Kelompok Sembilan
175. Meghiya
Pada
suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Calika, di Bukit Calika. Di sana, Y.M.
Meghiya – yang pada waktu itu adalah pendamping Yang Terberkahi1 –
menghampiri Yang Terberkahi, memberi hormat kepada Beliau, dan berkata sambil
berdiri di satu sisi:
“Bhante,
saya ingin pergi ke Jantugama untuk mengumpulkan dana makanan.”
“Engkau
boleh melakukan apa yang kau pikir tepat, Meghiya.”
Maka
Y.M. Meghiya setelah berpakaian di pagi hari, mengambil jubah serta mangkuknya
– pergi ke Jantugama untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah berkeliling
mengumpulkan dana dan kemudian makan, dia pergi ke tepi Sungai Kimikala.
Di
sana, ketika berjalan berkeliling untuk meregangkan kaki, dia melihat hutan
mangga yang menyenangkan dan indah. Pada saat melihat hutan itu, dia berpikir:
“Sungguh menyenangkan hutan mangga ini; sungguh indah. Benar-benar tempat ini
cocok bagi orang yang ingin berjuang dalam meditasi. Jika Yang Terberkahi
mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga ini untuk berjuang dalam
meditasi.”
Kemudian
Y.M. Meghiya menemui Yang Terberkahi dan berkata: “Bhante, setelah mengumpulkan
dana makanan dan makan di Jantugama, saya pergi ke tepi Sungai Kimikala. Ketika
berjalan di sana, saya melihat hutan mangga yang menyenangkan dan indah, yang
saya pikir cocok bagi orang yang ingin berjuang dalam meditasi. Jika Yang
Terberkahi mengizinkan, saya akan pergi ke sana dan berjuang dalam meditasi.”
“Tunggu
sebentar Meghiya. Kita sedang sendirian di sini. Biarlah bhikkhu lain datang
dahulu.”
Tetapi
Y.M. Meghiya mengulangi permohonannya: “Bhante, bagi Yang Terberkahi memang
tidak ada lagi yang harus dicapai dan Beliau tidak perlu lagi menguatkan apa
yang telah dicapai. Namun bagi saya, Bhante, masih ada yang harus dicapai dan
saya perlu menguatkan apa yang telah saya capai. Jika Yang Terberkahi
mengizinkan, saya akan pergi ke hutan mangga itu dan berjuang.”
Sekali
lagi Yang Terberkahi memintanya untuk menunggu, dan sekali lagi Y.M. Meghiya
mengajukan permohonannya untuk ketiga kalinya. (Kemudian Yang Terberkahi
berkata,)
“Karena
kamu bicara tentang berjuang, Meghiya, apa yang bisa kukatakan? Engkau boleh
melakukan apa yang kau pikir tepat.”
Y.M.
Meghiya kemudian berdiri dari tempat duduknya dan menghormat Yang Terberkahi.
Sambil tetap menjaga Beliau berada di sebelah kanannya, Y.M. Meghiya pergi ke
hutan mangga itu. Setelah tiba di sana, dia masuk ke dalam hutan dan duduk di
bawah sebuah pohon untuk menghabiskan harinya di sana. Tetapi sementara berdiam
di hutan mangga itu, tiga pemikiran yang jahat dan tak-bajik terus-menerus
mengganggunya, yaitu: pemikiran sensual, pemikiran niat jahat, dan
pemikiran kekerasan.2
Maka
dia berpikir: “Benar-benar aneh, sungguh mengherankan! Aku telah meninggalkan
rumah untuk masuk ke dalam kehidupan tak-berumah karena keyakinanku. Namun
masih saja aku diganggu oleh tiga pemikiran yang jahat dan tak-bajik ini,
yaitu: pemikiran sensual, pemikiran niat jahat dan pemikiran kekerasan.”
Kemudian
Y.M. Meghiya kembali kepada Yang Terberkahi, dan setelah memberi hormat pada
Beliau, dia menceritakan apa yang terjadi: “Benar-benar aneh, sungguh
mengherankan! Saya telah meninggalkan rumah untuk masuk ke dalam kehidupan
tak-berumah karena keyakinan saya. Namun masih saja saya diganggu oleh tiga
pemikiran yang jahat dan tak-bajik ini.”
“Meghiya,
jika pikiran masih kurang matang untuk pembebasan, ada lima kondisi yang
mendukung untuk membuatnya matang. Apakah yang lima itu?
“Meghiya,
hal pertama yang membuat pikiran yang tidak matang menjadi
matang untuk pembebasan adalah memiliki teman yang mulia, sahabat yang mulia,
kawan yang mulia.”3
“Kemudian,
Meghiya, seorang bhikkhu harus bermoral, mengendalikan diri dengan peraturan
Patimokkha, sempurna di dalam tindakan dan usaha, melihat bahaya di dalam
kesalahan terkecil sekalipun. Setelah mengambil peraturan-peraturan latihan,
dia harus berlatih diri di dalamnya. Inilah hal kedua yang
membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Kemudian,
Meghiya, pembicaraan dimana bhikkhu itu terlibat harus cocok dengan kehidupan
yang sederhana dan membantu kejernihan mental; ini berarti pembicaraan tentang
sedikitnya keinginan, tentang kepuasan, tentang kesendirian, tentang
ketenangan, tentang pengerahan semangat, tentang moralitas, konsentrasi,
kebijaksanaan, pembebasan, dan tentang pengetahuan serta pandangan pembebasan.
Jika seorang bhikkhu memperoleh kesempatan untuk terlibat di dalam pembicaraan
tentang hal-hal itu dengan mudah dan tanpa kesulitan, inilah hal ketiga yang
membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Kemudian,
Meghiya, seorang bhikkhu hidup dengan semangat yang ditujukan untuk melepaskan
semua yang tak-bajik dan mengumpulkan semua yang bajik, maka dia kokoh dan kuat
di dalam usahanya, tidak melalaikan tugas-tugasnya sehubungan dengan
kualitas-kualitas yang bajik. Inilah hal keempat yang membuat
pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Kemudian,
Meghiya, seorang bhikkhu memiliki kebijaksanaan; dia dilengkapi dengan
kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya fenomena, yang agung dan
menembus, yang menuju pada hancurnya penderitaan secara total. Inilah hal kelima yang
membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Meghiya,
bila seorang bhikkhu memiliki teman yang mulia, sahabat dan kawan yang mulia,
dapat diharapkan bahwa dia akan menjadi bermoral … bahwa dia akan terlibat di
dalam pembicaraan yang cocok dengan kehidupan yang sederhana dan bermanfaat
untuk kejernihan mental … bahwa energinya akan dikerahkan untuk meninggalkan
semua yang tak-bajik dan mengumpulkan semua yang bajik … bahwa dia akan
dilengkapi dengan kebijaksanaan yang membawa pada hancurnya penderitaan secara
total.”
“Kemudian,
Meghiya, bila seorang bhikkhu telah mantap dalam lima hal ini, dia harus
mengembangkan empat hal lain: dia harus mengembangkan meditasi tentang
kekotoran (tubuh) untuk menghilangkan nafsu; dia harus
mengembangkan cinta kasih untuk meninggalkan niat jahat; dia
harus mengembangkan kewaspadaan terhadap pernafasan untuk
memotong pemikiran yang mengganggu; dia harus mengembangkan pengertian
tentang ketidakkekalan untuk menghilangkan kesombongan tentang
‘Aku’. Di dalam diri orang yang memahami ketidakkekalan, pemahaman tentang
tanpa-diri akan tertanam dengan mantap; dan orang yang memahami tanpa diri akan
mencapai hapusnya kesombongan tentang ‘Aku’ dan mencapai Nibbana di dalam
kehidupan ini juga.”4
(IX, 3)
176. Terbebas dari Lima
Ketakutan
O para
bhikkhu, ada empat kekuatan. Apakah yang empat itu? Kekuatan kebijaksanaan,
kekuatan semangat, kekuatan kehidupan yang tak ternoda dan kekuatan kebaikan
hati.
Dan
apakah, O para bhikkhu, kekuatan kebijaksanaan itu? Mengenai
hal-hal yang tak-bajik dan dianggap sebagai tak-bajik, mengenai hal-hal yang
bajik dan dianggap sebagai bajik; yang tak tercela dan yang tercela, dan
dianggap sebagai demikian; yang gelap dan terang, dan dianggap sebagai
demikian; yang cocok dan tidak cocok untuk dilatih, dan dianggap sebagai
demikian; yang berharga dan tidak berharga bagi para mulia, dan dianggap
sebagai demikian untuk – melihat hal-hal ini dengan jelas dan untuk
mempertimbangkan dengan baik, inilah yang disebut kekuatan kebijaksanaan.
Dan
apakah, para bhikkhu, kekuatan semangat? Mengenai hal-hal yang
tak-bajik, tercela, gelap, tidak cocok untuk dilatih, yang tidak berharga bagi
para mulia, dan yang dianggap sebagai demikian untuk membangkitkan keinginan,
untuk mengerahkan usaha dan menggugah semangat seseorang untuk meninggalkan
hal-hal ini; dan mengenai hal-hal yang bajik, tak tercela, terang, cocok untuk
dilatih, berharga bagi para mulia, dan yang dianggap sebagai demikian untuk
membangkitkan keinginan, untuk mengerahkan usaha dan menggugah energi seseorang
dalam mencapai semua hal-hal ini. Inilah yang disebut kekuatan semangat.
Dan
apakah, para bhikkhu, kekuatan kehidupan yang tak-ternoda? Di sini,
para bhikkhu, seorang siswa mulia tak ternoda dalam perbuatannya, tak ternoda
dalam ucapannya, tak ternoda dalam pikirannya. Inilah yang disebut kekuatan
kehidupan yang tak ternoda.
Dan
apakah, para bhikkhu, kekuatan kebaikan hati? Ada empat dasar
kebaikan hati:5 dengan hadiah, dengan ucapan yang bersahabat,
dengan tindakan membantu, dan dengan pemberian kesetaraan. Inilah hadiah yang
terbaik: hadiah Dhamma. Dan inilah ucapan bersahabat yang terbaik: mengajarkan
Dhamma terus-menerus kepada mereka yang ingin mendengarkan dan yang
mendengarkan dengan penuh perhatian. Dan inilah tindakan membantu yang terbaik:
untuk membangkitkan, menjaga dan memperkuat keyakinan pada mereka yang tidak
memiliki keyakinan; untuk membangkitkan, menjaga dan memperkuat moralitas pada
mereka yang tidak bermoral; untuk membangkitkan, menjaga dan memperkuat
kedermawanan pada mereka yang kikir; untuk membangkitkan, menjaga dan
memperkuat kebijaksanaan bagi mereka yang bodoh. Dan inilah pemberian
kesetaraan yang terbaik: jika seorang Pemasuk-Arus menjadi setara dengan
Pemasuk-Arus; jika Yang-Kembali-Sekali-Lagi setara dengan
Yang-Kembali-Sekali-Lagi; jika seorang Yang-Tidak-Kembali-Lagi setara dengan
Yang-Tidak-Kembali-Lagi; dan seorang Arahat setara dengan Arahat. Inilah, para
bhikkhu, yang disebut kekuatan kebaikan hati.
Demikianlah
akhir dari empat kekuatan.
Sekarang,
para bhikkhu, seorang siswa mulia yang memiliki empat kekuatan ini telah
meninggalkan lima ketakutan: ketakutan akan kehidupannya, ketakutan
akan nama buruk, ketakutan akan merasa malu di depan umum,
ketakutan akan kematian dan ketakutan akan nasib masa
depan yang tidak bahagia.
Seorang
siswa mulia yang memiliki empat kekuatan ini akan berpikir: “Aku tidak memiliki
ketakutan akan kehidupanku. Mengapa aku harus memiliki ketakutan akan hal itu?
Bukankah aku memiliki empat kekuatan kebijaksanaan, semangat, kehidupan tak
ternoda dan kebaikan hati? Hanya orang yang dungu dan malas, yang memiliki noda
dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, serta yang tidak memiliki kebaikan hati
orang seperti itulah yang mungkin memiliki ketakutan akan kehidupannya.
“Aku
tidak memiliki ketakutan akan nama buruk atau merasa malu di depan umum, tidak
pula ketakutan akan kematian dan akan nasib masa depan yang tidak bahagia.
Mengapa aku harus memiliki ketakutan-ketakutan ini? Bukankah aku memiliki empat
kekuatan kebijaksanaan, semangat, kehidupan tak ternoda dan kebaikan hati?
Hanya seorang yang dungu dan malas, yang memiliki noda dalam perbuatan, ucapan,
dan pikiran, serta yang tidak memiliki kebaikan hati – orang seperti inilah
yang mungkin memiliki semua ketakutan ini.”
Demikianlah
semua ini harus dipahami, para bhikkhu, bahwa seorang siswa mulia yang memiliki
empat kekuatan ini telah meninggalkan lima ketakutan.
(IX, 5)
177. Apa yang Tidak Bisa
Dilakukan Arahat
Di masa
lalu, Sutava, dan juga di masa sekarang, kunyatakan bahwa seorang bhikkhu yang
juga Arahat – orang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani
kehidupan suci, telah mengerjakan tugasnya, telah melepaskan semua beban, telah
mencapai tujuannya, telah menghancurkan penghalang dumadi dan menjadi terbebas
lewat pengetahuan akhir – tidak bisa melakukan pelanggaran yang berhubungan
dengan sembilan hal: dia tidak bisa menghancurkan kehidupan, melakukan percurian,
terlibat dalam tindakan seksual, berbohong dengan sengaja, dan menggunakan
kenikmatan yang tersedia seperti yang dilakukannya di masa lalu ketika masih
sebagai perumah tangga; selanjutnya, dia tidak bisa melakukan tindakan yang
salah berdasarkan nafsu keinginan, kebencian, kebodohan atau ketakutan. Di
waktu lalu, Sutava, dan juga di masa sekarang, kunyatakan bahwa seorang bhikkhu
Arahat tidak bisa melakukan pelanggaran yang berhubungan dengan sembilan hal
ini.
(IX, 7; ringkasan)
178. Raungan Singa Sariputta
Pada
suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, di
Vihara Anathapindika. Pada saat itu Y.M. Sariputta menghampiri Yang Terberkahi.
Setelah memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dia duduk di satu sisi dan
berkata:
“Bhante,
saya telah menyelesaikan masa vassa di Savatthi dan berkeinginan untuk
melakukan perjalanan.”
“Sariputta,
engkau boleh pergi bilamana engkau siap.” Y.M. Sariputta bangkit dari tempat
duduknya, menghormat Yang Terberkahi. Dengan tetap menjaga Beliau berada di
sebelah kanannya, dia berangkat.
Segera
setelah Y.M. Sariputta berangkat, seorang bhikkhu berkata kepada Yang
Terberkahi: “Y.M. Sariputta telah memukul saya dan pergi tanpa minta
maaf.” 6
Maka
Yang Terberkahi memanggil seorang bhikkhu lain dan berkata, “Pergilah, bhikkhu,
dan panggillah Y.M. Sariputta. Katakan, ‘Guru memanggilmu, Sariputta.’” 7 Bhikkhu
itu melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan Y.M. Sariputta menjawab
dengan berkata, “Ya, sahabat.”
Kemudian
Y.M. Mahamogallana dan Y.M. Ananda mengambil kunci-kunci, dan pergi ke
sekeliling tempat tinggal para bhikkhu dan berkata, “Mari, tuan-tuan yang
terhormat, datanglah! Karena hari ini Y.M. Sariputta akan mengeluarkan raungan
singanya di depan Yang Terberkahi.”
Y.M.
Sariputta menghampiri Yang Terberkahi dan setelah memberi hormat, duduk di satu
sisi. Setelah Y.M. Sariputta duduk, Yang Terberkahi berkata:
“Salah
satu bhikkhu temanmu di sini mengeluh bahwa engkau telah memukulnya dan pergi
tanpa minta maaf.”
“Bhante,
seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya 8 mungkin
dapat memukul sesama bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante,
sama seperti orang-orang membuang ke bumi benda-benda yang bersih dan tidak
bersih, tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, namun walaupun demikian bumi
tidak memiliki rasa muak, benci atau jijik terhadap semua itu; 9 demikian
pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti bumi, luas, sangat kuat dan
tidak terukur, tanpa permusuhan, dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang
tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya mungkin dapat memukul sesama
bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante,
sama seperti orang-orang menggunakan air untuk mencuci benda-benda yang bersih
dan tidak bersih, benda-benda yang terkotori oleh tahi, kencing, ludah, nanah
dan darah, namun walaupun demikian air tidak memiliki rasa muak, benci, atau
jijik terhadap semua itu; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang
seperti air, luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa
niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante,
sama seperti api membakar benda-benda yang bersih dan tidak bersih, benda-benda
yang terkotori oleh tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, tetapi walaupun
demikian api tidak memiliki rasa muak, benci, atau jijik terhadap semua itu;
demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti api, luas, sangat
kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang
yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante,
sama seperti angin bertiup pada benda-benda yang bersih dan tidak bersih, pada
tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, namun walaupun demikian angin tidak
memiliki rasa muak, benci, atau jijik terhadap semua itu; demikian pula,
Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti angin, luas, sangat kuat dan tidak
terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan
pergi tanpa minta maaf.
“Bhante,
sama seperti kain lap yang membersihkan benda-benda yang bersih dan tidak
bersih, benda-benda yang terkotori oleh tahi, kencing, ludah, nanah dan darah,
namun walaupun demikian kain lap tidak memiliki rasa muak, benci, atau jijik
terhadap semua itu; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti
kain lap, luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat
jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante,
sama seperti seorang anak laki laki atau perempuan dari kasta buangan – dengan
wadah untuk mengemis di tangan dan pakaian compang-camping – memasuki sebuah
desa atau kota dengan rendah hati; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan
hati seperti anak dari kasta yang rendah itu, dengan hati yang luas, sangat
kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang
yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante,
sama seperti seekor kerbau dengan tanduk yang telah dipotong, lembut, jinak dan
terlatih baik, ketika berjalan dari satu jalan ke jalan yang lain, dari satu
lapangan ke lapangan yang lain, tidak akan melukai seorang pun dengan kaki atau
tanduknya; demikian pula, Bhante, saya hidup seperti kerbau dengan tanduk yang
telah dipotong, dengan hati yang luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa
permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta
maaf.
“Bhante,
sama seperti seorang pemuda atau pemudi, yang masih muda dan menyukai perhiasan
dan baru saja mencuci kepalanya, akan dipenuhi rasa muak, benci dan jijik jika
bangkai seekor ular, anjing atau manusia dikalungkan ke lehernya; demikian
pula, Bhante, saya dipenuhi rasa muak, benci dan jijik terhadap tubuh kotor
saya ini. Tetapi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya
mungkin dapat memukul sesama bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.”
“Bhante,
sama seperti jika seseorang harus membawa lemak cair di dalam mangkuk retak
yang penuh lubang, yang merembes dan menetes; demikian pula, Bhante, ke
mana-mana saya membawa tubuh ini, yang retak dan penuh lubang, yang merembes
dan menetes. Tetapi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya
mungkin dapat memukul sesama bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.”
Maka
bhikkhu yang menuduh Y.M. Sariputta itu pun berdiri dari duduknya, dan mengatur
jubah atasnya pada satu bahu. Dengan kepalanya merunduk menghormat di kaki Yang
Terberkahi dia berkata: “Tuan, saya telah melakukan kesalahan ketika saya
begitu bodoh, tolol dan tidak terlatih sehingga menuduh Y.M. Sariputta secara
salah, dengan tidak semestinya, dan dengan tidak benar. Semoga Yang Terberkahi
menerima pengakuan kesalahan saya dan memaafkan saya, dan saya akan melatih pengendalian
diri di masa mendatang.”
“Benar,
bhikkhu, engkau telah melakukan kesalahan ketika engkau begitu bodoh, tolol dan
tidak terlatih sehingga menuduh Sariputta secara salah, dengan tidak
semestinya, dan dengan tidak benar. Tetapi karena engkau telah melihat
kesalahanmu dan melakukan perbaikan sesuai peraturan, engkau kumaafkan.
Merupakan tanda pertumbuhan di dalam Vinaya Yang Mulia bila seseorang melihat
kesalahannya, melakukan perbaikan sesuai dengan peraturan dan melatih
pengendalian diri di masa mendatang.”
Yang
Terberkahi kemudian berpaling kepada Y.M. Sariputta dan berkata: “Maafkan orang
tolol ini, Sariputta, sebelum kepalanya terbelah menjadi tujuh bagian di tempat
ini juga.”
“Saya
akan memaafkan dia, Bhante, jika bhikkhu terhormat ini minta maaf kepada saya.
Dan semoga dia juga memaafkan saya.”
(IX, 11)
179. Samiddhi
(Suatu
ketika Y.M. Samiddhi pergi mengunjungi Y.M. Sariputta dan Y.M. Sariputta
bertanya demikian:)
“Apa,
Samiddhi, yang menjadi dasar pengkondisian bagi pemikiran berkehendak yang muncul
di dalam diri seseorang?” – “Batin-dan-jasmani, Yang Mulia.” 10
“Berasal
dari apakah berbagai variasinya?” – “Dari elemen-elemen.”
“Apa
yang menjadi asal-mulanya?” – “Kontak.”
“Pada
apa mereka menyatu?” – “Perasaan.”
“Apa
pemimpin mereka?” – “Konsentrasi.”
“Apa
penguasa mereka?” – “Kewaspadaan.”
“Apa
klimaks mereka?” – “Kebijaksanaan.”
“Apa
intisari mereka?” – “Pembebasan.”
“Di
mana mereka melebur?” – “Di dalam Tanpa-Kematian.” 11(Di dalam
teks aslinya, Y.M. Sariputta mengulang pertanyaan-pertanyaan dan
jawaban-jawaban ini dan menyimpulkan:)
“Baik
sekali, Samiddhi, baik sekali! Engkau telah menjawab dengan baik semua
pertanyaan yang ditujukan kepadamu. Tetapi janganlah engkau menjadi sombong
karena hal itu!”
(IX, 14)
180. Berakar di dalam
Keserakahan
Para
bhikkhu, aku akan mengajarkan kepadamu sembilan hal yang berakar di dalam
keserakahan. Dengarkan dan perhatikan dengan saksama, aku akan berbicara.
Apakah
sembilan hal yang berakar di dalam keserakahan itu? Karena keserakahan
ada pengejaran; karena pengejaran ada perolehan; karena
perolehan ada penentuan; karena penentuan adakeinginan dan nafsu;
karena keinginan dan nafsu ada kecenderungan memikirkan diri sendiri;
karena kecenderungan memikirkan diri sendiri ada kepemilikan;
karena kepemilikan ada ketamakan; karena ketamakan ada keinginan
untuk melindungi; karena demi melindungi ada penggunaan tongkat dan
senjata dan hal-hal lain yang jahat dan tak-bajik, seperti misalnya
perselisihan, konflik, percekcokan dan pembicaraan yang menyudutkan, fitnah dan
kebohongan-kebohongan.12
Inilah
sembilan hal yang berakar di dalam keserakahan.
(IX, 23)
181. Penghancuran
Noda-noda
Kunyatakan,
O para bhikkhu, bahwa penghancuran noda-noda muncul bergantung pada jhana
pertama, jhana kedua, jhana ketiga, jhana keempat; bergantung pada landasan
dari ketidakterbatasan ruang, landasan dari ketidakterbatasan kesadaran,
landasan dari ketiadaan, landasan dari bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi;
bergantung pada berhentinya persepsi dan perasaan.13
Ketika
dikatakan, “Kunyatakan, O para bhikkhu, bahwa penghancuran noda-noda muncul
bergantung pada jhana pertama,” dengan alasan apa dikatakan demikian? Di sini,
para bhikkhu, terpisah dari kenikmatan indera, terpisah dari keadaan-keadaan
tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama, yang
diiringi dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan kebahagiaan yang
terlahir karena keterpisahan ini. Apa pun keadaan yang termasuk di dalamnya
terdiri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak atau
kesadaran: dia memandang keadaan-keadaan itu sebagai tidak kekal, sebagai
penderitaan, sebagai penyakit, sebagai borok, sebagai anak panah, sebagai
kesedihan, sebagai penyebab penderitaan, sebagai sesuatu yang asing, sebagai
sesuatu yang terpisah-pisah, sebagai sesuatu yang kosong, sebagai
bukan-aku. 14 Setelah melihatnya demikian, kemudian
pikirannya akan teralih dari keadaan-keadaan itu dan terpusat pada
elemen-elemen tanpa-kematian: “Ini damai, ini amat indah: yaitu berhentinya
segala bentukan, lepasnya semua perolehan, hancurnya nafsu, tanpa-nafsu,
berhenti, Nibbana.” 15Jika dia mantap dalam hal ini, dia
mencapai penghancuran noda-noda; tetapi jika dia tidak mencapai penghancuran
noda-noda karena kemelekatannya pada Dhamma, dan kesenangannya pada Dhamma,
maka dengan hancurnya lima penghalang yang rendah dia akan secara spontan
terlahir kembali (di alam surga) dan di sana mencapai Nibbana, tanpa pernah
kembali dari alam itu.
Sama
halnya, para bhikkhu, seorang pemanah atau muridnya yang berlatih dengan orang-orangan
jerami atau seonggok tanah liat yang kemudian menjadi sasaran jarak jauh,
seorang pembidik jitu yang bisa menjatuhkan sasaran yang besar, demikian pula
halnya dengan seorang bhikkhu yang mencapai hancurnya noda-noda bergantung pada
jhana pertama.16
(Perumusan
yang sama diterapkan pada tiga jhana yang lain dan tiga pencapaian tanpa-bentuk
yang lebih rendah, hanya saja di pencapaian tanpa-bentuk tidak ada pandangan
akan keadaan-keadaan yang terdiri atas bentuk.)
Demikian,
para bhikkhu, penembusan pada pengetahuan akhir terjadi sampai pada tahap
adanya pencapaian dengan persepsi. Tetapi mengenai dua landasan ini –
pencapaian landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, dan berhentinya
persepsi dan perasaan – kukatakan bahwa keduanya ini harus dijunjung tinggi
oleh para bhikkhu yang bermeditasi, yang terampil dalam pencapaian dan terampil
keluar dari pencapaian itu, setelah mereka mencapainya dan keluar darinya.17
(IX, 36)
Catatan
1 Selama dua puluh
tahun pertama masa pengabdian-Nya, Sang Buddha tidak mempunyai pembantu tetap.
Beliau memilih bhikkhu yang berlainan untuk tugas ini, dan tidak semuanya
terbukti memuaskan. Dua puluh tahun kemudian, pada usia lima puluh lima tahun,
Sang Buddha menunjuk Y.M. Ananda sebagai pembantu tetapnya. Ananda melakukan
tugas ini dengan rajin selama dua puluh lima tahun sampai Sang Guru parinibbana.
2 Lihat Bab III, no.
69. AA memberikan penjelasan yang menarik mengapa pemikiran-pemikiran ini
tiba-tiba menyerangnya secara kuat: “Berturut-turut selama 500 kelahiran kembali,
Meghiya menjadi raja. Ketika pergi ke taman kerajaan untuk berolahraga dan
bersenang-senang dengan para penari wanita dalam tiga kelompok umur, dia
biasanya duduk persis di tempat itu, yang disebut ‘meja batu yang menjanjikan
keberhasilan’. Maka, ketika Meghiya duduk persis di tempat itu, dia merasakan
seakan-akan kebhikkhuannya meninggalkannya dan dia menjadi raja yang
dikelilingi oleh penari-penari cantik. Dan ketika – sebagai raja – dia sedang
menikmati keindahan itu, suatu pemikiran nafsu indera muncul di dalam dirinya.
Tepat pada saat itu kebetulan para pengawal ksatrianya menyerahkan kepadanya
dua bandit yang telah mereka tangkap, dan Meghiya melihat mereka dengan sangat
jelas seakan-akan mereka sedang berdiri di depannya. Kini, ketika (sebagai raja)
dia menjatuhkan hukuman mati pada satu bandit, suatu pemikiran niat jahat
muncul di dalam dirinya; dan ketika dia memerintahkan agar bandit satunya
diborgol dan dipenjara, suatu pemikiran kekerasan muncul di dalam dirinya. Oleh
sebab itulah, kini dia – sebagai bhikkhu Meghiya – menjadi terbelenggu di dalam
pemikiran tak-bajik itu bagaikan sebatang pohon dibelenggu oleh jaringan
tanaman rambat atau bagaikan pencari madu di tengah sekelompok lebah madu.”
3 Sang Buddha
berulang kali menekankan pentingnya persahabatan mulia di dalam menjalani
kehidupan suci. Di tempat lain Beliau menyebut sahabat mulia sebagai pendukung
eksternal utama untuk pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan (dengan
Perhatian Benar sebagai pendukung internal utama; SN 45-49, 55) dan pada
beberapa kesempatan Beliau bahkan menyatakan bahwa persahabatan mulia merupakan
seluruh kehidupan suci (SN 45:2-3).
4 Teks ini juga
terdapat di Ud IV, 1 dengan bait penutup tambahan.
5 Sangaha-vatthu.
Ini adalah sarana untuk mengambil hati orang lain.
6 AA menerangkan
bahwa bhikkhu ini telah merasa diabaikan oleh Sariputta, dan karena dendamnya
pada Sariputta dia berpikir: “Aku akan menciptakan penghalang bagi
perjalanannya.” Ketika berangkat, Sariputta melewati sekelompok bhikkhu dan
angin yang bertiup membuat ujung jubahnya mengenai wajah bhikkhu itu. Inilah
yang digunakan oleh bhikkhu itu sebagai alasan keluhan. Cerita ini – dengan
lebih mendetail – juga terdapat di Kitab Komentar Dhp (pada syair 95); lihat
Burlingame, 2:203-205.
7 Menurut AA, Sang
Buddha mengetahui dengan baik bahwa Sariputta tidak mungkin menyakiti orang
lain, tetapi agar tidak dianggap pilih kasih, Beliau memanggilnya.
8 Kaye
kayagatasati; Lihat Teks 11.
9 Perumpamaan tentang
empat elemen juga terdapat di MN 62, walaupun di sana elemen-elemen ini
dikembangkan secara agak berbeda.
10 Di sini Arammana
tidak mengandung arti yang sering dipakai, yaitu ‘objek’, melainkan arti
harfiahnya yaitu ‘memegang’ atau ‘menopang’. AA menjelaskannya sebagai kondisi
(paccaya). ‘Batin-dan-jasmani’ (nama-rupa) dijelaskan oleh AA
sebagai empat kelompok mental (= ‘batin‘) dan empat elemen materi dengan
turunan materinya (= ‘jasmani‘); ini semua merupakan kondisi-kondisi
bagi munculnya pemikiran berkehendak.
11 Penjelasan yang
diperoleh dari AA adalah sbb.: Elemen-elemen (dhatu) merupakan enam
objek indera, yaitu bentuk, suara, dsb.; pemikiran tentang bentuk merupakan
satu pemikiran, pemikiran tentang suara merupakan pemikiran lain, dsb. “Kontak”
adalah kontak yang diasosiasikan dengan pemikiran semacam itu.
Pemikiran-pemikiran menyatu pada perasaan (vedana-samosarana), karena
perasaan – yaitu nilai afeksi dari suatu pengalaman (dalam bentuk menyenangkan,
tidak menyenangkan atau netral) – menyatukan berbagai aspek dari satu momen
sadar. Konsentrasi adalah ‘pemimpin’ (samadhi-pamukha) dalam pengertian
memainkan peran kunci yang membawa pikiran menuju intensitas tertinggi.
Kewaspadaan dikatakan sebagai ‘penguasa, master’ (satadhipateyya) untuk
menekankan perannya yang dominan di dalam penguasaan pikiran. Kebijaksanaan
adalah ‘klimaks’ (paññuttara) karena kebijaksanaanlah yang menghasilkan
pencapaian jalan di luar duniawi. Kebebasan adalah ‘intisari’ atau inti (vimutti-sara),
tujuan yang merupakan puncak dari Sang Jalan; menurut AA, intisarinya adalah
tingkat kebebasan yang merupakan buah (phala-vimutti). Semua pemikiran
ini dikatakan ‘melebur di dalam Tanpa-Kematian’ (amatogadha) karena
mereka melebur dengan ‘Nibbana’ dengan cara mengambil Nibbana sebagai objeknya
(dalam jalan dan buah) dan karena mereka dimantapkan di situ.
12 ‘Keputusan’ (vinicchaya)
mengacu pada pemikiran yang memutuskan kegunaan atau nilai dari apa yang telah
diperoleh; apakah harus digunakan, atau disimpan, dll. ‘Keinginan dan nafsu’ (chanda-raga),
menurut AA, berarti tingkat keinginan yang lebih lemah, yang disebabkan oleh
pemikiran-pemikiran tak-bajik yang muncul dari objek; keinginan yang lebih
lemah ini dikuatkan pada tingkat berikutnya, ‘kecenderungan memikirkan diri
sendiri’ (ajjhosana), penekanan yang kuat terhadap ‘Aku’ dan ‘Milikku’.
Sembilan hal ini juga disebutkan di Mahanidana Sutta (DN 15.9-18).
13 Berikutnya Sang
Buddha akan menunjukkan pencapaian tingkat Arahat (atau keadaan
Yang-Tidak-Kembali-Lagi) melalui metode yang menerapkan ketenangan sebagai
landasan kebijaksanaan. Metode yang dijelaskan tampaknya cocok dengan
“kebijaksanaan yang didahului oleh ketenangan”, walaupun hal ini mungkin dapat
juga ditafsirkan sebagai “ketenangan dan kebijaksanaan yang digabungkan
berpasangan” (Teks 83).
14 Pencapaian jhana
adalah samatha atau ketenangan; perenungan fenomena pokok
sebagai tidak kekal, dll., adalah vipassana atau pandangan
terang, yang menurut AA adalah “kebijaksanaan-pandangan terang yang amat kuat”.
Di sini Sang Buddha menjelaskan bagaimana meditator mengembangkan pandangan
terang dengan menggunakan jhana sebagai landasan perenungan. Meditator
memilah-milah pengalamanan jhana menjadi lima kelompok (bentuk, perasaan,
dll.), dan kemudian memeriksa kelompok-kelompok itu dalam sebelas kualitas.
Sebelas kualitas ini merupakan detail dari tiga sifat umum: dua istilah – tidak
kekal dan terurai – berada di bawah sifat ketidakkekalan; tiga – asing, kosong
dan tanpa-diri – di bawah sifat tanpa-diri; dan enam sisanya – penderitaan …
penyebab penderitaan – di bawah sifat penderitaan.
15 Teks yang luar
biasa ini menunjukkan transisi dari tingkat pandangan terang tertinggi sampai
ke jalan di luar duniawi. Bila – lewat pandangan terang – bhikkhu itu telah
sepenuhnya mengetahui sifat penderitaan pada lima kelompok, maka pikirannya
akan beralih dari semua fenomena terkondisi dan akan berfokus pada Nibbana,
‘elemen tanpa-kematian’, sebagai satu-satunya jalan keluar murni dari
keberadaan yang terkondisi. Dia kemudian mencapai tingkat Arahat, tetapi jika
kemelekatan yang halus pada pengalaman itu masih ada, yaitu suatu kenikmatan
halus karena hal itu, dia menjadi seorang Yang-Tidak-Kembali-Lagi, yang
mencapai parinibbana setelah terlahir kembali di alam dewa.
16 AA tidak
menjelaskan kiasan ini, namun tampaknya latihan dengan menggunakan orang-orangan
dari jerami ini bagaikan perenungan pandangan terang tentang kelompok-kelompok
kehidupan, sedangkan jatuhnya tubuh yang besar itu bagaikan hancurnya noda-noda
karena menembus elemen tanpa-kematian.
17 Landasan dari
bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi memang terlalu halus untuk dijelajahi
oleh pengetahuan pandangan terang, sedangkan berhentinya persepsi dan perasaan
sepenuhnya kosong dari unsur pokok mental. Jadi dua pencapaian ini tidak dapat
secara langsung diambil sebagai objek penyelidikan dengan kebijaksanaan. Tetapi
keduanya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai pemurnian pikiran secara
sementara, dan pada landasan inilah meditator dapat mempraktekkan meditasi
pandangan terang terhadap objek-objek yang lebih kasar. Setelah itu dia pun mencapai
tingkat Arahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar