Jumat, 13 Januari 2012

HARMONI DALAM PERKAWINAN




oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro

         Perkawinan dalam pandangan Agama Buddha tidak dianggap sebagai sesuatu yang suci atau sesuatu yang tidak suci. Setiap pria dan wanita mempunyai kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing: menikah atau tetap membujang. Dengan demikian menunjukkan bahwa perkawinan bukan semata-mata kewajiban beragama yang harus dipatuhi.

         Bila suami-istri membangun lembaga perkawinan itu dengan baik berdasarkan Dhamma, maka perkawinan akan menjadi mangala —berkah kebahagiaan— dalam kehidupan. Bahkan tingkat-tingkat kesucian pun tidak tertutup bagi mereka yang telah memilih cara hidup berkeluarga. Namun sebaliknya, bila perkawinan dilakukan tanpa dasar yang kokoh, maka lembaga perkawinan akan menjadi jalan mempercepat ke neraka.

         Dhamma sebagai jalan —Niyyanika Dhamma atau Patipatti Dhamma— memberikan tuntunan bagi semuanya dalam cara hidup yang berbeda: hidup kebhikkhuan dan berumah tangga. Tetapi, meskipun cara hidup mereka berbeda, Dhamma membawa kedua-duanya untuk menempuh tujuan perjalanan yang sama, yaitu kebahagiaan tertinggi atau kebebasan dari penderitaan.

 Tanggung Jawab Bersama

         Cukup banyak khotbah Sang Buddha yang menunjukkan dengan sangat terinci tentang praktek kehidupan benar dalam membangun dan mengisi lembaga perkawinan itu. Sigalovada Sutta —yang menunjukkan kewajiban hidup bermasyarakat, termasuk kewajiban suami-istri dan orangtua-anak— harus menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha sendiri meletakkan dasar-dasar perkawinan harmoni:

"Para bhikkhu, bila suami dan istri mengharapkan dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang, keduanya hendak menjadi orang yang memiliki keyakinan (saddha) yang sebanding, memiliki tata-susila (sila) yang sebanding, memiliki kemurahan-hati (caga) yang sebanding, dan memiliki kebijaksanaan (panna) yang sebanding. Suami dan istri yang demikian itu tentulah dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang".

         Kehidupan harmoni tidak dapat dituntut hanya dari sepihak. Baik suami maupun istri dan juga anak-anak mereka, mempunyai kewajiban moral dalam membangun keluarga harmoni.


        Berbicara tentang perkawinan sesungguhnya bukan hanya semata-mata menyoroti persoalan cinta, seks dan kebahagiaan berpasangan, tidak kalah pentingnya adalah hubungan timbal balik antara pasangan suami-istri sebagai orangtua kepada anak-anak mereka. Anak adalah bagian dari keluarga. Mereka adalah tumpuan harapan orangtua, pembawa kebahagiaan, tetapi juga sebaliknya, bisa menjadi salah satu sumber bencana dalam rumah tangga.

 Aspek Moral Dan Sosial Ekonomi

         Sebagaimana judul artikel ini —Harmoni Perkawinan— akan saya titik beratkan pada bahasan tentang sikap mental yang mendasari keharmonian itu. Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menjelaskan tentang jalinan kewajiban suami-istri sebagai berikut:

         "Wahai perumah tangga muda, dalam lima hal seorang suami harus berlaku terhadap istrinya:

1. memuji dan mempererat hubungan

2. menghargai

3. setia

4. memberikan peranan kepadanya

5. memberikan pakaian dan perhiasan

         Dalam lima hal pula seorang istri memperlakukan suaminya dengan kasih sayang:

1. mengurus rumah tangga dengan baik dan bertanggung jawab

2. ramah terhadap mertua dan sahabat-sahabat suaminya

3. setia

4. melindungi penghasilan suami (tidak boros)

5. rajin dan pandai melaksanakan tugas-tugasnya".

         Kewajiban yang diuraikan dalam Sigalovada Sutta tersebut menuntut pasangan suami-istri untuk berlaku benar dalam hal moral dan kebutuhan sosial ekonomi. Di atas kedua dasar ini lembaga perkawinan akan kokoh berdiri membawakan keharmonian dan kesejahteraan. Tidak ada tawar-menawar untuk keduanya, sebab kalau diabaikan maka keduanya akan menjadi sumbu penyulut pertengkaran dan kehancuran keluarga.



1. Sumber Percekcokan

         Suami yang menjaga moral (sila) dengan baik, tetapi mengabaikan kebutuhan sosial ekonomi keluarga, akan menjadikan keluarga itu hidup dalam kekurangan, bahkan kemiskinan. Hal ini mudah sekali menimbulkan seribu satu macam persoalan yang kemudian menyulut api percekcokan.

         Demikian juga bila pasangan suami-istri tidak kekurangan, bahkan berlebihan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi, tetapi salah satu atau keduanya tidak memiliki moral dengan baik, maka tidak mungkin juga mereka akan menikmati suasana harmoni dan buah kebahagiaan. Keluarga seperti ini ibarat pohon yang sarat berbuah tetapi akarnya tidak kuat karena mulai digerogoti hama atau penyakit.

 Cinta Kasih Sebagai Kunci

         Agama Buddha mencita-citakan keluarga harmoni sebagai keluarga bahagia dan sejahtera. Keluarga bahagia ini dihargai sebagai berkah utama, yang merupakan salah satu kondisi penting, yang memungkinkan seseorang mencapai kemajuan.

         Kalau kita kaji lebih dalam, sampailah kita pada kesimpulan bahwa dasar hakiki keharmonian adalah cinta kasih. Bukan saja kewajiban yang disebutkan dalam Sigalovada Sutta tersebut bersumber pada cinta kasih antara suami dan istri, tetapi hampir semua orang yakin, bahwa cinta kasih itu yang membuat seseorang bertanggung-jawab dalam membangun dan memelihara keluarga harmoni.

         Tetapi perlu diingat bahwa cinta kasih yang menjadi dasar hakiki keharmonian bukanlah sesuatu yang bisa didapat dengan sekali pungut. Cinta kasih harus dipupuk dengan dasar pengertian yang benar, keuletan dan kesabaran, dari saat ke saat, dari hari ke hari, sepanjang hidup ini.

 Sikap Berterus Terang

         Dalam Agama Buddha, cinta kasih bukan hanya sikap emosional mencintai, apalagi memiliki. Tetapi cinta kasih adalah suatu sikap yang berdiri di atas dasar kebijaksanaan, yaitu: sikap memberi. Salah satu sifat cinta kasih yang harus kita pupuk dalam lembaga perkawinan adalah: saling memberi kesempatan yang memungkinkan timbulnya sikap untuk berterus terang. Tidak hanya bagi pasangan suami-istri, tetapi juga antara orangtua dan anak, sikap mau berterus-terang sangat diperlukan dalam jalinan keluarga. Kalau suami dan istri, orangtua dan anak, sudah tidak saling mempercayai, saling sembunyi-sembunyi, tidak mau berterus terang, tidak mau terbuka, maka keharmonian pasangan dan juga keharmonian keluarga yang menjadi idaman hanyalah tinggal impian. Rupa-rupanya sekarang ini lembaga perkawinan dan juga kehidupan keluarga sudah banyak yang mengalami erosi keterus-terangan. Mereka hidup berkeluarga, suami-istri atau ayah-ibu dan anak-anak, tetapi nyatanya mereka tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Mereka bersikap saling merahasiakan, sehingga akhirnya keakuan menggantikan cinta kasih dan keharmonian.

         Keterus-terangan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan pengendalian diri. Mempunyai sikap mau berterus-terang, tidak tertutup, berarti bersedia (berani) menerima kenyataan dengan wajar, tidak emosional dan bersedia memberikan pandangan dengan wajar pula. Kalau sikap mau berterus-terang atau keterbukaan ini banyak dicampuri tuntutan keakuan, suami terlalu menuntut dan mencela setiap sikap istri atau sebaliknya, maka masing-masing tidak akan mau membuka persoalan dan kesulitan kepada pasangannya. Hubungan harmoni akan berubah menjadi hubungan formal yang kaku.

 Penutup

         Sebagai penutup dari artikel ini, saya akan mengakhiri dengan menunjukkan enam faktor pemelihara keharmonian, seperti disebutkan oleh Sang Buddha dalam Saraniya Dhamma Sutta:

1. Saling memperlakukan dengan cinta kasih

2. Berbicara dengan cinta kasih

3. Memikirkan dengan cinta kasih

4. Masing-masing saling mengajak untuk ikut serta menikmati kebahagiaan yang sedang dinikmatinya

5. Mempunyai sikap moral yang serasi

6. Mempunyai pandangan hidup yang sama

         Semoga uraian ini membawa manfaat bagi Anda dalam mempersiapkan, membangun dan membenahi perkawinan serta keluarga.***



Sumber : BUDDHA CAKKHU No.27/XIII/92; Yayasan Dhammadipa Arama.

Tidak ada komentar: