Senin, 09 Januari 2012

BAB SEPULUH



Kelompok Sepuluh




182. Manfaat-manfaat Perilaku Bermoral
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta di Vihara Anathapindika. Pada waktu itu Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi, memberi hormat kepada Beliau dan bertanya:1
“Bhante, apakah manfaat perilaku bermoral, dan apakah perolehannya?”
Tidak adanya penyesalan, Ananda, adalah manfaat dan perolehan perilaku bermoral.”
“Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari tidak adanya penyesalan?”
Kegembiraan, Ananda.”
“Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari kegembiraan?”
Sukacita.”
“Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari sukacita?”
Ketenangan.”"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari ketenangan?”
Kebahagiaan.”
“Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari kebahagiaan?”
Konsentrasi pikiran.”
“Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari konsentrasi?”
“Pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya.”
“Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya?”
Rasa muak dan hilangnya nafsu.”
“Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari rasa muak dan hilangnya nafsu?”
“Pengetahuan dan pandangan akan pembebasan.”
“Demikianlah, Ananda, perilaku bermoral memberikan tidak adanya penyesalan sebagai manfaat dan perolehannya; tdak adanya penyesalan memberikan kegembiraan sebagai manfaat dan perolehannya; kegembiraan memberikan sukacita sebagai manfaat dan perolehannya; sukacita memberikan ketenangan sebagai manfaat dan perolehannya; ketenangan memberikan kebahagiaan sebagai manfaat dan perolehannya; kebahagiaan memberikan konsentrasi sebagai manfaat dan perolehannya; konsentrasi memberikan pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya sebagai manfaat dan perolehannya; pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya memberikan rasa muak dan hilangnya nafsu sebagai manfaat dan perolehannya; rasa muak dan hilangnya nafsu memberikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan sebagai manfaat dan perolehannya. Dengan demikian Ananda, perilaku bermoral membawa kita selangkah demi selangkah menuju yang tertinggi.”
(X, 1)
183. Keabsahan Kemajuan
Bagi orang yang bermoral dan memiliki kemoralan, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga tidak ada penyesalan yang muncul di dalam diriku.” Sudah merupakan hukum alam, para bhikkhu, bahwa tidak akan ada penyesalan yang muncul di dalam diri orang yang bermoral.
Bagi orang yang bebas dari penyesalan, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga kegembiraan muncul di dalam diriku!” Sudah merupakan hukum alam bahwa kegembiraan akan muncul di dalam diri orang yang bebas dari penyesalan.
Bagi orang yang gembira di dalam hati, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga sukacita muncul di dalam diriku!” Sudah merupakan hukum alam bahwa sukacita akan muncul di dalam diri orang yang gembira di dalam hati.Bagi orang yang bersukacita, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga tubuhku tenang!” Sudah merupakan hukum alam bahwa tubuh akan tenang bila orang bersukacita.
Bagi orang yang tubuhnya tenang, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga aku merasakan kebahagiaan!” Sudah merupakan hukum alam bahwa orang yang tenang akan merasakan kebahagiaan.
Bagi orang yang bahagia, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga pikiranku terkonsentrasi!” Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang bahagia bahwa pikirannya akan terkonsentrasi.
Bagi orang yang memiliki konsentrasi, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga aku mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya!” Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang pikirannya terkonsentrasi untuk mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya.
Bagi orang yang mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga aku mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu!” Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya untuk mengalamirasa muak dan hilangnya nafsu.
Bagi orang yang mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga aku merealisasikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan!” Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu untukmerealisasikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan.
Demikianlah, para bhikkhu, rasa muak dan hilangnya nafsu memberikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan sebagai manfaat dan perolehannya … (berlanjut sama seperti bagian atas, kembali ke) … perilaku bermoral memberikan tidak adanya penyesalan sebagai manfaat dan perolehannya.
Demikianlah, para bhikkhu, kualitas-kualitas sebelumnya mengalir ke dalam kualitas-kualitas berikutnya; kualitas-kualitas berikutnya membawa kualitas-kualitas sebelumnya menuju kesempurnaan, untuk pergi dari pantai sebelah sini ke pantai seberang.2
(X, 6)
184. Pengalaman Meditatif tentang Nibbana – I
Pada suatu ketika Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi dan bertanya:
“Dapatkah, Bhante, seorang bhikkhu mencapai tingkat konsentrasi pikiran yang sedemikian sehingga di bumi, dia tidak mencerap bumi, di air dia tidak mencerap air, demikian juga di api … udara … landasan ruang tanpa-batas … landasan kesadaran tanpa-batas … landasan ketiadaan … landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi dia tidak mencerap semua ini; dan tidak pula dia mencerap dunia ini atau dunia sesudahnya tetapi walaupun demikian tetap saja dia mencerap?”3
“Ya, Ananda, dapat tercapai tingkat konsentrasi pikiran yang sedemikian itu sehingga di bumi seorang bhikkhu tidak mencerap bumi … tidak pula dia mencerap dunia ini atau dunia sesudahnya tetapi walaupun demikian tetap saja dia mencerap.”
“Tetapi bagaimana, Bhante, seorang bhikkhu dapat mencapai tingkat konsentrasi pikiran seperti itu?”
“Di sini, Ananda, bhikkhu itu menyadari dan merasakan demikian ini: ‘Inilah kedamaian, inilah yang luar biasa, yaitu berhentinya semua bentukan, lepasnya semua perolehan, hancurnya keserakahan, hilangnya nafsu, berhenti, Nibbana.’ Dengan cara inilah, Ananda, bhikkhu itu bisa mencapai tingkat konsentrasi pikiran seperti itu.”4
(X, 6)
185. Pengalaman Meditatif tentang Nibbana – II
Pada suatu ketika Y.M. Ananda menghampiri Y.M. Sariputta dan bertanya:
“Sahabat Sariputta, dapatkah seorang bhikkhu mencapai tingkat konsentrasi pikiran yang sedemikian sehingga di bumi dia tidak mencerap bumi … (seperti di atas) … tidak pula dia mencerap dunia ini atau dunia sesudahnya – tetapi walaupun demikian tetap saja dia mencerap?”
“Ya, sahabat Ananda, tingkat konsentrasi pikiran seperti itu dapat dicapai.”
“Tetapi, sahabat Sariputta, bagaimana seorang bhikkhu dapat mencapai tingkat konsentrasi pikiran seperti itu?”
“Sahabat Ananda, dahulu aku pernah tinggal di sini, di Savatthi, di Hutan Gelap. Di situ aku mencapai tingkat konsentrasi pikiran yang sedemikian sehingga di bumi aku tidak mencerap bumi… (seperti di atas) … tidak pula aku mencerap dunia ini atau dunia sesudahnya – tetapi walaupun demikian tetap saja aku mencerap.”
“Tetapi pada waktu itu apa yang dicerap oleh Y.M. Sariputta?”
“‘Nibbana adalah berhentinya dumadi, Nibbana adalah berhentinya dumadi’5 – satu persepsi seperti itu muncul di dalam diriku dan persepsi seperti itu lainnya lenyap. Sama halnya, Sahabat Ananda, seperti dari api korek api satu nyala muncul dan satu nyala lainnya lenyap, demikian pula, ‘Nibbana adalah berhentinya dumadi, Nibbana adalah berhentinya dumadi’ satu persepsi seperti itu muncul di dalam diriku dan persepsi seperti itu lainnya lenyap. Pada saat itu, sahabat, aku mencerap bahwa Nibbana adalah berhentinya dumadi.”
(X, 7)
186. Pujian terhadap Ketekunan
Para bhikkhu, di antara semua makhluk hidup – baik yang tak-berkaki atau berkaki dua, dengan empat kaki atau berkaki banyak, yang berbentuk maupun tanpa-bentuk, yang berpencerapan, tanpa-pencerapan atau tidak-berpencerapan-pun-tidak-tanpa-pencerapan – Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya.6 Demikian pula, apa pun keadaan-keadaan bajik yang ada, semuanya berakar pada ketekunan, menyatu pada ketekunan, dan ketekunan dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya.
Sama seperti jejak kaki semua makhluk hidup yang bergerak dapat masuk ke dalam jejak kaki gajah, dan jejak kaki gajah dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya, yaitu karena besarnya jejak kaki gajah, demikian pula apa pun keadaan-keadaan bajik yang ada, semuanya berakar pada ketekunan.
Sama seperti semua tiang penyangga atap runcing mengarah ke ujung atap, menanjak ke ujung atap, menyatu ke ujung atap, dan ujung atap itu dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya …. Sama seperti, dari semua akar wangi, akar bergetah hitam dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya …. Sama seperti, dari semua kayu wangi, kayu cendana merah dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya …. Sama seperti, dari semua bunga wangi, melati dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya…. Sama seperti semua pangeran kecil merupakan pengikut penguasa dunia, dan penguasa dunia dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya7 …. Sama seperti sinar semua bintang tidak ada seperenambelas bagian sinar rembulan, dan sinar rembulan dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya …. Sama seperti di musim gugur, ketika langit bersih tak berawan, matahari bersinar di atas cakrawala, menghapus semua kegelapan di langit pada saat matahari bersinar, bercahaya dan memancar …. Sama seperti sungai besar yang ada – Sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu, Mahi – semuanya menuju samudera, melandai, meluncur dan mengarah ke samudera, dan samudera dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya, demikian pula apa pun keadaan bajik yang ada, semuanya berakar pada ketekunan, menyatu pada ketekunan, dan ketekunan dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya.
(X, 15)
187. Sepuluh Kediaman yang Mulia
Pada suatu ketika Yang Terberkahi tinggal di antara orang-orang Kuru. Di situ ada sebuah kota Kuru bernama Kammasadamma. Di sana Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu demikian:
“O para bhikkhu, ada sepuluh kediaman mulia. Di situlah para mulia telah tinggal di masa lampau, di situlah mereka tinggal di masa kini, dan di situlah mereka akan tinggal di masa mendatang. Apakah yang sepuluh itu? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu telah meninggalkan lima faktor, memiliki enam faktor, memiliki satu penjaga tunggal, memiliki empat pendukung, telah menghalau banyak kebenaran yang terpisah-pisah, telah berhenti mencari, telah menjernihkan pemikirannya, telah menenangkan bentukan tubuh, serta telah terbebas di dalam pikiran dan telah terbebas oleh kebijaksanaan.
(1) “Dan bagaimana seorang bhikkhu telah meninggalkan lima faktor? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu telah meninggalkan nafsu indera, niat jahat, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan dan kecemasan, serta keraguan. Demikianlah dia telah meninggalkan lima faktor.
(2) “Dan bagaimana seorang bhikkhu memiliki enam faktor? Di sini, para bhikkhu, setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menjadi senang ataupun sedih, melainkan hidup tenang seimbang, waspada dan memahami dengan jelas. Dan demikian pula ketika dia mendengar suara dengan telinga, mencium bau dengan hidung, mencerap rasa dengan lidah, menyentuh benda dengan tubuhnya, atau mengenali objek pikiran dengan pikiran. Dengan cara inilah dia memiliki enam faktor.
(3) “Dan bagaimana seorang bhikkhu memiliki seorang penjaga tunggal? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memiliki pikiran yang dijaga oleh kewaspadaan. Dengan cara inilah dia memiliki seorang penjaga tunggal.
(4) “Dan bagaimana seorang bhikkhu memiliki empat pendukung? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menggunakan beberapa hal setelah perenungan, menanggung beberapa hal setelah perenungan, menghindari beberapa hal setelah perenungan, dan menghalau beberapa hal setelah perenungan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki empat pendukung.8
(5) “Dan bagaimana seorang bhikkhu menghalau banyak kebenaran yang terpisah-pisah? Di sini, para bhikkhu, ada banyak kebenaran yang terpisah-pisah yang dikukuhi oleh berbagai petapa dan brahmana, misalnya: ‘Dunia itu kekal’ atau ‘Dunia itu tidak kekal’; ‘Dunia itu terbatas’ atau ‘Dunia itu tidak terbatas’; ‘Jiwa itu satu hal dan tubuh itu hal lain’ atau ‘Jiwa dan tubuh itu sama’; ‘Tathagata tetap ada setelah kematian’ atau ‘Tathagata tidak lagi ada setelah kematian’ atau ‘Tathagata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau ‘Tathagata bukan ada pun bukan tiada setelah kematian’.9Seorang bhikkhu telah membuang semua ini, menghalaunya, meninggalkannya dan menolaknya, melepas, menghapus dan keluar dari semua itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menghalau banyak kebenaran yang terpisah-pisah.
(6) “Dan bagaimana seorang bhikkhu telah berhenti mencari? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu telah meninggalkan pencarian kesenangan indera dan pencarian untuk dumadi serta telah menghentikan pencarian untuk kehidupan suci. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah berhenti mencari.
(7) “Dan bagaimana seorang bhikkhu telah menjernihkan pemikirannya? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu telah meninggalkan pemikiran sensual, pemikiran niat jahat dan pemikiran kekerasan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menjernihkan pemikirannya.
(8) “Dan bagaimana seorang bhikkhu telah menenangkan bentukan tubuh? Di sini, para bhikkhu, dengan meninggalkan kesenangan dan penderitaan, dan dengan telah hilangnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, seorang bhikkhu memasuki dan tinggal di jhana keempat, yang tidak menyakitkan atau pun menyenangkan dan mencakup pemurnian kewaspadaan oleh ketenang-seimbangan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menenangkan bentukan tubuh. 10
(9) “Dan bagaimana seorang bhikkhu telah terbebas di dalam pikiran? Di sini, para bhikkhu, pikiran seorang bhikkhu telah terbebas dari nafsu, kebencian dan kebodohan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah terbebas di dalam pikiran.
(10) “Dan bagaimana seorang bhikkhu telah terbebas oleh kebijaksanaan? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memahami: ‘Nafsu, kebencian dan kebodohan telah kutinggalkan, dipotong di akarnya, dibuat gersang seperti tunggul-punggur pohon palem, dihancurkan sehingga tidak akan muncul di masa mendatang.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah terbebas oleh kebijaksanaan.
“Siapa pun para mulia di masa lampau, O para bhikkhu, yang tinggal di kediaman mulia, semuanya tinggal di dalam sepuluh kediaman mulia ini. Siapa pun para mulia di masa mendatang yang akan tinggal di kediaman mulia, semuanya akan tinggal di dalam sepuluh kediaman mulia ini. Siapa pun para mulia di masa kini yang tinggal di kediaman mulia, semuanya tinggal di dalam sepuluh kediaman mulia ini.
“Inilah, para bhikkhu, sepuluh kediaman mulia tempat para mulia telah tinggal di masa lampau, tinggal di masa kini, dan akan tinggal di masa mendatang.”
(X, 20)
188. Raungan Singa Sang Buddha
Para bhikkhu, singa – si raja binatang buas keluar dari sarangnya di malam hari. Kemudian ia menggeliat, mengamati empat penjuru di sekelilingnya, dan tiga kali menyuarakan raungan singanya.11 Mengapa? (Dia melakukan hal itu dengan berpikir:) “Semoga aku tidak menyebabkan kematian makhluk-makhluk kecil yang berkeliaran!”
“Sang Singa” – ini, para bhikkhu, adalah nama untuk Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Telah Sepenuhnya Tercerahkan. Para bhikkhu, ketika Sang Tathagata menjelaskan Dhamma secara terperinci di sekumpulan orang, itulah raungan singanya.
Para bhikkhu, ada sepuluh kekuatan Tathagata 12 yang dimiliki Sang Tathagata. Dan karena memilikinya, maka Sang Tathagata mendapat kedudukan tertinggi, mengeluarkan raungan singanya di sekumpulan orang dan memutar Roda Dhamma 13 tertinggi. Apakah sepuluh kekuatan itu?
(1) Di sini, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, penyebab sebagai penyebab dan bukan-penyebab sebagai bukan-penyebab14 Inilah kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata, yang menjadi alasan mengapa Beliau mendapat kedudukan tertinggi, mengeluarkan raungan singanya di sekumpulan orang, dan memutar Roda Dhamma tertinggi.
(2) Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, lewat penyebab dan kondisi akar,15hasil tindakan-tindakan yang dilakukan di masa lalu, masa mendatang dan masa kini. Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(3) Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, jalan yang menuju pada semua keberadaan.16 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(4) Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, dunia dengan segala elemennya yang berbeda-beda.” 17 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(5) Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, kecenderungan-kecenderungan semua makhluk18 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(6) Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, kondisi-kondisi kemampuan batin yang rendah dan tinggi dari makhluk-makhluk lain, dan orang-orang lain19 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(7) Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, mengenai jhana-jhana, pembebasan, konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif, kelemahan-kelemahan dan kemurniannya, dan kemunculannya dari itu semua.20 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(8) Kemudian, Sang Tathagata mengingat kehidupan-kehidupan masa lalunya yang banyak jumlahnya, yaitu satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, berkalpa-kalpa pengerutan dunia, berkalpa-kalpa pengembangan dunia, berkalpa-kalpa pengerutan dan pengembangan dunia … (seperti dalam Teks 41) … Demikianlah dengan aspek-aspek dan hal-hal khusus Beliau mengingat kehidupan-kehidupan masa lalu yang banyak jumlahnya. Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(9) Kemudian, dengan mata dewa yang telah dimurnikan dan mengungguli manusia, Sang Tathagatamelihat makhluk-makhluk mati dan muncul kembali, yang lebih rendah dan lebih tinggi, yang elok dan buruk, dengan tempat tujuan yang baik atau buruk. Beliau memahami keadaan makhluk-makhluk sesuai dengan perbuatan mereka … (seperti dalam Teks 41) … Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(10) Kemudian, Sang Tathagata, dengan hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tak-ternoda, pembebasan oleh kebijaksanaan, setelah menyadarinya sendiri lewat pengetahuan langsung. Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata, yang menjadi alasan mengapa Beliau mendapat kedudukan tertinggi, mengeluarkan raungan singanya di sekumpulan orang, dan memutar Roda Dhamma tertinggi.
Para bhikkhu, inilah sepuluh kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata. Dan karena memilikinya, maka Sang Tathagata mendapat kedudukan tertinggi, mengeluarkan raungan singanya di sekumpulan orang, dan memutar Roda Dhamma tertinggi.
(X, 21)
189. Istilah-istilah Doktrin
Pada suatu ketika Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada Beliau, Y.M. Ananda duduk di satu sisi. Kemudian Yang Terberkahi berkata kepada Y.M. Ananda demikian:
“Di sini, Ananda, aku yakin mengenai semua hal yang membawa menuju realisasi lewat pengetahuan langsung tentang istilah-istilah doktrin, 21 dan kunyatakan, aku mengajarkan Dhamma tentang hal-hal ini dengan cara khusus sehingga orang yang bertindak sesuai dengannya akan mengetahui yang nyata sebagai yang nyata dan yang tidak nyata sebagai yang tidak nyata; dia akan mengetahui yang rendah sebagai yang rendah dan yang luar biasa sebagai yang luar biasa; dia akan mengetahui apa yang bisa dilampaui sebagai yang bisa dilampaui dan yang tidak bisa dilampaui sebagai yang tidak bisa dilampaui; dan ada kemungkinan dia akan mengetahui, memahami dan merealisasikannya sebagaimana hal itu seharusnya diketahui, dipahami dan direalisasikan.
“Tetapi, Ananda, itu adalah pengetahuan tertinggi, yaitu pengetahuan tentang semua hal seperti apa adanya. Dan kukatakan, Ananda, tidak ada pengetahuan yang lebih tinggi dan lebih luar biasa daripada ini.
(Berikutnya adalah pengulangan lengkap teks tentang sepuluh kekuatan Tathagata seperti di dalam sutta sebelumnya.)
(X, 22; intisari)
190. Ketidakkekalan Universal
(1) Para bhikkhu, sejauh ada orang Kasi 22 dan Kosala, sejauh kerajaan Raja Pasenadi dari Kosala membentang, Raja Pasenadi dari Kosala menduduki tempat tertinggi. Tetapi bahkan pada Raja Pasenadi pun perubahan 23 terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik, dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi 24 apalagi terhadap yang rendah.
(2) Para bhikkhu, sejauh matahari dan bulan berputar dan menerangi semua arah dengan sinarnya, seribu sistem sejauh itu pulalah dunia ini membentang. Dan di dalam seribu sistem dunia ini ada seribu bulan, seribu matahari, seribu Gunung Sineru raja segala gunung, seribu Benua Jambudipa, seribu Benua Goyana Barat, seribu Benua Kuru Utara, seribu Benua Videha Timur, seribu empat samudera besar, seribu Empat Raja Surgawi dan surga-surga mereka, seribu tiap-tiap surga dari dewa-dewa Tavatimsa, dewa-dewa Yama, dewa-dewa Tusita, dewa-dewa Yang Senang Mencipta, dewa-dewa Yang Mengontrol Apa Yang Diciptakan Oleh Yang Lain, dan ada seribu alam-Brahma. Para bhikkhu, sejauh seribu sistem dunia ini membentang, Mahabrahma menduduki tempat tertinggi. Tetapi bahkan pada Mahabrahma pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik, dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(3) Akan ada saatnya, para bhikkhu, dunia ini mencapai akhirnya. Dan pada saat itu, pada umumnya makhluk-makhluk akan terlahir di antara para dewa Yang Bercahaya Memancar.25 Di sana mereka tinggal, terbuat dari pikiran, makan dari kegembiraan, memancarkan cahaya dari dirinya sendiri, melintasi langit, hidup di dalam cahaya kemuliaan, dan demikianlah mereka hidup untuk waktu yang amat lama. Ketika dunia berakhir, para bhikkhu, para dewa Yang Bercahaya Memancar ini menduduki tempat tertinggi. Tetapi bahkan pada dewa-dewa ini pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik, dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(4) Para bhikkhu, ada sepuluh macam kasina.26 Apakah yang sepuluh itu? Seseorang memahamikasina tanah, di atas, di bawah, di semua sisi, tak terbagi, tak terbatas; orang lain memahami kasinaair … kasina api … kasina angin … kasina biru … kuning … merah … putih … kasina ruang … kasinakesadaran, di atas, di bawah, di semua sisi, tak terbagi, tak terbatas. Inilah sepuluh macam kasina. Di antara yang sepuluh itu, inilah yang tertinggi: ketika seseorang memahami kasina kesadaran, di atas, di bawah, di semua sisi, tak terbagi, tak terbatas. Benar-benar ada, para bhikkhu, orang-orang yang memiliki pemahaman seperti ini. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik, dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(5) Para bhikkhu, ada delapan tahap penguasaan.27 Apakah yang delapan itu?
(i) Dengan memahami bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang kecil, indah atau buruk; dan dengan menguasai hal ini, dia memahami: “Aku tahu! Aku melihat!” Inilah tahap penguasaan pertama … (viii) Tanpa memahami bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, bentuk-bentuk putih, yang berwarna putih, penampilan putih, kemilau putih, dan dengan menguasai hal ini, dia memahami: “Aku tahu! Aku melihat!” Inilah tahap penguasaan kedelapan.
Di antara delapan ini, yang terakhir adalah yang tertinggi. Benar-benar ada, para bhikkhu, orang-orang yang memiliki pemahaman seperti ini. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(6) Para bhikkhu, ada empat cara kemajuan: Cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang lamban; cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat; cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung yang lamban; cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat.28 Di antara empat ini, yang tertinggi adalah cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat. Benar-benar ada, para bhikkhu, orang-orang yang membuat kemajuan seperti ini. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(7) Para bhikkhu, ada empat cara pemahaman: satu orang memahami apa yang terbatas; yang lain memahami apa yang tinggi; yang lain memahami apa yang tak-terukur; dan yang lain lagi, menyadari, “Ada ketiadaan”, dan memahami landasan ketiadaan.29
Di antara empat cara pemahaman itu, yang tertinggi adalah ketika menyadari bahwa “Ada ketiadaan”, orang memahami landasan ketiadaan. Benar-benar ada, para bhikkhu, orang-orang yang memahami seperti ini. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(8) Para bhikkhu, di antara pandangan-pandangan orang luar, inilah yang tertinggi: “Aku mungkin tidak ada dan itu mungkin bukan milikku; aku tidak akan ada dan itu tidak akan menjadi milikku.”30
Bagi seseorang, para bhikkhu, yang memiliki pandangan semacam itu, dapat diharapkan bahwa dia tidak akan merasa tertarik pada dumadi dan tidak akan memiliki kebencian terhadap berhentinya dumadi.31 Benar-benar ada, para bhikkhu, orang-orang yang memiliki pandangan seperti itu. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(9) Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang mengajarkan “pemurnian tertinggi”.32Mereka yang mengajarkan “pemurnian tertinggi” menganggapnya sebagai yang tertinggi, jika – setelah melampaui landasan ketiadaan – orang masuk dan berdiam di dalam landasan bukan persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Mereka mengajarkan ajaran mereka untuk pengetahuan langsung dan realisasinya. Benar-benar ada, para bhikkhu, orang-orang yang mengajar demikian. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(10) Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang mengajarkan Nibbana tertinggi di dalam kehidupan ini juga.33 Bagi mereka yang mengajarkan Nibbana tertinggi di dalam kehidupan ini juga, yang tertinggi adalah pembebasan-tanpa-kemelekatan yang dicapai setelah melihat enam landasan kontak sebagaimana adanya, yaitu, muncul dan lenyapnya, kepuasan dan bahaya di dalamnya, dan jalan keluar dari semua itu.
Dan meskipun aku mengajarkan dan menyatakan demikian, beberapa petapa dan brahmana, secara salah, tanpa dasar, secara tidak tepat dan tidak benar menyalahartikan aku demikian: “Petapa Gotama tidak mengajarkan pemahaman yang lengkap tentang kesenangan-kesenangan indera, atau tentang bentuk-bentuk, atau tentang perasaan-perasaan”. Padahal, para bhikkhu, aku benar-benar mengajarkan pemahaman yang lengkap tentang kesenangan-kesenangan indera, dan tentang bentuk-bentuk, dan tentang perasaan-perasaan.34 Dan karena telah tenang, dahagaku terpuaskan dan telah tersejukkan di dalam kehidupan ini juga, kunyatakan bahwa Nibbana tertinggi itu bebas dari kemelekatan.35
(X, 29)
191. Penghormatan Raja Pasenadi pada Sang Buddha
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala kembali dari latihan perang 36 setelah berhasil menang dan mencapai tujuannya. Raja kemudian pergi ke arah vihara. Dia menaiki kereta perangnya sampai di akhir jalan; kemudian dia turun dari keretanya dan berjalan kaki masuk ke vihara.
Pada saat itu, beberapa bhikkhu sedang berjalan hilir mudik di tempat terbuka. Sang Raja menghampiri mereka dan bertanya:
“Yang mulia, di manakah Yang Terberkahi sekarang?”
“Beliau berada di ruang sana, raja yang agung, yang pintunya tertutup itu. Anda bisa ke sana dengan diam tanpa terburu-buru. Kemudian masuklah ke beranda, berdehamlah, dan ketuklah dengan pengetuk pintu. Yang Terberkahi akan membuka pintu buat Anda.”
Raja itu melakukan seperti apa yang dikatakan para bhikkhu dan Sang Buddha membuka pintu. Setelah masuk, Raja Pasenadi membungkuk dalam-dalam di depan Yang Terberkahi. Dengan kepala menyentuh tanah, raja mencium kaki Sang Buddha sambil memegang kedua kaki Beliau dengan kedua tangannya. Kemudian dia menyebutkan namanya: “Saya Pasenadi, Bhante, raja Kosala. Saya Pasenadi, Bhante, raja Kosala.”
“Tetapi, raja yang agung, alasan apa yang Anda lihat sehingga pada tubuh ini Anda tunjukkan kerendahan hati yang sangat dalam dan Anda persembahkan kepadanya kesetiaan yang penuh cinta kasih?”
“Untuk menunjukkan rasa terima kasih saya, Bhante; dengan alasan inilah, Bhante, saya menunjukkan kepada Yang Terberkahi kerendahan hati yang sangat dalam dan mempersembahkan kepada Beliau kesetiaan yang penuh cinta kasih.
“Yang Terberkahi, Bhante, hidup untuk kesejahteraan orang banyak, untuk kebahagiaan orang banyak. Beliau telah memantapkan banyak orang pada jalan yang mulia, di dalam ajaran-ajaran yang baik dan bajik. Dengan alasan inilah, Bhante, saya menunjukkan kepada Yang Terberkahi kerendahan hati yang sangat dalam dan mempersembahkan kepada Beliau kesetiaan yang penuh cinta kasih.
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi itu bermoral, memiliki moralitas yang matang, moralitas yang mulia, moralitas yang bajik; Beliau memiliki moralitas yang bajik. Dengan alasan inilah ….
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi telah lama menjadi penghuni hutan; Beliau tinggal di hutan-hutan terpencil, di tempat tinggal terasing. Dengan alasan inilah ….
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi merasa puas dengan jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan obat-obatan apa pun yang Beliau terima. Dengan alasan inilah ….
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi pantas memperoleh pemberian, pantas memperoleh keramahan, pantas memperoleh persembahan, pantas memperoleh penghormatan, karena Beliau adalah ladang perbuatan jasa yang tiada taranya di dunia. Dengan alasan inilah ….
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi memperoleh sesuai dengan keinginannya, tanpa halangan dan kesulitan, (kesempatan untuk) berbicara yang sesuai dengan kehidupan petapa dan yang membantu kejernihan mental; yakni, pembicaraan tentang sedikitnya keinginan, tentang kepuasan, tentang kesendirian, tentang pengasingan diri, tentang pengerahan semangat, tentang moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan dan pengetahuan dan pandangan tentang pembebasan. Dengan alasan inilah …
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi mencapai sesuai dengan keinginannya – tanpa halangan dan kesulitan – keempat jhana, yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang menyenangkan di dalam kehidupan yang ini juga. Dengan alasan inilah …
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran … (seperti di dalam Teks 188,§8) … Dengan alasan inilah ….
“Kemudian, Bhante, dengan mata dewa, yang telah termurnikan dan melampaui manusia, Yang Terberkahi melihat makhluk-makhluk berlalu dan muncul kembali … (seperti di dalam Teks 188,§9) … Dengan alasan inilah ….
“Kemudian, Bhante, Yang Terberkahi – dengan hancurnya noda-noda – di dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tak bernoda, pembebasan oleh kebijaksanaan, setelah merealisasikannya sendiri lewat pengetahuan langsung. Dengan alasan inilah, Tuan, saya menunjukkan kepada Yang Terberkahi kerendahan hati yang sangat dalam dan mempersembahkan kepada Beliau kesetiaan yang penuh cinta kasih.
“Tetapi sekarang, Bhante, kami harus pergi. Kami mempunyai banyak pekerjaan dan banyak tugas.”
“Lakukanlah apa yang Anda anggap sesuai, raja yang agung.”
Dan Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dan dengan menjaga agar Beliau tetap di sebelah kanannya, dia pun pergi.
(X, 30)
192. Sepuluh Perenungan Bhikkhu
Ada, O para bhikkhu, sepuluh hal yang harus sering direnungkan oleh orang yang telah meninggalkan segalanya untuk menjadi bhikkhu. Apakah yang sepuluh itu?
“Aku telah memasuki kondisi tanpa-kelas” – ini harus sering direnungkan oleh orang yang telah meninggalkan segalanya untuk menjadi bhikkhu. “Hidupku bergantung pada (kebaikan hati) orang lain” … “Tingkah lakuku harus berbeda (daripada para perumah-tangga)” … “Apakah aku mencela diriku sendiri sehubungan dengan moralitas?” … “Apakah sesama bhikkhu yang bijaksana mencelaku sehubungan dengan moralitas?”… “Aku pasti dipisahkan dan diceraikan dari semua yang kucintai dan kusayangi” … “Aku adalah pemilik tindakanku sendiri, pewaris tindakanku sendiri, tindakan adalah kandungan (dari situ aku muncul), tindakan adalah keluargaku, tindakan adalah pelindungku; apa pun tindakan yang aku lakukan, baik atau buruk, aku akan menjadi pewarisnya” … “Bagaimana aku menghabiskan hari-hari dan malam-malamku?” … “Apakah aku senang berada di gubuk kosong?” … “Apakah aku telah mencapai perolehan yang melebihi manusia biasa dalam hal pengetahuan dan pandangan sebagai layaknya dimiliki siswa-siswa mulia, sehingga apabila ditanya oleh sesama bhikkhu pada saat kematianku, aku tidak akan cemas?” – ini harus sering direnungkan oleh seseorang yang telah meninggalkan segalanya untuk menjadi seorang bhikkhu. Ini adalah sepuluh hal yang harus sering direnungkan 37 oleh seseorang yang telah meninggalkan segalanya untuk menjadi seorang bhikkhu.
(X, 48)
193. Pemeriksaan Diri Sendiri
Jika, O para bhikkhu, seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal mengetahui jalan pikiran orang lain, dia harus bertekad, “Aku harus menjadi terampil dalam hal mengetahui jalan pikiranku sendiri.” Demikianlah, para bhikkhu, engkau harus melatih diri sendiri.
Dan bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal mengetahui jalan pikirannya sendiri? Sama seperti seorang wanita atau pria, yang masih muda dan menyukai perhiasan, akan melihat wajah mereka di cermin yang bersih dan cemerlang atau di mangkuk yang berisi air jernih. Jika mereka kemudian melihat debu atau kotoran, mereka akan berusaha keras untuk menyingkirkannya. Tetapi apabila tidak ada debu atau kotoran yang terlihat, mereka akan merasa senang. Dan karena keinginan mereka terpenuhi, mereka akan berpikir, “Bagus sekali! Aku bersih!”
Demikian pula, para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu pemeriksaan diri sendiri sangat membantu untuk pertumbuhan kualitas-kualitas yang bajik: “Apakah aku sering iri hati, atau sering tidak iri hati? Apakah aku sering mempunyai niat jahat di hatiku, atau sering bebas darinya? Apakah aku seringberkubang di dalam kemalasan dan kelambanan, atau sering bebas darinya? Apakah emosiku sering bergejolak, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berada di dalam keraguan atau sering bebas darinya? Apakah aku sering marah, atau sering bebas dari kemarahan? Apakah pikiranku sering terkotori dengan pemikiran-pemikiran yang tak-bajik, atau sering bebas dari kekotoran batin? Apakahtubuhku sering gelisah, atau sering bebas dari kegelisahan? Apakah aku sering malas, atau sering bersemangat? Apakah aku sering tidak terkonsentrasi, atau sering terkonsentrasi?”
Bila dengan memeriksa dirinya seperti ini, seorang bhikkhu menyadari bahwa dia sering iri hati, penuh niat jahat, lamban, bergejolak, ragu, marah, kotor secara mental, gelisah secara fisik, malas dan tidak terkonsentrasi, maka dia harus mengerahkan segenap semangat dan energinya, daya dan upayanya, serta kewaspadaan yang tak terputus dan pemahamannya yang jernih, untuk meninggalkan semua kualitas yang jahat dan tak-bajik itu.
Sama seperti seorang laki-laki yang baju atau ikat kepalanya terbakar akan mengerahkan segenap semangat dan energinya, daya dan upayanya, serta kewaspadaan dan pemahamannya yang jernih, sehingga dia dapat memadamkan api itu; demikian pula seorang bhikkhu harus mengerahkan segenap semangat dan energinya … untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang jahat dan tak-bajik itu.
Tetapi, jika pada saat memeriksa dirinya sendiri itu, seorang bhikkhu menyadari bahwa dia lebih sering tanpa iri hati dan niat jahat, lebih sering bebas dari kemalasan dan kelambanan, bebas dari gejolak dan keraguan; lebih sering bebas dari kemarahan; dan menyadari bahwa pikirannya lebih sering tidak memiliki kekotoran dan tubuhnya bebas dari kegelisahan; bahwa dia lebih sering bersemangat dan terkonsentrasi dengan baik maka dengan berpijak kuat-kuat pada kualitas-kualitas bajik ini, dia harus mengerahkan usaha yang lebih jauh lagi untuk menghancurkan semua noda.
(X, 51)
194. Akar Segalanya
Mungkin, O para bhikkhu, petapa-petapa kelana yang memiliki kepercayaan lain bertanya kepadamu:38 “Pada apakah segala sesuatu berakar? Bagaimana semua itu bisa memiliki keberadaan yang nyata? Dari mana semua itu muncul? Menuju ke mana semua itu? Apa yang terpenting di dalam segala sesuatu? Siapakah penguasa mereka? Apakah yang tertinggi dari semua hal? Apakah inti dari semua hal? Di mana semua hal melebur? Di mana mereka berakhir?”
Jika ditanya demikian, para bhikkhu, engkau harus menjawab begini: “Segala sesuatu berakar pada nafsu keinginan.39 Semua itu bisa memiliki keberadaan yang nyata melalui perhatian, 40 berawal dari kontak, dan menyatu pada perasaan. Yang terpenting di dalam segala sesuatu adalah konsentrasi. Semua hal dikuasai oleh kewaspadaan. Puncak segala sesuatu adalah kebijaksanaan, intinya adalah pembebasan. Segala sesuatu melebur di dalam Tanpa-kematian, dan Nibbana adalah titik akhirnya.41
(X, 58)
195. Semangat Kebhikkhuan
Para bhikkhu, engkau harus melatih dirimu demikian: “Di dalam semangat meninggalkan kehidupan berumah-tanggalah pikiran kita diperkuat!42 Tidak boleh ada pemikiran-pemikiran jahat dan tak-bajik yang terus-menguasai pikiran kita! Di dalam persepsi tentang ketidakkekalanlah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang tanpa-dirilah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang sifat kotorlah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang bahayalah pikiran kita diperkuat! Dengan mengetahui cara-cara dunia yang lurus dan tidak luruslah pikiran kita diperkuat! Dengan mengetahui perkembangan dan penyusutan dunialah pikiran kita diperkuat! 43 Dengan mengetahui muncul dan lenyapnya dunialah pikiran kita diperkuat! 44 Di dalam persepsi tentang pelepasanlah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang hilangnya nafsulah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang penghentianlah pikiran kita diperkuat!45 Demikianlah, para bhikkhu, engkau harus melatih dirimu.
Ketika pikiran seorang bhikkhu diperkuat dengan cara-cara ini, satu atau dua hasil bisa diharapkan: pengetahuan akhir di dalam kehidupan sekarang ini juga, atau – jika masih ada sisa kemelekatan – tingkat Yang-Tak-Kembali-Lagi.
(X, 59)
196. Girimananda
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Vihara Anathapindika. Pada waktu itu Y.M. Girimananda sedang mengalami penderitaan karena terkena penyakit yang parah.46Kemudian Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Setelah duduk, dia kemudian berkata kepada Yang Terberkahi:
“Bhante, Y.M. Girimananda sedang mengalami penderitaan karena terkena penyakit yang parah. Alangkah baiknya, Bhante, jika Yang Terberkahi pergi menengoknya dengan kasih sayang.”
“Ananda, jika engkau pergi ke Bhikkhu Girimananda dan berbicara kepadanya tentang sepuluh persepsi, ada kemungkinan dia akan segera sembuh dari penyakitnya itu. Apakah yang sepuluh itu?
“Persepsi tentang ketidakkekalan, persepsi tentang tanpa-diri, persepsi tentang kekotoran, persepsi tentang bahaya, persepsi tentang melepas, persepsi tentang hilangnya nafsu, persepsi tentang penghentian, persepsi tentang ketidaktertarikan terhadap seluruh dunia, persepsi tentang ketidakkekalan semua bentukan, dan kewaspadaan akan nafas.
(1) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang ketidakkekalan itu? Di sini, Ananda, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan demikian: ‘Bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan berkehendak adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal.’ Demikianlah dia berdiam merenungkan ketidakkekalan di dalam lima kelompok yang bisa menyebabkan kemelekatan. Inilah yang disebut persepsi tentang ketidakkekalan.
(2) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang tanpa-diri itu? Di sini, Ananda, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan demikian: ‘Mata adalah tanpa-diri, bentuk-bentuk adalah tanpa-diri; telinga adalah tanpa-diri, suara-suara adalah tanpa-diri; hidung adalah tanpa-diri; bau adalah tanpa-diri; lidah adalah tanpa-diri, citarasa adalah tanpa-diri; tubuh adalah tanpa-diri; objek yang bisa disentuh adalah tanpa-diri; pikiran adalah tanpa-diri; objek pikiran adalah tanpa-diri.’ Demikianlah dia berdiam merenungkan tanpa-diri di dalam enam landasan indera internal dan eksternal. Inilah yang disebut persepsi tentang tanpa-diri.
(3) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang kekotoran itu?47 Di sini, Ananda, seorang bhikkhu memeriksa tubuh ini, dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, yang terbalut kulit, yang penuh dengan berbagai kekotoran: ‘Di tubuh ini ada rambut kepala, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit, daging, otot, tulang, sumsum tulang, ginjal, jantung, hati, diafragma, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, lemak cair, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Demikianlah dia berdiam merenungkan kekotoran tubuh ini. Inilah yang disebut persepsi tentang kekotoran.
(4) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang bahaya itu? Di sini, Ananda, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan demikian: ‘Tubuh ini adalah sumber dari banyak rasa sakit dan banyak bahaya; berbagai macam penyakit muncul di tubuh ini, yaitu penyakit mata, penyakit telinga, penyakit hidung, penyakit lidah, penyakit tubuh; sakit kepala, gondok, penyakit mulut, sakit gigi, batuk, asma, flu, sakit jantung, demam, sakit perut, pingsan, tekanan darah yang berubah-ubah, kram perut, kolera, lepra, borok, plak, TBC, penyakit ayan, gatal, cacingan, cacar, luka berkeropeng, bisul bernanah, penyakit kuning, diabetes, wasir, kanker, kelainan saluran; dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh limpa, oleh lendir, oleh angin, yang muncul dari konflik keadaan pikiran, yang disebabkan oleh perubahan iklim, oleh aktivitas yang tidak biasa dilakukan, oleh kekerasan, oleh hasil-hasil kamma; dan oleh dingin, panas, kelaparan, kehausan, tinja dan air kencing.’48 Demikianlah dia berdiam merenungkan bahaya di dalam tubuh ini. Inilah yang disebut persepsi tentang bahaya.
(5) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang melepas itu? Di sini, Ananda, seorang bhikkhu tidak mentoleransi munculnya pemikiran nafsu indera; dia meninggalkannya, menghalaunya, melenyapkannya, menghancurkannya. Dia tidak mentoleransi munculnya pemikiran niat jahat … munculnya pemikiran kekerasan … munculnya keadaan yang jahat dan tak-bajik; dia meninggalkannya, menghalaunya, melenyapkannya, menghancurkannya. Inilah, Ananda, yang disebut persepsi tentang melepas.
(6) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang hilangnya nafsu itu? Di sini, Ananda, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan demikian: ‘Ini memang damai, ini memang agung, yaitu berhentinya semua bentukan, berhentinya semua keinginan, hancurnya keserakahan, hilangnya nafsu, Nibbana.’ Inilah yang disebut persepsi tentang hilangnya nafsu.”49
(7) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang penghentian itu? Di sini, Ananda, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan demikian: ‘Ini memang damai, ini memang agung, yaitu berhentinya semua bentukan, berhentinya semua keinginan, hancurnya keserakahan, penghentian, Nibbana.’ Inilah yang disebut persepsi tentang penghentian.
(8) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang ketidaktertarikan pada seluruh dunia itu? 50 Di sini, Ananda, dengan meninggalkan segala ikatan dan kemelekatan pada dunia, pada segala sudut pandang mental, pada kelekatan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasarinya, dia menjauh darinya dan tidak melekat. Inilah yang disebut persepsi tentang ketidaktertarikan pada seluruh dunia.
(9) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang ketidakkekalan semua bentukan itu? Di sini, Ananda, seorang bhikkhu merasa jijik, malu dan muak terhadap semua bentukan. Inilah yang disebut persepsi tentang ketidakkekalan semua bentukan.”51
(10) Dan apa, Ananda, kewaspadaan akan nafas itu? Di sini, Ananda, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu duduk, melipat dan menyilangkan kakinya, menegakkan tubuhnya, membangun kewaspadaan di depannya. Dengan penuh kewaspadaan dia menarik nafas, dengan penuh kewaspadaan dia menghembuskan nafas.” 52
“Ketika menarik nafas panjang, dia mengetahui: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau ketika menghembuskan nafas panjang, dia mengetahui: ‘Aku menghembuskan nafas panjang’. Ketika menarik nafas pendek, dia mengetahui: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau ketika menghembuskan nafas pendek dia mengetahui: ‘Aku menghembuskan nafas pendek.’ Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh aku akan menghembuskan nafas.’ Dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan bentukan tubuh aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan bentukan tubuh aku akan menghembuskan nafas.’53
“Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami sukacita aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami sukacita aku akan menghembuskan nafas.’ Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami kebahagiaan aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami kebahagiaan aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami bentukan mental aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami bentukan mental aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan bentukan mental aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan bentukan mental aku akan menghembuskan nafas’. 54
“Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami pikiran aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami pikiran aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan menggembirakan pikiran aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan menggembirakan pikiran aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan membebaskan pikiran aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan membebaskan pikiran aku akan menghembuskan nafas’.
“Dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan kematian aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan kematian aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan penghentian aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan penghentian aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan pelepasan aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan pelepasan aku akan menghembuskan nafas’. 55
“Inilah yang disebut kewaspadaan akan nafas.
“Ananda, jika engkau pergi ke Bhikkhu Girimananda dan berbicara kepadanya tentang sepuluh persepsi ini, ada kemungkinan setelah mendengarnya dia akan sembuh dari sakitnya.”
Kemudian, setelah Y.M. Ananda mempelajarinya dari Yang Terberkahi, dia mengunjungi Y.M. Girimananda dan memberitahukan sepuluh persepsi ini. Ketika Y.M. Girimananda mendengar tentang sepuluh persepsi ini, dengan segera dia sembuh dari sakitnya. Y.M. Girimananda bangkit dari sakitnya itu, dan demikianlah penyakitnya disembuhkan.
(X, 60)
197. Kebodohan dan Keserakahan
(X, 61) Para bhikkhu, awal pertama dari kebodohan tidak dapat dilihat dengan jelas.56 Tidaklah dapat dikatakan, “Sebelum hal itu tidak ada kebodohan, dan baru setelah hal itulah kebodohan datang.” Meskipun demikian, para bhikkhu, kondisi khusus kebodohan itu terlihat jelas. Kebodohan juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; dan kebodohan bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan kebodohan itu? “Lima penghalang” adalah jawabannya.57
(X, 62) Awal pertama dari keserakahan terhadap dumadi, O para bhikkhu, tidak dapat dilihat dengan jelas. Tidak dapat dikatakan, “Sebelum hal itu tidak ada keserakahan terhadap dumadi, dan baru setelah hal itulah keserakahan datang.” Meskipun demikian, para bhikkhu, kondisi khusus keserakahan terhadap dumadi itu terlihat jelas. Keserakahan terhadap dumadi juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; dan keserakahan terhadap dumadi bukannya tanpa makanan penopang. Apakah makanan keserakahan terhadap dumadi itu? “Kebodohan” adalah jawabannya. Tetapi kebodohan juga memiliki makanan penopangnya; kebodohan bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan kebodohan itu? “Lima penghalang” adalah jawabannya.
(X, 61 & 62) Tetapi lima penghalang itu juga memiliki makanan penopangnya, para bhikkhu; mereka bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi lima penghalang itu? “Tiga cara perilaku salah” adalah jawabannya.58
Tiga cara perilaku salah juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanannya? “Kurangnya pengendalian indera” adalah jawabannya.Kurangnya pengendalian indera juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanannya? “Kurangnya kewaspadaan dan pemahaman yang jernih” adalah jawabannya.
Kurangnya kewaspadaan dan pemahaman yang jernih juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi kurangnya kewaspadaan dan pemahaman yang jernih? “Perhatian yang tidak benar” adalah jawabannya.
Perhatian yang tidak benar juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi perhatian yang tidak benar? “Kurangnya keyakinan” adalah jawabannya.
Kurangnya keyakinan juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi kurangnya keyakinan? “Mendengarkan ajaran yang salah” adalah jawabannya.
Mendengarkan ajaran yang salah juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi mendengarkan ajaran yang salah? “Berhubungan dengan orang-orang yang tidak baik” adalah jawabannya.
Oleh sebab itu, ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik terjadi, mendengarkan ajaran yang salah pun terjadi.59 Ketika mendengarkan ajaran yang salah terjadi, kurangnya keyakinan pun terjadi. Ketika kurangnya keyakinan terjadi, perhatian yang tidak benar pun terjadi. Ketika perhatian yang tidak benar terjadi, kurangnya kewaspadaan dan perhatian yang jernih pun terjadi. Ketika kurangnya kewaspadaan dan perhatian yang jernih terjadi, kurangnya pengendalian indera pun terjadi. Ketika kurangnya pengendalian indera terjadi, tiga cara perilaku salah pun terjadi. Ketika tiga cara perilaku salah terjadi, lima penghalang pun terjadi. Ketika lima penghalang terjadi, kebodohan pun terjadi (X, 62 menambahkan: Ketika kebodohan terjadi, keserakahan terhadap dumadi pun terjadi). Itulah makanan bagi kebodohan (X, 62: bagi keserakahan terhadap dumadi), dan demikianlah kebodohan terjadi.
Sama seperti ketika hujan lebat turun di atas gunung dan langit bergemuruh, sehingga air yang meluap ke bawah akan mengisi celah, jurang, dan retakan di gunung-gunung, dan ketika semuanya sudah penuh, air akan mengisi kolam-kolam kecil; kolam-kolam kecil yang penuh itu akan mengisi danau-danau; danau-danau yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai besar; sungai-sungai besar yang penuh itu akin mengisi samudera yang luas. Itulah makanan bagi samudera yang luas dan demikianlah samudera menjadi penuh.
Dengan cara yang sama, para bhikkhu, ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik terjadi, mendengarkan ajaran yang salah pun terjadi … ketika lima penghalang terjadi, kebodohan (dan keserakahan terhadap dumadi) pun terjadi. Itulah makanan bagi kebodohan (dan keserakahan terhadap dumadi), dan demikianlah kebodohan terjadi.Pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, O para bhikkhu, juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi pembebasan oleh pengetahuan tertinggi? “Tujuh faktor pencerahan” adalah jawabannya.
Tujuh faktor pencerahan juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi tujuh faktor pencerahan? “Empat landasan kewaspadaan” adalah jawabannya.
Empat landasan kewaspadaan juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi empat landasan kewaspadaan? “Tiga cara perilaku benar” adalah jawabannya.
Tiga cara perilaku benar juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi tiga cara perilaku benar? “Pengendalian indera” adalah jawabannya.
Pengendalian indera juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi pengendalian indera? “Kewaspadaan dan pemahaman yang jernih” adalah jawabannya.
Kewaspadaan dan pemahaman yang jernih juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi kewaspadaan dan pemahaman yang jernih? “Perhatian yang benar” adalah jawabannya.
Perhatian yang benar juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi perhatian yang benar? “Keyakinan” adalah jawabannya.
Keyakinan juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi keyakinan? “Mendengarkan Dhamma sejati” adalah jawabannya.
Mendengarkan Dhamma sejati juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi mendengarkan Dhamma sejati? “Berhubungan dengan orang-orang mulia” adalah jawabannya.
Oleh sebab itu, ketika hubungan dengan orang-orang yang mulia terjadi, mendengarkan Dhamma sejati pun terjadi … Ketika tujuh faktor pencerahan terjadi, pembebasan oleh pengetahuan tertinggi pun terjadi. Itulah makanan bagi pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, dan demikianlah pembebasan oleh pengetahuan tertinggi terjadi.
Sama seperti ketika hujan turun di atas gunung dan langit bergemuruh, sehingga air yang meluap ke bawah akan mengisi celah, jurang, dan retakan di gunung-gunung, dan ketika semuanya sudah penuh, air akan mengisi kolam-kolam kecil; kolam-kolam kecil yang penuh itu akan mengisi danau-danau, danau-danau yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai besar; sungai-sungai besar yang penuh itu akan mengisi samudera yang luas. Itulah makanan bagi samudera yang luas, dan demikianlah samudera menjadi penuh.
Dengan cara yang sama, para bhikkhu, ketika hubungan dengan orang-orang yang mulia terjadi, mendengarkan Dhamma sejati pun terjadi. Ketika mendengarkan Dhamma sejati terjadi, keyakinan pun terjadi. Ketika keyakinan terjadi perhatian yang benar pun terjadi. Ketika perhatian yang benar terjadi, kewaspadaan dan pemahaman yang jernih pun terjadi. Ketika kewaspadaan dan pemahaman yang jernih terjadi, pengendalian indera pun terjadi. Ketika pengendalian indera terjadi, tiga cara perilaku yang baik pun terjadi. Ketika tiga cara perilaku yang baik terjadi, empat landasan kewaspadaan pun terjadi. Ketika empat landasan kewaspadaan terjadi, tujuh faktor pencerahan pun terjadi. Ketika tujuh faktor pencerahan terjadi, pembebasan oleh pengetahuan tertinggi pun terjadi. Itulah makanan bagi pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, dan demikianlah pembebasan oleh pengetahuan tertinggi terjadi.
(X, 61 & 62; gabungan)
198. Kebahagiaan dan Penderitaan
Pada suatu ketika Y.M. Sariputta berdiam di Magadha, di desa Nalaka.60 Pada saat itu, Samandakani, seorang petapa kelana menghampiri Beliau dan bertanya:
“Sahabat Sariputta, apakah kebahagiaan itu, dan apakah penderitaan itu?”
“Dilahirkan kembali, sahabat, adalah penderitaan; tidak dilahirkan kembali adalah kebahagiaan.”
(X, 65; intisari)
199. Kelahiran, Usia Tua dan Kematian
Seandainya saja, O para bhikkhu, tiga hal tidak terdapat di dunia, maka Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, tidak akan muncul di dunia. Dan Dhamma serta Vinaya yang dinyatakan oleh Beliau tidak akan memancarkan sinarnya ke seluruh dunia. Apakah tiga hal itu?Kelahiran, usia tua dan kematian. Tetapi karena tiga hal ini terdapat di dunia, maka Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya tercerahkan muncul di dunia, serta Dhamma dan Vinaya yang dinyatakan oleh Beliau memancarkan sinarnya ke seluruh dunia.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian. Apakah tiga hal itu? Keserakahan, kebencian dan kebodohan: tanpa meninggalkan tiga hal ini orang tidak akan mampu meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. Tiga hal itu adalah: pandangan tentang pribadi, keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul.61
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan pandangan tentang pribadi, keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul. Tiga hal itu adalah: perhatian yang tidak benar, mengejar cara-cara yang salah dan kemalasan mental.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan perhatian yang tidak benar, mengejar cara-cara yang salah dan kemalasan mental. Tiga hal itu adalah: kelengahan, kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan mental.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kelengahan, kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan mental. Tiga hal itu adalah: tidak tertarik bertemu dengan orang-orang mulia, tidak tertarik mendengar ajaran-ajaran mereka dan mentalitas mencari-cari kesalahan.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan ketidaktertarikan bertemu dengan orang-orang mulia, ketidaktertarikan mendengarkan ajaran-ajaran mereka dan mentalitas mencari-cari kesalahan. Tiga hal itu adalah: kegelisahan, kurangnya pengendalian diri dan pelanggaran moral.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kegelisahan, kurangnya pengendalian diri dan pelanggaran moral. Tiga hal itu adalah: kurangnya keyakinan, ketidakramahan dan kemalasan.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidakramahan dan kemalasan. Tiga hal itu adalah: sikap tidak hormat, keras kepala dan persahabatan yang buruk.
Tanpa meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan sikap tidak hormat, keras kepala dan persahabatan yang buruk. Tiga hal itu adalah: tidak adanya malu moral, kurangnya takut moral dan kelalaian.
Para bhikkhu, ada orang yang tidak tahu malu, ceroboh secara moral dan lalai. Karena lalai, dia tidak dapat meninggalkan sikap tidak hormat, keras kepala dan persahabatan yang buruk. Karena memiliki teman-teman yang buruk, dia tidak dapat meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidakramahan dan kemalasan. Karena malas, dia tidak dapat meninggalkan kegelisahan, kurangnya pengendalian diri dan pelanggaran moralitas. Karena melanggar moralitas, dia tidak dapat meninggalkan ketidaktertarikan untuk bertemu dengan orang-orang mulia, ketidaktertarikan mendengarkan ajaran-ajaran mereka dan mentalitas mencari-cari kesalahan. Karena selalu mencari-cari kesalahan, dia tidak dapat meninggalkan kelengahan, kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan mental. Karena memiliki kebingungan mental, dia tidak dapat meninggalkan perhatian yang tidak benar, mengejar cara-cara yang salah dan kemalasan mental. Karena kemalasan mental, dia tidak dapat meninggalkan pandangan tentang pribadi, keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul. Karena terusik keraguan skeptis, dia tidak dapat meninggalkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. Dan tanpa menghentikan keserakahan, kebencian dan kebodohan, dia tidak dapat meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian.
Tetapi dengan meninggalkan tiga hal, orang dapat meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian. Apakah tiga hal itu? Tiga hal itu adalah: keserakahan, kebencian dan kebodohan. Dengan meninggalkan tiga hal itu, orang akan dapat meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian.
Dengan meninggalkan tiga hal, orang dapat meninggalkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. Tiga hal itu adalah: pandangan tentang pribadi, keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul.
(Berlanjut dengan urutan yang sama seperti di atas sampai pada: )
Dengan meninggalkan tiga hal, orang dapat meninggalkan sikap tidak hormat, keras kepala dan persahabatan yang buruk. Tiga hal itu adalah: tidak adanya malu moral, kurangnya takut moral dan kelalaian.
Para bhikkhu, ada orang yang berhati-hati, cermat dan rajin. Karena rajin, dia dapat meninggalkan sikap tidak hormat, keras kepala dan persahabatan yang buruk. Karena memiliki teman-teman yang mulia, dia dapat meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidakramahan dan kemalasan. Karena bersemangat, dia dapat meninggalkan kegelisahan, kurangnya pengendalian diri dan pelanggaran moralitas. Karena bermoral, dia dapat meninggalkan ketidaktertarikan bertemu dengan orang-orang mulia, ketidaktertarikan mendengarkan ajaran-ajaran mereka dan mentalitas mencari-cari kesalahan. Karena tidak mencari-cari kesalahan, dia dapat meninggalkan kelengahan, kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan mental. Karena memiliki pikiran yang tidak terusik, dia dapat meninggalkan perhatian yang tidak benar, mengejar cara-cara yang salah dan kemalasan mental. Karena tidak memiliki kemalasan mental, dia dapat meninggalkan pandangan tentang pribadi, keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul. Karena bebas dari keraguan, dia dapat meninggalkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. Setelah meninggalkan keserakahan, kebencian dan kebodohan, dia akan dapat meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian.
(X, 76)
200. Ajaran Diskriminatif
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di dekat Campa, di tepi kolam teratai Gaggara.
Di suatu dini hari perumah-tangga Vajjiyamahita berangkat dari Campa untuk menemui Yang Terberkahi.62 Kemudian dia berpikir: “Ini bukanlah saat yang tepat untuk mengunjungi Yang Terberkahi, yang sedang berada dalam kesendirian sekarang. Ini pun bukanlah saat yang tepat untuk mengunjungi para bhikkhu yang mulia; mereka juga berada dalam kesendirian. Biarlah aku pergi ke taman tempat tinggal para petapa dari ajaran lain.”
Ketika si perumah-tangga Vajjiyamahita. tiba di taman, para petapa kelana itu sedang duduk berkumpul. Mereka saling berteriak dan berbicara keras-keras, terlibat di dalam berbagai percakapan yang rendah. Tetapi ketika melihat Vajjiyamahita si perumah-tangga mendekat dari kejauhan, mereka saling memperingatkan untuk diam, dengan berkata: “Jangan terlalu ramai, teman-teman yang terhormat, dan tenanglah. Itu si perumah-tangga Vajjiyamahita datang. Dia adalah siswa Petapa Gotama. Dia adalah salah satu siswa awam Petapa Gotama yang sekarang tinggal di Campa. Orang-orang yang mulia ini tidak suka kegaduhan. Mereka terbiasa dengan ketenangan dan mereka memuji ketenangan. Jika Vajjiyamahita melihat kelompok kita tenang, mungkin dia berpikir untuk datang kemari.”
Maka para petapa kelana ini pun berhenti bicara. Ketika si perumah-tangga Vajjiyamahita tiba di sana, dia bertukar salam dengan sopan, berbicara dengan ramah dan duduk di satu sisi. Setelah dia duduk, mereka bertanya kepadanya:
“Apakah benar, perumah-tangga, apa yang mereka katakan – bahwa Petapa Gotama menyalahkan semua kehidupan petapaan dan Beliau secara terbuka mengutuk dan mencela semua petapa yang menjalani kehidupan yang keras?”
“Tidak, tuan-tuan yang mulia, Yang Terberkahi tidak menyalahkan semua kehidupan petapaan, Beliau tidak juga secara terbuka mengutuk dan mencela semua petapa yang menjalani kehidupan yang keras. Apa yang pantas disalahkan akan disalahkan oleh Yang Terberkahi; apa yang pantas dipuji akan Beliau puji. Dengan menyalahkanaspa yang pantas disalahkan dan memuji apa yang pantas dipuji, Yang Terberkahi mengajar dengan diskriminasi, di sini Beliau tidak mengajar secara sepihak saja.”63
Mendengar kata-kata ini, seorang petapa kelana berkata kepada si perumah-tangga Vajjiyamahita, “Tunggu dulu, perumah-tangga! Petapa Gotama yang engkau puji-puji itu adalah seorang nihilis, dan dia adalah orang yang tidak memberikan pernyataan yang pasti.”64
“Tentang hal itu pula, tuan-tuan yang mulia, saya akan berbicara tentang Dhamma pada sahabat-sahabat yang terhormat. Yang Terberkahi, tuan yang mulia, menyatakan bahwa sesuatu itu bajik dan yang lain tak-bajik. Yang Terberkahi, yang telah menyatakan apa yang bajik dan apa yang tak-bajik, adalah orang yang memberikan pernyataan yang pasti. Beliau bukan seorang nihilis. Beliau bukan pula orang yang tidak memberikan pernyataan yang pasti.”
Mendengar kata-kata ini, para kelana itu terdiam, malu, duduk di sana dengan bahu yang lesu dan kepala tertunduk, terdiam dan tidak mampu mengatakan apa-apa. Ketika Vajjiyamahita melihat mereka dalam keadaan seperti itu, dia berdiri dari tempat duduknya dan pergi untuk menemui Yang Terberkahi. Setelah tiba dan memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dia memberitahukan percakapannya dengan para petapa dari ajaran lain itu. Dan Yang Terberkahi berkata:
“Bagus, perumah-tangga, bagus! Dengan cara itulah, perumah-tangga, orang-orang bodoh seperti mereka, jika ada kesempatan yang tepat, diberitahu kesalahannya olehmu sesuai dengan Dhamma.”
“Aku tidak mengatakan, perumah-tangga, bahwa semua paham petapaan harus dipraktekkan; tidak pula kukatakan bahwa semua paham petapaan harus tidak dipraktekkan. Aku tidak mengatakan bahwa semua usaha harus dilakukan; tidak pula kukatakan bahwa semua usaha harus tidak dilakukan. Aku tidak mengatakan bahwa setiap usaha spiritual harus dilakukan dan setiap tindakan meninggalkan keduniawian harus dijalankan; tidak pula kukatakan bahwa setiap usaha spiritual harus tidak dilakukan dan setiap tindakan meninggalkan keduniawian harus tidak dijalankan. Aku tidak mengatakan bahwa setiap orang harus membebaskan diri dari setiap bentuk kebebasan; tidak pula kukatakan bahwa setiap orang harus tidak bebas dari setiap bentuk kebebasan.
“Yang kunyatakan, perumah-tangga, adalah bahwa kehidupan petapaan yang harus tidak dipraktekkan adalah yang membuat keadaan tak-bajik tumbuh dan keadaan bajik memudar. Namun kunyatakan, kehidupan petapaan yang membuat keadaan tak-bajik memudar dan keadaan bajik tumbuh harus dilatih.”
“Jika dalam melakukan usaha, mengerahkan upaya-upaya spiritual, meninggalkan keduniawian, membebaskan diri lewat jenis kebebasan tertentu itu keadaan tak-bajik tumbuh, maka kunyatakan, semua praktek itu harus tidak dijalankan.”
“Tetapi jika dalam melakukan usaha, mengerahkan upaya-upaya spiritual, meninggalkan keduniawian, membebaskan diri lewat jenis kebebasan tertentu itu keadaan tak-bajik memudar dan keadaan bajik tumbuh, maka kunyatakan, semua praktek itu harus dijalankan.
Maka Vajjiyamahita si perumah-tangga, yang telah menerima Ajaran Dhamma dari Yang Terberkahi, merasa tergugah, terinspirasi dan dibuat gembira olehnya. Dia bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dan pergi dengan menjaga agar Beliau tetap berada di sisi kanannya.
Segera setelah dia pergi, Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu: “Para Bhikkhu, bahkan seorang bhikkhu yang telah lama memiliki pandangan terang tentang Dhamma dan Vinaya pun akan memberitahukan kesalahan para petapa ajaran lain itu dengan cara yang persis sama seperti yang telah dilakukan oleh perumah-tangga Vajjiyamahita.”
(X, 94)
201. Apakah Semua Makhluk Akan Mencapai Kebebasan?
Pada suatu ketika seorang petapa kelana bernama Uttiya menghampiri Yang Terberkahi. Setelah bertukar salam dan bercakap-cakap dengan ramah, dia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Terberkahi:
“Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah dunia kekal – apakah hanya ini yang benar dan yang lain salah?”
“Uttiya, hal ini tidak kunyatakan: bahwa dunia kekal; dan bahwa hanya ini yang benar dan yang lain salah”.
“Kemudian bagaimana, Guru Gotama: apakah dunia tidak kekal – apakah hanya ini yang benar dan yang lain salah?”
“Uttiya, hal itu juga tidak kunyatakan: bahwa dunia tidak kekal, dan bahwa hanya ini yang benar dan yang lain salah.”
“Bagaimana, Guru Gotama: apakah dunia terbatas atau tidak terbatas? Apakah prinsip kehidupan dan tubuh itu sama atau berbeda? Apakah Sang Tathagatha ada setelah kematian atau apakah Beliau tidak ada setelah kematian? Apakah Beliau ada dan sekaligus tidak ada atau bukan ada dan bukan pula tidak ada setelah kematian? Apakah salah satu dari pernyataan itu merupakan satu-satunya yang benar dan yang lain salah?”
“Uttiya, semua itu tidak kunyatakan: bahwa dunia terbatas … bahwa Sang Tathagata bukan ada dan bukan pula tidak ada setelah kematian; tidak juga kunyatakan bahwa salah satu dari pernyataan itu merupakan satu-satunya yang benar dan yang lain salah.”
“Tetapi bagaimanakah itu, Guru Gotama? Terhadap semua pertanyaan saya Guru Gotama menjawab tidak menyatakan demikian. Kalau demikian, apakah sebenarnya yang dinyatakan Guru Gotama?”
“Setelah mengetahuinya secara langsung, Uttiya, aku telah mengajarkan Dhamma kepada siswa-siswaku untuk pemurnian para makhluk, untuk pergi melampaui kesedihan dan ratap tangis, untuk menghentikan rasa sakit dan dukacita, untuk mencapai cara pembebasan dan untuk merealisasikan Nibbana.”
“Tetapi, jika Guru Gotama, dari pengetahuan langsung, mengajarkan Dhamma kepada siswa-siswa Beliau untuk pemurnian para makhhuk, untuk pergi melampaui kesedihan dan ratap tangis, untuk menghentikan rasa sakit dan dukacita, untuk mencapai cara pembebasan dan untuk merealisasikan Nibbana, apakah seluruh dunia dengan demikian akan dibebaskan,65 atau setengahnya atau sepertiganya?”
Mendengar kata-kata ini, Yang Terberkahi tidak berkata apa-apa.66
Kemudian muncul pemikiran ini pada Y.M. Ananda: “Semoga Uttiya si kelana tidak mempunyai pendapat yang merugikan dengan berpikir, ‘Ketika aku mengajukan pertanyaan kepada Petapa Gotama tentang topik yang tinggi, Beliau terperangkap dan tidak menjawab. Mungkin Beliau tidak dapat menjawabnya.’ Pemikiran seperti itu akan merugikan dan membawa penderitaan bagi Uttiya untuk waktu yang lama.”
Kemudian Y.M. Ananda menoleh pada Uttiya dan berkata, “Aku akan memberikan sebuah perumpamaan, sahabat Uttiya, karena melalui perumpamaan orang-orang pandai dapat memahami arti dari apa yang sudah dikatakan.”
“Seandainya, sahabat Uttiya, raja mempunyai kota perbatasan. Di situ terdapat benteng-benteng dan menara-menara yang kuat di atas fondasi yang kokoh, dan hanya ada satu gerbang. Ada juga seorang penjaga gerbang yang pandai, berpengalaman dan bijaksana. Dia menjaga supaya orang-orang yang tidak dikenal tidak masuk dan hanya orang-orang yang dikenal saja yang diizinkan masuk. Si penjaga gerbang itu berjalan sepanjang jalan yang mengelilingi seluruh kota. Ketika sedang melakukannya, dia tidak melihat ada lubang atau celah di benteng-benteng. Tidak ada satu pun yang cukup besar bahkan untuk bisa dilewati kucing. Meskipun tidak mengetahui berapa banyak makhluk yang memasuki kota atau meninggalkannya, tetapi dia mengetahui satu hal ini: ‘Makhluk besar yang memasuki dan meninggalkan kota hanya bisa melakukannya melalui gerbang ini.’
“Demikian juga, sahabat Uttiya, Sang Tathagata tidak berurusan dengan apakah seluruh dunia akan dibebaskan oleh Ajaran Beliau atau hanya setengahnya atau sepertiganya saja. Tetapi Sang Tathagata mengetahui bahwa siapa pun yang telah dibebaskan, sedang dibebaskan sekarang atau akan dibebaskan dari dunia ini, mereka semua melakukannya dengan cara menyingkirkan lima penghalang yang mengotori pikiran dan melemahkan pemahaman, dengan cara teguh memantapkan pikiran mereka dalam empat landasan kewaspadaan, dan dengan cara mengembangkan tujuh faktor pencerahan di dalam sifat dasar sejatinya. Pertanyaan yang sama itu, sahabat Uttiya, yang sebelumnya telah kau tanyakan kepada Yang Terberkahi, telah kau tanyakan lagi dengan cara yang lain.”67
(X, 95)
202. Tidak Di Luar Ajaran Buddha
Sepuluh hal, para bhikkhu, tidak memiliki kemurnian dan kejelasan di luar Ajaran Guru Tertinggi. Apakah yang sepuluh itu?
(X, 123) Pandangan benar, niat benar, ucapan benar, tindakan benar, penghidupan benar, usaha benar, kewaspadaan benar, konsentrasi benar, pengetahuan benar, dan pembebasan benar.68
(X, 124) Dan jika sepuluh hal ini belum muncul, semuanya itu tidak akan muncul di luar Ajaran Guru Tertinggi.
(X, 125) Di luar Ajaran Guru Tertinggi sepuluh hal ini tidak akan memberikan buah dan manfaat yang besar.
(X, 126) Di luar Ajaran Guru Tertinggi, sepuluh hal ini tidak akan berakhir pada hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan.
(X, 127) Di luar Ajaran Guru Tertinggi, sepuluh hal ini membawa pada lenyap totalnya kemelekatan, hilangnya nafsu, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan dan Nibbana.
(X, 123-127)
203. Rangkaian Kamma
Penghancuran kehidupan, para bhikkhu, kunyatakan sebagai berunsur tiga: disebabkan oleh keserakahan, disebabkan oleh kebencian, disebabkan oleh kebodohan. Demikian pula dengan mengambil yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan yang salah, ucapan yang memecah-belah, ucapan yang kasar, obrolan yang tidak penting, ketamakan, niat jahat dan pandangan salah, kunyatakan sebagai berunsur tiga: yang disebabkan oleh keserakahan, disebabkan oleh kebencian dan disebabkan oleh kebodohan.69
Karena itu, para bhikkhu, keserakahan adalah pembuat rangkaian kamma, kebencian adalah pembuat rangkaian kamma, kebodohan adalah pembuat rangkaian kamma. Tetapi dengan hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan, rangkaian kamma pun terhenti.
(X, 174)
204. Yang Baik dan yang Buruk
Aku akan mengajarkan padamu, O para bhikkhu, yang baik dan yang buruk. Dengarkan dan perhatikanlah dengan saksama, aku akan berbicara ….
Dan apa, para bhikkhu, yang buruk itu? Menghancurkan kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan yang salah, ucapan yang memecah-belah, ucapan yang kasar, obrolan yang tidak penting, ketamakan, niat jahat dan pandangan salah. Inilah yang disebut buruk.
Dan apa, para bhikkhu, yang baik itu? Tidak menghancurkan kehidupan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak berperilaku seksual yang salah, tidak berucap yang salah, tidak berucap yang memecah-belah, tidak berucap yang kasar, tidak mengobrol yang tidak penting, tidak tamak, memiliki niat baik dan pandangan benar. Inilah yang disebut baik.
Aku akan mengajarkan padamu, O para bhikkhu, sifat-sifat yang mulia dan tidak mulia … yang bajik dan tidak bajik … apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya … Dhamma dan bukan-Dhamma … sifat-sifat yang murni dan tidak murni … sifat-sifat yang tercela dan yang tak-tercela … sifat-sifat yang menyiksa dan yang tak-menyiksa … sifat-sifat yang membawa pada pengembangan (lingkaran dumadi) dan yang membawa pada penyusutan (lingkaran) … sifat-sifat yang memunculkan penderitaan dan sifat-sifat yang memunculkan kebahagiaan … sifat-sifat yang menghasilkan penderitaan dan sifat-sifat yang menghasilkan kebahagiaan … jalan mulia dan jalan yang tidak mulia … jalan yang gelap dan jalan yang terang … sifat-sifat yang baik dan sifat-sifat yang buruk … sifat-sifat orang mulia dan orang jahat … sifat-sifat yang harus dibangkitkan dan sifat-sifat yang tidak boleh dibangkitkan … sifat-sifat yang harus dikejar dan yang tidak boleh dikejar … sifat-sifat yang harus dikembangkan dan yang tidak boleh dikembangkan … sifat-sifat yang harus ditumbuhkan dan yang tidak boleh ditumbuhkan … sifat-sifat yang harus dikumpulkan kembali dan yang tidak boleh dikumpulkan kembali … sifat-sifat yang harus diwujudkan dan yang tidak boleh diwujudkan.
Dan apa, para bhikkhu, sifat-sifat yang tidak boleh diwujudkan itu? Penghancuran kehidupan … pandangan salah. Inilah yang disebut sifat-sifat yang tidak boleh diwujudkan.
Dan apa, para bhikkhu, sifat-sifat yang harus diwujudkan itu? Tidak menghancurkan kehidupan … memiliki pandangan benar. Inilah yang disebut sifat-sifat yang harus diwujudkan.
(X, 178-97; gabungan)
205. Padamnya Kamma
Aku nyatakan, O para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan itu tidak akan padam selama hasilnya belum dialami, apakah di kehidupan ini juga, di kehidupan mendatang atau di kehidupan-kehidupan berikutnya. Dan selama hasil-hasil dari segala tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan itu belum dialami, tidak akan ada akhir penderitaan, demikian kunyatakan.70
Ada, para bhikkhu, kegagalan bernoda di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak bajik, yang memunculkan penderitaan, mengakibatkan penderitaan. Kegagalan bernoda ini berunsur tiga dalam tindakan fisik, berunsur empat dalam tindakan ucapan dan berunsur tiga dalam tindakan mental.
Bagaimana kegagalan bernoda di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak bajik ini berunsur tiga dalam tindakan fisik?
Ada orang yang menghancurkan kehidupan; dia kejam dan tangannya bernoda darah; dia cenderung melakukan pembantaian dan pembunuhan, karena tidak memiliki cinta kasih terhadap makhluk hidup.
Dia mengambil apa yang tidak diberikan kepadanya, didorong oleh niat mencuri barang-barang milik orang lain, baik di desa maupun di hutan.
Dia berperilaku salah di dalam hal seks; dia berhubungan seks dengan mereka yang berada di bawah perlindungan ayah, ibu, saudara laki laki, saudara perempuan, sanak saudara atau suku, atau komunitas agamanya; atau dengan mereka yang dijanjikan akan dinikahkan, yang dilindungi hukum, dan bahkan dengan mereka yang bertunangan dengan kalungan bunga di lehernya.71
Demikianlah kegagalan bernoda di dalam kehidupan itu berunsur tiga dalam tindakan fisik.
Dan bagaimana kegagalan bernoda di dalam kehidupan berunsur empat dalam tindakan ucapan?
Ada orang yang menjadi pembohong ketika dia berada di antara komunitasnya atau di kelompok lain, atau di antara sanak saudaranya, teman sekerjanya, di pengadilan negara, atau ketika dipanggil sebagai saksi dan diminta mengatakan apa yang diketahuinya. Kemudian, meskipun tidak tahu, dia akan berkata, “Saya tahu”; meskipun tahu, dia akan berkata “Saya tidak tahu”; meskipun tidak melihat, dia akan berkata, “Saya telah melihat”; dan meskipun telah melihat, dia akan berkata, “Saya tidak melihat”. Dengan cara itu dia mengucapkan kebohongan yang disengaja, baik demi dirinya sendiri, demi orang lain, atau demi keuntungan materi.
Dia mengeluarkan ucapan yang memecah belah: apa yang didengarnya di sini dilaporkannya di tempat lain untuk menimbulkan konflik di sana; dan apa yang didengarnya di sana dilaporkannya di sini untuk menimbulkan konflik di sini. Dengan demikian dia menciptakan perselisihan di antara mereka yang bersatu, dan dia masih juga menghasut lagi mereka yang sedang berselisih. Dia menyukai perselisihan, dia bergembira dan bersukacita di dalamnya, dan dia mengucapkan kata-kata yang menyebabkan perselisihan.
Dia berbicara dengan kasar, menggunakan ucapan yang keras, kasar, pahit dan sewenang-wenang, yang membuat orang lain marah dan menyebabkan kebingungan pikiran. Demikianlah ucapan yang dikeluarkannya.
Dia gemar mengobrol yang tidak penting: dia membicarakan apa yang tidak pada waktunya, yang tidak beralasan dan tidak bermanfaat, yang tidak ada hubungannya dengan Dhamma atau Vinaya: Pembicaraannya tidak berharga untuk disimpan, tidak menguntungkan, tidak dianjurkan, tidak terkendali, dan mencelakakan.
Demikianlah kegagalan yang bernoda di dalam kehidupan itu berunsur empat dalam tindakan ucapan.
Dan bagaimana kegagalan yang bernoda di dalam kehidupan berunsur tiga dalam tindakan mental?
Ada orang yang tamak; dia menginginkan kekayaan dan harta benda orang lain. Dia berpikir: “O, apa yang dia miliki itu seharusnya kumiliki!”
Ada juga orang yang memiliki niat jahat di hatinya. Dia memiliki pikiran yang keji, seperti misalnya: “Biarlah makhluk-makhluk ini dibantai! Biarlah mereka dibunuh dan dihancurkan! Semoga mereka musnah dan tidak ada lagi!”
Dia memiliki pandangan-pandangan yang salah dan pemikiran yang menyimpang, seperti misalnya: “Tidak ada nilai moral dalam pemberian, persembahan atau pengorbanan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau jahat: tidak ada dunia ini ataupun dunia lain;72 tidak ada kewajiban-kewajiban terhadap ibu dan ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada petapa atau brahmana di dunia ini yang hidup dan berperilaku benar, yang dapat menjelaskan dunia ini dan dunia selanjutnya, setelah merealisasikannya melalui pengetahuan langsung mereka.”
Demikianlah kegagalan bernoda di dalam kehidupan – yang disebabkan oleh keinginan yang tidak bajik, memunculkan penderitaan, berakibat dalam penderitaan – itu berunsur tiga dalam tindakan mental.
Demikianlah kegagalan bernoda di dalam kehidupan, yang berunsur tiga dalam tindakan fisik, berunsur empat dalam tindakan ucapan dan berunsur tiga dalam tindakan mental, dan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak bajik, memunculkan penderitaan; berakibat dalam penderitaan. Disebabkan oleh kegagalan di dalam kehidupan inilah maka dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, makhluk-makhluk itu akan terlahir kembali di alam penderitaan, di tempat tujuan yang buruk, di dunia yang rendah, di neraka.
Sama seperti lemparan dadu yang sempurna, ketika dilemparkan ke atas akan terjatuh dengan mantap di mana pun jatuhnya. Seperti itu pula, karena kegagalan-kegagalan bernoda di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak bajik, maka makhluk-makhluk itu akan terlahir kembali di alam penderitaan … di neraka.
Kunyatakan, para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan tidak akan padam apabila hasilnya belum dialami, apakah di kehidupan ini juga, di kehidupan mendatang atau di kehidupan kehidupan berikutnya. Dan selama hasil-hasil dari berbagai tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan itu belum dialami, tidak akan ada akhir penderitaan, ini kunyatakan.
Ada, para bhikkhu, keberhasilan di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang bajik, yang memunculkan kebahagiaan, berakibat dalam kebahagiaan. Keberhasilan ini berunsur tiga dalam tindakan fisik, berunsur empat dalam tindakan ucapan dan berunsur tiga dalam tindakan mental.
Bagaimana keberhasilan di dalam kehidupan yang disebabkan keinginan bajik ini berunsur tiga dalam tindakan fisik?
Ada orang yang tidak menghancurkan kehidupan, dengan kail dan senjata yang disingkirkan, dia berhati-hati dan baik hati serta berdiam dalam kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dia tidak mengambil apa yang tidak diberikan kepadanya dan tidak didorong oleh niat mencuri barang-barang milik orang lain, baik di desa maupun di hutan.
Dia menghentikan perilaku seksual yang salah dan tidak melakukannya. Dia tidak melakukan hubungan seks dengan mereka yang berada di bawah perlindungan ayah, ibu … tidak pula dengan mereka yang bertunangan dengan kalungan bunga di lehernya.
Demikianlah keberhasilan di dalam kehidupan itu berunsur tiga dalam tindakan fisik.
Dan bagaimana keberhasilan di dalam kehidupan berunsur empat dalam tindakan ucapan?
Ada orang yang telah menghentikan ucapan yang tidak benar dan tidak melakukannya. Ketika dia berada di antara komunitasnya atau di kelompok lain, atau di antara sanak saudara, teman sekerja, di pengadilan negara, atau ketika dipanggil sebagai saksi dan diminta mengatakan apa yang diketahuinya, maka bila tahu, dia akan berkata, “Saya tahu”; dan bila tidak tahu, dia akan berkata, “Saya tidak tahu”; bila telah melihat, dia akan berkata, “Saya telah melihat”; dan bila tidak melihat, dia akan berkata, “Saya tidak melihat”. Dia tidak mengucapkan kebohongan yang disengaja, baik demi dirinya sendiri, demi orang lain, atau demi keuntungan materi.
Dia telah menghentikan ucapan yang memecah belah dan tidak melakukannya. Apa yang sudah didengarnya di sini tidak akan dilaporkannya di tempat lain untuk menimbulkan konflik di sana; dan apa yang telah didengarnya di sana tidak akan dilaporkannya di sini untuk menimbulkan konflik di sini. Dengan demikian dia mempersatukan mereka yang sedang bermusuhan dan mendukung mereka yang bersatu. Kerukunan membuatnya senang, dia bergembira dan bersukacita dalam kerukunan, dan dia mengucapkan kata-kata yang menyebabkan kerukunan.
Dia telah menghentikan ucapan yang kasar dan tidak melakukannya. Kata-katanya lembut, enak didengar, penuh kasih, menghangatkan hati, sopan, dapat diterima banyak orang, menyenangkan banyak orang.
Dia telah menghentikan percakapan yang sia-sia dan tidak melakukannya. Dia berbicara pada saat yang tepat, sesuai fakta dan tentang hal-hal yang bermanfaat. Dia berbicara tentang Dhamma dan Vinaya dan berbicara dengan cara yang pantas disimak. Pembicaraannya bermanfaat, membantu, pantas dan penuh makna.
Demikianlah keberhasilan di dalam kehidupan ini berunsur empat dalam tindakan ucapan.
Dan bagaimana keberhasilan di dalam kehidupan berunsur tiga dalam tindakan mental?
Di sini ada orang yang bebas dari ketamakan; dia tidak iri terhadap kekayaan dan harta benda orang lain. Dia tidak berpikir, “O, apa yang dia miliki itu seharusnya kumiliki!”
Dia tidak memiliki niat jahat di hatinya. Dia memiliki pemikiran dan niat murni, seperti misalnya: “Semoga makhluk-makhluk ini bebas dari permusuhan, bebas dari kecemasan! Semoga mereka tidak terganggu dan hidup dengan bahagia!”
Dia memiliki pandangan benar dan perspektif yang tepat, seperti misalnya: “Ada nilai moral dalam pemberian, persembahan dan pengorbanan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau jahat; ada dunia ini dan sekaligus dunia lain; ada kewajiban-kewajiban terhadap ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada petapa atau brahmana di dunia ini yang hidup dan berperilaku benar, yang dapat menjelaskan dunia ini dan dunia selanjutnya, setelah merealisasikannya melalui pengetahuan langsung mereka.”
Demikianlah keberhasilan di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang bajik itu berunsur tiga dalam tindakan mental.
Keberhasilan di dalam kehidupan yang berunsur tiga dalam tindakan fisik, berunsur empat dalam tindakan ucapan dan berunsur tiga dalam tindakan mental, dan yang telah disebabkan oleh keinginan yang bajik, memunculkan kebahagiaan dan berakibat dalam kebahagiaan. Disebabkan oleh keberhasilan di dalam kehidupan inilah maka dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, makhluk-makhluk itu akan terlahir kembali di tempat tujuan yang baik, di alam surga.
Sama seperti lemparan dadu yang sempurna, ketika dilemparkan ke atas akan terjatuh dengan mantap di mana pun jatuhnya. Seperti itu pula, karena keberhasilan di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang bajik, maka makhluk-makhluk itu akan terlahir kembali di tempat tujuan yang baik, di alam surga.
Aku nyatakan, O para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan itu tidak akan padam apabila hasil-hasilnya belum dialami, apakah di kehidupan ini juga, di kehidupan mendatang atau di kehidupan-kehidupan berikutnya. Dan selama hasil-hasil dari berbagai tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan itu belum dialami, tidak akan ada akhir penderitaan, demikian kunyatakan.
(X, 206)
206. Empat Keadaan Tanpa Batas
“Aku nyatakan, para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati… (seperti akhir teks di atas).
‘Tetapi seorang siswa mulia – tanpa ketamakan, tanpa niat jahat, tidak bingung, memahami dengan jelas, penuh kewaspadaan – berdiam dengan menyelimuti seperempat bagian dengan pikiran yang memiliki cinta kasih, demikian pula bagian yang kedua, ketiga dan keempat. Demikian juga ke atas, ke bawah, ke seberang dan ke mana pun, dan pada semua makhluk seperti pada dirinya sendiri, dia berdiam dengan menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang memiliki cinta kasih, luas, mulia, tak-terukur, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat.”Dia mengetahui: ‘Dulu pikiranku sempit dan tidak berkembang; tetapi sekarang pikiranku tak-terukur dan telah berkembang dengan baik. Tidak ada kamma terukur yang akan tersisa di dalamnya, tidak ada yang akan bertahan di sana.’73
“Bagaimana pendapatmu, para bhikkhu: jika seorang pemuda, sejak masa kanak-kanak dan seterusnya, mengembangkan pembebasan pikiran dengan cinta kasih, apakah dia akan melakukan perbuatan jahat?”
“Tidak, Bhante.”
“Dan karena tidak melakukan perbuatan jahat, apakah penderitaan akan menimpanya?”74
“Tidak akan, Bhante. Bagaimana penderitaan bisa menimpa orang yang tidak melakukan perbuatan jahat?”
“Benar, para bhikkhu, pembebasan pikiran oleh cinta kasih harus dikembangkan dengan baik oleh pria atau wanita. Pria atau wanita tidak dapat membawa tubuhnya pada saat mereka pergi; makhluk hidup memiliki kesadaran sebagai mata rantai penghubung.’75
“Tetapi seorang siswa mulia mengetahui: ‘Perbuatan jahat apa pun yang pernah kulakukan dengan tubuh jasmani ini, hasil-hasilnya akan dialami di sini dan mereka tidak akan mengikutiku.’76
“Cinta kasih, jika dikembangkan sedemikian rupa, akan membawa menuju keadaan Yang-Tidak-Kembali-Lagi, bagi bhikkhu yang telah mantap dalam kebijaksanaan yang terdapat di dalam Ajaran ini tetapi masih belum menembus pembebasan yang lebih tinggi.”77
“Dia berdiam dengan menyelimuti seperempat bagian dengan pikiran yang memiliki kasih sayang … dengan kegembiraan bersimpati … dengan tenang-seimbang, demikian pula bagian yang kedua, ketiga dan keempat. Demikian juga ke atas, ke bawah, ke seberang dan ke mana pun, dan pada semua makhluk seperti pada dirinya sendiri, dia berdiam dengan menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang memiliki kasih sayang, kegembiraan bersimpati dan ketenangseimbangan, luas, mulia, tak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat.
“Dia mengetahui: ‘Dulu pikiranku sempit dan tidak berkembang; tetapi sekarang pikiranku tak-terukur dan telah berkembang dengan baik. Tidak ada kamma terukur yang akan tersisa di dalamnya, tidak ada yang akan bertahan di sana.’
“Bagaimana pendapatmu, para bhikkhu: jika seorang pemuda, sejak masa kanak-kanak dan seterusnya, mengembangkan kasih sayang, kegembiraan bersimpati dan ketenangseimbangan, apakah dia akan melakukan perbuatan jahat?”
“Tidak, Bhante.”
“Dan karena tidak melakukan perbuatan jahat, apakah penderitaan akan menimpanya?”
“Tidak akan, Bhante. Bagaimana penderitaan bisa menimpa orang yang tidak melakukan perbuatan jahat?”
“Benar, para bhikkhu, pembebasan pikiran oleh kasih sayang … oleh kegembiraan bersimpati … oleh ketenangseimbangan harus dikembangkan dengan baik oleh pria atau wanita. Pria atau wanita tidak dapat membawa tubuhnya pada saat mereka pergi; makhluk hidup memiliki kesadaran sebagai mata rantai penghubung.
“Tetapi seorang siswa mulia mengetahui: ‘Perbuatan jahat apa pun yang pernah kulakukan dengan tubuh jasmani ini, hasil-hasilnya akan dialami di sini dan mereka tidak akan mengikutiku”.
“Kasih sayang, kegembiraan bersimpati dan ketenangseimbangan, jika dikembangkan sedemikian rupa, akan membawa menuju keadaan Yang-Tidak-Kembali-Lagi, bagi bhikkhu yang telah mantap dalam kebijaksanaan yang terdapat dalam Ajaran ini tetapi masih belum menembus pembebasan yang lebih tinggi.
(X, 208)
Catatan
1 Sutta ini sebagian mengulang Teks 128. Lihat Bab VI, no. 26 untuk penjelasan istilah-istilah teknisnya.
2 AA: “Dari ‘pantai sebelah sini’, dari tiga alam dumadi, ke ‘pantai seberang’, Nibbana.”
3 AA: “Dia tidak mencerap melalui persepsi yang muncul dengan mengambil tanah sebagai objeknya.” Persepsi tentang empat elemen ini sesuai dengan jhana, yang kadang-kadang mengambil elemen-elemen itu sebagai objek (lihat Teks 190 §4). Empat persepsi berikutnya jelas mengacu pada meditasi tanpa-bentuk. Dua persepsi terakhir dimaksudkan untuk mencakup semua, untuk menunjukkan bahwa dia telah meninggalkan semua persepsi keduniawian. Lihat Teks 207, yang menambahkan item kesebelas.
4 Kata “mencerap” (saññi) menghapus identifikasi keadaan ini dengan berhentinya persepsi dan perasaan (saññavedayita-nirodha). AA mengidentifikasikan konsentrasi ini dengan konsentrasi pencapaian buah (tingkat Arahat): “Jika dia menerapkan pikirannya pada (aspek Nibbana) yang damai, ketika duduk dia mungkin terus bersama pemikiran ‘damai’ itu bahkan sepanjang hari. Demikian pula dengan (aspek-aspek Nibbana) yang lain. Semua ini mengacu pada konsentrasi pencapaian buah (phala-samapatti-samadhi).”
5 Bhavanirodho nibbanam. Biasanya, bhava berarti “eksistensi”, yang bisa menyarankan berhentinya realitas objektif, dan ini tidak cocok. Yang dimaksudkan adalah berhentinya dumadi lagi, berhentinya kelahiran kembali, bagi seorang Arahat.
6 Lihat Teks 57; tentang “ketekunan”, lihat Bab I, no. 16.
7 Mengenai penguasa dunia, lihat Bab III, no. 1.
8 Penjelasan tentang bacaan ini terdapat di MN 2. Secara ringkas, dia menggunakan empat kebutuhan (jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan) setelah merenungkannya; dia menanggung perasaan sakit; dia menghindari bahaya fisik; dia menghalau pemikiran yang tak-bajik.
9 Ini merupakan “sepuluh pandangan spekulatif” yang terkenal. Mengenai hal-hal itu Sang Buddha menolak memberikan pernyataan. Lihat Teks 201 di bawah, dan MN 63, MN 72, SN Bab 44, dll.
10 “Bentukan tubuh” (kaya-sankhara) adalah pernafasan masuk keluar (lihat MN 44). Ini mereda di jhana keempat.
11 Lihat Teks 56.
12 Dasa Tathagata-balani. AA: “Ini adalah sepuluh kekuatan yang dimiliki hanya oleh Tathagata, karena Beliau tidak memiliki persamaan dengan yang lain.” Walaupun para siswa mungkin memiliki sebagian dari sepuluh kekuatan itu, hanya para Buddha yang memiliki seluruhnya sekaligus, sempurna dalam setiap hal. Sepuluh kekuatan Tathagata juga terdapat di MN 12, dan diberikan secara terperinci di Vibh 335-44 (§ 809-31) dan AAnya.
13 Brahma-cakkam. AA: “Brahma di sini berarti terbaik, tertinggi, superior. Brahma-cakka adalah dhamma-cakka, Roda Kebenaran. Dan ini berunsur dua, yang bergantung pada pengetahuan penembusan (pativedha-ñana) dan pengetahuan mengajar (desana-ñana). Pengetahuan penembusan dihasilkan oleh kebijaksanaan dan membawa Sang Tathagata menuju pencapaian buah mulia Beliau sendiri (ariyaphala); pengetahuan mengajar dihasilkan oleh kasih sayang yang memungkinkan Sang Tathagata memimpin makhluk- makhluk lain untuk mencapai buah mulia. Yang disebut pertama adalah supra-duniawi (lokuttara), sedangkan yang disebut belakangan adalah duniawi (lokiya). Tetapi dua jenis pengetahuan itu tidak dimiliki oleh yang lain, karena hanya Yang Sepenuhnya Tercerahkan saja yang memiliki jenis pengetahuan itu.”
14 Thanañca thanato athanañca atthanato. AA: “Fenomena itu, yang merupakan penyebab dan kondisi (hetu-paccaya) bagi munculnya fenomena lain, merupakan ‘penyebab’ (thana); dan fenomena yang bukan-penyebab dan kondisi bagi kemunculannya adalah ‘bukan penyebab’ (atthana).” Di Vibh 335-38 (§809), sebagai contoh dari penyebab dan bukan-penyebab, diberikan berbagai kemungkinan dan ketidakmungkinan yang disebutkan di AN I, xv (- MN 115).Beberapa di antaranya diterjemahkan di Teks 9.
15 Thanaso hetuso. AA menjelaskan thana di sini sebagai kondisi-kondisi (paccaya) yang dapat mengubah hasil dari kamma; sedangkan hetu (kondisi akar) berarti kamma. Di Vibh 338 (§810) dikatakan: “Sang Tathagata memahami demikian: ‘Ada beberapa tindakan jahat yang dilakukan, yang karena dicegah oleh kelahiran kembali yang beruntung (gati) … oleh tubuh yang beruntung (upadhi) … oleh waktu yang beruntung (kala) … oleh usaha yang beruntung (payoga), tidak menjadi matang; ada beberapa tindakan jahat yang dilakukan, yang karena kelahiran kembali yang sial … tubuh yang sial … waktu yang sial … usaha yang sial, menjadi matang.” Perubahan di dalam hasil kamma baik juga diperlakukan mirip seperti itu.
16 Sabbatthagamini-patipada. AA: “Di antara banyak orang yang masing-masing telah membunuh satu makhluk hidup saja, niat kamma satu orang bisa membawanya ke neraka, dan niat kamma orang lain bisa membuatnya terlahir di dunia binatang. Demikianlah Sang Buddha secara pasti mengetahoui sifat suatu tindakan, yaitu niat-niat bajik atau tak-bajik yang muncul pada situasi yang sama (tetapi akan membawa pada tempat tujuan yang berbeda).”
17 AA: “‘Banyak elemen’, seperti misalnya elemen mata, dll., elemen sensualitas, dll.; ‘berbeda’ mengacu pada berbagai sifat dari elemen-elemen itu. Dunia: dunia dari kelompok kehidupan, landasan indera, elemen-elemen.”
18 Adhimutti. Vibh 339 (§813): “Ada makhluk-makhluk yang memiliki sifat yang rendah dan makhluk-makhluk yang memiliki sifat yang tinggi. Mereka yang memiliki sifat yang rendah akan berhubungan, mendekati dan bergaul dengan makhluk-makhluk yang memiliki sifat yang rendah (seperti itu juga). Mereka yang memiliki sifat yang tinggi akan berhubungan, mendekati dan bergaul dengan makhluk-makhluk yang memiliki sifat yang tinggi (seperti itu juga). Demikianlah yang telah terjadi di masa lampau dan akan terjadi di masa mendatang.”
19 Indriya-paropariyattam. Vibh 340 (§814): “Sang Tathagata memahami kecenderungan mereka (asaya), kecenderungan yang mendasarinya (anusaya), kebiasaan (caritta) dan sifat-sifatnya (adhimutti); Beliau memahami makhluk yang hanya memiliki sedikit debu di matanya dan yang memiliki banyak debu; yang memiliki kemampuan spiritual yang tajam (keyakinan, dll.) dan kemampuan yang lemah; yang bersifat baik dan buruk; yang mudah diajar atau yang sulit diajar; yang mampu dan yang tidak mampu.”
20 Jhana-vimokkha-samadhi-samapatti. Empat jhana terdapat di Teks 39, dll.; untuk delapan pembebasan, lihat Nyanatiloka Thera, Buddhist Dictionary, s.v. vimokkha. Konsentrasi-konsentrasi itu adalah: dengan pemikiran (vitakka) dan pemeriksaan (vicara), tanpa pemikiran tetapi dengan pemeriksaan, dan tanpa keduanya. Sembilan pencapaian meditatif merupakan empat jhana, empat pencapaian tanpa-bentuk, serta berhentinya persepsi dan perasaan.
Pengetahuan yang berkenaan dengan, misalnya, kemajuan atau bagian dari jenis-jenis tertentu “pencapai-jhana” yang disebutkan di Vibh 342-43 (§828): mereka yang, setelah mencapainya, percaya bahwa mereka telah gagal; mereka yang, setelah gagal, percaya bahwa mereka telah mencapainya, dll.; mereka yang mencapainya dengan cepat atau dengan lambat, muncul darinya dengan cepat atau lambat, mencapai dengan cepat dan muncul darinya dengan cepat atau mencapai dengan lambat dan muncul darinya dengan lambat, mereka yang memiliki atau tidak memiliki keterampilan di dalam konsentrasi atau di dalam mempertahankan konsentrasi, mereka yang memiliki atau tidak memiliki keterampilan di dalam dua hal itu.
21 AA berkata “hal-hal ini” adalah sepuluh kekuatan Tathagata (lihat teks sebelumnya). Istilah-istilah doktrin (adhivuttipadani) dijelaskan di AA dan AT sebagai pandangan-pandangan (ditthi) dan konsep-konsep (paññatti). Sebagai konsep, “istilah-istilah doktrin” ini dikatakan merupakan ajaran-ajaran tentang kelompok kehidupan, landasan indera dan elemen-elemen, yang merupakan persamaan dari semua Buddha di masa lampau dan juga di masa mendatang, karena semua itu merupakan topik utama bagi penjelasan ajaran dari sudut pandang filsafat.
22 Kasi adalah nama lain untuk Benares.
23 Viparinama, yaitu kematian (AA).
24 Agge virajjati; yang tertinggi di dalam kekuatan dan prestasi duniawi.
25 Lihat Bab IV, no. 54.
22 “Alat-alat kasina” adalah cakram atau objek-objek yang mirip, yang digunakan sebagai penopang bagi praktek meditasi ketenangan; lihat Vism Bab IV dan V. Ruang kasina dan kesadaran kasina, masing-masing merupakan penopang objektif bagi meditasi tanpa-bentuk yang pertama dan kedua, landasan bagi ketidakterbatasan ruang dan landasan bagi ketidakterbatasan kesadaran.
27 Abhibhayatana: cara-cara untuk menguasai meditasi kasina. Di sini teksnya telah diringkas, karena tahap-tahap perantaranya hanya menjelaskan variasi di dalam bentuk bentuk objektif yang digunakan meditator agar bisa menguasainya.
28 Untuk analisis, lihat Teks 81.
29 AA: “Persepsi terbatas (paritta) adalah persepsi tentang lingkup indera, persepsi yang agung (mahaggata) adalah persepsi tentang lingkup bentuk, persepsi yang tak-terukur (appamana) adalah persepsi supra-duniawi (tentang empat jalan dan buahnya), sedangkan yang keempat adalah persepsi tentang landasan ketiadaan (pencapaian tanpa-bentuk yang ketiga).” Demikian AA, tetapi tampaknya Sang Buddha tidak mungkin menyatakan persepsi duniawi adalah lebih tinggi daripada persepsi supra-duniawi. Yang lebih mungkin adalah, persepsi “tak-terukur” mengacu pada persepsi bentuk-bentuk yang dapat diukur, atau pada tempat kediaman yang agung (di mana cinta kasih, dll. dipancarkan pada para makhluk yang tak-terukur), atau pada dua pencapaian tanpa-bentuk pertama (yang mengambil ketidakterbatasan sebagai objeknya).
30 No c’assam no ca me siya; na bhavissami, na me bhavissati. Ucapan pendek misterius yang mirip mantra ini terdapat di sutta-sutta dalam dua bentuk. Di dalam bentuk yang dicatat di sini ia merupakan ekspresi dari sifat anihilisasi (uccheda-ditthi), sebagaimana secara eksplisit dipastikan oleh SN 22:81; arti persisnya tetap belum dapat dipastikan. Dengan sedikit perubahan kata-kata, Sang Buddha menggunakannya menjadi sistem Beliau sendiri dan menyarankannya sebagai tema meditasi yang dapat digunakan para bhikkhu untuk menuju tingkat Tidak-Kembali-Lagi dan bahkan tingkat Arahat. Seperti yang dipakai oleh Sang Buddha, kata-kata itu berbunyi: No c’assa no ca me siya; na bhavissati na me bhavissatti, yang mungkin dapat diterjemahkan menjadi: “Tidak mungkin ada dan tidak mungkin itu milikku; itu tidak akan ada (dan) itu tidak akan menjadi milikku.” AA menjelaskan: “Seandainya saja tidak ada kekotoran batin dan kamma di masa lampau, tidak akan ada bagiku sekarang ini lima kelompok kehidupan. Maka aku pastikan bahwa di masa kini tidak akan ada kekotoran batin dan kamma, sehingga di masa mendatang tidak akan ada lagi bagiku pembaharuan dari lima kelompok kehidupan.” Di MN 106, versi Sang Buddha tentang formula itu terjadi sebagai salah satu perenungan bagi siswa mulia, yang pada jalan ketenangan akan menuju pada landasan ketiadaan; atau, jika digunakan sebagai tema untuk pandangan terang, akan memuncak pada tingkat Arahat. Di SN 22:55, Sang Buddha merekomendasikan meditasi tentang formula itu sebagai cara untuk memotong lima belenggu bawah (yaitu untuk mencapai tingkat Yang-Tidak-Kembali-Lagi). Di AN VII, 52, formulanya disebutkan dalam hubungannya dengan lima jenis Yang-Tidak-Kembali-Lagi dan pencapaian tingkat Arahat.
31 Bhave appatikkulyata … na bhavissati: harfiah: tidak akan ada tanpa-kejijikan terhadap eksistensi.Bhavanirodhe patikkulyata .. na bhavissati: harfiah: tidak akan ada kejijikan terhadap berhentinya eksistensi. Karena anihilasi muncul dari rasa jijik terhadap eksistensi, para anihilis menyambut berhentinya eksistensi, walaupun biasanya dia “pergi terlalu jauh” karena salah menafsirkan penghentian itu sebagai anihilisasi suatu diri yang nyata, seseorang yang ada (lihat It 49).
32 Paramattha-visuddhi. AA: “Ini adalah tanda untuk landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Landasan ketiadaan merupakan yang tertinggi sebagai landasan untuk pandangan terang, tetapi landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa persepsi adalah yang tertinggi dalam jangka waktu kehidupan yang panjang.”
33 Parama-ditthadhamma-nibbanam. Brahmajala Sutta (DN 1) menyebutkan lima jenis pandangan ini yang dimiliki oleh petapa non-Buddhis: yang pertama mengidentifikasikan kenikmatan indera sebagai Nibbana tertinggi di dalam kehidupan ini, sedangkan empat lainnya mengidentifikasikan empat jhana dengan Nibbana tertinggi.
34 AA menerangkan “pemahaman penuh” (pariñña) di sini dengan meninggalkan (samatikkama). Pemahaman total tentang (atau melampaui) kenikmatan indera terjadi pada jhana pertama; tentang bentuk-bentuk pada pencapaian meditatif tanpa-bentuk; dan tentang perasaan, pada pencapaian Nibbana. Di sini semua jenis perasaan telah ditinggalkan.
35 Anupada-parinibbanam. AA: Ini adalah Nibbana terakhir yang bebas dari segala pengkondisian (appaccaya). AA menjelaskan bahwa Sang Buddha memberikan sutta ini untuk menghalau ketidakpuasan dari 500 bhikkhu yang sedang merasa tertekan karena kehidupan selibat. Ketika mendengar hal ini, mereka mengatasi ketidakpuasan itu dan mencapai tingkat Pemasuk-Arus. Pada kesempatan sesudahnya, setelah lebih mengembangkan pandangan terang, mereka mencapai tingkat Arahat.
36 Uyyodhika. Mungkin ini adalah taktik perang di mana raja, secara aktif bergabung dengan salah satu pihak, yaitu yang menang. Tetapi AA, yang mungkin terpengaruh oleh istilah “yang menang”, berpendapat bahwa hal itu mengacu pada peperangan aktual dengan Raja Ajatasattu. Raja Pasenadi melakukan tindakan serupa, memberi hormat kepada Sang Buddha di MN 89, walaupun alasan-alasan yang diberikan di sana berbeda dari yang terdapat di sutta ini.
37 Sutta ini merupakan salah satu bagian standar yang setiap hari selalu diucap-ulang di vihara-vihara Buddhis Theravada di Asia Selatan dan Tenggara. Ada beberapa hal yang harus dijelaskan: Merenungkan tentang seseorang yang telah memasuki “kondisi tanpa kelas” memang sungguh berat di dalam masyarakat yang amat menekankan perbedaan kasta; memasuki kehidupan tanpa-rumah berarti meninggalkan hak istimewa kasta, dan bersatu dengan Sangha “sama seperti air dari lima sungai besar bersatu dengan samudera” (Teks 157 §4). Merenungkan tentang bagaimana orang menghabiskan siang dan malamnya membuat bhikkhu terhindar dari kemalasan dan kelengahan, dan perenungan ini berfungsi untuk mengingatkan agar dia menggunakan waktunya untuk mengembangkan jalan ke Nibbana. Pertanyaan, “Apakah aku senang berada di gubuk kosong?” menunjukkan perlunya membaktikan upayanya pada meditasi, karena “gubuk kosong” memang dibuat untuk aktivitas meditasi. Item terakhir berfungsi untuk mendorong usaha sehingga pada waktu kematian dia mempunyai penghiburan bahwa kehidupannya sebagai bhikkhu telah memberikan hasil yang baik. “Perbedaan supra-manusiawi di dalam pengetahuan dan pandangan yang berharga bagi para suci” di dalam konteks ini adalah pencapaian salah satu tingkat pencerahan; lihat VI, no. 43.
38 Bandingkan Teks 179 di atas. Bila pertanyaan-pertanyaan belakangan itu mengacu pada “pemikiran yang bertujuan”, di sini mereka dimaksudkan untuk “semua hal (yang terkondisi)”. Lihat penjelasan di Bab IX, no. 11. Beberapa terjemahan yang digunakan di sini berasal dari terjemahan teks ini oleh Bhikkhu Ñanananda di The Magic of the Mind.
39 Chandamulaka sabbe dhamma. Tampaknya, pengertiannya adalah bahwa lima kelompok kehidupan (“segala sesuatu”) menjadi ada melalui nafsu keinginan dari kehidupan sebelumnya, yang membuat terjadinya eksistensi sekarang ini.
40 Manasikarasambhava sabbe dhamma. Dunia objek menjadi ada bagi kesadaran hanya melalui perhatian (manasikara).
41 Karena Tanpa-Kematian dan Nibbana adalah sinonim, untuk membedakannya di sini AA mengidentifikasikan “Tanpa-Kematian” dengan elemen Nibbana dengan residu yang tersisa, dan “Nibbana” dengan elemen-Nibbana dengan tidak ada residu yang tersisa. Lihat Bab IV, no. 12.
42 Yatha-pabbajja-paricitam, yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita pentahbisan, yaitu pencapaian tingkat Arahat.
43 Bhavañca vibhavañca: Terjemahannya mengikuti AA, yang menjelaskan kata-kata ini denganvuddhi-vinasa (perkembangan dan penyusutan) dan sampatti-vipatti (keberhasilan dan kegagalan).
44 Ini mengacu pada muncul dan terurainya lima kelompok kehidupan.
45 Persepsi tentang ketidakkekalan, tanpa-diri, kekotoran, bahaya, meninggalkan, tanpa nafsu dan penghentian dianalisis di dalam Teks 196 di bawah.
46 Selain dari teks ini tidak ada informasi lagi tentang Y.M. Girimananda. Di negara-negara Buddhis Theravada, sutta ini mempunyai status khusus sebagai paritta, khotbah pelindung, yang sering diulang untuk orang yang terkena penyakit serius.
47 Lihat Teks 142 §1.
48 Terjemahan tentang daftar penyakit yang panjang ini mengikuti Bhikkkhu Ñanamoli (1972).
49 Persepsi ini dan persepsi selanjutnya merupakan perenungan refleksi tentang Nibbana. Keduanya dibahas di bawah “perenungan tentang kedamaian”, yang dijelaskan di Vism VIII, 245-51.
50 Lihat Teks 142 §4.
51 Sulit dilihat persisnya bagaimana penjelasan ini behubungan dengan tema ketidakkekalan. Beberapa menamakan persepsi ini sabbasankharesu anicchasañña, “persepsi tanpa-keinginan (atau tanpa-nafsu) sehubungan dengan semua bentukan”, yang mungkin lebih asli.
52 Seluruh sutta (MN 118) dan seluruh bab di SN (Bab 54) diberikan untuk mengulas subjek meditasi ini. Untuk penjelasan terperinci menurut metode komentar, lihat Vism VIII, 145-244. Lihat juga Bhikkkhu Ñanamoli (1982). Mengenai “empat landasan kewaspadaan”, bait pertama menjelaskan perenungan tentang tubuh; yang kedua perenungan tentang perasaan; yang ketiga perenungan tentang pikiran; dan yang keempat perenungan tentang fenomena. Tiga bait pertama dapat dikembangkan dengan cara ketenangan atau pandangan terang, sedangkan yang keempat sepenuhnya merupakan subjek meditasi pandangan terang.
53 “Bentukan tubuh” (kaya-sankhara) adalah nafas itu sendiri, yang menjadi makin tenang sementara konsentrasi makin dalam.
54 “Bentukan mental” (citta-sankhara) adalah persepsi dan perasaan.
55 Perenungan tentang meredanya (viraganupassana) dan tentang berhentinya (nirodhanupassana) merupakan aspek perenungan tentang ketidakkekalan, yang merupakan indikasi bagi kebijaksanaan yang lebih dalam tentang terurainya fenomena. Perenungan tentang pelepasan (patinissagganupassana) dijelaskan sebagai pelepasan kekotoran batin Dan kehidupan-kehidupan mendatang sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan, dan “peluncuran” pikiran ke arah Nibbana. Lihat Vism VIII, 236.
56 Kebodohan (avijja) adalah mata rantai pertama di dalam rantai asal mula yang saling bergantungan. Dengan menunjukkan bahwa kebodohan itu sendiri terkondisi, teks kami mengesampingkan konsep yang salah bahwa kebodohan adalah Penyebab Pertama yang metafisik; demikian juga tentang nafsu keinginan, yang menurut Kebenaran Mulia kedua, merupakan asal mula penderitaan, yang juga bukan merupakan penyebab yang tanpa sebab. Demikianlah pernyataan-pernyataan serupa tentang kebodohan dibuat tentang nafsu keinginan di alinea berikutnya. Kebodohan dan nafsu keinginan, walaupun merupakan kondisi akar yang sangat kuat bagi samsara, tetap saja merupakan fenomena terkondisi sehingga dapat dihapus; tanpa itu, pembebasan tidak akan mungkin. Lihat Vism XVII, 36-39.
57 “Makanan pendukung” (ahara) digunakan di sini dalam pengertian kondisi pendukung yang kuat. Contoh tentang bagaimana lima penghalang mengkondisikan kebodohan terdapat di Teks 111. Di situ lima penghalang itu dikatakan membuat orang tidak mengetahui kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan orang-orang lain. Di MN 9, noda-noda (asava) dinyatakan sebagai faktor-faktor pengkondisi kebodohan, dan di Teks 131 §6 kebodohan dikatakan sebagai kondisi bagi noda-noda. Lihat Bab VI, no. 39.
58 Perilaku yang salah lewat perbuatan, ucapan dan pikiran.
59 Harfiah: “Ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik menjadi penuh, hubungan ini akan mengalir pada mendengarkan ajaran-ajaran yang salah.” Demikian juga di alinea berikutnya. Ekspresi “menjadi penuh” berhubungan dengan perumpamaan di alinea berikutnya.
60 Desa Nalaka adalah tempat kelahiran dan kematian Y.M. Sariputta. Setelah penahbisannya, baru satu kali beliau mengunjungi desa kelahirannya itu untuk meninggal dunia di sana, jadi dialog ini pasti terjadi pada waktu itu.
61 Ini adalah tiga kekotoran pertama, yang ditinggalkan oleh jalan Pemasuk-Arus.
62 Vajjiyamahita adalah salah satu siswa awam yang dikatakan di AN VI, 131: “Dia telah menjadi yakin terhadap Yang Terberkahi, telah melihat Tanpa-Kematian, dan hidup setelah merealisasikan Tanpa-Kematian.” Menurut AA, ini mengacu pada tingkat seorang yang berlatih (sekha), bukan Arahat, seperti yang dikatakan oleh beberapa penafsir bacaan itu.
63 Vibhajjavadi bhagava, na so bhagava ettha ekamsavadi. Di kemudian hari, Ajaran Sang Buddha, seperti yang didokumentasikan di Tipitaka Pali dan diturunkan oleh mazhab Theravada, disebut Vibhajjavada, yaitu doktrin yang membedakan dan bersifat diskriminatif, yang berbeda dengan doktrin satu sisi (ekamsa) yang menggeneralisasikan. Ungkapan ini mungkin berasal dari sutta ini.
64 Kata venayiko, yang disini diterjemahkan “nihilis”, secara harfiah berarti “orang yang tersesat”; kata ini tampaknya telah digunakan oleh para brahmana untuk mencela Sang Buddha yang telah menolak otoritas Kitab Veda. Di situ dinyatakan absahnya pembagian kasta dan ide diri yang kekal. AA menjelaskan appaññattiko dengan “tidak membuat pernyataan pasti”: (Tuduhannya adalah) Sang Buddha membuat pernyataan tentang Nibbana yang tidak dapat diketahui (apaccakkha), tetapi tidak dapat menyatakan apa pun (yang pasti) tentang (keberadaan dunia) diciptakan sendiri (atau diciptakan oleh yang lain), dsb.” Mengenai hal ini, lihat Teks 201.
65 Niyati: harfiah, “akan dibawa keluar”, yaitu dari samsara, dunia penderitaan.
66 AA: “Yang Terberkahi tetap diam karena pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang tidak bisa diterima, karena berdasar atas pandangan salah tentang diri.
67 Pertanyaan-pertanyaan Uttiya tentang kekekalan dunia, dll., demikian juga pertanyaan selanjutnya tentang keselamatan seluruh dunia, keduanya masuk ke dalam kelompok pertanyaan yang “harus dikesampingkan” (thapaniya), karena pertanyaan-pertanyaan itu berlandaskan pada jelmaan substansi yang tidak ada, entah dalam konsep “dunia” yang digeneralisasikan, atau pengertian tentang diri yang hidup.
68 Ini merupakan delapan faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang ditingkatkan oleh buah, pengetahuan benar dan pembebasan benar. “Guru Tertinggi” (sugata) adalah Sang Buddha. Serangkaian sutta ini harus disatukan dengan pengertian bahwa toleransi Buddhis tradisional berarti bahwa Buddhisme menganggap semua agama itu sama-sama sarana yang dapat digunakan untuk menuju pembebasan. Menurut Sang Buddha, sistem spiritual lain mungkin mengajarkan praktek-praktek kebajikan yang bisa menyebabkan kelahiran ulang yang baik, tetapi jalan menuju pembebasan akhir – Nibbana, yaitu terbebas dari seluruh lingkaran kelahiran ulang hanya tersedia melalui Ajaran Beliau.
69 Sepuluh item ini adalah sepuluh ajaran tentang tindakan yang tak-bajik (akusala-kammapatha), yang dijelaskan secara terperinci di Teks 205. Teks ini menyatakan bahwa sepuluh hal ini dapat dimotivasi oleh yang mana pun dari tiga akar ketidakbajikan, namun kitab-kitab komentar menghubungkan beberapa tindakan tak-bajik tertentu dengan akar-akar tak-bajik tertentu, misalnya kebencian dengan penghancuran kehidupan dan ucapan yang kasar, sedangkan ketamakan dengan pencurian dan perilaku seks yang salah, dll.
70 Mengenai matangnya kamma yang berunsur tiga, lihat Teks 24 dan Bab III, no. 13. Pernyataan Sang Buddha – bahwa tidak ada penderitaan yang berakhir tanpa mengalami hasil-hasil dari semua tindakan yang sudah dilakukan – harus dipahami dengan syarat (yang diperjelas oleh AA sehubungan dengan “kamma yang matang di kehidupan-kehidupan mendatang) bahwa acuannya adalah pada “kamma yang sebenarnya mampu memberikan hasil kamma” (vipakarahakamma). Tetapi dalam situasi tertentu, kamma dapat dianulir oleh kamma penghancur atau yang berlawanan. Dan Arahat, dengan menghentikan kondisi-kondisi bagi kelahiran kembali, memadamkan potensi matangnya semua kamma lampaunya. Pernyataan di teks kami harus juga dipahami dalam pengertian sutta berikutnya: “Seandainya dikatakan bahwa dengan cara apa pun orang melakukan suatu tindakan kamma, maka dengan cara yang persis sama pula dia akan mengalami hasilnya – maka tidak akan ada (kemungkinan bagi) kehidupan suci, dan tidak akan ada kemungkinan yang muncul untuk mengakhiri penderitaan secara total. Tetapi seandainya dikatakan bahwa orang – yang melakukan suatu tindakan kamma (dengan hasil) yang bisa dialami secara berbeda-beda – akan menuai hasilnya sesuai dengan itu – maka akan ada (kemungkinan bagi) kehidupan suci, dan akan ada kemungkinan yang muncul untuk mengakhiri penderitaan secara total” (AN III, 110).
71 Empat yang terakhir masing-masing mengacu pada: (i) wanita yang dilindungi oleh umat agamanya; (ii) wanita yang pada waktu lahir atau di masa kanak-kanak telah dijanjikan untuk dijodohkan; (iii) wanita yang dilarang mengadakan hubungan seks oleh penguasa (mungkin tawanan wanita?); dan (iv) gadis yang diberi kalungan bunga oleh seorang laki-laki sebagai tanda pertunangan.
72 Komentar untuk MN 41: “Bagi mereka yang hidup di dunia ini, tidak ada lagi dunia lain (yang akan dituju setelah kematian); dan untuk mereka yang hidup di dunia lain, tidak ada dunia ini (yang akan dituju setelah kematian).” Tetapi mungkin maksudnya adalah tidak ada lagi kelahiran kembali di dunia ini atau di dunia lain. Pada penafsirannya, pandangan itu mempertahankan bahwa para makhluk musnah pada waktu kematian.
73 Pamanakatam kammam: AA: = kamma yang termasuk lingkup-indera (kamavacara-kamma). Maksudnya, jika seseorang mencapai dan menguasai “pembebasan pikiran oleh cinta-kasih” pada tingkat jhana, maka potensi kamma dari pencapaian jhana ini akan menggeser kamma lingkup-indera dan akan menyebabkan kelahiran kembali di alam bentuk.
74 Yaitu, penderitaan yang merupakan akibat dari kamma tak-bajik sebelumnya.
75 Cittantara. AA memberikan dua penjelasan: (i) dengan mengambil antara yang berarti penyebab, “Dengan kesadaran (kamma) sebagai penyebab, seseorang akan menjadi makhluk dewa atau makhluk neraka”; (2) dengan mengambil antara yang berarti perantara, “Di deretan yang paling dekat dengan kesadaran-kematian, pada momen kedua, yaitu kesadaran-kelahiran-kembali, orang akan menjadi makhluk dewa, makhluk neraka atau binatang.”
76 AA: “Itu akan merupakan pematangan kamma dalam kehidupan ini (dittha-dhamma-vedaniya-kamma). Mereka tidak akan mengikuti makhluk ke kehidupan berikutnya, karena pematangan dalam kehidupan berikutnya (upapajja-vedaniya) telah terpotong lewat praktek cinta-kasih. Bacaan ini harus dipahami sebagai refleksi yang dilakukan oleh seorang Pemasuk-Arus atau Yang-Kembali-Sekali-Lagi.”
77 “Yang-Tidak-Kembali-Lagi” (anagamita), menurut AA, mengacu kepada pencapaian Yang-Tidak-Kembali-Lagi berdasarkan pada jhana yang diperoleh melalui meditasi cinta-kasih. Begitu juga dalam kasus brahma-vihara lainnya.
AA menjelaskan idha-paññasa bhikkhuno (harfiah: “bhikkhu kebijaksanaan-di-sini”) sebagai bhikkhu dengan kebijaksanaan yang ditemukan di sini, di dalam Ajaran ini (imasmim sasane), yang dimiliki oleh siswa agung yang mantap dalam kebijaksanaan agung mengenai kehidupan yang sejalan dengan Ajaran itu, tetapi “yang belum menembus pembebasan yang lebih tinggi”, yaitu menuju tingkat Arahat.

Tidak ada komentar: