Rabu, 02 November 2011

Kebijaksanaan Dan Welas Asih




1. Saya sering mendengar umat Buddha berbicara tentang kebijaksanaan dan welas asih. Apakah arti kedua istilah tersebut?

Beberapa agama meyakini welas asih atau cinta kasih (makna kedua istilah ini hampir sama) sebagai kualitas batin yang paling penting, akan tetapi mereka kurang mengembangkan kebijaksanaan. Akibatnya Anda akan menjadi orang tolol yang baik hati, sangat baik, namun kurang bijaksana. Sistem berpikir yang lain, seperti ilmu pengetahuan, percaya bahwa kebijaksanaan dapat berkembang dengan baik apabila unsur perasaan termasuk welas asih disisihkan. Akibatnya, ilmu pengetahuan cenderung terlena pada pencapaian dan melupakan bahwa akal budi seharusnya untuk melayani manusia, bukannya untuk mengendalikan dan menguasai manusia. Bahkan, para ilmuwan telah menggunakan keahliannya untuk menciptakan senjata yang mematikan, bom kimia, perang kuman, dan sebagainya. Agama sering memandang akal budi dan kebijaksanaan laksana musuh dari perasaan kasih atau iman. Sebaliknya ilmu pengetahuan sering memandang perasaan kasih dan iman laksana musuh dari akal budi dan obyektivitas. Dan, tentu saja, dengan kemajuan ilmu pengetahuan...agama mengalami kemerosotan.

Di lain pihak, agama Buddha mengajarkan bahwa untuk menjadi pribadi yang betul-betul seimbang dan lengkap, Anda harus mengembangkan baik kebijaksanaan maupun kewelasasihan. Karena tidak melulu dogmatis, namun didasarkan pengalaman, agama Buddha tidak perlu gentar menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan.


2. Menurut agama Buddha, apa makna kebijaksanaan?

Kebijaksanaan tertinggi adalah melihat hakekat seluruh fenomena yang bersifat tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak adanya inti diri. Pengertian ini merupakan kebebasan total yang membuka jalan ke perlindungan dan kebahagiaan mutlak yang disebut Nibbana. Namun demikian Sang Buddha tidak berbicara terlalu banyak tentang tingkat kebijaksanaan ini. Tidaklah bijaksana kalau kita percaya begitu saja terhadap apa yang dikatakan kepada kita. Kebijaksanaan sejati dicapai dengan melihat langsung dan memahaminya sendiri. Sebelum mencapai tataran tersebut, adalah bijaksana untuk membuka pikiran; mau memandang dari sudut pandang yang lain, alih-alih berkeras pada pendirian; dengan hati-hati menguji fakta-fakta yang bertentangan dengan kepercayaan kita, alih-alih menyembunyikan kepala dalam pasir (seperti burung onta dalam keadaan takut); bersikap obyektif, alih-alih berprasangka atau ikut-ikutan; tidak gegabah dalam membentuk pendapat dan keyakinan, alih-alih menerima begitu saja sesuatu yang disodorkan kepada kita; dan senantiasa siap mengubah keyakinan kita apabila kita menjumpai fakta-fakta yang berlawanan dengan keyakinan sebelumnya.

Seseorang yang bersikap demikian akan senantiasa bijaksana dan akhirnya akan meraih pemahaman sejati. Mempercayai begitu saja apa yang dikatakan kepada Anda adalah hal yang mudah. Namun jalan Buddha membutuhkan keberanian, kesabaran, keluwesan, dan keluasan wawasan berpikir.


3. Saya rasa tidak banyak orang yang dapat melakukannya, Jadi, apa tujuan agama Buddha bila hanya sedikit orang saja yang dapat menjalaninya?

Benar, tidak setiap orang siap menerima agama Buddha. Tetapi sungguh konyol seandainya kita mengajarkan agama yang asal mudah dimengerti, asal mudah dijalankan setiap orang, padahal agama itu tidak mengajarkan hakikat kebenaran sejati sebagaimana adanya.

Agama Buddha membimbinng kita menuju kebenaran sejati, dan apabila tidak setiap orang mampu memahaminya saat ini, masih ada kesempatan di kehidupan mendatang. Kendati demikian, masih ada sebagian orang, yang mampu meningkatkan pemahamannya. Karena alasan inilah umat Buddha dengan hati-hati berjuang untuk membabarkan wawasan agama Buddha kepada yang lain. Karena welas asih-Nya Sang Buddha membabarkan pengetahuan-Nya kepada kita, dan dengan welas asih kita juga membabarkan ajaran-Nya kepada orang lain.


4. Menurur agama Buddha, apa makna welas asih?

Kalau kebijaksanaan meliputi sisi intelektual atau pemahaman sifat-sifat diri, kewelasasihan meliputi sisi emosional atau perasaan. Seperti halnya kebijaksanaan, welas asih merupakan sifat manusia yang unik. Welas asih memiliki arti "ikut merasakan penderitaan orang lain". Ketika kita melihat seseorang dalam penderitaan, kita merasakan derita mereka seakan kita sendirilah yang mengalaminya, dan ikut berjuang untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan menderita tersebut. Inilah yang dimaksud dengan berwelas asih. Sifat manusia yang termulia, sifat keBuddhaan, seperti berbagi rasa, ketulusan dalam menolong, bersimpati, keprihatinan, dan kepedulian semuanya merupakan perwujudan dari rasa welas asih.

Kalau kita perhatikan, dalam hati seseorang yang memiliki rasa welas asih, perhatian dan cinta kasih terhadap orang lain sebenarnya berasal dari rasa perhatian dan cinta kasih terhadap diri sendiri. Kita dapat memahami orang lain apabila kita benar-benar telah memahami diri sendiri. Kita akan tahu apakah yang terbaik bagi orang lain apabila kita tahu apa yang terbai bagi diri sendiri. Kita dapat mengerti perasaan orang lain apabila kita mengerti perasaan diri sendiri. Jadi dalam agama Buddha, perkembangan batin diri sendiri akan terpancar secara alamiah dalam wujud perhatian terhadap kesejahteraan orang lain. Kehidupan Sang Buddha melukiskan hal ini dengan sangat jelas. Beliau melewatkan masa selama enam tahun untuk memperjuangkan kesejahteraan diri-Nya, barulah kemudian Beliau dapat benar-benar bermanfaat bagi semua makhluk.



5. Menurut Anda, kita benar-benar mampu menolong orang lain setelah kita mampu menolong diri sendiri. Apakah itu tidak berarti mementingkan diri sendiri?

Biasanya kita memandang sifat altruisme (mementingkan orang lain daripada diri sendiri) sebagai kebalikan dari sifat egoisme (mementingkan diri sendiri daripada orang lain). Agama Buddha tidak memandang diri sendiri dan orang lain sebagai dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu kesatuan*. Perhatian terhadap diri sendiri secara berangsur-angsur akan tumbuh menjadi perhatian terhadap orang lain, seperti halnya seseorang melihat bahwa orang lain sesungguhnya adalah sama dengan dirinya sendiri. Inilah welas asih sejati, permata terindah dalam mahkota ajaran Buddha.


*Tidak ada pihak yang didahulukan atau dikesampingkan, karena dengan pengertian tertentu pada hakekatnya tidak ada yang disebut "diri sendiri" (self) atau "orang lain" (others). Semuanya masih dalam "proses", sehingga seolah-olah ada dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri. Ibarat gula, tepung, mentega, yang masing-masing tampak berdiri sendiri, sebelum menjadi roti.






Ven S. Dhammika

Tidak ada komentar: