Kelompok Lima
92. Kekuatan-kekuatan Siswa yang Berlatih
Para
bhikkhu, ada lima kekuatan di dalam diri orang yang menjalankan latihan yang
lebih tinggi.1Apakah yang lima itu?
Kekuatan
keyakinan, malu, takut moral, semangat, dan kebijaksanaan.
Dan apakah
kekuatan keyakinan itu? Di sini, para bhikkhu, seorang
siswa agung memiliki keyakinan; dia menempatkan keyakinan pada pencerahan
Tathagata: “Yang Terberkahi adalah Arahat, sepenuhnya tercerahkan, mantap di
dalam pengetahuan dan perilaku sejati, luhur, pengenal dunia, pemimpin yang
tak-terkalahkan bagi manusia yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia,
Yang Telah Tercerahkan, Yang Terberkahi.”
Dan
apakah kekuatan malu itu? Di sini, para bhikkhu,
seorang siswa agung memiliki rasa malu; dia malu akan perilaku buruk lewat
tubuh, ucapan dan pikiran; dia malu akan apa pun yang jahat dan tidak
bermanfaat.2
Dan
apakah kekuatan rasa takut moral itu? Di sini, para
bhikkhu, seorang siswa agung memiliki takut moral; dia takut akan perilaku
buruk lewat tubuh, ucapan dan pikiran; dia takut akan apa pun yang jahat dan
tidak bermanfaat.
Dan
apakah kekuatan semangat itu? Di sini, para bhikkhu,
seorang siswa agung hidup dengan semangat yang ditujukan untuk menghilangkan
segala sesuatu yang tak-bajik dan memperoleh segala sesuatu yang bajik; dia
mantap dan kuat di dalam usahanya, tidak menghindari tugasnya sehubungan dengan
sifat-sifat yang bajik.
Dan
apakah kekuatan kebijaksanaan itu? Di sini, para
bhikkhu, seorang siswa agung bersifat bijaksana; dia memiliki kebijaksanaan
yang melihat muncul dan lenyapnya semua fenomena, yang agung dan menembus, dan
membimbing menuju hancurnya penderitaan secara total.3
Para
bhikkhu, inilah lima kekuatan di dalam diri orang yang menjalankan latihan yang
lebih tinggi.
Karena
itu, O para bhikkhu, kalian seharusnya melatih diri demikian: “Kami akan
memperoleh kekuatan keyakinan, malu, takut moral, semangat dan kebijaksanaan
yang dimiliki oleh orang yang menjalankan latihan yang lebih tinggi!”
Demikianlah seharusnya kalian melatih diri.
(V, 2)
93. Kondisi Kebaikan dan Kejahatan
Para
bhikkhu, selama keyakinan ada di dalam sifat-sifat yang bajik, maka apa yang
tak-bajik tidak akan dapat masuk. Tetapi ketika keyakinan (di dalam hal-hal
bajik) telah lenyap dan rasa tidak percaya mencengkeram dan bertahan, maka apa
yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.4
Para
bhikkhu, selama malu masih ada sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, maka
apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika malu seperti
itu telah lenyap dan tak-malu mencengkeram dan bertahan, maka apa yang
tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
Para
bhikkhu, selama takut moral masih ada sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik,
maka apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika takut
moral seperti itu telah lenyap dan kecerobohan moral mencengkeram dan bertahan,
maka apa yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
Para
bhikkhu, selama ada semangat yang diarahkan pada sifat-sifat yang bajik, maka
apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika semangat
seperti itu telah lenyap dan kemalasan mencengkeram dan bertahan, maka apa yang
tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
Para
bhikkhu, selama ada kebijaksanaan sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik,
maka apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika
kebijaksanaan seperti itu telah lenyap dan kebodohan mencengkeram dan bertahan,
maka apa yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
(V, 6)
94. Perumpamaan Bayi
Para
bhikkhu, pada umumnya para makhluk menganggap kesenangan-kesenangan indera itu
nikmat. Tetapi jika seorang pria muda dari keluarga baik-baik telah
menyingkirkan sabit dan tongkat penjinjing,5 dan telah
meninggalkan kehidupan berumah-tangga menuju kehidupan tak-berumah,
sesungguhnya dia bisa dianggap telah menjalankannya karena keyakinan. Mengapa
dapat dianggap demikian? Karena bagi orang muda, kesenangan-kesenangan indera
dapat diperoleh dengan sangat mudah. Dari apa pun yang baik, kasar, sedang atau
halus – semua itu dianggap sebagai kesenangan indera.
Para
bhikkhu, andaikan saja ada seorang bayi yang masih lemah sedang berbaring, dan
karena kelalaian perawatnya, dia memasukkan potongan ranting atau kerikil kecil
ke dalam mulutnya. Maka dengan cepat perawat itu akan mempertimbangkan apa yang
telah terjadi, dan dengan sangat cepat dia akan mengambil keluar benda itu.
Tetapi andaikan dia tidak dapat dengan cepat mengambil keluar benda itu, dia
akan memegang kepala bayi itu dengan tangan kanannya, dan dengan jari yang
dibengkokkan dia akan mengambil keluar benda itu, sekalipun bayi itu harus
berdarah. Mengapa? Walaupun tentu hal itu menyakiti si bayi -tak dapat
disangkal lagi- tetapi perawat itu harus bertindak demikian untuk kebaikan anak
itu, karena peduli pada kesejahteraannya, karena kasihan, karena welas asih. Tetapi
bila bayi itu sudah besar dan cukup memiliki penalaran, perawat itu tidak perlu
lagi mengkhawatirkan anak itu, karena mengetahui bahwa anak itu sekarang sudah
dapat menjaga dirinya sendiri dan tidak akan lalai lagi.
Demikian
pula, para bhikkhu, selama seorang bhikkhu belum membuktikan keyakinannya dalam
hal-hal yang bajik, belum membuktikan malu dan takut moralnya, semangat dan
kebijaksanaannya sehubungan dengan hal-hal yang bajik, selama itu pula aku
harus mengawasinya. Tetapi jika dia telah membuktikan dirinya di dalam semua
hal ini, aku tidak perlu lagi mengkhawatirkan bhikkhu itu, karena mengetahui
bahwa dia sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri dan tidak akan lalai
lagi.6
(V, 7)
95. Lima Kekuatan Lain
Para
bhikkhu, ada lima kekuatan lain: kekuatan keyakinan, semangat, kewaspadaan,
konsentrasi dan kebijaksanaan.7
Para
bhikkhu, apakah kekuatan keyakinan itu? (Seperti dalam Teks 92. )
Apakah
kekuatan semangat itu? (Seperti dalam Teks 92.)
Apakah
kekuatan kewaspadaan itu? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa agung selalu
waspada; dia diperlengkapi dengan kewaspadaan dan kehati-hatian yang paling
tajam; dia mengingat dengan baik dan menyimpan di pikirannya apa yang telah
dikatakan dan dilakukan lama sebelumnya.8
Apakah
kekuatan konsentrasi itu? Di sini, para bhikkhu, terpisah dari
kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik,
seorang siswa agung memasuki dan berdiam di jhana pertama … (seperti dalam
Teks 39) … di jhana keempat, yang bukan-menyakitkan-pun-bukan-menyenangkan
dan mencakup pemurnian kewaspadaan lewat ketenangseimbangan.
Apakah
kekuatan kebijaksanaan itu? (seperti dalam Teks 92.)
(V, 14)
96. Kriteria Lima Kekuatan
Para
bhikkhu, ada lima kekuatan ini: kekuatan keyakinan, semangat, kewaspadaan,
konsentrasi dan kebijaksanaan.
Para
bhikkhu, di manakah kekuatan keyakinan dapat dilihat? Di dalam empat faktor
pemasuk-arus.9
Di
manakah kekuatan semangat dapat dilihat? Di dalam empat usaha benar.10
Di
manakah kekuatan kewaspadaan dapat dilihat? Di dalam empat landasan
kewaspadaan.11
Di
manakah kekuatan konsentrasi dapat dilihat? Di dalam empat jhana.
Di
manakah kekuatan kebijaksanaan dapat dilihat? Di dalam Empat Kebenaran Mulia.12
(V, 15)
97. Lima Pembantu bagi Pandangan Benar
Para
bhikkhu, jika pandangan benar dibantu oleh lima hal, memiliki pembebasan
pikiran sebagai buahnya dan dianugerahi dengan buah pembebasan pikiran;
pandangan benar memiliki kebebasan oleh kebijaksanaan sebagai buahnya dan
dianugerahi dengan buah pembebasan oleh kebijaksanaan.13 Apakah
yang lima itu?
Di
sini, para bhikkhu, pandangan benar dibantu oleh moralitas, oleh belajar
banyak, oleh diskusi (tentang apa yang telah dipelajari), oleh ketenangan, dan
oleh pandangan terang.14
(V, 25)
98. Lima Landasan Pembebasan
Para
bhikkhu, ada lima dasar pembebasan, dan jika seorang bhikkhu berdiam dengan
rajin, bersemangat dan mantap di dalam hal-hal ini, maka pikiran yang tadinya
belum terbebas menjadi terbebas, noda-nodanya yang tadinya belum hancur
mengalami penghancuran, dan dia mencapai kemantapan kebebasan tak-tertandingi
yang tadinya belum dicapai; yaitu kebebasan dari ikatan. Apakah yang lima itu?
Di
sini, para bhikkhu, Sang Guru atau sesama bhikkhu yang berkedudukan sebagai
guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu. Bahkan ketika Guru itu sedang
mengajarkan Dhamma kepadanya, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika
dia mencapai pengalaman seperti itu, kegembiraan pun muncul. Ketika dia
bergembira, suka-cita muncul; ketika mengalami suka-cita, tubuhnya menjadi tenang;
orang yang tubuhnya tenang merasa bahagia; bila orang bahagia, pikirannya
menjadi terkonsentrasi.15 Inilah landasan pembebasan yang
pertama, dan jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, bersemangat dan mantap
di sini, pikiran yang tadinya belum terbebas menjadi terbebas, noda-noda yang
tadinya belum hancur mengalami penghancuran, dan dia mencapai kemantapan
kebebasan tak-tertandingi yang tadinya belum dicapai, yaitu kebebasan dari
ikatan.
Selanjutnya,
para bhikkhu, bukan Sang Guru dan bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan
sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, melainkan bhikkhu
itu sendiri yang mengajarkan Dhamma secara rinci kepada yang lain sebagaimana
yang telah dipelajari dan dikuasainya. Bahkan ketika dia sedang mengajarkan Dhamma,
bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia mencapai pengalaman
seperti itu, kegembiraan muncul … pikirannya menjadi terkonsentrasi. Inilah
landasan pembebasan yang kedua ….
Selanjutnya,
para bhikkhu, bukan Sang Guru dan juga bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan
sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, dan juga bukan
dirinya sendiri yang mengajarkan Dhamma secara rinci kepada orang lain
sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Tetapi dia mengulang Dhamma
secara rinci sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Ketika dia
sedang mengulang Dhamma, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia
mencapai pengalaman seperti itu, kegembiraan muncul … pikirannya menjadi
terkonsentrasi. Inilah landasan pembebasan yang ketiga ….
Selanjutnya,
para bhikkhu, bukan Sang Guru dan juga bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan
sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, bukan pula dirinya
sendiri yang mengajarkan Dhamma secara rinci kepada orang lain, dan tidak juga
dia mengulang Dhamma secara rinci. Tetapi dia merenung, memeriksa dan secara
mental menyelidiki Dhamma sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya.
Ketika dia sedang merenungkan Dhamma, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma
itu. Ketika dia mencapai pengalaman itu, kegembiraan muncul … pikirannya
menjadi terkonsentrasi. Inilah landasan pembebasan yang keempat ….
Selanjutnya,
para bhikkhu, bukan Sang Guru dan juga bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan
sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu … tidak juga dia
merenungkan Dhamma. Tetapi dia telah mempelajari dengan baik suatu objek
konsentrasi tertentu, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan
baik, dan sepenuhnya menembusnya dengan kebijaksanaan.16 Bahkan
ketika dia sedang mempelajari dengan baik objek konsentrasi itu, bhikkhu itu
mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia mencapai pengalaman seperti itu,
kegembiraan pun muncul. Ketika dia bergembira, suka-cita muncul; ketika
mengalami suka-cita, tubuhnya menjadi tenang; orang yang tubuhnya tenang merasa
bahagia; bila orang bahagia, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Inilah landasan
pembebasan yang kelima, dan jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin,
bersemangat dan mantap di sini, pikiran yang tadinya belum terbebas menjadi
terbebas, noda-noda yang tadinya belum hancur mengalami penghancuran, dan dia
mencapai kemantapan kebebasan tak-tertandingi yang tadinya belum dicapai, yaitu
kebebasan dari ikatan.
Para
bhikkhu, inilah lima landasan pembebasan, dan ketika seorang bhikkhu berdiam
dengan rajin, bersemangat dan mantap di dalam hal-hal ini, pikirannya yang
tadinya belum terbebas menjadi terbebas, noda-nodanya yang tadinya belum hancur
mengalami penghancuran, dan dia mencapai kemantapan tak-tertandingi yang
tadinya belum dicapai, yaitu kebebasan dari ikatan.
(V, 26)
99. Sukacita Karena Tidak Melekat
Demikianlah
yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berkelana di negara
Kosala bersama dengan sejumlah besar bhikkhu. Ketika Beliau sampai di sebuah
desa brahmana bernama Icchanangala, di sana Yang Terberkahi berdiam di hutan
kecil dekat Icchanangala.
Para
perumah-tangga brahmana di Icchanangala mendengar: “Dikatakan bahwa petapa
Gotama, putra Sakya yang meninggalkan kehidupan duniawi dari keluarga Sakya,
telah tiba di Icchanangala. Berita yang bagus mengenai Guru Gotama telah
beredar demikian: Yang Terberkahi itu adalah Arahat … (seperti dalam Teks 36)
… Beliau membabarkan kehidupan suci yang lengkap dan murni secara sempurna.
Merupakan hal yang baik bila kita menjumpai arahat-arahat seperti ini.”
Dan
ketika malam telah lewat, para perumah-tangga brahmana pergi menemui Yang
Terberkahi di hutan itu. Mereka membawa banyak makanan keras dan lunak. Setelah
tiba, mereka berhenti di luar pintu masuk. Segera keributan dan kegaduhan
terdengar.
Pada
saat itu, YM Nagita adalah pelayan pribadi Sang Buddha. Sang Buddha berkata
kepada YM Nagita, “Siapakah itu, Nagita, yang membuat keributan dan kegaduhan
ini? Orang bisa berpikir mereka adalah nelayan yang mendapat banyak ikan.”
“Bhante,
mereka adalah para perumah-tangga brahmana Icchanangala. Mereka berdiri di
pintu masuk dengan banyak makanan untuk Yang Terberkahi dan untuk Sangha para
bhikkhu.”
“Semoga
aku tidak berurusan dengan kemashyuran, Nagita, dan semoga tidak juga
kemashyuran datang kepadaku! Siapa pun yang tidak dapat memperoleh -sesuai
kehendaknya, dengan mudah dan tanpa kesulitan- kebahagiaan meninggalkan
keduniawian, kebahagiaan kesendirian, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan
pencerahan seperti yang telah kuperoleh ini, biarlah dia menikmati kebahagiaan
yang kotor dan penuh kemalasan ini, kebahagiaan yang didapat dari perolehan,
penghormatan dan publisitas.”
“Bhante,
saya mohon Bhante menerima persembahan itu dengan kesabaran, sudilah Yang Luhur
menerimanya! Sudah waktunya bagi Yang Terberkahi untuk menerima itu dengan
kesabaran. Kemana pun Yang Terberkahi sekarang pergi, ke sanalah para
perumah-tangga brahmana dari kota dan daerah pedesaan akan cenderung pergi.
Seperti halnya ketika air hujan yang turun dengan deras akan cenderung mengalir
menuruni bukit, demikian juga ke mana pun Yang Terberkahi sekarang pergi, ke
sanalah orang-orang akan cenderung pergi. Mengapa demikian? Karena keluhuran
dan kebijaksanaan Yang Terberkahi.”
“Semoga
aku tidak berurusan dengan kemashyuran, Nagita, dan semoga tidak juga
kemashyuran datang kepadaku! Siapa pun yang tidak dapat memperoleh -sesuai
kehendaknya, dengan mudah dan tanpa kesulitan- kebahagiaan meninggalkan
keduniawian … kebahagiaan pencerahan seperti yang telah kuperoleh ini, biarlah
dia menikmati kebahagiaan yang kotor dan penuh kemalasan ini, kebahagiaan yang
didapat dari perolehan, penghormatan dan publisitas.
“Sesungguhnya,
Nagita: makan, minum, mengunyah dan menikmati makanan akan berakhir menjadi
tahi dan air kencing; inilah hasilnya.
“Melalui
perubahan dan perombakan di dalam apa yang disukai seseorang, di sana muncul
penderitaan, ratap tangis, rasa sakit, kesedihan dan keputusasaan; inilah
hasilnya.
“Tetapi
siapa pun, Nagita, yang memaksa diri untuk bermeditasi mengenai sifat-sifat
yang menjijikkan (dari hal-hal yang menarik), di dalam dirinya akan kokoh
terbentuk kemuakan terhadap objek-objek yang menarik; inilah hasilnya.
“Siapa
pun, Nagita, yang berdiam merenungkan ketidakkekalan di dalam enam landasan
kontak indera, di dalam dirinya akan kokoh terbentuk kemuakan terhadap kontak
indera; inilah hasilnya.
“Siapa
pun, Nagita, yang berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok
kemelekatan, di dalam dirinya akan kokoh terbentuk kemuakan terhadap
kemelekatan; inilah hasilnya.”
(V, 30)
100. Manfaat-manfaat Berdana
Pada
suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di dekat Savatthi di Hutan Jeta, di
Vihara Anathapindika. Pada saat itu Putri Sumana -diikuti lima ratus wanita
kerajaan di dalam lima ratus kereta- datang mengunjungi Sang Bhagava. Setelah
tiba, dia memberikan hormat, duduk di satu sisi dan berkata:
“Bhante,
seandainya ada dua siswa Bhante yang setara keyakinannya, setara keluhurannya,
dan setara kebijaksanaannya. Tetapi yang satu adalah pemberi dana dan yang lain
bukan. Maka keduanya ini, ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, akan
terlahir lagi di alam bahagia, di alam surgawi. Setelah menjadi dewa demikian, O
Bhante, adakah perbedaan atau ketidaksamaan di antara keduanya?”
“Ada,
Sumana,” kata Yang Terberkahi. “Si pemberi dana, sesudah menjadi dewa, akan
melampaui yang bukan pemberi dana di dalam lima hal: di dalam jangka waktu
kehidupan surgawi, keelokan surgawi, kebahagiaan surgawi, kemashyuran surgawi,
dan kekuatan surgawi.”
“Tetapi,
Bhante, jika keduanya ini kemudian meninggal dari sana dan kembali ke dunia ini
di sini, apakah masih ada perbedaan atau ketidaksamaan di antara mereka ketika
mereka menjadi manusia lagi?”
“Ada,
Sumana,” kata Yang Terberkahi. “Si pemberi dana, setelah menjadi manusia, akan
melampaui yang bukan-pemberi dana di dalam lima hal: di dalam masa hidup
manusiawi, keelokan manusiawi, kebahagiaan manusiawi, kemashyuran manusiawi dan
kekuatan manusiawi.”
“Tetapi,
Bhante, jika keduanya ini akan meninggalkan kehidupan perumah-tangga menuju
kehidupan tak-berumah sebagai bhikkhu, apakah masih akan ada perbedaan atau
ketidaksamaan di antara mereka ketika mereka menjadi bhikkhu?”
“Ada,
Sumana,” kata Yang Terberkahi. “Si pemberi dana, sesudah menjadi bhikkhu, akan
melampaui yang bukan-pemberi dana di dalam lima hal: dia sering diminta untuk
menerima jubah, dan jarang dia tidak diminta; dia sering diminta untuk menerima
dana makanan … tempat tinggal … dan obat-obatan, dan jarang dia tidak diminta.
Selanjutnya, sesama bhikkhu biasanya ramah terhadapnya lewat perbuatan,
kata-kata dan pikiran; jarang mereka tidak ramah. Pemberian-pemberian yang
mereka bawa kepadanya kebanyakan menyenangkan. Jarang pemberian-pemberian itu
tidak menyenangkan.”
“Tetapi,
Bhante, jika keduanya mencapai tingkat Arahat, apakah masih akan ada perbedaan
dan ketidaksamaan di antara keduanya?”
“Di
dalam hal itu, Sumana, kunyatakan tidak akan ada perbedaan antara satu
pembebasan dan pembebasan lain.”
“Luar
biasa, Bhante, indah sekali! Sungguh orang mempunyai alasan yang baik untuk
memberikan dana, alasan yang baik untuk melakukan tindakan-tindakan yang
berjasa, jika tindakan-tindakan itu akan membantu seseorang sebagai dewa,
membantu sebagai manusia, dan membantu sebagai bhikkhu.”
(V, 31)
101. Lima Hal yang Diinginkan
Suatu
ketika Sang Buddha berbicara kepada perumah-tangga Anathapindika demikian:
“Perumah-tangga,
ada lima hal yang diinginkan, dicintai dan disukai tetapi jarang diperoleh di
dunia ini. Apakah yang lima itu? Umur panjang, keelokan, kebahagiaan,
kemashyuran dan kelahiran ulang di surga. Tetapi dari lima hal itu,
perumah-tangga, aku tidak mengajarkan bahwa kelimanya harus dicapai lewat doa
atau lewat sumpah. Seandainya saja orang dapat memperolehnya lewat doa atau
sumpah, siapa yang tidak akan memperolehnya?
“Perumah-tangga,
bagi seorang siswa agung yang menginginkan kehidupan yang panjang, tidaklah
sesuai bila dia berdoa untuk umur panjang atau bergembira dalam melakukannya.
Sebaiknya dia justru mengikuti jalan kehidupan yang menopang untuk umur
panjang.17 Dengan mengikuti jalan itu, dia akan memperoleh umur
panjang, baik yang surgawi maupun manusiawi.
“Perumah-tangga,
bagi seorang siswa agung yang menginginkan keelokan, kebahagiaan, kemashyuran
dan kelahiran ulang di surga, tidaklah sesuai bila dia berdoa untuk hal-hal itu
atau bergembira dalam melakukannya. Sebaiknya dia justru mengikuti jalan
kehidupan yang menopang untuk keelokan, kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran ulang
di surga. Dengan mengikuti jalan itu, dia akan memperoleh keelokan,
kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran ulang di surga.”
(V, 43)
102. Lima Perenungan bagi Setiap Orang
Ada
lima fakta, O para bhikkhu, yang seharusnya sering direnungkan oleh siapa pun
-tidak peduli apakah pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu. Apakah yang
lima itu?”
“Aku
pasti menjadi tua; aku tidak dapat menghindari menjadi tua.”
“Aku
pasti menjadi sakit; aku tidak dapat menghindari menjadi sakit.”
“Aku
pasti akan mati; aku tidak dapat menghindari kematian.”
“Aku
akan terpisah dan tercerai dari semua yang kusayangi dan kucintai.”
“Aku
adalah pemilik perbuatan-perbuatanku sendiri, pewaris perbuatan-perbuatanku
sendiri, perbuatan merupakan kandungan (yang dari situ aku muncul), perbuatan
adalah keluargaku, perbuatan adalah pelindungku. Apa pun perbuatan yang
kulakukan -baik atau buruk- akulah yang akan menjadi pewarisnya.”18
Untuk
alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau
bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti menjadi tua dan tidak
dapat menghindari menjadi tua? Ketika masih muda, para makhluk merasa sombong
akan kemudaan mereka; dan karena tergila-gila pada kesombongan kemudaan itu,
mereka menjalani kehidupan yang jahat di dalam perbuatan, kata-kata dan
pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan kepastian usia tua,
kesombongan kemudaan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk
alasan yang baik itulah fakta menjadi tua harus sering direnungkan.19
Untuk
alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau
bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti menjadi sakit dan tidak
dapat menghindari menjadi sakit? Ketika masih sehat, para makhluk merasa
sombong akan kesehatan mereka; dan karena tergila-gila pada kesombongan
kesehatan itu, mereka menjalani kehidupan yang jahat di dalam perbuatan,
kata-kata dan pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan
kepastian menjadi sakit, kesombongan kesehatan akan sepenuhnya lenyap atau akan
menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah fakta penyakit harus sering
direnungkan.
Untuk
alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau
bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti mati dan tidak dapat
menghindari kematian? Ketika masih hidup, para makhluk merasa sombong akan
kehidupan mereka; dan karena tergila-gila pada kesombongan kehidupan itu,
mereka menjalani kehidupan yang jahat dalam perbuatan, ucapan dan pikiran.
Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan kepastian kematian,
kesombongan kehidupan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk
alasan yang baik itulah fakta kematian harus sering direnungkan.
Untuk
alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu,
sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti terpisah dan tercerai dari semua
yang disayangi dan dicintai? Para makhluk mempunyai nafsu yang tinggi terhadap
apa yang disayangi dan dicintai; dan karena terbakar oleh nafsu, mereka
menjalani kehidupan yang jahat dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Tetapi di
dalam diri orang yang sering merenungkan perpisahan dari hal-hal yang disayangi
dan dicintai, nafsu yang tinggi terhadap apa yang disayangi dan dicintai akan
sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah
perpisahan dari apa dicintai harus sering direnungkan.
Untuk
alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau
bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka adalah pemilik
perbuatan-perbuatan mereka sendiri, dan bahwa apa pun perbuatan yang mereka
lakukan -baik atau buruk- merekalah yang akan menjadi pewarisnya? Ada makhluk
yang menjalani kehidupan yang jahat dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Tetapi
di dalam diri orang yang sering merenungkan tanggung jawabnya terhadap
perbuatan-perbuatannya sendiri, perilaku jahat seperti itu akan sepenuhnya
lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah fakta tanggung
jawab terhadap perbuatannya sendiri harus sering direnungkan.
Para
bhikkhu, seorang siswa agung merenungkan demikian: “Aku bukanlah satu-satunya
yang pasti menjadi tua, jatuh sakit atau mati. Tetapi di mana pun para makhluk
datang dan pergi, mati dan muncul lagi, mereka semuanya terkena usia tua,
penyakit dan kematian.” Di dalam diri orang yang sering merenungkan fakta-fakta
ini, Sang Jalan muncul. Sekarang dia secara tetap mengejar, mengembangkan dan
memupuk Sang Jalan itu. Dan sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu itu
ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasarinya pun lenyap.20
Selanjutnya,
seorang siswa agung merenungkan demikian: “Aku bukanlah satu-satunya yang harus
terpisah dan tercerai dari apa yang kusayangi dan kucintai; aku bukanlah
satu-satunya yang merupakan pemilik dan pewaris perbuatan-perbuatannya sendiri.
Tetapi di mana pun makhluk datang dan pergi, mati dan terlahir kembali,
semuanya pasti terpisah dan tercerai dari apa yang disayangi dan dicintai; dan
semua merupakan pemilik dan pewaris perbuatan-perbuatan mereka.” Di dalam diri
orang yang sering merenungkan fakta-fakta ini, Sang Jalan muncul. Sekarang dia
dengan tetap mengejar, mengembangkan dan memupuk Sang Jalan itu. Dan sementara
dia melakukannya, belenggu-belenggu itu ditinggalkan dan
kecenderungan-kecenderungan yang mendasarinya pun lenyap.
Para
makhluk duniawi merasa muak dengan makhluk-makhluk lain21
Yang memiliki sifat yang sama dengan kita,
Dengan mereka yang terkena usia tua dan penyakit,
Dengan mereka yang berada di tepi kematian.
Karena aku hidup untuk tujuan yang lebih tinggi, tidaklah pantas
Bagiku untuk merasa jijik terhadap para makhluk yang pantas dikasihani ini.
Sementara berdiam demikian, aku akan mengalahkan
Kesombongan akan kesehatan, kemudaan dan kehidupan,
Setelah mengetahui keadaan yang bebas dari topangan,
Setelah melihat kemantapan di dalam pelepasan.22
Yang memiliki sifat yang sama dengan kita,
Dengan mereka yang terkena usia tua dan penyakit,
Dengan mereka yang berada di tepi kematian.
Karena aku hidup untuk tujuan yang lebih tinggi, tidaklah pantas
Bagiku untuk merasa jijik terhadap para makhluk yang pantas dikasihani ini.
Sementara berdiam demikian, aku akan mengalahkan
Kesombongan akan kesehatan, kemudaan dan kehidupan,
Setelah mengetahui keadaan yang bebas dari topangan,
Setelah melihat kemantapan di dalam pelepasan.22
Ketika
kuarahkan pandangan ke Nibbana, semangat muncul di dalam diriku:
“Sekarang tak bisa lagi aku mengejar kesenangan-kesenangan indera!
Tidak pernah lagi aku akan berpaling,
Kehidupan suci sekarang adalah tujuan tertinggiku. “
(V, 57)
“Sekarang tak bisa lagi aku mengejar kesenangan-kesenangan indera!
Tidak pernah lagi aku akan berpaling,
Kehidupan suci sekarang adalah tujuan tertinggiku. “
(V, 57)
103. Hidup Dekat dengan Dhamma
Suatu
ketika seorang bhikkhu mendekati Sang Buddha … dan berkata kepada Beliau:
“Hal
ini, Bhante, dikatakan: ‘Orang yang hidup dekat dengan Dhamma! Orang yang hidup
dekat dengan Dhamma!’ Dengan cara bagaimanakah Bhante, seorang bhikkhu adalah
orang yang hidup dekat dengan Dhamma?”
“Di
sini, bhikkhu, seorang bhikkhu menguasai Dhamma – khotbah-khotbah, prosa
campuran, penjelasan, syair, ungkapan-ungkapan yang penuh inspirasi,
ucapan-ucapan singkat, cerita-cerita kelahiran, cerita-cerita yang luar biasa,
dan lain-lainnya.23 Dia melewatkan hari-harinya sibuk menguasai
Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh
ketenangan pikiran di dalam dan dia juga tidak selanjutnya memahami artinya dengan
kebijaksanaan.24 Ini disebut bhikkhu yang sibuk belajar, bukan
orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Selanjutnya,
bhikkhu, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma secara rinci kepada yang lain
sebagaimana yang dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk
mengajar Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk
memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan dia juga tidak selanjutnya memahami
artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk mengajar, bukan
orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Selanjutnya,
bhikkhu, seorang bhikkhu mengulang Dhamma secara rinci sebagaimana yang telah
dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk mengulang Dhamma,
dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan
pikiran di dalam dan dia juga tidak selanjutnya memahami artinya dengan
kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk mengulang, bukan orang yang hidup
dekat dengan Dhamma.
“Selanjutnya,
bhikkhu, seorang bhikkhu merenung, memeriksa dan secara mental menyelidiki
sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya
sibuk merenungkan Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri
untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam, dan dia juga tidak selanjutnya
memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk merenung,
bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Tetapi
di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan
lain-lainnya. Dia tidak melewatkan hari-harinya sibuk menguasai Dhamma, dia
tidak mengabaikan kesendirian, dia memaksa diri untuk memperoleh ketenangan
pikiran di dalam dan dia selanjutnya memahami artinya dengan kebijaksanaan.
Bhikkhu seperti itulah orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Jadi,
bhikkhu, aku telah mengajar tentang bhikkhu yang sibuk dengan penguasaan
belajar, tentang bhikkhu yang sibuk mengajar, tentang bhikkhu yang sibuk
mengulang, tentang bhikkhu yang sibuk merenung, dan tentang bhikkhu yang hidup
dekat dengan Dhamma.25 Apa pun yang seharusnya dilakukan oleh
guru yang penuh welas asih yang -karena kasih sayangnya- mencari kesejahteraan
bagi para siswanya, itulah yang telah kulakukan untuk kalian. Ini adalah
akar-akar pohon, O bhikkhu, ini adalah gubuk-gubuk yang kosong. Bermeditasilah
bhikkhu, jangan lalai, jangan sampai kalian menyesal nantinya. Inilah
instruksiku kepada kalian.
(V, 73
& 74; gabungan)
104. Nasihat kepada Para Bhikkhu Baru
Pada
suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di antara penghuni Maghada di
Andhakavinda. Pada saat itu Yang Mulia Ananda mendekati Yang Terberkahi … dan
Yang Terberkahi berkata kepada beliau:
“Ananda,
para bhikkhu yang merupakan pendatang-pendatang baru, yang baru saja
meninggalkan kehidupan perumah-tangga dan baru saja masuk ke dalam Dhamma dan Vinaya
ini, harus didorong, dikokohkan dan dimantapkan oleh kalian di dalam lima hal.
Apakah yang lima itu?
“‘Marilah,
sahabat-sahabat, jadilah bermoral, berdiamlah terkendali lewat pengendalian
Patimokkha, sempurna di dalam perilaku dan tekad, karena melihat bahaya di
dalam kesalahan terkecil sekalipun. Setelah menjalankan peraturan-peraturan
latihan ini, latihlah diri kalian di dalamnya’: demikianlah mereka seharusnya
didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam pengendalian Patimokkha.
“‘Marilah,
sahabat-sahabat, berdiamlah dengan menjaga pintu-pintu kemampuan indera, dengan
kewaspadaan sebagai penjaga, dengan kewaspadaan yang menembus, dengan pikiran
yang terlindung baik, dengan pikiran yang mempertahankan kewaspadaan’:
demikianlah mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam
pengendalian kemampuan indera.
“‘Marilah,
sahabat-sahabat, janganlah banyak bicara, batasilah pembicaraan kalian’:
demikianlah mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam
pembatasan bicara.
“‘Marilah,
sahabat-sahabat, jadilah penghuni hutan. Bertekadlah untuk berdiam di tempat
tinggal yang terpencil di hutan dan di hutan kecil’: demikianlah mereka
seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam menarik diri secara
jasmani.
“‘Marilah,
sahabat-sahabat, milikilah pandangan benar, perspektif yang benar’: demikianlah
mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam perspektif yang
benar.
“Para
bhikkhu itu, Ananda, yang merupakan pendatang-pendatang baru, yang baru saja
meninggalkan kehidupan perumah-tangga dan baru saja masuk ke dalam Dhamma dan
Vinaya ini, harus didorong, dikokohkan dan dimantapkan olehmu di dalam lima hal
ini.”
(V,
114)
105. Sifat yang Menjijikkan dan Tidak Menjijikkan
Di
Hutan Tikandaki dekat Saketa, Yang Terberkahi berkata:
“Para
bhikkhu, adalah baik bagi seorang bhikkhu:
(1)
untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang menjijikkan di dalam hal
yang tak-menjijikkan;
(2)
untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang tak-menjijikkan di dalam
hal yang menjijikkan;
(3)
untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang menjijikkan di dalam hal
yang menjijikkan dan juga tak-menjijikkan;
(4)
untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang tak-menjijikkan di dalam
hal yang menjijikkan dan juga yang tak-menjijikkan;
(5)
untuk menolak hal yang menjijikkan maupun yang tak-menjijikkan serta berdiam di
dalam ketenangseimbangan, kewaspadaan dan pemahaman yang jelas.26
(1)
“Tetapi untuk alasan apakah seharusnya seorang bhikkhu berdiam memahami sifat
yang menjijikkan di dalam hal yang tak-menjijikkan? (Dia seharusnya
melakukannya dengan pemikiran:) ‘Semoga tidak ada nafsu yang muncul di dalam
diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan nafsu!’
(2)
“Untuk alasan apakah seharusnya dia berdiam memahami sifat yang tak-menjijikkan
di dalam hal yang menjijikkan? (Dia seharusnya melakukannya dengan pemikiran:)
‘Semoga tidak ada kebencian yang muncul di dalam diriku terhadap objek-objek
yang menimbulkan kebencian!’
(3)
“Dan untuk alasan apakah seharusnya dia berdiam memahami sifat yang menjijikkan
di dalam hal yang tak-menjijikkan maupun yang menjijikkan? (Dia seharusnya
melakukannya dengan pemikiran:) ‘Semoga tidak ada nafsu yang muncul di dalam
diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan nafsu, dan semoga tidak ada
kebencian yang muncul dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan
kebencian!’
(4)
“Dan untuk alasan apakah seharusnya dia berdiam memahami sifat yang tak-menjijikkan
di dalam hal yang menjijikkan maupun yang tak-menjijikkan? (Dia seharusnya
melakukannya dengan pemikiran:) ‘Semoga tidak ada kebencian yang muncul di
dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan kebencian, dan semoga tidak
ada nafsu yang muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan
nafsu!’
(5)
“Dan untuk alasan apakah seharusnya dia menolak sifat yang menjijikkan dan
tak-menjijikkan serta berdiam di dalam ketenangseimbangan, dengan waspada dan
pemahaman yang jelas? (Dia seharusnya melakukannya dengan pemikiran:) ‘Di dalam
situasi apa pun, di mana pun dan dalam batas apa pun, semoga nafsu tidak pernah
muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan nafsu, tidak juga
kebencian terhadap objek-objek yang menimbulkan kebencian, tidak juga kebodohan
terhadap objek-objek yang dapat menimbulkan kebodohan!’ “27
(V,
144)
106. Pemberian Orang yang Superior
Para
bhikkhu, ada lima pemberian dari orang yang superior.28 Apakah
yang lima itu? Dia memberi dengan keyakinan; dia memberi dengan penuh hormat;
dia memberi pada saat yang tepat; dia memberi dengan hati yang dermawan; dia
memberi tanpa menjelekkan.
Karena
dia memberi dengan keyakinan, di mana pun hasil dari
pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya
besar, dan dia elok, menarik, anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa.
Karena
dia memberi dengan penuh hormat, di mana pun hasil dari
pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya
besar, dan anak istrinya, budaknya, persuruh dan pekerjanya patuh, mendengarkan
dia dan menggunakan pikirannya untuk memahami dia.
Karena
dia memberi pada waktu yang tepat, di mana pun hasil dari
pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya
besar, dan keuntungan-keuntungan datang kepadanya pada waktu yang tepat, dalam
jumlah yang melimpah.
Karena
dia memberi dengan hati yang dermawan, di mana pun hasil
dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya
besar, dan pikirannya cenderung menikmati hal-hal yang menyenangkan di antara
lima kesenangan indera.
Karena
dia memberi tanpa menjelekkan dirinya dan orang lain, di
mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan,
harta kekayaannya besar, dan tidak terjadi hilangnya kekayaan dari penjuru mana
pun, entah dari api atau banjir atau raja atau bandit atau ahli waris yang
tidak dicintai.
Inilah
para bhikkhu, lima pemberian orang yang superior.
(V,148)
107. Cara yang Benar untuk Mengajarkan Dhamma
Pada
satu ketika Sang Buddha berdiam di Kosambi, di Vihara Ghosita. YM Udayi duduk
di sana di tengah banyak umat awam dan mengajarkan Dhamma kepada mereka. Ketika
melihat hal ini, YM Ananda pergi menghadap Yang Terberkahi dan melaporkan hal
ini. (Yang Terberkahi kemudian berkata:)
“Ananda,
adalah tidak mudah mengajarkan Dhamma kepada orang-orang lain. Ketika
mengajarkan Dhamma kepada orang-orang lain, orang seharusnya membangun lima
standar di dalam dirinya sendiri untuk melakukan hal itu. Apakah yang lima itu?
” ‘Saya
akan memberikan kotbah yang bertingkat:29 dengan
cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya
akan memberikan khotbah yang masuk-akal‘: dengan cara itulah
seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya
akan berbicara karena tergerak oleh simpati‘:30 dengan
cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya
akan berbicara bukan demi keuntungan duniawi‘: dengan cara
itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya
akan berbicara tanpa menyindir diri sendiri atau orang lain‘:31 dengan
cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
“Sungguh
Ananda, adalah tidak mudah mengajarkan Dhamma kepada orang-orang lain. Ketika
melakukannya, orang seharusnya membangun lima standar ini di dalam dirinya.
(V,159)
108. Bagaimana Cara Menghilangkan Dendam
Para
bhikkhu, ada lima cara untuk bebas dari dendam, yang dengannya seorang bhikkhu
dapat menghilangkan semua dendam yang telah muncul di dalam dirinya. Apakah
yang lima itu?
Jika
muncul suatu dendam terhadap siapa pun, maka orang seharusnya mengembangkan
cinta kasih terhadapnya … atau kasih sayang … atau ketenangseimbangan.32 Dengan
cara itu orang dapat menghilangkan dendam terhadap orang itu.
Atau
orang seharusnya tidak memperhatikan dan tidak memikirkan dia. Dengan cara itu
orang dapat menghilangkan dendamnya.
Atau
orang dapat menerapkan fakta kepemilikan kamma terhadap orang itu:
“Orang
terhormat ini adalah pemilik perbuatan-perbuatannya, pewaris
perbuatan-perbuatannya; perbuatan-perbuatannya adalah kandungan (dan dari situ
dia telah muncul), keluarganya dan pelindungnya. Apa pun perbuatan yang dia
lakukan -baik atau buruk- dialah yang akan menjadi pewarisnya.”
Inilah
lima cara untuk bebas dari dendam, yang dengannya seorang bhikkhu dapat
menghilangkan semua dendam yang telah muncul di dalam dirinya.
(V,
161)
109. Suka-cita Kesendirian
Kemudian
perumah-tangga Anathapindika, diiringi oleh lima ratus pengikut awam,
mendatangi Yang Terberkahi … Yang Terberkahi kemudian berkata kepada mereka:
“Para
perumah-tangga, kalian melayani Sangha para bhikkhu dengan jubah, dana makanan,
tempat tinggal dan kebutuhan obat-obatan untuk digunakan pada waktu sakit.
Tetapi kalian seharusnya tidak cukup puas hanya dengan ini. Perumah-tangga,
kalian seharusnya melatih diri demikian: ‘Bagaimana kami dapat masuk dan
berdiam dari saat ke saat di dalam suka-cita kesendirian?’33Demikianlah
seharusnya kalian melatih diri.”
Ketika
Beliau mengatakan ini, YM Sariputta berkata kepada Yang Terberkahi: “Luar
biasa, Bhante! Indah sekali, Bhante! Betapa bagusnya pernyataan itu disampaikan
oleh Yang Terberkahi. Bhante, kapan pun seorang siswa agung memasuki dan
berdiam dalam suka-cita kesendirian, pada saat itulah lima hal ini muncul di
dalam dirinya: (1) Penderitaan dan kesedihan apa pun yang berhubungan dengan
nafsu indera tidak muncul pada saat itu; (2) kesenangan dan suka-cita apa pun
yang berhubungan dengan nafsu indera tidak muncul pada saat itu; (3)
penderitaan dan kesedihan apa pun yang berhubungan dengan yang tak-bajik tidak
muncul pada saat itu; (4) kesenangan dan kegembiraan apa pun yang berhubungan
dengan yang tak-bajik tidak muncul pada saat itu; (5) penderitaan dan kesedihan
apa pun yang berhubungan dengan yang bajik tidak muncul pada saat itu. Kapan
pun seorang siswa agung memasuki dan berdiam di dalam suka-cita kesendirian,
pada saat itu lima hal ini muncul di dalam dirinya.”
“Bagus,
bagus, Sariputta!”
(Sang
Buddha kemudian mengulang kata-kata YM Sariputta secara lengkap.)
(V,176)
110. Penghidupan yang Salah
Inilah,
para bhikkhu, lima perdagangan yang seharusnya tidak dijalankan oleh seorang
pengikut awam: berdagang senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging,
berdagang benda-benda yang memabukkan, berdagang racun.34
(V,
177)
111. Lima Rintangan
Pada
suatu ketika brahmana Sangarava mendekati Yang Terberkahi dan bertukar salam
dengan Beliau. Ketika telah selesai bertegur sapa dan bersopan santun, brahmana
itu duduk di satu sisi dan berkata:
“Guru
Gotama, apakah penyebab dan alasan sehingga kadang-kadang bahkan mantra-mantra
yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum
dihafalkan? Apakah penyebab dan alasan sehingga kadang-kadang mantra-mantra
yang belum lama dihafalkan muncul di pikiran, apalagi yang sudah lama
dihafalkan?”35
(i)
Mengapa mantra-mantra itu tidak diingat
“Brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh nafsu indera, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari nafsu indera yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya.36 Pada saat itu bahkan mantra-mantra yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
“Brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh nafsu indera, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari nafsu indera yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya.36 Pada saat itu bahkan mantra-mantra yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
“Misalnya,
brahmana, ada semangkuk air yang dicampur dengan zat pewarna, kunyit, pewarna
biru atau pewarna merah tua. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa
bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, maka dia tidak akan mengetahui atau
melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan
pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh nafsu indera … pada saat itu bahkan
mantra-mantra yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang
belum dihafalkan.
“Demikian
pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan
oleh niat jahat, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari
niat jahat yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau
melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang belum dihafalkan.
“Misalnya,
brahmana, ada semangkuk air yang dipanaskan di atas api, bergolak dan mendidih.
Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di
dalam air itu, maka dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana adanya.
Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan
tertekan oleh niat jahat … apalagi yang belum dihafalkan.
“Demikian
pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan
oleh kemalasan dan kelambanan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan
keluar dari kemalasan dan kelambanan yang telah muncul itu, maka pada saat itu
dia tidak mengetahui atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri …
apalagi yang belum dihafalkan.
“Seandainya,
brahmana, ada semangkuk air yang tertutup tanaman air dan ganggang. Jika orang
yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu,
maka dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana adanya. Begitu juga,
brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh
kemalasan dan kelambanan … apalagi yang belum dihafalkan.
“Demikian
pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan
oleh kegelisahan dan kecemasan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan
keluar dari kegelisahan dan kecemasan yang telah muncul itu, maka pada saat itu
dia tidak mengetahui dan juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya
sendiri … apalagi yang belum dihafalkan.
“Seandainya,
brahmana, ada semangkuk air yang teraduk oleh angin, beriak, berpusar,
bergulung menjadi gelombang kecil. Jika orang yang bagus penglihatannya
memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia tidak akan mengetahui
atau melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam
dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh kegelisahan dan kecemasan …
apalagi yang belum dihafalkan.
“Demikian
pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan
oleh keraguan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari
keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau
melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang belum dihafalkan.
“Seandainya,
brahmana, ada semangkuk air yang keruh, tidak tenang, berlumpur, ditempatkan di
tempat gelap. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya
sendiri di dalam air itu, dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana
adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang
terobsesi dan tertekan oleh keraguan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya
jalan keluar dari keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak
tahu atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang
lain, atau kebaikan keduanya. Maka bahkan mantra-mantra yang telah lama
dihafalkan pun tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
“Brahmana,
inilah penyebab dan alasan sehingga bahkan mantra-mantra yang telah lama
dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
(ii)
Mengapa mantra-mantra itu diingat
“Brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh nafsu indera, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari nafsu indera yang telah muncul itu, maka pada waktu itu dia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain dan kebaikan keduanya. Maka bahkan mantra-mantra yang belum lama dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.
“Brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh nafsu indera, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari nafsu indera yang telah muncul itu, maka pada waktu itu dia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain dan kebaikan keduanya. Maka bahkan mantra-mantra yang belum lama dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.
“Seandainya
brahmana, ada semangkuk air yang tidak dicampur dengan zat pewarna, kunyit, dan
pewarna biru atau pewarna merah. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa
bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia akan mengetahui dan melihat
sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran
yang tidak terobsesi dan tertekan oleh nafsu indera … pada waktu itu bahkan
mantra-mantra yang belum lama dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang
telah dihafalkan.
“Demikian
pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan
tidak tertekan oleh niat jahat, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan
keluar dari niat jahat yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan
mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang
sudah dihafalkan.
“Seandainya,
brahmana, ada semangkuk air yang tidak dipanaskan di atas api, tidak bergolak,
tidak mendidih. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan
wajahnya sendiri di dalam air itu, dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana
adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak
terobsesi dan tidak tertekan oleh niat jahat … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Demikian
pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan
tidak tertekan oleh kemalasan dan kelambanan, dan dia memahami sebagaimana
adanya jalan keluar dari kemalasan dan kelambanan yang telah muncul itu, maka
pada saat itu dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri
… apalagi yang sudah dihafalkan.
“Misalnya,
brahmana, ada semangkuk air yang tidak tertutup tanaman air dan ganggang. Jika
orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam
air itu, dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Begitu juga,
brahmana, jika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak
tertekan oleh kemalasan dan kelambanan … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Demikian
pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan
tidak tertekan oleh kegelisahan dan kecemasan, dan dia memahami sebagaimana
adanya jalan keluar dari kegelisahan dan kecemasan yang telah muncul itu, maka
pada saat itu dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya
sendiri … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Seandainya,
brahmana, ada semangkuk air yang tidak teraduk oleh angin, tanpa riak, tanpa
pusaran, tidak bergulung menjadi gelombang kecil. Jika orang yang bagus
penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, maka dia
akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika
orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh
kegelisahan dan kecemasan … apalagi yang telah dihafalkan.
“Demikian
pula brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan
tidak tertekan oleh keraguan, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar
dari keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan mengetahui dan
melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang telah dihafalkan.
“Seandainya,
brahmana, ada semangkuk air yang jernih, tenang, bening, ditempatkan di tempat
yang terang. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya
sendiri di dalam air itu, dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya.
Begitu juga, brahmana, jika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi
dan tidak tertekan oleh keraguan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya
jalan keluar dari keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan
mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan
orang lain, atau kebaikan keduanya. Maka bahkan mantra-mantra yang belum lama
dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.
“Inilah,
brahmana, penyebab dan alasan sehingga bahkan mantra-mantra yang belum lama
dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.”
“Luar
biasa, Guru Gotama! … Biarlah Guru Gotama menerima saya sebagai pengikut awam
yang telah pergi untuk berlindung sejak saat ini sampai akhir hayat.”
(V,
193)
112.
Memuji Sang Buddha
Pada
suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Vesali di Hutan Besar, di Aula dengan
Atap Runcing. Pada saat itu, seorang brahmana bernama Karanapali sibuk
mengawasi pekerjaan pembangunan untuk penduduk Licchavi. Dia melihat brahmana
lain bernama Pingiyani mendekat, dan menyapa: “Dari mana Anda datang sesiang
ini?”
“Saya
datang dari Petapa Gotama.”
“Apa
pendapat Anda mengenai pencapaian Petapa Gotama dalam kebijaksanaan? Apakah dia
orang yang bijaksana?”
“Siapakah
saya ini, tuan yang terhormat, sehingga saya bisa memahami pencapaian Petapa
Gotama dalam kebijaksanaan? Tentunya hanya orang setingkat Beliau yang dapat
memahaminya.”
“Sungguh
pujian yang sangat tinggi yang Anda berikan untuk Petapa Gotama.”
“Siapakah
saya ini, tuan yang terhormat, sehingga saya harus memuji Beliau? Guru Gotama
dipuji oleh yang terpuji, sebagai yang terbaik di antara para dewa dan
manusia.” 37
“Tetapi
apakah yang telah dilihat oleh yang terhormat Pingiyani di dalam diri Petapa
Gotama sehingga Anda memiliki keyakinan yang sedemikian besar pada Beliau?”
“Sebagaimana
orang yang telah memperoleh kepuasan di dalam cita-rasa pilihan terbaik tidak
akan merindukan cita-rasa lain yang lebih rendah; begitu juga, sahabat, orang
tidak akan lagi memiliki kesukaan pada ajaran-ajaran dari petapa-petapa dan
brahmana-brahmana lain setelah dia mendengarkan Dhamma Guru Gotama -tak peduli
apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang luar biasa.
“Sebagaimana
orang yang lemah karena kelaparan menemukan kue madu, di bagian mana pun dia
makan, dia akan menikmati cita-rasa yang manis dan enak; begitu juga, sahabat,
apa pun yang didengar dari Dhamma Guru Gotama -tak peduli apakah itu khotbah,
prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang luar biasa- orang akan
memperoleh kepuasan dan keyakinan di dalam hatinya.
“Sebagaimana
orang yang menemukan sepotong cendana merah atau kuning, di bagian mana pun dia
membau -tak peduli apakah di atas, di tengah atau di bawah- dia akan menikmati
bau yang harum dan enak; begitu juga, sahabat, apa pun yang didengar dari
Dhamma Guru Gotama -tak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan
atau pengalaman yang luar biasa- orang akan memperoleh kebahagiaan dan
suka-cita darinya.
“Sebagaimana
seorang dokter ahli yang dengan segera bisa menyembuhkan pasien yang kesakitan
dan sakit keras; begitu juga, sahabat, apa pun yang didengar dari Dhamma Guru
Gotama -tidak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau
pengalaman yang luar biasa- semua kesedihan, ratap tangis, kesengsaraan,
keputusasaan dan penderitaannya akan lenyap.
“Sebagaimana
seandainya ada kolam yang indah dengan tepian yang menyenangkan, airnya jernih,
menyenangkan, sejuk dan bening, lalu ada orang datang, kelelahan karena panas,
kehabisan tenaga, merasa kering dan kehausan, dia akan masuk ke dalam kolam,
mandi dan minum, sehingga segala penderitaan, kelelahan dan kepanasannya akan
lenyap; begitu juga, sahabat, di mana pun orang mendengar Dhamma Guru Gotama
-tak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang
luar biasa- semua penderitaan, kelelahan dan kepanasan yang membakar itu akan
lenyap.”
Setelah
Pingiyani berkata demikian, brahmana Karanapali bangkit dari duduknya, mengatur
jubah atasnya di satu bahu. Sambil bertumpu di lutut kanannya, dia mengatupkan
kedua tangannya dalam sikap penghormatan kepada Yang Terberkahi dan mengucapkan
tiga kali kata-kata inspirasi ini:
“Hormatku
kepada Beliau, Yang Terberkahi, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan!
“Hormatku
kepada Beliau, Yang Terberkahi, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan!
“Hormatku
kepada Beliau, Yang Terberkahi, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan!
“Luar
biasa, Guru Pingiyani! Luar biasa, Guru Pingiyani! Sama seperti orang yang
menegakkan kembali apa yang tadinya terbalik, atau menguak apa yang tadinya
tersembunyi, atau menunjukkan jalan ketika orang tersesat, atau memberikan
sinar di dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata bisa melihat
bentuk. Demikian pula Dhamma telah disampaikan dalam berbagai cara oleh Guru
Pingiyani. Sekarang, Guru Pingiyani, saya pergi untuk berlindung pada Guru
Gotama, pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Biarlah Guru Pingiyani
menerima saya sebagai pengikut awam yang telah pergi berlindung sejak hari ini sampai
akhir hayat.”
(V,
194)
113. Lima Mimpi Bodhisatta
Para
bhikkhu, sebelum Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan
mencapai pencerahan, ketika masih menjadi bodhisatta, lima mimpi besar tampak
padanya. Apakah yang lima itu?
Dia bermimpi
bahwa bumi yang besar ini adalah tempat tidurnya yang besar; Himalaya, raja
gunung, adalah bantalnya; tangan kirinya beristirahat di laut timur, tangan
kanannya di laut barat, kedua kakinya di laut selatan. Inilah, para bhikkhu,
mimpi pertama yang muncul pada Sang Tathagatha ketika masih menjadi bodhisatta.
Kemudian,
dia bermimpi bahwa dari pusarnya muncul sejenis rumput yang disebut tiriya,
yang terus tumbuh sampai akhirnya menyentuh awan. Inilah, para bhikkhu, mimpi
besar kedua ….
Kemudian,
dia bermimpi tentang cacing-cacing putih berkepala hitam yang merayap di
kaki-kakinya sampai ke lutut, menutupi kaki-kaki itu. Inilah, para bhikkhu,
mimpi besar ketiga ….
Kemudian,
dia bermimpi bahwa empat burung dengan warna yang berbeda-beda datang dari
empat penjuru, jatuh di kakinya dan semuanya berubah menjadi putih. Inilah,
para bhikkhu, mimpi besar keempat ….
Kemudian,
dia bermimpi mendaki gunung kotoran yang besar tanpa dikotori oleh kotoran itu.
Inilah, para bhikkhu, mimpi besar kelima ….
Ketika
Sang Tathagata, ketika masih menjadi bodhisatta, bermimpi bahwa bumi yang besar
ini adalah tempat tidurnya, Himalaya, raja gunung, bantalnya … mimpi pertama
ini adalah tanda bahwa dia akan terbangun pada pencerahan sempurna yang tak ada
bandingnya.
Ketika
dia bermimpi tentang rumput tiriya yang tumbuh dari pusarnya
sampai ke awan, mimpi besar kedua ini adalah tanda bahwa dia akan sepenuhnya
memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan dan akan menyampaikannya dengan baik di
antara para dewa dan manusia.
Ketika
dia bermimpi tentang cacing-cacing putih berkepala hitam yang merayap di
kaki-kakinya sampai ke lutut dan menutupi kaki-kaki itu, mimpi besar ketiga itu
adalah tanda bahwa banyak perumah-tangga berjubah putih yang akan pergi
berlindung pada Sang Tathagata sampai akhir hayat mereka.
Ketika
dia bermimpi tentang empat burung dengan warna yang berbeda-beda datang dari
empat penjuru, jatuh di kakinya, semuanya berubah menjadi putih, mimpi besar
keempat ini adalah tanda bahwa anggota empat kasta -para bangsawan, brahmana, orang
biasa dan orang bawah- akan pergi menuju kehidupan tak-berumah di dalam Ajaran
dan Peraturan-peraturan Latihan yang diajarkan oleh Sang Tathagata dan akan
merealisasikan pembebasan yang tak ada bandingnya.
Ketika
dia bermimpi mendaki gunung kotoran yang besar tanpa dikotori olehnya, mimpi
besar kelima ini adalah tanda bahwa Sang Tathagata akan menerima banyak
pemberian jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, dan beliau akan
menggunakannya tanpa terikat kepadanya, tanpa tergila-gila kepadanya, tanpa
melekat kepadanya, karena melihat bahayanya dan karena mengetahui jalan
keluarnya.
Inilah
lima mimpi besar yang muncul pada Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya
Tercerahkan, sebelum mencapai pencerahan, ketika masih menjadi bodhisatta.
(V, 196)
114. Kata-kata yang Diucapkan dengan Baik
Jika
ucapan memiliki lima tanda, para bhikkhu, berarti ucapan itu disampaikan dengan
baik, tidak disampaikan dengan buruk, tak-ternoda dan tak-tercela oleh para
bijaksana. Apakah lima tanda ini?
Itulah
ucapan yang tepat waktu, benar, lembut, bertujuan, dan diucapkan dengan pikiran
yang dipenuhi cinta kasih.
(V,
198)
115. Lima Rute Jalan Keluar
Para
bhikkhu, ada lima rute jalan keluar.38 Apakah yang lima itu?
Ada
seorang bhikkhu yang – ketika memperhatikan sensualitas39 –
tidak merasakan dorongan menuju sensualitas, tidak bergembira di dalamnya,
tidak berdiam di dalamnya, dan tidak memiliki kecenderungan menuju sensualitas.
Tetapi ketika memperhatikan keadaan-melepas-keduniawian, dia merasakan dorongan
menuju ke sana, bergembira dengannya, secara mental berdiam di dalamnya dan
cenderung menuju padanya. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan
dengan baik, telah meningkat melampaui sensualitas, telah bebas darinya, tidak
terinjak-injak; dan mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang
disebabkan oleh sensualitas, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki
perasaan-perasaan seperti itu. Ini di sebut jalan keluar dari sensualitas.40
Demikian
pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan niat jahat41 –
tidak merasakan dorongan menuju niat jahat, tidak bergembira di dalamnya, tidak
berdiam di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju niat jahat. Tetapi
ketika memperhatikan niat tak-jahat,42 dia merasakan dorongan
menuju ke sana, bergembira dengannya, berdiam di dalamnya dan cenderung menuju
padanya. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah
meningkat melampaui niat jahat, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan
mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh niat
jahat, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti
itu. Ini disebut jalan keluar dari niat jahat.
Demikian
pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan kekejaman- tidak merasakan
dorongan menuju kekejaman,43 tidak bergembira di dalamnya,
tidak berdiam di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju kekejaman.
Tetapi ketika memperhatikan ketidakkejaman, dia merasakan dorongan menuju ke
sana, bergembira dengannya, berdiam di dalamnya dan cenderung menuju padanya.
Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah meningkat
melampaui kekejaman, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan mengenai
nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh kekejaman, dia telah
bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti itu. Ini disebut
jalan keluar dari kekejaman.
Demikian
pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan bentuk- tidak memiliki
dorongan menuju bentuk,44 tidak bergembira dengannya, tidak berdiam
di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju ke sana. Tetapi ketika
memperhatikan tanpa-bentuk, dia merasakan dorongan menuju ke sana, bergembira
dengannya, secara mental berdiam di dalamnya dan cenderung menuju padanya.
Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah meningkat
melampaui bentuk, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan mengenai
nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh bentuk, dia telah
bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti itu. Ini disebut
jalan keluar dari bentuk.
Demikian
pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan kepribadian45 –
tidak merasakan dorongan menuju kepribadian, tidak bergembira dengannya, tidak
berdiam di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju ke sana. Tetapi
ketika memperhatikan berhentinya kepribadian, dia merasakan kecenderungan
menuju penghentian itu, bergembira dengannya, secara mental berdiam di dalamnya
dan cenderung menuju ke sana. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan
dengan baik, telah meningkat melampaui kepribadian, telah bebas darinya, tidak
terinjak-injak; dan mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang
disebabkan oleh kepribadian, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki
perasaan-perasaan seperti itu. Ini disebut jalan keluar dari kepribadian.
Bagi
orang seperti itu, tidak ada pemanjaan sensualitas yang terletak di dalam,
tidak ada kesenangan niat jahat yang terletak di dalam, tidak ada kesenangan
kekerasan yang terletak di dalam, tidak ada kesenangan bentuk yang terletak di
dalam, tidak ada kesenangan kepribadian yang terletak di dalam. Oleh karenanya
bhikkhu seperti itu disebut “orang tanpa kecenderungan-kecenderungan yang
mendasarinya”.46 Dia telah memotong keserakahan, telah membuang
belenggu, dan dengan sepenuhnya menghancurkan kesombongan, dia telah mengakhiri
penderitaan.
Inilah,
para bhikkhu, lima rute dasar untuk jalan keluar.
(V,
200)
Catatan
1 Sekhabala. Sekha (orang
yang berlatih, atau pelajar) adalah orang yang -dalam mengejar tiga jenis
latihan (sikkha) di dalam kemoralan, konsentrasi dan kebijaksanaan,
telah mencapai salah satu dari empat jalan supra-duniawi atau salah satu dari
tiga buah yang lebih rendah. Orang yang telah mencapai buah keempat, yaitu
arahat, disebut asekha, yaitu orang yang sudah di luar latihan,
orang yang sudah sempurna latihannya.
2 Malu (hiri)
termotivasi oleh kehormatan-diri dan melihat-ke-dalam, sedangkan takut moral (ottapa)
bersifat melihat-ke-luar, yaitu takut terhadap akibat-akibatnya – seperti misalnya
disalahkan, memiliki reputasi jelek, dan dihukum.
3 AN V, 12 berkata:
“Dari lima kekuatan orang di dalam latihan yang lebih tinggi, inilah yang
tertinggi, inilah yang merangkum semuanya menjadi satu, yaitu kekuatan
kebijaksanaan.”
4 Di dalam teks sebelumnya,
lima sifat ini telah dianggap kekuatan orang yang berlatih, tetapi di sini
mereka ditunjukkan di dalam kemampuan umumnya, yaitu mengusir serangan keadaan
pikiran yang tak-bajik. Pesan yang terkandung cukup membesarkan hati, karena
kualitas moral yang sedang-sedang saja pun telah mengandung benih pengembangan
tertinggi. Di teks lain (AN V, 4) dikatakan bahwa memiliki lima sifat ini akan
menyebabkan kelahiran ulang di alam surgawi, sedangkan bila tidak memilikinya
akan terlahir di alam yang rendah.
5 AA: “Sabit untuk
memotong rumput, tongkat untuk menjinjingnya pergi.” Ini diberikan sebagai
contoh sarana penghidupan.
6 Menurut AA, ini
mengacu pada pemasuk-arus.
7 Lima kekuatan ini (bala)
merupakan penguatan dari lima kemampuan identik (indriya). Sebagai
kekuatan, kelimanya dikatakan “tidak dapat digoyahkan oleh yang sebaliknya.”
8 Pada bacaan ini,
penjelasan tentang sati diambil dari arti asalnya yaitu
ingatan, kenangan yang tajam. Dua pengertian itu berhubungan karena kewaspadaan
masa-kini merupakan dasar untuk ingatan yang tajam.
9 Sotapattiyanga.
Inilah empat sifat pemasuk-arus, yaitu: keyakinan yang tak tergoyahkan pada
Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta “keluhuran yang berharga bagi orang-orang
suci”, yaitu moralitas sempurna. Untuk serangkaian sotapattiyanga yang
berbeda, empat faktor untuk mencapai tingkat pemasuk-arus, lihat Teks 91.
10 Sammappadhana.
Usaha-usaha: (1) untuk mencegah munculnya keadaan yang tak-bajik dan jahat yang
belum muncul; (2) untuk menghilangkan keadaan yang tak-bajik dan jahat yang
sudah ada; (3) untuk mengembangkan keadaan bajik yang belum muncul; (4) untuk
menahan dan menyempurnakan keadaan bajik yang sudah ada.
11 Satipatthana:
kewaspadaaan terhadap tubuh, perasaan, keadaan pikiran dan objek-objek pikiran.
12 Ariyasacca:
kebenaran-kebenaran tentang penderitaan, asal mulanya, berhentinya dan jalan
menunju berhentinya; lihat Teks 35. AA berkata bahwa mengenai sifat setiap
kemampuan atau kekuatan, masing-masing kemampuan atau kekuatan itu bersifat
dominan dan berada di puncak fungsinya, sedangkan empat lainnya hanyalah
pengiring dan pendukung fungsi yang dominan. Tetapi kekuatan kebijaksanaan
merupakan yang tertinggi di antara kelimanya.
13 “Pembebasan
pikiran” (cetovimutti) adalah konsentrasi yang ada pada pencapaian jalan-jalan
mulia dan buah-buahnya. “Pembebasan oleh kebijaksanaan” (paññavimutti)
adalah kebijaksanaan yang berkenaan dengan buah keempat, yaitu buah tingkat
arahat.
14 Bantuan berunsur
lima bagi pandangan benar ini, di AA dibandingkan dengan tumbuhnya pohon mangga:
pandangan benar seperti benih mangga, faktor-faktor pendukung lainnya bagaikan
usaha-usaha yang dilakukan untuk memastikan tumbuhnya pohon itu, sedangkan dua
pembebasan bagaikan buah-buahnya.
15 AA: “Ketika
mendengarkan Dhamma, dia langsung mengetahui jhana-jhana, pandangan terang,
jalan-jalan dan buah-buahnya kapan pun mereka muncul (sepanjang instruksi).
Ketika dia mengetahuinya, suka-cita muncul, dan karena suka-cita itu dia tidak
mengizinkan dirinya meluncur mundur di tengah jalan; sebaliknya, dia malahan
membawa subjek meditasinya naik sampai ke tingkat konsentrasi akses,
mengembangkan pandangan terang, dan mencapai tingkat arahat. Mengacu pada hal
inilah dikatakan ‘pikiran menjadi terkonsentrasi’.”
16 AA: ” ‘Objek
konsentrasi’ (samadhi-nimitta) mengacu pada konsentrasi pada suatu objek
tertentu di atara tiga puluh delapan objek konsentrasi.” (Tiga puluh delapan
objek adalah penggolongan subjek meditasi yang sudah lama, yang seringkali
diacu di kitab-kitab komentar; ini hampir identik dengan empat puluh subjek
meditasi di Vism. Di situ dua kasina ditambahkan pada daftar
aslinya.)
17 AA: Yaitu jalan
yang terdiri dari perilaku berjasa dengan cara mempraktekkan kedermawanan,
moralitas dan meditasi.
18 Ini berarti bahwa
kita bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan kita yang baik maupun yang
buruk, dan merupakan pewaris dari akibat kamma itu – entah menyenangkan atau
tidak menyenangkan.
19 Mengenai
kesombongan berunsur tiga, lihat Teks 27. Bagi siswa yang penuh pertimbangan,
tiga perenungan pertama yang diterangkan berfungsi untuk mengulang kebangkitan
spiritual yang sama terhadap realitas tentang kondisi manusia yang
tak-terhindarkan, yang dilihat oleh calon Buddha ketika masih berdiam di
istana.
20 Merupakan hal yang
penting bahwa Sang Buddha menganggap kekuatan untuk menghasilkan jalan
supra-duniawi ini berasal dari perenungan yang tampaknya bersifat mendasar.
Tampaknya, untuk memperoleh kemampuan seperti itu tema perenungan harus
dijelaskan secara universal. Dengan demikian, tema itu mengungkapkan segala
sifat yang terkandung dalam usia tua, penyakit dan kematian. Bandingkan Teks
83. Mengenai belenggu dan kecederungan-kecenderungan yang mendasarinya, lihat
Bab I, no. 25, Bab III, no. 67-69, Bab IV, no. 66.
21 Formulasi syair di
sini menunjukkan bahwa awalnya berhubungan dengan Teks 27, karena mengacu pada
periode ketika Sang Buddha masih mencari pencerahan. Syair ini mungkin telah
terlepas dari sutta itu dan dihubungkan dengan syair ini pada periode ketika
teks-teks masih diajarkan secara lisan.
22 Dhammam
nirupadhim. Di kitab-kitab komentar, istilah teknis upadhi (“topangan”,
kemahiran) diterangkan sebagai berunsur empat: lima khanda, kekotoran batin,
lima tali kesenangan indera dan aktivitas berkehendak. Di sini, “penyangga”
adalah lima khanda, “keadaan yang bebas dari topangan” adalah Nibbana.
Ada dua
bacaan dari baris terakhir ini: nekkhamme datthu khematam (digunakan
di terjemahan ini) dan nekkhammam datthu khemato (“melihat
keadaan meninggalkan keduniawian sebagai keamanan”).
23 Rangkaian sembilan
hal ini digunakan untuk menggolongkan ajaran-ajaran Buddha pada periode awal,
tetapi kemudian diganti menjadi Pitaka dan Nikaya.
24 Lima bagian dari V,
73 secara konsisten diungkapkan sehubungan dengan “dia tidak memaksa diri untuk
memperoleh ketenangan pikiran di dalam”, yang menekankan meditasi ketenangan,
sedangkan bagian dari V, 74 yang sesuai, yang dalam hal lain identik,
diungkapkan sehubungan dengan “dia tidak selanjutnya memahami artinya dengan
kebijaksanaan”, yang menekankan meditasi pandangan terang.
25 Adalah menarik bila
di Teks 98 empat hal pertama diartikan “landasan-landasan pembebasan” dan
ditunjukkan sebagai sarana yang efektik untuk mencapai tingkat arahat.
Tampaknya ada perbedaan di dua hal itu. Pada yang pertama, bhikkhu itu
menggunakan belajar, mengajar, mengulang dan merenung sebagai sarana untuk
pengembangan spiritual pribadi, sementara di sini dia mengejarnya sebagai
tujuan akhir dan tidak bisa menggunakannya sebagai metode pengolahan-diri.
26 Yang
“tak-menjijikkan” mungkin mengacu pada orang-orang atau benda-benda yang bisa
menarik atau biasa saja. Patis II 212-13 menjelaskan lima cara persepsi
demikian: (1) dalam hal objek yang menyenangkan, orang bisa menembusnya dengan
(pemikiran meditatif tentang) sifat menjijikkan atau memandangnya sebagai tidak
kekal. (2) Dalam hal objek yang tidak menyenangkan, orang bisa menyelimutinya
dengan cinta kasih atau memandangnya sebagai elemen-elemen yang bukan-pribadi.
(3) Orang menyelimuti objek-objek yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan
dengan pemikiran tentang sifatnya yang menjijikkan dan memandangnya sebagai
tidak-kekal; dengan demikian dia menerima keduanya sebagai menjijikkan. (4)
Orang menyelimuti objek-objek yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan
dengan cinta kasih atau memandangnya sebagai eleman-elemen (bukan pribadi);
dengan demikian dia menerima keduanya sebagai bukan-menjijikkan. (5) Setelah
melihat suatu bentuk dengan matanya … memahami suatu objek pikiran dengan
pikirannya, orang tidak merasa senang ataupun sedih, melainkan berdiam di dalam
ketenangseimbangan, waspada dan memahami dengan jelas; dengan demikian dia
menghindari aspek menjijikkan maupun tak-menjijikkan. AA berkata bahwa hal
terakhir ini adalah “ketenangseimbangan berfaktor-enam, yang mirip -walaupun tidak
identik- dengan yang dimiliki para arahat.”
27 Praktek yang
diterangkan di sini disebut ariya-iddhi, “kesaktian yang mulia”
atau “kekuatan para suci”. Ini sejenis “kesaktian transformasi” yang halus.
Dengan kesaktian ini sikap emosi yang merupakan kebiasaan dapat diubah
sekehendaknya atau digantikan oleh ketenangseimbangan. Di dalam
kesempurnaannya, praktek ini “hanya dihasilkan pada diri orang yang mulia (ariya),
yang telah mencapai penguasaan-pikiran.” (Vism XII, 36). Tetapi AA menekankan
bahwa mereka yang pencapaiannya masih lebih rendah juga dapat dan harus
mempraktekkannya, jika pencapaian-pencapaian itu dialami di dalam meditasi
pandangan terang dan mereka memiliki inteligensi yang tajam. Meditasi pandangan
terang amat membantu di dalam hal ini, karena meditasi ini mengajarkan pada
kita untuk membedakan antara fakta-fakta pengalaman dan reaksi-reaksi emosi
(atau lainnya) terhadap fakta-fakta itu. Dengan inteligensi yang tajam orang
dapat menjadi sadar tentang kemungkinan respon emosi yang bukan merupakan
respon kebiasaan, dan sadar tentang kemungkinan menyembunyikan respon-respon
itu.
28 Lihat Bab IV, no.
45.
29 Yaitu, orang harus
bicara dengan cara yang menuju pada topik-topik yang makin mendalam dan makin
tinggi, atau orang harus mengajar Dhamma dengan cara yang sesuai dengan
kecenderungan mental dari para pendengarnya. Lihat Teks 158.
30 AA: “Digerakkan
oleh harapan: ‘Aku akan membebaskan para makhluk yang berada di dalam tekanan
penderitaan yang besar.’ ”
31 AA: “Orang harus
berbicara tanpa memuji dirinya sendiri dan merendahkan yang lain.”
32 Ini adalah kediaman
pertama, kedua dan keempat dari empat kediaman surgawi (brahma-vihara). Menurut
AA, tempat kediaman ketiga -kegembiraan berkorban- tidak disebutkan di sini
karena sulit dipraktekkan terhadap orang yang dibenci dengan dendam.
33 Pavivekam pitim.
AA: Suka-cita yang muncul dari ketergantungan pada jhana pertama dan kedua.
34 AA menjelaskan
“berdagang makhluk hidup” (sattavanijja) seperti misalnya menjual
manusia, yaitu perdagangan budak; ini mungkin terlalu sempit. Mungkin
pemeliharaan binatang untuk disembelih harus kita masukkan ke dalam kategori
ini. AA berkata bahwa orang tidak seharusnya terlibat di dalam
perdagangan-perdagangan ini dan dia seharusnya tidak mendorong orang lain untuk
melakukannya. Tidak memiliki pekerjaan yang salah ini termasuk praktek mata
pencaharian benar, yaitu faktor kelima dari Jalan Mulia Berunsur Delapan.
35 Seorang brahmana
yang memiliki nama ini ditemukan di Teks 34. Seorang brahmana biasanya bertanya
dengan acuan manta, yaitu mantra atau himne dari Kitab Veda, tetapi
Sang Buddha menjawab dengan acuan pada “kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan
orang-orang lain”, yang pada pengertian tertinggi adalah pencapaian tingkat
Arahat. Lima faktor yang menghalangi di sini adalah lima penghalang. Sutta yang
hampir identik adalah SN 46:55, tetapi dengan alinea tambahan pada tujuh faktor
pencerahan.
36 AA menjelaskan
jalan keluar bagi setiap penghalang lewat dua cara, yaitu ” jalan keluar lewat
penekanan” yang sifatnya sementara (vikkhambhana-nissarana), dan “jalan
keluar lewat penghapusan” yang sifatnya permanen (samuccheda-nisarana).
Dengan demikian, untuk nafsu indera maka jhana pertama yang didasarkan atas
objek yang menjijikkan adalah jalan keluar lewat penekanan, sedangkan jalan
menjuju tingkat arahat adalah jalan keluar lewat penghapusan (karena nafsu
indera dianggap mewakili semua nafsu yang tak-bajik). Untuk niat jahat, jhana
pertama yang didasarkan atas cinta-kasih adalah jalan keluar lewat penekanan,
sedangkan jalan menuju yang-tidak-kembali-lagi adalah jalan keluar lewat
penghapusan. Untuk kemalasan dan kelambanan, persepsi sinar merupakan jalan
keluar oleh penekanan (lihat Teks 59), sedangkan jalan ke tingkat arahat adalah
jalan keluar oleh penghapusan. Untuk kegelisahan dan kekhawatiran, meditasi
ketenangan adalah jalan keluar oleh penekanan, sedangkan jalan menuju tingkat
arahat adalah jalan keluar dari kegelisahan lewat penghapusan, dan jalan menuju
yang-tidak-kembali-lagi adalah jalan keluar dari kekhawatiran. Untuk keraguan,
diskriminasi fenomena (dhamma-vavatthana) adalah jalan keluar lewat
penekanan, sedangkan jalan menjuju pemasuk-arus adalah jalan keluar lewat
penghapusan.
37 Pasattha-pasattho:
secara harafiah, “dipuji oleh yang terpuji”. AA: “Dia dipuji oleh keluhurannya
sendiri’ dengan demikian tidak perlu dipuji oleh yang lain.” Lebih mungkin,
artinya adalah dia dipuji oleh mereka yang juga dipuji oleh orang-orang lain.
38 Nissaraniyo
dhatuyo; mereka menawarkan jalan keluar dari keadaan-keadaan pikiran yang
merugikan atau menghalangi.
39 AA: “Setelah muncul
dari jhana yang dihasilkan dari perenungan sifat menjijikkan (asubha),
dia mengarahkan pikirannya pada objek indera untuk memeriksanya, sebagaimana
orang yang telah minum anti racun memeriksa racun
40 AA menjelaskan
“melepas” di sini sebagai jhana pertama yang muncul dengan perenungan sifat
tubuh yang menjijikkan. Hal ini menawarkan jalan keluar yang bersifat
sementara, tetapi jika orang menggunakan jhana ini sebagai dasar bagi meditasi
pandangan terang dan mencapai tingkat tidak-kembali-lagi (anagamiphala),
maka dia sepenuhnya bebas dari nafsu indera.
41 Byapada. AA:
“Memeriksanya setelah muncul dari jhana yang dihasilkan oleh perenungan tentang
cinta kasih.”
42 Abyapada.
Istilah negatif ini adalah padan kata metta (cinta kasih).
43 Vihesa;
kekejaman, menyakiti, permusuhan, hampir merupakan padan kata vihimsa,
kekerasan, kerugian. AA: “Memeriksanya setelah muncul dari jhana yang
dihasilkan dari perenungan tentang kasih sayang (karuna).”
44 Rupa. AA:
“Memeriksanya setelah muncul dari jhana tanpa-bentuk.” Mengenai empat
pencapaian tanpa-bentuk, lihat Teks 87.
45 Sakkaya.
Lihat Bab IV, n.15. AA: “Ini mengacu pada orang yang mempraktekkan pandangan
benar yang nyata (sukkha-vipassaka) dan yang telah mencapai tingkat
arahat -setelah memahami bentukan-bentukan yang nyata; setelah muncul dari
pencapaian buah (phala-samapatti), dia kemudian mengarahkan pikirannya
pada lima kelompok khanda dengan tujuan untuk memeriksanya.” Dalam kasus
“bentuk” dan “kepribadian, jalan keluar akhir (accanta-nissarana) adalah
buah tingkat arahat (arahatta-phala).
46 Niranusayo:
orang tanpa kecenderungan yang kuat (atau kecenderungan yang masih tidur) pada
lima hal itu (sensualitas, dll). AA: “Pernyataan ini dibuat untuk memuji arahat
sementara dia berdiam setelah mencapai penghentian, yaitu jalan keluar dari
kepribadian.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar