Sumber: Brahmajala Sutta
, Oleh: Tim Penterjemah
Diterbitkan oleh Badan Penerbit Buddhis ARYASURYACANDRA, 1993
Diterbitkan oleh Badan Penerbit Buddhis ARYASURYACANDRA, 1993
PENDAHULUAN
Brahmajala Sutta merupakan sutta yang pertama dari 34 sutta Digha Nikaya. Sutta ini merupakan sebuah sutta yang sangat penting untuk dipelajari dan direnungkan karena isi sutta ini menguraikan tentang berbagai pandangan atau ajaran dari bermacam-macam aliran agama yang ada serta berkembang pada masa kehidupan Sang Buddha. Khususnya bagi umat Buddha yang sedang mempelajari Buddha Dhamma, maka dengan merenungkan dan mengerti isi sutta ini, ia akan mendapatkan banyak informasi baru tentang dasar teori tentang bagaimana pola pikir dan kedudukan ajaran agama Buddha di tengah-tengah aneka ragamnya teori pandangan hidup dan agama di dunia ini. Karena uraian yang ada dalam sutta ini, walaupun telah diungkapkan oleh Sang Buddha pada lebih dari 2500 tahun yang lalu, namun isinya sampai sekarang masih up to date. Ada dua pokok besar yang diuraikan dalam Brahmajala sutta, yaitu tentang sila (peraturan prilaku-moral) dan ditthi (pandangan atau teori ajaran). Sila yang diuraikan adalah Cula sila, Majjhima sila dan Maha sila yang perlu sekali dilaksanakan oleh setiap umat Buddha yang saleh. Cula sila berkenaan dengan peraturan-peraturan yang terdapat dalam dasa sila Buddhis. Majjhima sila berkenaan dengan rincian dari pelaksanaan sila keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan dari dasa sila Buddhis maupun tentang pemeliharaan tumbuh-tumbuhan agar tetap lestari, dan cara berbicara yang pantas.
Ada enam puluh dua macam ditthi yang diuraikan dalam sutta ini. Ditthi-ditthi ini dianut dan diyakini oleh para penganutnya sesuai dengan batas kemampuan mereka. Ada yang mengaturnya berdasarkan pada pengalaman, pengetahuan, pencapaian sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk membuktikan kondisi dari pada yang diyakininya itu karena mereka dapat melihatnya sendiri. Namun ada juga yang menganut dan meyakini paham mereka hanya didasarkan pada spekulasi yang mereka sendiri tak dapat membuktikannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengalami atau melihatnya sendiri, paham ini mereka ketahui atau pelajari dari guru-guru mereka atau didasarkan pada spekulasi mereka sendiri. Bagi umat Buddha, walaupun diantara ditthi-ditthi itu ada yang perlu juga untuk diketahui dicapai dan dibuktikan sendiri, tetapi umat Buddha tidak boleh berhenti hanya pada tingkat pencapaian seperti itu saja. Karena, walaupun ada beberapa ditthi atau pandangan serta pencapaiannya itu perlu pula dicapai oleh umat Buddha tetapi itu semua bukanlah merupakan tujuan akhir dari ajaran Sang Buddha. Pencapaian atau tingkat kemampuan yang dihasilkan oleh ditthi-ditthi itu adalah baik dan berguna, namun itu semua hanya merupakan titik tolak untuk dijadikan dasar yang bagus dalam pengembangan dan meningkatkan kemampuan batin demi tercapainya pembebasan batin (nibbana) dari semua kilesa (kekotoran batin). Sebab itulah umat Buddha tidak boleh terperangkap oleh ditthi-ditthi ini. Semua pandangan ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
Pubbantanuditthino (Pandangan mengenai masa yang lampau), terdiri dari 18 ditthi yang diuraikan sebagai:
Empat pandangan Sassatavada (eternalis) yang menyatakan bahwa atta (jiwa) dan loka (dunia) adalah kekal.
Empat pandangan Sassata-asassatavada (semi eternalis) yang menyatakan bahwa atta dan loka adalah sebagian kekal dan sebagian tidak kekal.
Empat pandangan Antanantika (ekstentionis) yang menyatakan bahwa atta dan loka adalah terbatas dan tak terbatas.
Empat pandangan Amaravikkhepika (berbelit-belit), yang bilamana ada pertanyaan yang diajukan pada penganutnya, maka mereka akan memberikan jawaban yang berbelit-belit, sehingga membingungkan pendengarnya.
Dua pandangan Adhiccasamuppanika (asal mula sesuatu terjadi secara kebetulan), yang menyatakan bahwa atta dan loka terjadi atau muncul tanpa adanya suatu sebab.
Aparantakappika (Pandangan mengenai masa yang akan datang), yang terdiri dari 44 ditthi yaitu:
Enam belas pandangan Uddhamaghatanikasanavada (setelah meninggal kesadaran tetap ada, yang menyatakan bahwa atta tetap hidup terus setelah kita meninggal.
Delapan pandangan Uddhamaghatanikasannivada (setelah meninggal kita tak memiliki kesadaran), yang menyatakan bahwa setelah kita meninggal atta adalah tanpa kesadaran.
Delapan pandangan Uddhamaghatanika n’evasanni nasannivada (setelah meninggal ada kesadaran dan tanpa kesadaran), yang menyatakan bahwa setelah meninggal atta adalah memiliki kesadaran dan tanpa kesadaran.
Tujuh pandangan Ucchedavada (annihilasi), yang menyatakan bahwa setelah kita meninggal kita hancur dan lenyap.
Lima pandangan Ditthadhammanibbanavada (mencapai pembebasan mutlak dalam kehidupan sekarang ini), yang menyatakan bahwa nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang.
Diantara ditthi atau pandangan mengenai masa yang lampau, yaitu beberapa pandangan eternalis, menyatakan bahwa ada orang yang karena semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi tenaga sehingga ia memiliki kemampuan batin (abhinna) untuk mengingat banyak kehidupan yang lampau yaitu:
Pada satu hingga puluhan ribu kehidupan yang lampau di bumi ini.
Pada satu hingga empat puluh kali masa bumi terjadi, hancur dan bumi terjadi kembali.
Pada uraian tentang ditthi-ditthi ini yang ditekankan adalah tentang keyakinan adanya jiwa yang kekal, yang selalu ada walaupun bumi-bumi yang kita diami selalu muncul silih berganti. Dengan demikian, paham ini menekankan pula pandangan bahwa bumi ini telah berkali-kali terjadi hancur dan muncul kembali hingga empat puluh kali bumi berevolusi. Namun dalam kaitannya dengan ditthi-ditthi itu, Sang Buddha menyatakan bahwa ia “telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinnya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut”.
Pengetahuan Sang Buddha yang didasarkan pada kekuatan batinnya bukanlah kemampuan yang muncul karena pola pikiran seperti yang dimiliki manusia awam. Sebagai manusia awam/biasa, beliau dikenal sebagai orang yang terpintar ilmu di negaranya dan telah memiliki berbagai ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seorang calon pemimpin bangsa. Pada waktu beliau masih sebagai seorang pertapa beliau telah berguru pada semua guru filsafat dan spiritual yang terkenal di Jambudipa, beliau berhasil menekuni semua ajaran mereka dan menyamai pencapaian dan kemampuan para gurunya. Akhirnya beliau telah berhasil mengembangkan pikiran atau batinnya dengan cara bermeditasi ketenangan batin (samatha bhavana) dan pandangan terang (vipassana bhavana). Dengan samatha bhavana beliau berhasil memiliki batin yang tenang juga memiliki kekuatan batin (abhinna), yaitu:
Iddhividdhi – kemampuan batin yang berkenaan dengan phisik, Ia dapat merubah diri menjadi banyak, berwajah lain, berujud lain, menghilang, berjalan di atas air, melayang di angkasa, menyelam dalam tanah, merubah benda sesuai apa yang disukainya dsb.
Dibbacakkhu – kemampuan batin untuk melihat jauh dan dekat tanpa batas. Ia dapat melihat:
apa yang akan terjadi dimasa akan datang,
apa yang terletak di tempat yang jauh walaupun itu terhalang oleh gunung dll.,
mahluk-mahluk lain diberbagai alam kehidupan yang tak terlihat oleh mata manusia biasa seperti mahluk di alam neraka, peta, asura, dewa, rupa brahma dan arupa brahma,
kelahiran-kelahiran kembali setelah manusia dan mahluk-mahluk lain (seperti tersebut diatas) meninggal di alamnya masing-masing ke alam-alam kehidupan baru sesuai dengan karma mereka masing-masing.
Dibbasota – kemampuan batin untuk mendengar jauh dan dekat tanpa batas. Ia dapat mendengar suara atau percakapan yang dilakukan oleh manusia maupun mahluk-mahluk lain yang tak terdengar oleh telinga manusia biasa, pada jarak dekat maupun jauh. Beliau pun dapat berkomunikasi dengan semua mahluk.
Cetopariyanana – kemampuan batin untuk membaca pikiran manusia dan mahluk-mahluk lain. Ia dapat mengetahui isi pikiran orang atau mahluk lain sebelum hal itu dikatakan.
Pubbenivasanussati – kemampuan batin untuk mengetahui kehidupan-kehidupan lampau dari semua mahluk, seperti tentang perbuatannya, penyebab kelahirannya, keluarganya, kawan maupun lawannya, adat kebiasaan, makanan dsb. Yang berkenaan dengan semua kondisi mahluk itu. Berdasarkan pada kondisi-kondisi yang lampau itu maka manusia dan mahluk lahir kembali dengan segala kondisi dan potensi yang mereka miliki pada kehidupan sekarang.
Dengan memiliki abhinna ini, beliau mengembangkan pikiran (batin) melihat lebih jauh dan dalam mengenai hidup dan kehidupan ini. Dengan bertumpu pada dasar pemikiran seperti inilah beliau mengembangkan vipassana bhavana (meditasi pandangan terang) dan menembus pengetahuan tentang hukum sebab yang saling bergantungan (paticcasamuppada). Demikian pula selanjutnya, berdasarkan pada pengetahuan yang semakin halus dan dalam tentang paticcasamuppada ini akhirnya beliau menembus pengertian tentang segala sesuatu adalah tidak kekal (anicca), akibatnya hal itu tidak dapat dipertahankan (dukkha) karena memang segala sesuatu itu tidak memiliki jiwa yang kekal (anatta). Dengan merealisasikan semua hal ini beliau dapat (kilesa). Beliau menjadi Buddha pada usia 35 tahun dan merealisasikan nibbana. Jadi nibbana dicapai ketika beliau masih hidup. Nibbana bukanlah alam kehidupan melainkan kondisi atau keadaan batin yang suci.
Proses perkembangan pikiran beliau, dimulai dengan pikiran atau batin manusia dengan segala kapasitasnya yang ada, berkembang menjadi pikiran atau batin yang disertai kemampuan abhinna dan akhirnya mencapai batin yang suci serta menembus semua rahasia kehidupan alam semesta (lokavidu). Beliau pun dikenal sebagai seorang sabbanmu (maha tahu). Kemahatahuan (sabbannu) adalah mengetahui segala sesuatu, tetapi cara mengetahuinya satu hal pada satu saat. Jadi beliau hanya mengetahui satu hal pada satu saat. Bila beliau berkehendak untuk mengetahui obyek yang lain maka beliau akan memfokuskan batinnya pada hal tersebut. Apakah hal itu jauh atau dekat dapat diketahui beliau. Sehingga segala sesuatu satu persatu diketahui beliau. Berdasarkan kondisi batin yang seperti inilah, Sang Buddha membabarkan Buddha Dhamma kepada para dewa dan manusia, sehingga beliau dikenal pula sebagai guru para dewa dan manusia (sattha devamanussa). Beliau mengajarkan bahwa bumi tempat kehidupan manusia bukan hanya sebuah saja melainkan ada banyak sekali bumi di jagad raya ini yang dihuni manusia seperti apa yang dinyatakan beliau dalam Ananda Vagga, Anguttara Nikaya I. Namun segala sesuatu adalah tidak kekal (anicca), maka bumi pun akan hancur dan lenyap. Demikianlah, bumi yang lebih tua akan lenyap lebih dahulu. Bumi kita pun pada suatu saat akan hancur. Tetapi kehancuran bumi kita ini bukan berarti semua bumi di alam semesta akan hancur bersama-sama dengan bumi kita. Ketika bumi kita hancur, bumi-bumi lain masih tetap ada, selanjutnya akan tiba saatnya (gilirannya) bagi bumi-bumi lain itu satu persatu akan hancur pula. Namun proses pembentukkan bumi-bumi baru satu persatu akan muncul pula. Dengan demikian alam semesta kita ini tidak akan kosong dengan bumi-bumi dan manusia yang menghuninya. Proses ketidakkekalan berjalan terus sesuai dengan hukum sebab akibat yang universal (dhammaniyana), tetapi nampaknya massa di alam semesta tetap sama adanya ketetapan massa.
Selanjutnya dalam mempelajari ajaran agama, dalam hal ini mempelajari sutta, kita harus hati-hati sebab kita akan menemukan banyak kata teknis yang sama bunyinya dengan apa yang ada dalam ajaran agama lain. Hal ini bukan berarti bahwa ke dua kata yang sama bunyinya itu, yang berasal dari dua sumber yang berbeda berarti ke dua kata itu sama. Seperti apa yang terdapat dalam sutta ini, yaitu kata “Maha Brahma”. Dalam ajaran Buddha kata “Maha Brahma” ini berarti mahluk dewa Brahma yang terlahir di alam maha brahma karena karmanya sendiri yaitu ia berhasil memiliki atau mencapai tingkat Jhana I yang kuat pada kehidupannya yang lampau dan meninggal pada saat ia mencapai Jhana I itu. Jadi dewa maha brahma ini bukan sama dengan Maha Brahma sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran agama Hindu. Bagi umat Buddha yang ingin belajar Buddha Dhamma, maka membaca dan merenungkan isi Brahmajala sutta ini adalah sangat penting dan bermanfaat sekali. Karena kita dapat membayangkan dan menyadari bahwa dhamma yang diajarkan Sang Buddha kepada kita sekalian adalah sangat halus dan dalam sekali. Hal ini dapat menimbulkan atau membangkitkan semangat kita untuk lebih giat menyimak semua ajaran Sang Tathagata.
BRAHMAJALA SUTTA
Demikianlah yang telah kami dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berjalan di jalan antara kota Rajagaha dan Nalanda, diikuti oleh 500 orang Bhikkhu. Pada saat itu pula Suppiya paribbajaka1) bersama muridnya seorang pemuda bernama Brahmadatta sedang dalam perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda. Ketika itu Suppiya paribbajaka mengucapkan bermacam-macam kata yang merendahkan Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Tetapi sebaliknya muridnya Brahmadatta memuji Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikianlah antara guru dan murid masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, sambil berjalan mengikuti rombongan Sang Bhagava.
Kemudian Sang Bhagava bersama-sama dengan para bhikkhu berhenti dan bermalam di Ambalatthika, tempat peristirahatan raja. Demikian pula Suppiya paribbajaka dan muridnya Brahmadatta berhenti di Ambalatthika. Di tempat itu pula mereka berdua melanjutkan perbincangan mereka tadi.
Pagi harinya, sekelompok bhikkhu berkumpul di Mandalamale2) sambil membicarakan beberapa hal sebagai berikut: “Avuso3), aneh dan sungguh mengherankan bukankah Sang bhagava sebagai seorang Arahat, Sammasambuddha telah melihat dan menyadari serta telah melihat dengan jelas kecenderungan yang beraneka ragam yang ada di dalam diri manusia. Bukankah Beliau mengetahui bagaimana Suppiya paribbajaka merendahkan Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikian pula bukankah Sang Bhagava mengetahui pula pandangan yang berbeda antara guru dan murid yang berjalan mengikuti rombongan Beliau.
Ketika Sang Bhagava mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan, beliau lalu pergi ke Mandalamale, dan duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah duduk beliau bertanya: “Apakah yang kalian sedang bicarakan dan apakah yang menjadi pokok pembicaraan dalam pertemuan ini?” Mereka lalu menceritakan masalah yang mereka bicarakan.
“Para Bhikkhu, bilamana orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan saya4) Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal itu kamu membenci, dendam atau memusuhinya. Bilamana karena hal tersebut kalian marah atau merasa tersinggung, maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan diri kalian, dan mengakibatkan kalian marah dan tidak senang. Apakah kalian dapat merenungkan ucapan mereka itu baik atau buruk?”
“Tidak demikian, Bhante”.
“Tetapi bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan saya, Dhamma dan Sangha, maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, atau itu bukan begitu, hal demikian tidak ada pada kami, dan bukan kami”.
Tetapi para bhikkhu, bilamana orang lain memuji Saya, Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal tersebut kamu merasa bangga, gembira dan bersuka cita. Bila kamu bersikap demikian maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan diri kalian. Bilamana orang lain memuji Saya, Dhamma dan Sangha, maka kamu harus menyatakan apa yang benar dan menunjukkan faktanya dengan mengatakan bahwa, ‘berdasarkan hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian ada pada kami, dan benar pada kami”.
Walaupun hanya hal-hal kecil, hal-hal yang kurang berharga, atau pun karena sila5), maka orang-orang memuji Tathagata6). Apakah hal-hal kecil, hal-hal yang kurang berharga atau pun sila yang menyebabkan orang-orang memuji Tathagata?
Cula Sila
‘Tidak membunuh makhluk, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk, menyebabkan semua orang memuji Sang Tathagata.’
Atau ia berkata: “Tidak mengambil apa yang tidak diberikan, Samana Gotama tidak mau memiliki apa yang bukan kepunyaan-Nya. Ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian. Ia hidup dengan jujur dan suci”7). Atau ia berkata: “Tidak melakukan hubungan kelamin8), Samana Gotama hidup membujang9). Ia menjauhkan diri dari perbuatan yang ternoda dan tidak melakukan hubungan kelamin”.
Atau ia berkata: “Tidak berdusta, Samana Gotama telah menjauhkan diri dari dusta. Ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, dan tidak mengingkari kata-kataNya di dunia”.
Atau ia berkata: “Tidak memfitnah, Samana Gotama menjauhkan diri dari fitnah. Apa yang Ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain yang dapat menyebabkan timbulnya pertentangan dengan orang di tempat ini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakan-Nya di sini sehingga tidak menyebabkan timbulnya pertentangan dengan orang di tempat lain. Dalam hidupnya Ia menyatukan mereka yang berlawanan, mengembangkan persahabatan di antara mereka, pemersatu, mencintai persatuan, menyenangi persatuan, membicarakan kesatuan10). Atau ia berkata: “Tidak mengucapkan kata-kata kasar, Samana Gotama menjauhkan diri dari ucapan-ucapan kasar. Ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, yang menyenangkan, menarik, mengena di hati, sopan, menggembirakan orang dan disukai orang”.Atau ia berkata: “Tidak menghabiskan waktu dengan ceritera yang tidak berguna, Samana Gotama menjauhkan diri dari obrolan tentang hal-hal yang tidak berguna. Ia berbicara pada waktu yang tepat, sesuai dengan kenyataan, bermanfaat, yang berhubungan dengan Dhamma dan Vinaya. Ia berbicara pada saat yang tepat dengan kata-kata yang bermanfaat bagi pendengar dan dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tepat”.
Atau ia berkata: “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan. Ia makan sekali sehari, tidak makan setelah tengah hari atau tidak makan di malam hari. Ia tidak menyaksikan pertunjukan-pertunjukan, tari-tarian, nyanyian dan musik.
Ia tidak menggunakan alat-alat merias, bunga-bunga, wangi-wangian dan perhiasan. Ia tidak menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah. Ia tidak menerima: emas, perak, padi, daging mentah, wanita, budak, biri-biri atau kambing, babi, gajah, sapi, kuda dan unggas. Ia tidak bertani. Ia tidak melakukan perdagangan, penipuan dengan timbangan atau dengan ukuran, penyogokan, penipuan atau pemalsuan, melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya.
Demikianlah para bhikkhu, yang menyebabkan orang-orang memuji sang Tathagata.Majjhima Sila 11)
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap merusak : biji-bijian yang masih dapat tumbuh, akar yang masih dapat tumbuh, potongan, ruas, tunas yang masih dapat tumbuh. Tetapi Samana Gotama hidup dengan tanpa merusak biji-bijian maupun tumbuh-tumbuhan”.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap melakukan penimbunan makanan, minuman, jubah, alat-alat tidur, alat-alat lainnya, wangi-wangian, bumbu makanan.Tetapi Samana Gotama sama sekali tidak mau menimbun barang-barang demikian“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mengunjungi pertunjukan-pertunjukan seperti: tari-tarian, nyanyi-nyanyian, musik tontonan, nyanyian epis, musik, pelafalan syair, permainan tam-tam, drama, akrobat yang dimainkan oleh orang-orang mengadu gajah, kerbau, sapi, kambing, domba, kuda, ayam dan burung; pertandingan dengan menggunakan pemukul, tinju, gulat; perang-perangan, pawai dan parade. Tetapi Samana Gotama sama sekali tidak mau melihat pertunjukan demikian“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap malakukan permainan-permainan atau rekreasi sebagai berikut: permainan dengan papan yang berpetak-petak delapan atau sepuluh baris, permainan dengan melangkah pada diagram yang digariskan di tanah dengan cara hanya melangkah sekali; permainan dengan cara memindahkan benda atau orang dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tanpa melepaskan benda atau orang tersebut; main dadu, kayu pendek dipukul dengan kayu panjang, mencelupkan tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, main bola, meniup pipa yang dibuat dari daun, menggali dengan alat mainan, bersalto, main kincir angin yang dibuat dari daun palem, main kereta-keretaan atau panah-panahan, menebak tulisan di udara atau di punggung seseorang, menebak pikiran orang lain, atau bertingkah laku seperti orang cacad.Tetapi Samana Gotama tidak pernah melakukan permainan-permainan tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah sebagai berikut: dipan yang tinggi, panjang enam kaki dan dapat dipindah-pindahkan; dipan dengan tiang-tiangnya diukir bergambar binatang; menggunakan selimut yang berwarna-warni; menggunakan selimut putih; menggunakan seprei disulam dengan motif bunga-bungaan; menggunakan selimut dari wol dan kapas; menggunakan seprei yang disulam dengan gambar singa atau harimau; menggunakan seprei dengan bulu binatang di kedua tepinya; menggunakan seprei dengan bulu binatang di salah satu tepinya; menggunakan seprei dari sutra; menggunakan selimut yang dapat digunakan oleh enam belas orang; menggunakan selimut gajah, kuda atau kereta; menggunakan selimut antelope yang dijahit; menggunakan selimut dari kulit sebangsa kijang; menggunakan permadani yang berpenutup di atasnya; menggunakan tempat duduk dengan bantal merah untuk kepala dan kaki. Tetapi Samana Gotama tidak menggunakan barang-barang tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap menggunakan perhiasan dan mempercantik diri dengan cara: menggunakan bedak harum, shampoo, mandi dengan bunga-bungaan; tubuh dipukul-pukul secara perlahan dengan tongkat seperti tukang gulat; menggunakan cermin meminyak diri (bukan untuk obat); menggunakan bunga-bungaan, pemerah pipi, kosmetik, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya saja), kotak bulu untuk obat, pedang, penahan sinar matahari, sandal bersulam, turban, perhiasan di dahi, alat mengkebut dibuat dari ekor yak, jubah putih berumbai. Tetapi Samana Gotama tidak menggunakan benda-benda tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap membicarakan hal-hal yang rendah seperti berikut: ceritera tentang kepala negara, menteri, pencuri, peperangan, terror, makanan dan minuman, pakaian, tempat tidur, bunga kalung, wangi-wangian, keluarga, kendaraan, desa, kampung, kota, negara, pertempuran, pahlawan, gosip jalanan, ditempat pengambilah air, setan, yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan dan lautan atau tentang eksistensi dan non eksistensi. Tetapi Samana Gotama tidak membicarakan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap menggunakan kata-kata bantahan, seperti:
“Kamu tidak mengerti dhamma vinaya ini, seperti apa yang saya ketahui. Bagaimanakah kamu dapat mengetahui dhamma vinaya ini? Kamu berpandangan salah. Saya benar”. “Saya bicara langsung ke pokok persoalan, kamu tidak”.
“Kamu membicarakan bagian akhir lebih dahulu daripada bagian permulaan”.
“Apa yang telah kamu persiapkan untuk dibicarakan, itu telah usang”. “Kata-kata bantahanmu diterima”. “Kamu terbukti salah”. “Bebaskanlah dirimu bila kau sanggup”. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan bantahan-bantahan seperti itu“.
Atau ia berkata: “Sementara pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh, sebagai perantara sebagai berikut: perantara raja-raja, menteri, kesatria, brahmana, atau pemuda dengan berkata, ‘pergilah kesana, kesitu, bawalah ini, dan bawalah itu dari sana.Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap melakukan penipuan dengan cara: berkomat-kamit dengan kata-kata tertentu berlaku seperti orang suci, mengusir setan atau kesialan, dan kehausan untuk menambah keuntungan karena serakah. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.Maha Sila 12)
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, yaitu dengan cara yang rendah seperti: meramal nasib orang dengan melihat garis-garis telapak tangan untuk mengetahui umur dan kebahagiaan dan seterusnya; meramal dan melihat untuk mengetahui alamat yang baik dengan mendengarkan halilintar; meramal mimpi; meramal tanda-tanda yang diakibatkan oleh gigitan tikus; melakukan persembahan dengan sekam, bekatul, beras, mentega dan minyak untuk dewa; mempersembahkan biji sesame dengan cara menyembahkannya dari mulut ke api; mengeluarkan darah dari lutut untuk dipersembahkan kepada dewa; melihat pada ruas jari-jari dan lain-lain sesudah itu membaca mantra dan meramalkan apakah orang itu mujur atau sial; menentukan lokasi rumah supaya baik; menasehati cara-cara untuk mengerjakan ladang; mengusir hantu atau setan di kuburan; mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah; mantra ular, mantra tikus; mantra burung; mantra gagak; meramal untuk panjang umur; mantra melepaskan panah; atau membicarakan kehidupan rusa. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah seperti: membicarakan tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dengan benda-benda, dan alamat-alamat dan tanda-tanda yang berkenaan dengan kesehatan atau keberuntungan bagi mereka yang memiliki: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, gendewa, senjata-senjata lainnya; wanita, pria, anak pria, anak perempuan, budak pria atau wanita, gajah, kuda, kerbau, sapi jantan atau betina, biri-biri, biawak, kura-kura, itik, burung dan binatang-binatang lainnya, atau anting-anting. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara yang rendah yaitu meramalkan akibat dari: keberangkatan pemimpin, akan tibanya pemimpin, rumah pemimpin akan diserang dan musuh akan menyerang dan kita akan mundur; pemimpin kita akan menang, musuh kalah, pemimpin kita akan kalah, musuh menang, salah satu pihak akan menang dan pihak lain kalah. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, juga masih tetap mencari pendapatan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah, yaitu meramalkan: adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari dan bulan akan menyimpang dari orbitnya, matahari dan bintang akan kembali pada orbitnya, bintang-bintang akan menyimpang dari orbitnya, bintang-bintang akan kembali pada orbitnya, meteor akan jatuh, hutan akan terbakar, akan terjadi gempa bumi, dewa akan membuat halilintar, matahari, bulan dan bintang-bintang akan terbit atau terbenam, bersinar; kurang bercahaya; atau meramalkan lima belas hal tersebut akan terjadi dan akan mengakibatkan sesuatu. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, juga masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah, yaitu meramalkan: akan ada hujan yang lebat, kurang hujan, panen akan baik atau akan buruk, akan ada kedamaian, akan terjadi kekacauan, akan ada penyakit sampar, akan ada musim yang baik, meramal dengan menghitung-hitung jari, meramal tanpa cara menjumlah dengan cepat; menyusun lagu sanjak, atau membuat masalah menjadi kabur. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah sebagai berikut: menentukan hari baik untuk perkawinan, menentukan hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk pergi, menentukan hari baik untuk keharmonisan, menentukan hari baik untuk perpisahan, menentukan hari baik untuk menagih hutang, menentukan hari baik untuk memberikan pinjaman, menggunakan mantra untuk keberuntungan, menggunakan mantra untuk kesialan, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk menyebabkan orang lain menjadi bisu, menggunakan mantra untuk menghentikan gerak rahang orang lain, menggunakan mantra untuk menggoyang-goyangkan lengan orang lain, menggunakan mantra untuk menyebabkan orang lain menjadi tuli, mencari inspirasi dengan melihat kaca, mencari inspirasi dengan melihat gadis, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari, memuja maha ibu 13), mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewa atau dewi keberuntungan. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari pendapatan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah sebagai berikut: berjanji akan berdana bila keinginannya terkabul, melaksanakan janji itu, mengucapkan mantra dalam rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menambah kejantanan laki-laki, mengucapkan mantra untuk membuat laki-laki menjadi impoten, menentukan tempat yang tepat untuk dijadikan tempat tinggal, mensucikan tempat, melakukan upacara suci mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, melakukan cara untuk menyebabkan orang muntah dan mengosongkan perut, melakukan suatu cara untuk mengurangi sakit kepala, meminyaki telinga orang, merawat mata orang lain, memberikan obat ke hidung orang lain, memberikan collyrium di mata orang lain, memberikan obat ke mata orang lain, berpraktek seperti ocultis, berpraktek seperti dokter bedah, berpraktek seperti dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari akar-akaran, atau membuat obat-obatan. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
Para bhikkhu, inilah hal-hal kecil yang diuraikan dengan terperinci yang berkenaan dengan peraturan-peraturan yang menyebabkan orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada ‘hal-hal lain’ 14), yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas, dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap itulah dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata. Apakah yang dimaksudkan dengan hal-hal lain itu, para bhikkhu?”
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang ajarannya berpedoman pada ‘hal-hal yang telah lampau 15), mendasarkan pandangan atau spekulasi mereka pada hal-hal yang lampau 16), mereka mendasarkan ajaran tersebut dalam delapan belas pandangan. Apakah asal mula dan dasar maka mereka berpandangan demikian?”
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan ‘Eternalis’ 17), dan mereka menyatakan bahwa ‘atta’ 18) dan ‘loka’ 19) adalah kekal, pandangan ini diuraikan dalam empat cara. Apakah asal mula dan dasar maka mereka berpendapat demikian?”
“Pertama, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupan yang lampau pada1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupannya yang lampau, dan berpendapat bahwa, ‘pada kehidupan itu saya mempunyai nama, keluarga, turunan, hidup dengan makanan tertentu, mengalami kesenangan dan penderitaan, hidup dengan usia sepanjang sekian tahun. Kemudian saya meninggal di alam itu dan saya terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia dapat mengetahui kembali dengan jelas tentang kondisi dan situasi dari berbagai alam kehidupannya yang lampau. Dan ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ‘atta’ adalah kekal, loka tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya. Mengapa begitu? Karena dengan usaha, semangat, tekad kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, maka saya dapat memusatkan pikiran, pikiran menjadi tenang, sehingga saya dapat mengingat dengan jelas kondisi dan situasi dari berbagai tempat kehidupanku yang lampau. Berdasarkan pada hal itulah maka saya mengetahui bahwa ‘atta’ adalah kekal dan ‘loka’ tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang, atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap kekal selamanya.
Para bhikkhu, inilah pandangan pertama yang merupakan asal mula dan dasar dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”.
“Kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10 kali masa ‘bumi berevolusi’ 20), dan berpendapat bahwa ‘pada kehidupan itu saya mempunyai nama, keluarga, turunan, hidup dengan makanan tertentu, mengalami kesenangan dan penderitaan, dan hidup dengan usia sepanjang sekian tahun. Kemudian saya meninggal di alam itu dan saya terlahir kembali di sini’. Demikianlah ia dapat mengetahui kembali dengan jelas tentang kondisi dan situasi dari berbagai alam kehidupannya yang lampau. Dan ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa ‘atta’ adalah kekal, loka tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya. Mengapa demikian? Karena dengan semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, maka saya dapat memusatkan pikiran, batin menjadi tenang, sehingga saya dapat mengingat dengan jelas kondisi dan situasi dari berbagai alam kehidupan yang lampau. Berdasarkan pada hal itulah saya mengetahui bahwa ‘atta’ adalah kekal, dan ‘loka’ tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya. Para bhikkhu, inilah pandangan kedua yang merupakan asal mula dan dasar dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”.
“Ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau 10, 20, 30, sampai 40 kali masa ‘bumi berevolusi’, dan berpendapat bahwa, ‘pada kehidupan itu saya mempunyai nama, keluarga, turunan, hidup dengan makanan tertentu mengalami kesenangan dan penderitaan, dan hidup dan usia sepanjang sekian tahun. Kemudian saya meninggal di alam itu dan saya terlahir kembali di sini’. Demikianlah ia dapat mengetahui kembali dengan jelas tentang kondisi dan situasi dari berbagai alam kehidupannya yang lampau. Dan ia berkata kepada diri sendiri bahwa ‘atta’ adalah kekal, loka tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya! Mengapa demikian? Karena dengan semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, maka saya dapat memusatkan pikiran, batin menjadi tenang, sehingga saya dapat mengingat dengan jelas kondisi dan situasi dari berbagai alam kehidupanku yang lampau. Berdasarkan pada hal itulah saya mengetahui bahwa ‘atta adalah kekal’, dan loka tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan tiang yang kokoh, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya.
Para bhikkhu, inilah pandangan ketiga yang merupakan asal mula dan dasar dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”.
“Keempat, para bhikkhu, apakah asal mula dan dasar pandangan yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari para Eternalis? Para bhikkhu, dalam hal ini ada beberapa pertapa dan brahmana yang mendasarkan pandangannya pada pikiran dan logika saja. Ia menyatakan pendapatnya yang didasarkan pada argumentasinya dan dilandaskan pada kesanggupannya saja dan menyatakan bahwa ‘atta’ adalah kekal dan ‘loka’ tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka tetap, kekal selamanya”.
Para bhikkhu, inilah pandangan keempat yang merupakan asal mula dan dasar dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”.
Para bhikkhu, inilah empat pandangan yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal dari beberapa pertapa dan brahmana. Demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan mempertahankan pandangan mereka dengan empat cara ini, atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan itu, dan selain pandangan itu tidak ada lagi pandangan lain”.
Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan tersebut pada waktu akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia merealisasikan jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa manisnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
“Para bhikkhu, inilah hal-hal yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
Catatan :
1)
pertapa
2)
paviliyun
3)
panggilan kepada sesama bhikkhu yang sama kebhikkhuannya atau lebih muda masa kebhikkhuannya.
4)
Buddha
5)
peraturan-peraturan
6)
Tathagata = salah satu julukan dari Sang Buddha.
7)
puthujjano
8)
abrahma cariya
9)
brahmacari (celebacy)
10)
samagga.
11)
peraturan-peraturan
12)
peraturan-peraturan besar
13)
siri – avhayanam
14)
anna dhamma
15)
pubbantakappika
16)
pubbantanuditthino
17)
sassata vada
18)
zat yang kekal dan tidak bersyarat, yang terdapat dalam makhluk atau yang mendasari alam semesta, yang sering diterjemahkan dengan ‘aku’.
19)
alam, bumi, dunia, semesta, jagad.
20)
samvattavivatta, evolusi tentang terjadi dan hancurnya bumi, dst.
—————————————————————————————————————————————————
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan ‘Semi-Eternalis’ 1)pada hal-hal tertentu, dengan empat cara mereka berpendapatan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ ada bagian yang kekal dan ada bagian yang tidak kekal. Apakah asal mula dan dasar mereka berpandangan demikian?
Para bhikkhu, pada suatu masa yang lampau setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, ‘bumi ini belum ada’ 2). Ketika itu umumnya makhluk-makhluk hidup di alam dewa Abhassara 3), di situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Demikianlah, pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu yang lama sekali, bumi ini mulai berevolusi dalam pembentuk, ketika hal ini terjadi alam Brahma 1) kelihatan dan masih kosong. Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang ‘masa hidupnya 2) atau ‘pahala kamma baiknya’ 3) untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma. Disini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya yang melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Karena terlalu lama ia hidup sendirian di situ, maka dalam dirinya muncullah rasa ketidak puasan, juga muncul suatu keinginan, ‘O, semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini! Pada saat itu ada makhluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala kamma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.
Para bhikkhu, berdasarkan itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat : “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada 4). Semua makhluk ini adalah ciptaanku”. Mengapa demikian? Baru saja saya berpikir, ‘semoga mereka datang’, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka makhluk-makhluk ini muncul. Makhluk-makhluk itu pun berpikir, ‘dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. Mengapa? Sebab, setahu kita, dialah yang lebih dahulu berada di sini, sedangkan kita muncul sesudahnya”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini makhluk pertama yang berada di situ memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang sesudahnya.
Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu.
Mereka berkata : “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Masa Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal dan keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas.”
“Para bhikkhu, inilah pandangan pertama tentang asal mula dan dasar dari ajaran beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan – Semi-Eternalis pada hal-hal tertentu, yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ sebagian kekal dan sebagian tidak kekal”.
“Pandangan kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis. Pandangan ini bersumber pada dewa-dewa tertentu yang dinamakan Khiddapadosika 1).
Mereka menghabiskan masa hidup mereka dengan ‘mencari kesenangan dan memuaskan indria’ mereka.
Diakibatkan oleh sifat mereka yang buruk itu dan juga karena tidak dapat mengendalikan diri lagi, maka mereka meninggal di alam tersebut”.
“Para bhikkhu, demikianlah maka ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir di bumi. Setelah berada di bumi ini, mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa, dengan semangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupan mereka yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu.
Mereka berkata : “Dewa-dewa yang tidak ternoda oleh kesenangan adalah tetap kekal abadi selamanya. Tetapi kita yang terjatuh dari alam tersebut, tidak dapat mengendalikan diri karena terpikat pada kesenangan, kita yang terlahir di sini adalah tidak kekal, berubah, dan usia kita pun terbatas”.
Inilah pada bhikkhu, pandangan kedua”.
“Pandangan ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis. Pandangan ini bersumber pada dewa-dewa tertentu yang dinamakan ‘Manopadosika’ 5). Mereka selalu diliputi oleh ‘perasaan iri kepada yang lain’, karena sifat buruk ini maka mereka cemburu atau tidak menyukai dewa yang lain. Akibat dari pikiran yang buruk tersebut maka tubuh mereka menjadi lemah dan bodoh, dan dewa-dewa tersebut meninggal di alam itu”.
“Para bhikkhu, demikianlah maka beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut terlahir kembali di bumi ini, mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan semangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupan yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu”.
Kemudian mereka berkata : “Para dewa yang pikiran mereka tidak ternoda dan tidak diliputi perasaan iri hati kepada yang lain, maka mereka tidak merasa cemburu kepada dewa yang lain, dengan demikian mereka kuat cerdas dan pandai. Maka dengan demikian mereka tidak meninggal atau jatuh dari alam tersebut, mereka tetap kekal abadi, tidak berubah sampai selama-lamanya. Tetapi kita yang memiliki pikiran yang ternoda, selalu diliputi perasaan iri hati kepada yang lain. Karena rasa iri dan cemburu tersebut, maka tubuh kami menjadi lemah, mati dan terlahir ke sini (bumi) sebagai makhluk yang tidak kekal, berubah, dan memiliki usia yang terbatas. Para bhikkhu, inilah pandangan yang ketiga”.
Pandangan keempat, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis. Tetapi dalam hal ini mereka mendasarkan pandangan mereka pada pikiran dan logika. Mereka menyatakan pendapat mereka yang didasarkan pada argumentasi dan dilandaskan pada kesanggupan mereka saja sebagai berikut : ‘yang disebut mata, telinga, hidung, lidah dan jasmani adalah ‘atta’ yang bersifat tidak kekal, tidak tetap, tidak abadi, selalu berubah. Tetapi apa yang dinamakan batin, pikiran atau kesadaran adalah ‘atta’ yang bersifat kekal, tetap abadi dan tidak akan berubah.
Para bhikkhu, inilah pandangan keempat tentang asal mula dan dasar dari ajaran beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis, yang mempertahankan pendapat mereka bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ sebagian kekal dan sebagian tidak kekal”.
“Para bhikkhu, inilah empat paham ajaran yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ sebagian kekal dan sebagian tidak kekal dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis. Demikianlah ajaran mereka dengan empat pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan itu, dan selain pandangan mereka tersebut tidak ada lagi pandangan lain”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadarinya dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut, dan berdasarkan pada pengetahuanNya itu Ia tidak terpikat dan tidak terpengaruh oleh pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan itu. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmat, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
“Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap itulah dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan ‘Ekstensionis’ 6)dengan empat cara mereka berpendapat dan menyatakan bahwa ‘loka’ adalah terbatas dan tidak terbatas. Apakah asal mula dan dasar mereka sehingga berpendapat atau berkesimpulan demikian?”
‘Pandangan pertama para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang karena bersemangat, bertekad, waspada dan sungguh-sungguh bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin mereka menjadi tenang dan berada dalam keadaan ‘membayangkan dunia ini terbatas7). Maka mereka berkata : “Dunia ini terbatas, jalan dapat dibuat mengelilinginya’. mengapa demikian? Karena didasarkan pada semangat, tekad, kewaspadaan dan kesungguhan bermeditasi, maka pikiran kami terpusat, batin kami menjadi tenang, dan kami berada dalam ‘dunia yang nampak terbatas’ 8)
Para bhikkhu, inilah pandangan pertama”.
“Pandangan kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang karena bersemangat bertekad, waspada dan sungguh-sungguh bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin mereka menjadi tenang dan berada dalam keadaan ‘membayangkan dunia ini tidak terbatas’ 9). Maka mereka berkata : “Para pertapa dan brahmana yang menyatakan bahwa dunia ini terbatas sehingga jalan dapat dibuat mengelilinginya adalah salah”.
“Pandangan ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang karena bersemangat bertekad, waspada dan sungguh-sungguh, bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin mereka menjadi tenang dan berada dalam keadaan ‘membayangkan dunia ini ada yang terbatas dan ada yang tidak terbatas 10). Maka mereka berkata : “Para pertapa dan brahmana yang menyatakan bahwa ‘dunia ini terbatas’, dan ‘dunia ini tidak terbatas’ adalah salah”.
“Pandangan keempat, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpendapat dan hanya didasarkan pada pikiran dan logika. Mereka menyatakan pendapat mereka yang didasarkan pada argumentasi mereka dan hanya dilandaskan pada kesanggupan mereka saja, sebagai berikut, ‘dunia ini adalah bukan terbatas ataupun bukan tidak terbatas’ 11). Para pertapa dan brahmana yang menyatakan pendapat pertama, kedua dan ketiga adalah salah. Karena ‘dunia ini bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas’. Para bhikkhu, inilah pandangan keempat”.
“Para bhikkhu, inilah empat paham ajaran yang dianut oleh beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan “Ekstensionis” yang berpendapat dan menyatakan bahwa ‘dunia adalah terbatas’. Demikianlah ajaran mereka dengan empat pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan itu, dan selain pandangan mereka tersebut tidak ada lagi pandangan lain”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai di mana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut, dan berdasarkan pada pengetahuan itu ia tidak terpikat dan tidak terpengaruh oleh pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu. Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap itulah dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang ‘berpandangan dan bersikap berbelit-belit’ 12), bila ditanya suatu hal maka mereka akan menjawab dengan berberlit-belit sehingga membingungkan. Pandangan ini ada empat. Apakah asal mula dan dasar mereka sehingga berpendapat atau berkesimpulan demikian?”
“Pandangan pertama, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan ‘baik atau buruk 13). Ia menyadari, ‘saya tidak mengerti dengan jelas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘baik atau buruk’. Demikianlah bila saya menyatakan bahwa ini baik atau itu buruk, maka saya akan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan, keinginan, kebencian dan dendam. Berdasarkan pada hal tersebut saya akan salah, dan kesalahanku tersebut menyebabkan saya menyesal, dan perasaan menyesal ini menyebabkan suatu penghalang bagiku.
Demikianlah karena rasa takut atau tidak senang pada kesalahan disebabkan menyatakan pendapat, maka ia tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik atau buruk; bila sebuah pertanyaan ditanyakan kepadanya ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan dengan berkata : “Saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan pendapat lain. Saya tidak menyatakan perbedaan pendapat. Saya tidak menolak pendapatmu. Saya tidak mengatakan itu begini atau begitu”. “Para bhikkhu, inilah pandangan yang pertama”.
Pandangan kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan ‘baik atau buruk’, Ia menyadari, ‘saya tidak mengerti dengan jelas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘baik atau buruk’. Demikianlah bila saya menyatakan bahwa ini baik atau itu buruk, maka saya akan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan, keinginan, kebencian dan dendam. Berdasarkan pada hal tersebut maka saya akan terikat pada keadaan batin yang menyebabkan kelahiran kembali, karena ikatanku itu menyebabkan saya menyesal, dan dengan adanya perasaan ini menyebabkan suatu penghalang bagiku.
Demikianlah karena rasa takut atau tidak senang pada kesalahan yang disebabkan karena menyatakan pendapat, maka ia tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik atau buruk; bila sebuah pertanyaan ditanyakan kepadanya ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan dengan berkata : “Saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan pendapat lain. Saya tidak menyatakan perbedaan pendapat. Saya tidak menolak pendapatmu. Saya tidak mengatakan itu begini atau begitu”.
“Para bhikkhu, inilah pandangan yang kedua”.
Pandangan ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan ‘baik atau buruk’. Ia menyadari, ‘saya tidak mengerti dengan jelas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘baik atau buruk’. Tetapi ada pertapa dan brahmana yang pandai, cerdik, berpengalaman dalam perdebatan, pintar mencari kesalahan, pandai mengelak, yang menurut pendapatku dapat menolak spekulasi orang lain dengan kebijaksanaan mereka. Maka bilamana saya menyatakan ini baik atau itu buruk, mereka datang menghadap padaku, memintakan pendapatku, dan menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Karena mereka bersikap demikian kepadaku, maka saya tidak sanggup memberikan jawaban. Dan hal ini akan menyebabkan saya menyesal, rasa penyesalanku ini menjadi suatu penghalang bagiku.
Demikianlah karena rasa takut atau tidak senang pada kesalahan yang disebabkan karena menyatakan pendapat, maka ia tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik atau buruk; bila sebuah pertanyaan ditanyakan kepadanya ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan dengan berkata : “Saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan pendapat lain. Saya tidak menyatakan perbedaan pendapat. Saya tidak menolak pendapatmu. Saya tidak mengatakan itu begini atau begitu”.
“Para bhikkhu, inilah pandangan ketiga”.
“Pandangan keempat, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang bodoh dan dungu. Dan karena kebodohan atau kedunguannya, maka bila ada pertanyaan yang ditanyakan kepadanya, ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan ‘Bila kamu bertanya kepadaku :
a.
1.
Apakah ada ‘loka’ 14) lain? Jikalau saya berpikir ada, saya akan menjawab begitu. Tetapi saya tidak mengatakan demikian. Dan saya tidak berpendapat begini atau begitu. Dan saya juga tidak berpendapat ‘bukan kedua-duanya’. Saya tidak membantahnya. Saya tidak mengatakan ada atau tidak ada dunia lain. Demikianlah ia bersikap berbelit-belit. Begitu pula sikap dan jawaban bila ditanya masalah sebagai berikut :1. Tidak ada dunia lain,
2. Ada dan tidak ada dunia lain,
3. Bukan ada atau pun bukan tidak ada dunia lain.
b.
1.
Ada makhluk yang terlahir secara opapatika 15) tanpa melalui rahim ibu.
2.
Tidak ada makhluk opapatika,
3.
Ada dan tidak ada makhluk terlahir secara opapatika,
4.
Bukan ada atau pun bukan tidak ada makhluk yang terlahir secara opapatika,
c.
1.
Ada buah sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
2.
Tidak ada buah sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
3.
Ada dan tidak ada buah sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
4.
Bukan ada atau pun bukan tidak ada sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
d.
1.
Setelah meninggal Tathagata tetap ada.
2.
Setelah meninggal Tathagata tidak ada.
3.
Setelah meninggal Tathagata ada dan tidak ada.
4.
Setelah meninggal Tathagata bukan ada atau pun bukan tidak ada.
Para bhikkhu inilah pandangan keempat”.
“Para bhikkhu, inilah pendapat atau cara yang berbelit-belit dari beberapa pertapa dan brahmana yang bila ditanya sebuah pertanyaan, maka dengan empat cara mereka menjawab berbelit-belit sehingga orang yang bertanya menjadi bingung. Demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan bersikap begitu dalam empat cara, atau menggunakan salah satu dari cara-cara tersebut. Karena tidak ada cara lain lagi yang dapat mereka lakukan”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini, Tathagata mengetahui sampai di mana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
“Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan mengenai ‘segala sesuatu terjadi secara kebetulan’ 16) dan menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ terjadi atau berbentuk tanpa sebab. Dalam hal ini ada dua pandangan”.
“Para bhikkhu, ada beberapa dewa di alam ‘Asaññasatta’ 17) yang pada saat ada pikiran yang muncul pada diri mereka, mereka meninggal atau lenyap dari alam tersebut. Demikianlah para bhikkhu, ada makhluk yang meninggal dari alam tersebut dan terlahir kembali di bumi ini. Karena hidup di bumi ini, ia meninggalkan kehidupan berumah tangga menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan sungguh-sungguh bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali bagaimana pikiran muncul dalam dirinya (ketika ia hidup sebagai makhluk Asaññasatta) pada satu kehidupannya yang lampau. Ia berkata, ‘atta dan loka’ ini terjadi secara kebetulan saja. Mengapa demikian? Karena dahulu saya tidak ada, tetapi sekarang saya ada. Dahulu tidak ada, sekarang ada!’. Inilah para bhikkhu, pandangan atau paham pertama yang merupakan asal mula dan dasar dari para pertapa atau brahmana yang menyatakan ‘segala sesuatu terjadi secara kebetulan’, dan berpendapat bahwa ‘atta dan loka’ terjadi tanpa adanya sebab”.
Dan bagaimanakah pandangan yang kedua?
“Para bhikkhu, dalam hal ini, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan didasarkan pada pikiran dan logika. Ia menyatakan pendapatnya yang didasarkan pada argumentasinya, dan hanya berlandaskan pada kesanggupannya, sebagai berikut, ‘atta dan loka terjadi tanpa adanya sebab’.
Inilah, para bhikkhu, pandangan yang kedua”.
“Para bhikkhu, inilah dua paham ajaran yang menyatakan bahwa ‘atta dan loka’ terjadi secara kebetulan dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Adhiccasmuppanno. Demikianlah ajaran mereka dengan dua pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan itu dan selain pandangan mereka tersebut tidak ada lagi pandangan yang lain”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini, Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh jangkauannya dari pada pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu. Para bhikkhu inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, inilah ajaran-ajaran yang berpedoman pada ‘hal-hal yang telah lampau 18) dari para pertapa dan brahmana yang mendasarkan ‘pandangan pada hal-hal yang telah lampau19) ajaran ini terbagi dalam delapan belas pandangan atau paham. Demikianlah mereka semua berpandangan seperti itu dan hanya menganuti salah satu dari pandangan-pandangan tersebut. Dan berpendapat bahwa tidak ada lagi pandangan lain yang benar selain pandangan mereka.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai di mana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadarinya dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan.
Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang ajaran mereka berkenaan dengan ‘masa yang akan datang’ 20), berspekulasi mengenai keadaan masa yang akan datang 21). Mereka mendasarkan ajaran tersebut dalam empat puluh empat pandangan. Apakah asal mula dan dasar sehingga mereka berpandangan demikian?”
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang menganut ajaran bahwa ‘sesudah mati kesadaran tetap ada’ 22), pandangan ini berpendapat bahwa sesudah mati ‘atta’ tetap ada; pandangan ini terbagi dalam enam belas pandangan.
Mereka menyatakan tentang ‘atta’ sebagai berikut :
“Sesudah mati, ‘atta’ tetap ada, tidak berubah dan sadar”, dan
1.
mempunyai bentuk (rupa)
2.
tidak berbentuk (arupa)
3.
berbentuk dan tidak berbentuk (rupa dan arupa)
4.
bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n’evarupi narupi)
5.
terbatas (antava atta hoti)
6.
tidak terbatas (anantava)
7.
terbatas dan tidak terbatas (antava caanantavaca)
8.
bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n’evantava nanantava)
9.
Memiliki semacam bentuk kesadaran (ekattasaññi atta hoti)
10.
Memiliki bermacam-macam bentuk kesadaran (nananttasaññi)
11.
memiliki kesadaran terbatas (paritta saññi)
12.
memiliki kesadaran tidak terbatas (appamana saññi)
13.
selalu bahagia (ekanta sukhi)
14.
selalu menderita (ekanta dukkhi)
15.
bahagia dan menderita (sukha dukkhi)
16.
bukan bahagia atau pun bukan menderita (adukkham asukkhi)
“Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang memiliki enambelas pandangan yang mengajarkan bahwa ‘sesudah mati kesadaran tetap ada’. Demikianlah, para bhikkhu, para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan mempertahankan ajaran mereka dengan enambelas pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, dan selain pandangan-pandangan tersebut tidak ada lagi pandangan lain”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
Catatan :
1)
ekacca-sassatika ekacca-asassatika
2)
ayam loko samvattati (bumi ini belum berevolusi untuk terbentuk).
3)
alam dewa brahma yang dicapai sebagai hasil meditasi sampai Jhana II
4)
“Aham asmi Brahma Maha-Brahma abhibhu anabhib bhuto annad-atthu-daso vasavatti issaro katta nimmata settho sanjita vasi pita bhuta-bhavyanam……..
5)
para dewa yang diliputi oleh perasaan iri kepada yang lain.
6)
Antanantika vada
7)
Antasanni lokasmim.
10)
antava ca ayam loko anata ca
11)
n’evayam loko antava na panananto
12)
amaravikkhapika
13)
kusala akusala
14)
dunia, bumi, semesta, jagad
15)
terlahir secara otomatis atau langsung tanpa rahim ibu, misalnya, makhluk-makhluk di alam dewa, asura, peta, dan niraya (neraka)
16)
adiccasamuppanno
17)
alam dewa brahma yang dicapai dengan meditasi sampai Jhana IV, makhluk dewa di alam ini dinyatakan kesadarannya pasif atau diam secara harafiah artinya tanpa kesadaran.
18)
pubbantakapika.
19)
pubbantanuditthino
20)
aparantakappika
21)
uddhamaghatanika sannivada
22)
aparantanuditthino
————————————————————————————————————————————————-
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang ajaran mereka didasarkan pada pandangan bahwa ‘sesudah mati ‘atta’ tidak memiliki kesadaran’ 1) pandangan ini berpendapat bahwa sesudah mati ‘atta’ tidak memiliki kesadaran, ajaran ini terbagi dalam delapan pandangan.
Mereka menyatakan bahwa ‘setelah mati ‘atta’ tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran’ dan
1. berbentuk (rupi)
2. tidak berbentuk (arupi)
3. berbentuk dan tidak berbentuk (rupi ca arupi ca)
4. bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n’eva rupiu narupi)
5. terbatas (antava)
6. tidak terbatas (anantava)
7. terbatas dan tidak terbatas (antava ca anantava ca)
8. bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n’vantava nanantava)
“Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang mengajarkan bahwa ‘sesudah mati ‘atta’ tidak memiliki kesadaran’, yang terbagi dalam delapan pandangan.
Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan mempertahankan ajaran mereka dengan delapan pandangan atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut tidak ada lagi pandangan lain”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu. Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang ajaran mereka didasarkan pada pandangan bahwa ‘sesudah mati ‘atta’ bukan memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa kesadaran 2).
Ajaran ini terbagi dalam delapan pandangan.
‘Apakah asal mula dan dasar sehingga mereka berpandangan demikian?”
Mereka menyatakan bahwa ‘setelah mati ‘atta’ tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran dan
1. berbentuk (rupi)
2. tidak berbentuk (arupi)
3. berbentuk dan tidak berbentuk (rupi ca arupi ca)
4. bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n’eva rupi narupi)
5. terbatas (antava)
6. tidak terbatas (anantava)
7. terbatas dan tidak terbatas (antava ca anantava ca)
8. bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n’evantava nanantava)
“Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang mengajarkan bahwa ‘sesudah mati’ ‘atta’ bukan memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa kesadaran’, yang terbagi dalam delapan pandangan”.
“Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan mempertahankan ajaran mereka dengan delapan pandangan ini, atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut tidak lagi pandangan lain”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan.
Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata. Berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang mengajarkan paham ‘Annihiliassi’ 3). Mereka menyatakan bahwa ‘setelah meninggal dunia ‘makhluk’ itu musnah dan lenyap’. Ajaran ini diuraikan dalam tujuh pandangan. Apakah dasar dan asal mula sehingga mereka berpandangan demikian?”
“Para bhikkhu, pertama, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpendapat dan berpandangan seperti berikut : “Saudara, karena ‘atta’ ini mempunyai bentuk 4) yang terdiri dari ‘empat zat’ 5), dan merupakan keturunan dari ayah dan ibu; bila meninggal dunia, tubuh menjadi hancur, musnah dan lenyap, dan tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Dengan demikian ‘atta’ itu lenyap. Demikianlah pandangan yang menyatakan bahwa ketika makhluk meninggal, ia musnah dan lenyap”.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta itu tidak musnah, sekaligus, karena ada ‘atta’ lain lagi yang luhur, berbentuk, termasuk ‘alat kesenangan inderia’ 6), ‘hidup dengan makanan material’ 7), yang kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui atau telah melihatnya. Setelah ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal dunia makhluk itu binasa, musnah dan lenyap”.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta’ itu tidak musnah sekaligus, karena ada ‘atta’ lain lagi yang luhur, berbentuk, dibentuk oleh pikiran 8), semua bagiannya sempurna, inderianya pun lengkap. ‘Atta’ seperti itu kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya tidak mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, ‘atta’ ini musnah dan lenyap. Setelah itu ‘atta’ tersebut tiada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap”.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak musnah sekaligus. Karena ada ‘atta’ lain lagi yang melampaui ‘pengertian adanya bentuk’ 9) yang telah melenyapkan rasa tidak senang 10), tidak memperhatikan penyerapan-penyerapan lain 11), menyadari ruang tanpa batas, mencapai ‘alam ruang tanpa batas’ 12). ‘Atta’ ini kamu tidak ketahui atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal dunia ‘atta’ ini musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa musnah dan lenyap”.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta’ tidak musnah sekaligus. Karena ada ‘atta’ lain lagi yang melampaui alam Aksanancayatana, menyadari kesadaran tanpa batas, mencapai alam ‘Kesadaran tanpa batas’ 13). Atta ini kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, atta ini musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak musnah sekaligus. Karena ada atta lain yang melampaui alam Viññanañcayatana, menyadari kekosongan, mencapai ‘alam kekosongan’ 14) Atta ini kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, atta ini musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, atta yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak musnah sekaligus. Karena ada atta lain yang melampaui alam Akiñcaññayatana, mencapai alam ‘bukan penyerapan atau pun bukan tidak penyerapan’15). Atta ini kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, atta ini musnah dan lenyap. Setelah itu, atta tersebut tidak ada lagi, dengan demikian atta musnah sama sekali”. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
“Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang berpaham Annihilasi 16), yang memiliki tujuh pandangan dengan berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk binasa, musnah dan lenyap sama sekali.
Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan menyatakan ajaran mereka dalam tujuh pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut tidak ada lagi.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut, pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa manisnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan.
Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata. Berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang memiliki atau menganut ajaran yang menyatakan bahwa ‘Kebahagiaan Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini’17), yang menyatakannya dalam lima pandangan bahwa kebahagiaan mutlak Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini. Apakah asal mula dan dasar sehingga mereka berpandangan demikian?
“Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan seperti berikut : “Bilamana ‘atta’ diliputi oleh kenikmatan, kepuasan lima inderia, maka atta telah mencapai Nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Demikianlah pendapat yang mereka nyatakan mengenai makhluk hidup yang dapat mencapai kebahagiaan mutlak – Nibbana dalam kehidupan sekarang ini”.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, atta seperti yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan karena telah diliputi oleh kenikmatan kepuasan lima inderia berarti atta telah mencapai Nibbana. Mengapa demikian? Karena kepuasan inderia itu tidak kekal, itu masih diliputi penderitaan sebab bersifat berubah-ubah maka dukacita, sedih, kesakitan, derita dan kebosanan muncul. Tetapi bilamana atta bebas dari kesenangan inderia maupun hal-hal buruk’ 18), mencapai dan tetap berada dalam Jhana Pertama 19), keadaan yang menggiurkan, ‘disertai perhatian, dan penyelidikan’ 20), maka dengan ini atta mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana dalam kehidupan sekarang ini”. Demikianlah mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak – Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini.
“Orang lain berkata kepadanya : “Saudara ‘atta’ seperti yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan dengan keadaan begitu berarti telah mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana. Mengapa demikian? Karena selama kita masih diliputi oleh proses berpikir atau perhatian dan menyelidik, berarti itu masih kasar. Tetapi bilamana ‘atta’ terbebas dari perhatian dan menyelidik, mencapai dan berada dalam Jhana II, keadaan pikiran terpusat dan seimbang, penuh kegiuran dan bahagia 21). Maka dengan ini ‘atta’ mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Demikianlah mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ seperti yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan dengan keadaan begitu berarti telah mencapai kebahagiaan mutlak. Nibbana. Mengapa demikian? Karena selama kita masih diliputi oleh kegiuran dan kenikmatan, itu berarti masih kasar. Tetapi bilamana ‘atta’ terbebas dari keinginan dan kegiuran; pikiran terpusat, seimbang, penuh perhatian, berpengertian jelas 22), dan tubuh mengalami kebahagiaan yang dikatakan oleh para ariya sebagai keseimbangan yang disertai perhatian dan pengertian jelas, mencapai dan berada dalam Jhana III. Maka dengan ini ‘atta’ mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Demikianlah mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini”.
Orang lain berkata kepadanya : “Saudara atta seperti yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan dengan keadaan begitu berarti telah mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana. Mengapa demikian? Karena selama kita masih diliputi rasa kebahagiaan, itu berarti masih kasar. Tetapi bilamana ‘atta’ terbebas dari rasa kebahagiaan dan derita 23)setelah lebih dahulu melenyapkan kesenangan dan kesedihan 24) mencapai dan berada dalam Jhana IV disertai pikiran terpusat dan seimbang, tanpa adanya kebahagiaan atau pun penderitaan 25). Maka dengan ini ‘atta’ mencapai kebahagiaan ini. Demikianlah mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini”.
Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang terpaham ajaran Ditta dhamma nibbana vada yang menyatakan ajaran mereka dalam lima pandangan, bahwa ‘kebahagiaan mutlak Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini’ oleh semua makhluk.
Demikianlah, para bhikkhu, para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan menyatakan ajaran mereka dalam tujuh pandangan ini, atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut, tidak ada lagi pandangan lain.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata. Berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang ajaran mereka berkenaan dengan ‘masa akan datang’ 26), berspekulasi mengenai masa yang akan datang. Mereka menyatakan bermacam-macam ajaran mengenai ‘Keadaan masa yang akan datang’ dalam empatpuluh empat pandangan.
Demikianlah para bhikkhu, para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat serta menyatakan pandangan mereka dalam empatpuluh empat pandangan tersebut atau menggunakan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut. Dan berpendapat bahwa selain pandangan mereka tidak ada lagi pandangan lainnya.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa manisnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu. Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang berpandangan, berpaham atau berspekulasi mengenai masa yang lampau’ 27)dan yang berpandangan, berpaham atau berspekulasi mengenai masa yang akan datang’ 28), dalam enampuluh dua pandangan kedua kelompok paham tersebut menguraikan spekulasi mereka mengenai masa yang telah lampau dan masa yang akan datang”.
“Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat serta menyatakan pandangan mereka mengenai keadaan yang lampau dan yang akan datang dalam enampuluh dua pandangan atau menggunakan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut. Dan mereka berpendapat selain pandangan mereka tidak ada lagi pandangan lainnya.
“Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
“Para bhikkhu, dari semua pandangan tersebut, ada para pertapa dan brahmana yang berpaham :
1.
Eternalis (sassata vada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ 29)adalah kekal dengan empat pandangan.
2.
Semi-Eternalis (sassata-asassata vada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah sebagian kekal dan sebagian tidak kekal, dengan empat pandangan.
3.
Ekstensionis (antanantika) yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah terbatas dan tak terbatas, dengan empat pandangan.
4.
Berbelit-belit (amaravikkhepika), yang bilamana sebuah pertanyaan ditanyakan kepada mereka, mereka akan menjawabnya dengan cara yang berbelit-belit, sehingga membingungkan, dengan empat pandangan.
5.
Asal mula sesuatu terjadi adalah secara kebetulan (adhiccasamuppanika), yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ terjadi tanpa adanya suatu sebab, dengan dua pandangan.
Mereka semua itulah yang berpaham pada ‘keadaan masa yang lampau’!
6.
Setelah meninggal kesadaran tetap ada (uddhamaghatanikasaññavada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ tetap hidup terus setelah meninggal, dengan enam belas pandangan.
7.
Setelah meninggal tanpa kesadaran (uddhamaghatanika asaññi vada) yang menyatakan bahwa setelah meninggal ‘atta’ adalah tanpa kesadaran, dengan delapan pandangan.
8.
Setelah meninggal ‘ada kesadaran dan tanpa kesadaran’ (uddhamaghatanika n’evasaññi nasaññi vada) yang menyatakan bahwa setelah meninggal ‘atta’ adalah memiliki kesadaran dan tanpa kesadaran, dengan delapan pandangan.
9.
Annihilasi (ucchedavada) yang menyatakan bahwa setelah meninggal makhluk binasa, hancur dan lenyap, dengan tujuh pandangan.
10.
Mencapai kebahagiaan mutlak dalam kehidupan sekarang ini (ditthadhammanibbanavada) yang menyatakan bahwa Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, dengan lima pandangan.
Pandangan-pandangan mereka itu hanya didasarkan pada perasaan sendiri yang disebabkan oleh kekhawatiran dan ragu-ragu akan akibatnya, karena para pertapa dan brahmana tersebut tidak mengetahui, tidak melihat dan masih diliputi oleh bermacam-macam keinginan (tanha).
Pandangan-pandangan mereka itu hanya didasarkan pada kontak inderia saja.
Bilamana mereka mengalami perasaan tertentu tanpa adanya kontak dengan inderia maka keadaan demikian itu tidak ada.
Mereka semua menerima perasaan-perasaan tersebut melalui kontak yang berlangsung terus menerus dengan (saraf) penerima (dari inderia-inderia). Berdasarkan pada perasaan-perasaan (vedana) muncul keinginan (tanha), karena adanya, keinginan muncul kemelekatan (upadana) karena adanya kemelekatan muncul proses menjadi (bhava), karena adanya proses menjadi muncul kelahiran (jati), karena kelahiran terjadi kematian (marana), kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesusahan dan putus asa (soka parideva dukkha domanassa upayasa).
Bilamana seorang bhikkhu mengerti hal itu sebagaimana hakikatnya, asal mula dan akhirnya, kenikmatan, bahaya dan cara membebaskan diri dari pemuasan enam inderianya, maka ia dapat mengetahui apa yang termulia dan tertinggi dari kesemuanya itu.
“Para bhikkhu, siapa pun, apakah ia pertapa dan brahmana yang ajaran atau paham mereka berkenaan dengan keadaan masa yang lampau atau berkenaan dengan keadaan masa yang akan datang, atau pun berpaham kedua-duanya berspekulasi mengenai keadaan yang lampau dan yang akan datang, yang dengan bermacam-macam dalil menerangkan tentang keadaan yang lampau dan keadaan yang akan datang, mereka semua terjerat di dalam jala enampuluh dua pandangan ini. Dengan bermacam-macam keadaan mereka tercemplung dan berada di dalamnya, dan dengan bermacam-macam cara mereka melakukan usaha untuk melepaskan diri, tetapi sia-sia karena mereka terjerat di dalamnya. Para bhikkhu, bagaikan penjala ikan yang pandai akan menjala di sebuah kolam kecil dengan sebuah jala yang baik, berpikir: Ikan apa pun yang berada dalam kolam ini, walaupun ikan-ikan itu berusaha untuk melepaskan diri, tetap semuanya akan terperangkap di dalam jala ini”.
“Para bhikkhu, bagi Dia yang di luar jala. Ia telah mencapai kesempurnaan, Tathagata, yang sedang berada di depan kamu, karena semua belenggu pengikat, penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya. Selama kehidupan jasmaniahNya masih ada, maka selama itu para dewa dan manusia dapat melihatNya. Tetapi bilamana kehidupan jasmaniahNya terputus di akhir masa kehidupanNya maka para dewa dan manusia tidak akan dapat melihatNya lagi. Para bhikkhu, bagaikan sebatang pohon mangga yang ditebang, maka semua buahnya yang ada di pohon tersebut mengikutinya. Demikian pula, walaupun tubuh jasmaniah dari Dia yang telah mencapai kesempurnaan, Tathagata, masih berada di depan kamu, namun demikian semua belenggu penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya. Semua kehidupan jasmaniahNya masih ada, maka selama itu pula para dewa dan manusia dapat melihatNya. Tetapi bilamana kehidupan jasmaniahNya terputus (meninggal) diakhir masa kehidupanNya, maka para dewa dan manusia tidak dapat melihatnya lagi”.
Setelah Beliau bersabda demikian, lalu bhikkhu Ananda berkata kepada Sang Bhagava : “Bhante, sangat mengagumkan! Sangat mentakjubkan! Apakah nama uraian Dhamma kebenaran ini?” Ananda, kau dapat menamakan uraian ini sebagai Atthajala 30), Dhammajala31) Brahmajala 32) Ditthijala 33) atau Sangamavijayo 34).
Demikianlah khotbah Sang Bhagava, dan para bhikkhu dengan hati yang gembira memuji uraian Sang Bhagava. Di akhir khotbah ini seribu ‘sistem dunia’ 35) bergetar.
Catatan :
1)
uddhamaghatanika asanni vada
2)
uddham aghatanika n’eva sanni nasanni vada.
3)
ucchedavada – musnah total.
4)
rupa – jasmani
5)
catummahabhutarupa
6)
kamavacaro
7)
kavalinkaraharabhakkho
8)
manomaya.
9)
rupesanna.
10)
pathigasanna.
11)
nanattasanna.
12)
akasanancayatana.
13)
vinnanancayatana.
14)
akincannayatana.
15)
N’evasanna nasannayatana.
16)
Ucchedavada – musnah total.
17)
ditthadhammanibbanavada.
18)
akusala dhamma.
19)
keadaan dimana pikiran terpusat pada waktu meditasi.
20)
savittaka savicara.
21)
cetaso ekodi-bhava, vupasamo, piti, sukha.
22)
sato ca sampajano.
23)
sukhassa ca pahana dukkhassa ca pahana.
24)
somanassa domanassa.
25)
adukkha asukham.
26)
aparantakappika.
27)
pubbantanuditthino
28)
aparantakappika
29)
bumi, dunia, semesta, jagad.
30)
jala bermanfaat.
31)
jala kebenaran.
32)
jala agung.
33)
jala pandangan.
34)
jala kemenangan di medan pertempuran.
35)
loka dhatu.
http://www.samaggi-phala.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar