1. Bagaimana pandangan agama Buddha tentang keberadaan Mahadewa?
Agama Buddha tidak mempercayai adanya Mahadewa, yang dianggap sebagai suatu makhluk adikodrati. Ada banyak alasan untuk ini. Sang Buddha, seperti halnya ahli sosial dan psikologi modern, percaya bahwa gagasan tentang "mahadewa" bermula dari rasa takut. Beliau mengatakan:
"Karena rasa takut, orang-orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung, ke hutan-hutan, ke pohon-pohon, dan ketempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat" .(Dhammapada.108)
Manusia primitif merasa hidup dalam dunia yang penuh marabahaya dan tak bersahabat, ketakutan terluka dan sakit, dan ketakutan pada gejala-gejala alam seperti geledek, petir, letusan gunung api, dan sebagainya. Dalam cekaman rasa takut dan tidak menemukan perlingungan, mereka menciptakan gagasan mengenai makhluk adikodrati untuk menumbuhkan keyakinan disaat bahaya dan penghiburan di kala kesedihan.
Sampai hari ini, Anda bisa melihat begitu banyak orang menjadi lebih religius pada masa-masa kritis; mereka mengatakan bahwa kepercayaan terhadap mahadewa merukapan sumber kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapai kehidupan. Dengan percaya akan mahadewa, bila mereka berdoa, maka mahadewa pasti akan menjawab. Hal ini mendukung ajaran Buddha bahwa gagasan tentang mahadewa muncul dari rasa takut dan putus asa. Sang Buddha mengajarkan kita untuk belajar memahami rasa takut, untuk membatasi keinginan, serta dengan tenang dan tabah menerima segala sesuatu yang tidak dapat kita ubah. Hendaknya tidak mengatasi rasa takut dengan kepercayaan yang tak masuk akal, namun dengan pengertian yang nalar.
Alasan kedua umat Buddha tidak menerima gagasan tentang mahadewa yaitu, tidak adanya keterangan yang layak untuk mendukung gagasan tersebut. Alasan ketiga, kepercayaan tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Ada yang berkata bahwa kepercayaan adanya mahadewa sebagai suatu makhluk adikodrati, diperlukan untuk menjelaskan asal muasal("penciptaan") alam semesta. Hal ini tidaklah benar! Ilmu pengetahuan secara meyakinkan telah menjelaskan terjadinya alam semesta, tanpa menggunakan gagasan mengenai mahadewa sebagai penciptanya. Ada juga yang menyatakan bahwa kepercayaan akan mahadewa dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan dan agar hidup ini berarti. Lagi-lagi kita dapat menyangkalnya. Ada jutaan orang tak beragama dan pemikir bebas, juga umat Buddha, yang dapat hidup bahagia dan berarti tanpa harus percaya adanya mahadewa. Lain orang berpendapat, percaya akan kuasa mahadewa - makhluk adikodrati itu - diperlukan karena manusia adalah makhluk yang lemah, tidak memiliki kekuatan untuk menolong dirinya sendiri. Sekali lagi, banyak bukti menunjukkan sebaliknya. Kita sering mendengar orang-orang yang mampu mengatasi keterbatasan fisik, berbagai kesulitan, rintangan dahsyat, dengan kekuatan dari dalam diri mereka sendiri, dengan upaya sendiri, tanpa kepercayaan akan mahadewa seperti itu.
Ada yang berkata mahadewa dibutuhkan untuk menyelamatkan manusia, dengan syarat kita menerima gagasan penyelamatan itu. Umat Buddha tidak menerima gagasan tersebut berdasarkan pengalaman-Nya sendiri, Sang Buddha melihat bahwa seitap orang memiliki kemampuan untuk menyucikan pikiran, mengembangkan cinta kasih dan welas asih tanpa batas, dan menyempurnakan pemahamannya. Beliau mengalihkan perhatian dari "Surga" ke hati, dan menganjurkan kita untuk menemukan pemecahan masalah melalui pemahaman kita sendiri.
2. Bila mahadewa tidak ada, dari mana asal alam semesta?
Semua agama mempunyai dongeng dan sejarah yang berupaya menjawab pertanyaan ini. Pada zaman dahulu, ketika pikiran manusia masih sederhana, dongeng-dongeng sudah cukup memadai. Namun pada abad kedua puluh ini, era fisika, astronomi, dan geologi modern, berangsur-angsur telah menggantikan dongeng-dongeng tersebut dengan fakta-fakta ilmiah. Ilmu pengetahuan telah menjelaskan asal mula alam semesta tanpa menyinggung gagasan mengenai mahadewa pencipta.
3. Apa yang dikatakan Sang Buddha mengenai asal muasal alam semesta?
Sangatlah menarik untuk diketahui bahwa penjelasan Sang Buddha mengenai asal mula alam semesta ternyata sangat sesuai dengan pandangan ilmu pengetahuan. Dalam Aganna Sutta, Sang Buddha menggambarkan alam semeste berulang kali mengalami kehancuran dan tersusun kembali seperti saat ini selama masa yang tak terhitung lamanya. Kehidupan pertama terbentuk di atas permukaan air, dan berangsur-angsur mengalami perubahan dari organisme yang sederhana menjadi makin kompleks, yang berlangsung dalam masa yang sangat panjang sekali. Seluruh proses ini tidak berawal, tidak berakhir (ibarat garis bilangan), dan berjalan secara alamiah.
4. Anda mengatakan tidak ada bukti keberadaan mahadewa. Tapi bagaimana dengan mukjizat?
Banyak yang percaya bahwa mujizat merupakan bukti adanya mahadewa. Sering terdengar mujizat penyembuhan, namun tidak pernah ada kesaksian bebas (tanpa dipengaruhi faktor luar) dan instansi medis yang berwenang.
Ada kabar burung bahwa doa menguatkan tubuh yang sakit atau menyembuhkan yang lumpuh, tetapi tidak pernah ada saksi yang jelas dan bukti medis. Kesaksian liar, berita dari mulut ke mulut, kabar angin, tidak lah mencukupi sebagai bukti nyata. Memang kadang-kadang ada kejadian yang tidak bisa dijelaskan, hal yang di luar perkiraan, namun ketidakmampuan kita untuk menjelaskan hal-hal semacam itu sama sekali tidak berarti membuktikan keberadaan "makhluk adikodrati" tersebut! Itu hanya membuktikan bahwa pengetahuan kita belum sempurna. Sebelum perkembangan dunia kedokteran modern, manusia tidak mengetahui penyebab penyakit, dan percaya bahwa penyakit merupakan hukuman atau kutukan dari Tuhan atau dewa-dewa. Saat ini kita telah tahu apa yang menyebabkan dakit, dan apabila sakit, kita mengambil obat.
Suatu saat, apabila pengetahuan manusia telah lengkap, kita akan dapat mengerti penyebab gejala-gejala "ajaib" yang belum bisa dijelaskan saat ini. Sama halnya bahwa saat ini kita telah tahu apa yang menyebabkan kita sakit.
5. Ada yang berpendapat bahwa seseorang hanya bisa menjadi baik dengan mengandalkan kekuatan mahadewa tersebut.
Jelas tidak benar. Ada jutaan pemikir bebas dan umat Buddha yang tindak-tanduknya baik dan mulia, tidak cuma sekali-kali, tapi secara konsisten. Jika anda berjuang dengan sungguh-sungguh, Anda dapat menyucikan pikiran Anda. Setidaknya Anda dapat berjuang untuk menjadi lebih baik.
6. Tetapi begitu banyak orang percaya adanya mahadewa/makhluk adikodrati, jadi tentunya hal itu benar?
Tidak demikian. Dahulu semua orang percaya bahwa bumi ini datar, tetapi ternyata mereka semua salah. Banyak orang yang percaya pada suatu gagasan tidak menjadi ukuran benar atau salahnya gagasan tersebut. Satu-satunya cara untuk menyatakan kebenaran suatu gagasan, hanya dengan pengujian bukti dan fakta yang ada.
7. Jika umat Buddha tidak percaya adanya mahadewa, apa yang Anda percayai?
Kami yakin bahwa tiap orang bisa menjadi suci, tiap orang memiliki kemampuan untuk mencapai keBuddhaan - tahap kesempurnaan suatu makhluk. Kami percaya bahwa setiap orang mampu mengatasi kebodohan dan ketidaktahuannya, serta mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Kami yakin bahwa kebencian, angkara murka, kedengkian, dan kejahatan dapat digantikan oleh cinta kasih, kesabaran, kemurahhatian, dan kebajikan. Kami yakin semua ini ada dalam genggaman setiap orang apabila mereka mau berusaha, mengendalikan diri, bersemangat, dan meneladani jejak Sang Buddha seperti yang dikatakanNya:
"Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang ternoda.
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung diri sendiri,
tak seorang pun yang dapat menyucikan orang lain.
Kita sendirilah yang harus menjalaninya.
Para Buddha hanyalah penunjuk jalan."
(Dhammapada.165)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar