salah satu inti utama ajaran Sang Buddha,
apa yang dikehendaki Sang Buddha dari kita, yaitu belajar dan berusaha untuk
tidak terikat. Alangkah sengsaranya orang yang selalu terikat, terikat oleh
nafsunya.
Oleh karena itu, tidak hanya berdana
belajar tidak terikat, tetapi menjalankan sila sesungguhnya belajar melepaskan
keterikatan, apalagi kalau saudara mau latihan meditasi. Saudara akan mempunyai
latihan yang cukup baik untuk melepaskan keterikatan. Kalau ada problem, ada
susah, ada sulit, muncul jengkel pada pikiran saudara, kemudian timbul
kemalasan, semangat menjadi luntur, menjadi hilang, seorang umat Buddha tidak
perlu murung. Apa yang menjadi kekuatan sehingga saya bisa bertahan menjadi
bhikkhu? Karena saya bisa mengatasi problem persoalan, kesulitan yang muncul di
dalam pikiran saya, dengan berpedoman: walau apapun yang muncul, ia tidaklah
kekal. Pikiran gelisah itu muncul, bertahan mengacau pikiran kita sebentar,
kemudian dia tenggelam. Pada saat timbul kekacauan, kegelisahan, cobalah untuk
mengingat hal ini untuk menumbuhkan daya tahan atau kekuatan mental saudara.
Apapun yang muncul menguasai, mengaduk-aduk kita, sebentar dia akan tenggelam
kembali. Orang yang tidak pernah belajar melepaskan keterikatan akan selalu
menggenggam, selalu terikat, selalu memegang sesuatu, serakah ini, serakah itu,
dan dia pun akan selalu terikat oleh problemnya sendiri, tidak mudah melepaskan
problemnya. Tetapi sebaliknya, seseorang yang sering latihan dan berusaha
melepaskan keerikatan, dia tidak mau berlama-lama diikat oleh persoalannya
sendiri, oleh problemnya sendiri, oleh kesedihannya sendiri.
Problem/persoalan itu timbul,
bertahan, tenggelam, timbul-tenggelam. Demikianlah kehidupan kita. Memang
benar, kita harus kerja keras, maju, berjuang, berusaha sungguh-sungguh, tekun,
ulet, hemat; tidak sebaliknya, bermalas-malasan, boros, berfoya-foya, sama
sekali bukan! Tetapi jangan terikat pada hasil yang telah saudara dapatkan.
Kita siap menjadi makmur tetapi jangan terikat pada kemakmuran, kita siap
menjadi kaya, siap menjadi orang besar, mempunyai pangkat, kedudukan,
menggunakan pangkat, kedudukan dan keberhasilan ini demi kepentingan orang
banyak demi kepentingan kebaikan, tetapi jangan terikat olehnya.
Kalau sementara ini, ada orang yang
salah mengerti, seolah-olah agama Buddha itu acuh tak acuh terhadap duniawi,
acuh tak acuh dengan urusan masyarakat, hanya mengajarkan meditasi, jangan
melekat, meninggalkan keduniawian, jadi bhikkhu; ini sebenarnya hanya melihat
satu sisi. Seperti yang saya sampaikan tadi, kita siap bekerja bahkan harus
bekerja keras, tetapi kita jangan terikat oleh hasil dari semua itu.
Demikian seharusnya sikap hidup umat
Buddha. Saudara perlu kerja keras, sungguh-sungguh, tidak boros, berusaha agar
usaha saudara naik menjadi besar, kemudian menggunakan hasilnya untuk diabdikan
kepada orang banyak, tetapi siap untuk melepas, berusaha untuk tidak terikat.
Inilah sesungguhnya yang Sang Buddha minta kepada kita. Ini memang perlu
diingatkan setiap saat. Oleh karena persoalan pikiran, persoalan kehidupan ini
sangat komplek. Kalau tidak sering-sering diingatkan, batin kita gampang
terbakar. Mendengarkan Dhamma, mendiskusikan Dhamma, ikut Dhamma Class, ini
seperti hujan. Kalau baru mendengarkan Dhamma, baru berdiskusi tentang Dhamma,
batin kita tidak kering mudah terbakar, tetapi batin kita basah. Ada makanan
kering, istri sedang pergi ke pulau kapuk, batin kita tidak terbakar. Tapi
kalau lagi kering, aduh! Cucian tidak bersih sedikit atau suruhan tidak ada
yang betul, kita mudah terbakar.
Dengan rajin mendengarkan khotbah,
mengikuti kebaktian, baca paritta; semuanya ini untuk membasahi batin kita
supaya kita bisa hidup bahagia. Alangkah bahagianya batin yang basah. Ia tidak
mudah terbakar, tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah, tetapi sejuk dan
damai.***
Sumber
: Kaset Khotbah Dhamma
Mutiara
Dhamma VII, Ir. Lindawati T. (editor), pt. Indografika Utama, Denpasar-Bali,
1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar