Tidak bisa dielakkan lagi bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
salah satu kebutuhan kehidupan modern. Dan memang, kita membutuhkannya demi
kemajuan. Pernah ada suatu ungkapan tanya demikian: "llmu pengetahuan,
menjadi seteru ataukah sekutu". Sekarang dengan jujur kita mengakui, bahwa
ilmu pengetahuan harus menjadi sekutu. Pada masa yang telah kita lalui, secara
sadar —atau mungkin dengan tidak disadari— ilmu pengetahuan dan teknologi
membawa perubahan dalam kehidupan kita. Dan perubahan yang menuju ke arah yang
lebih baik, berarti: kemajuan. Sudah tentu, selama ilmu pengetahuan hanya
semata-mata dikembangkan demi ilmu pengetahuan itu sendiri; tidak membawa
perubahan bagi kehidupan, tidak membawa kemajuan; selama itu pula ilmu
pengetahuan tidak akan berguna.
Tetapi juga tidak bisa ditutup-tutupi, perubahan yang membawa kemajuan
dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah perubahan-perubahan di luar diri kita. Kemajuan dan kemudahan
modernisasi adalah kemajuan dan kemudahan materi. Sebagaimana telah diungkapkan
beberapa kali dalam artikel-artikel yang lalu, bahwa kita memang membutuhkan
materi sebagai penunjang kehidupan ini. Dan Agama Buddha yang selalu berpijak
pada Jalan Tengah mengakui fungsi kebutuhan materi dalam kehidupan ini.
Yang
menjadi persoalan sekarang adalah, perubahan yang demikian pesat, kemajuan yang
demikian cepat yang terjadi di luar diri kita bisa menimbulkan goncangan
mental, goncangan di dalam —di dalam diri kita.
Kemajuan dan kemudahan yang dengan cepat telah diwujudkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi, dengan tidak disadari telah membangun budaya
serba-materi, dan menyebabkan kemerosotan sikap mental sementara orang. Timbul
budaya ingin serba mudah. Timbul keinginan untuk secepat mungkin
—sekonyong-konyong— mendapatkan kenikmatan. Secepat mungkin maju. Secepat
mungkin kaya. Secepat mungkin mempunyai kedudukan tinggi, dan sebagainya. Dan
tidak jarang, sikap-sikap seperti ini mendorong perbuatan-perbuatan yang
merugikan orang lain. Apapun caranya, asalkan mampu memberikan perubahan dengan
cepat, akan ia lakukan tanpa banyak pertimbangan.
Sekarang, yang ingin saya sampaikan
kepada saudara: perubahan di luar diri kita —perubahan materi— yang terjadi,
dan akan terus berlangsung dengan begitu cepat karena dorongan ilmu pengetahuan
dan teknologi; tidak akan membawa arti yang lebih dalam bagi kehidupan ini bila
tanpa dibarengi dengan perubahan di dalam diri kita. Mental yang hanya diseret
untuk menikmati kenikmatan materi dengan begitu mudah akan menimbulkan kehausan
yang terus menerus, dan kemudian, timbullah rasa hampa dalam mencari arti
kehidupan. Apalagi bila kemajuan materi itu yang dijadikan tolok ukur
kebahagiaan dan kesejahteraan. Ukuran itu pasti meleset.
Sekali lagi, kita tidak boleh menjadi anti kemajuan di luar —anti
kemajuan materi. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan seteru, tetapi memang,
sekutu kita. Jalan Tengah telah mengamanatkan kepada kita, bahwa tidak
bijaksana membiarkan hidupmu miskin dan penuh penderitaan. Yang sekali-kali
tidak boleh ditinggalkan adalah: perubahan dan kemajuan yang di luar itu pada
saat yang sama harus diikuti dengan perubahan dan kemajuan di dalam diri kita
masing-masing.
Dharma —agama— tidak hanya dan tidak pernah menjanjikan perubahan dan
kemajuan yang hanya di luar. Tetapi, Dharma —agama— menunjukkan jalan bagaimana
membangun dan memperkuat sikap mental kita untuk menghadapi dan mencerna
perubahan serta kemajuan apapun yang terjadi di luar. Hanya dengan melakukan
perubahan dan pembangunan di dalam diri kita masing-masing, perubahan dan
kemajuan yang disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar akan
layak disebut sebagai kemajuan menuju kesejahteraan utuh.
Sesungguhnya kearifan menuju kesejahteraan utuh ini telah menyinari Orde
Baru sejak memulai rencana pembangunan bangsa. Bangsa Indonesia yang mempunyai
sikap keagamaan cukup kuat dalam sepanjang sejarah perjalanannya, cukup
mempunyai modal rohani yang jelas-jelas akan menerangi jalan dan menunjukkan
gambaran utuh tentang kesejahteraan dan kebahagiaan.
Persoalan selanjutnya adalah: Bagaimana Dharma —agama— itu memberikan
manfaat? Pertanyaan ini adalah pertanyaan terbesar dan muncul di sepanjang masa
menjadi tantangan kita semua. Dengan kalimat lain: Apakah perubahan yang telah
diberikan oleh agama kepada kita? Kini kita telah melihat perubahan yang
diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi; tetapi bagaimanakah perubahan
yang telah diberikan oleh agama? Sementara orang, yang kadang-kadang masih kita
dengar, melontarkan pertanyaan: Agama-agama sudah lama berperan di bumi ini,
tetapi mengapa perdamaian dunia belum pemah terjadi? Apakah Dharma —agama—
telah gagal?
Dengan sangat bijaksana dan juga dengan amat sederhana Sang Buddha
mengumpamakan Dharma yang Beliau temukan dan ajarkan itu sebagai rakit. Rakit
berfungsi untuk menyeberangi sungai dari tepi ini menuju ke tepi sebelah sana.
Rakit akan bermanfaat bila rakit mampu memberikan perubahan, yaitu: membawa
kita meninggalkan tepi ini, menyeberang, menuju ke tepi yang lain. Meskipun
kita memiliki rakit, tetapi bila kita tetap berada di tepi ini, tidak ada
perubahan —tidak menyeberang; maka rakit itu tidak ada gunanya— tidak
bermanfaat.
Bila
kita tidak menyeberang, bukan rakit yang salah. Bukan rakit yang gagal. Kita
sendiri yang sebenarnya telah gagal. Kita puas memiliki rakit hanya untuk
menyimpannya. Sesungguhnya rakit hanyalah alat. Milik itu akan menjadi sangat
berharga, bila kita mau memasukkannya ke sungai, kemudian kita kayuh dengan
sekuat tenaga, untuk menyeberang dari satu tepi ke tepi lain yang menjadi
tujuan kita.
Sama seperti rakit itu, adalah Dharma
—agama. Beragama bukan hanya merasa memiliki agama. Beragama bukan hanya
meyakini agama. Dan juga beragama bukan hanya bersembahyang. Dharma —agama—
memberikan perubahan —memberikan manfaat— di dalam diri kita, bila kita
berusaha sekuat tenaga menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai-nilai itu: sikap bertanggung-jawab atas perbuatan sendiri
—tidak menyalahkan makhluk setan atau mengharap-harap berkah dewa, ulet, tekun,
jujur, suka menolong, dan setia kawan. Berusaha mengendalikan emosi, percaya
diri, dan rendah hati. Berikan beberapa saat dalam setiap hari dalam hidup
Saudara, untuk bermeditasi, berusaha melihat ke dalam diri sendiri. Setiap hari
selama kita tidak tertidur, pikiran dan panca-indria ini selalu disibukkan
dengan menanggapi segala sesuatu di luar diri kita; oleh karena itu, berikan
beberapa saat untuk melihat ke dalam diri sendiri dengan bermeditasi. Meditasi
akan menumbuhkan dan memperkuat daya tahan mental kita. Dan tidak hanya memperkuat
daya tahan mental, meditasi akan mengubah mental ini untuk mampu menyadari
nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi dan lebih hakiki, hingga akhirnya
tercapai kesadaran-utuh tentang realita Yang Mahaesa.
Tidak bijaksana memberikan penilaian, bahwa nilai-nilai agama diperlukan
hanya karena berfungsi untuk menangkal dampak-dampak negatif modernisasi. Jauh,
lebih dan itu, nilai-nilai agama yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
akan mengubah terus-menerus sikap mental kita menuju kesejahteraan yang
lengkap.
Kalau kita memeluk agama sudah sekian lama, tetapi tidak ada perubahan
dalam diri kita; kita gagal beragama. Kita gagal menggunakan rakit. Tetapi sama
sekali, bukan rakit yang gagal. Kalau dulu sering marah, sering gelisah, tidak
bisa tidur dengan tenang, tidak pernah merasa puas; dan sekarang tetap tidak
ada perubahan, bahkan semua itu makin menjadi lebih parah; maka tidak ada
manfaat dalam memeluk agama. Tetapi sebaliknya, kalau setelah menengok ke
belakang kita sekarang menyadari bahwa marah, jengkel, gelisah, iri-hati, dan
gejolak-gejolak negatif lainnya menjadi berkurang; inilah perubahan dan
kemajuan yang telah diberikan oleh hidup beragama.
Mungkin sulit menyadari perubahan yang terjadi di dalam diri kita
sendiri, tetapi saya percaya, nurani kita dengan jujur akan mengatakan
perubahan itu: sekarang lebih baik atau lebih kacau. Kalau kita terus-menerus
berusaha menerapkan nilai-nilai Dharma —nilai-nilai agama— dalam kehidupan kita,
maka pasti dunia kita yang tertetak dalam diri ini akan damai, dan juga
memberikan kedamaian pada lingkungan.
Sekarang kita telah berada dalam tahun 1990. Mari kita tengok kembali
tahun yang telah kita lalui, kita lihat perubahan yang terjadi dengan bertanya
kepada nurani kita. Kemudian kembali kita bertekad untuk membuat perubahan yang
lebih besar dan lebih baik dalam diri kita dalam tahun ini.***
oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro
oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro
Sumber : BUDDHA CAKKHU No.16/XI/90; Yayasan
Dhammadipa Arama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar