oleh:
Bhikkhu Sri Paññavaro
Sumber
Asli: Kaset Khotbah Dhamma
Saudara, kita sering mendengar
ungkapan HATI-HATI. Kita pun sering memberi nasihat kepada orang lain untuk
berhati-hati. Tetapi sesungguhnya, hampir dari kita semua tidak mengerti dengan
jelas, apakah sesungguhnya yang disebut dengan 'hati-hati' itu. Hati-hati itu
memang perlu. Di mana saja kalau hati-hati itu memang baik, tetapi kalau orang
yang saudara beri nasihat itu bertanya, yang disebut hati-hati itu yang
bagaimana? Saudara mau jawab bagaimana? Apakah kalau mengendarai mobil 140
km/jam, itu sembrono? Tapi kalau mengendarai mobil 40 km/jam, itu kelewat
takut! Apakah yang hati-hati itu kalau 90 km/jam? Apakah begitu? Tidak begitu
saudara.
Saudara, menurut Dhamma, yang dimaksud
dengan hati-hati adalah suatu sikap yang didasari dengan Kusala Cetana. Kusala
Cetana adalah niat yang baik. Cetana artinya niat, kehendak, dorongan pikiran,
motivasi, yang mendasari pemikiran kita. Dan Kusala artinya baik, positif,
bersih. Bersih artinya bersih dari kehendak yang tidak baik. Menurut pandangan
Dhamma, apapun yang menjadi sikap kita, perbuatan kita, yang kita lakukan
dengan jasmani atau ucapan, sebelum kita melakukannya, itu akan muncul dalam
pikiran kita sebagai 'kehendak'.
Menurut pandangan agama Buddha,
seperti yang disebutkan dalam Dhammapada, pikiran itu adalah awal, pikiran itu
adalah pemula, pikiran itu adalah pendahulu, pikiran itu adalah pemimpin.
Apapun yang akan kita ucapkan, yang kita lakukan, sebelum kita melakukan,
sebelum kita mengucapkan, ia telah muncul lebih dahulu di dalam pikiran kita.
Misalnya pohon yang ada di sana itu.
Memang saudara tidak bisa membuat pohon ini. Dia tumbuh secara alami. Tetapi
agar pohon ini bisa ada di sini, sebelumnya ada seseorang yang mempunyai niat,
"Saya akan menaruh pohon ini di depan patung Buddha itu". Setelah
niat itu muncul kemudian dia berpikir lebih mendalam, di mana pohon itu harus diambil,
pohon jenis apa yang cocok, kemudian dia berpikir yang lebih detail. Juga,
sebelum patung ini muncul, ia muncul terlebih dahulu di dalam ide seseorang.
Saya ingin membuat patung Buddha. Dari ide itu kemudian muncul rencana. Patung
Buddha yang seperti apa, yang sebesar apa, yang model apa, bahan apa, sikapnya
seperti apa, kalau dijual harganya berapa, dll. Dan kemudian muncul patung
seperti ini. Sebelum bangunan ini muncul, sebelum gedung-gedung itu muncul,
muncul lebih dahulu dalam pikiran seseorang. Saya akan membangun gedung 4
lantai, kemudian dibuat detailnya, dibuat rencananya, dipanggil arsitek,
dihitung konstruksinya, dihitung biayanya, berapa lama bisa dilakukan, dan
sebagainya, lalu dilaksanakan dan kemudian jadi.
Yang memutuskan adalah pikiran kita.
Jadi betapa pentingnya peranan kehendak itu. Oleh karena itu, orang yang ingin
bersikap hati-hati, minimal dia harus mempunyai kehendak yang baik. Kehendak
yang bersih dari kehendak tidak baik, bersih dari unsur-unsur yang tidak baik.
Kehendak yang negatif, yang tidak
baik, akan melahirkan atau menghasilkan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan
yang tidak baik itu adalah selain merugikan diri sendiri juga akan merugikan
orang lain. Niat yang tidak baik itu, yang akan merugikan orang lain, tidak
mempunyai dukungan kuat. Dengan kalimat yang lain, tidak masuk akal, tidak sah.
Mengapa demikian? Karena, bukankah semua makhluk, setidak-tidaknya sesama
manusia, setiap orang, semuanya, agama apapun yang dianut, suku bangsa apapun,
bagaimanapun profesi sosialnya, apakah orang kaya, orang miskin atau sangat
miskin, semuanya menginginkan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah tujuan, obsesi,
dan keinginan setiap orang. Bahkan pencuri sekali pun kalau ditangkap dan
ditanya, "Kamu mencuri itu apa sih tujuannya?" Pencuri itu menjawab:
"Saya mencuri itu karena saya ingin bahagia". Tidak ada pencuri yang
mencuri untuk sengsara, "Saya mencuri supaya nanti saya ditangkap, supaya
digebuki", tidak ada. Pencuri pun seperti saudara, seperti kita, dia
mencuri itu sesungguhnya juga ingin bahagia, hanya caranya yang salah. Apakah
ada alasan kita untuk membencinya? Sesungguhnya, tidak. Justru kasihan.
Alangkah lemahnya orang yang mempunyai
kehendak yang mengandung unsur untuk mencelakakan, memojokkan, menghancurkan,
atau melenyapkan orang lain, alangkah lemahnya dia, tidak masuk di akal, tidak
bernalar. Mengapa harus mempunyai niat yang menghancurkan, memojokkan, atau
melenyapkan orang lain? Mengapa? Bukankah semua orang termasuk saudara, ingin
bahagia? Mengapa saudara berbuat begitu? Oleh karena itu saudara, saya ingin
memberi garis bawah yang tebal untuk ini. Kalau saudara ingin berhati-hati,
cobalah berusaha untuk mengamat-amati, memeriksa, mengintip, mengecek setiap
kehendak saudara, apakah kehendak saya ini mengandung unsur yang negatif
ataukah positif? Itu adalah sikap hati-hati yang minimal. Itulah kriteria
hati-hati yang pertama.
Kalau saya boleh mengumpamakan,
'kehendak' itu seperti produsen. Karma, ucapan dan perbuatan-perbuatan yang
kita lakukan —yang baik pun yang tidak baik— itu seperti produk (hasil
produksinya). Kalau produsen itu memproduksi barang-barang dengan bahan-bahan
yang baik, pasti hasil produksinya itu baik. Jadi saudara, bagaimana menjaga
ucapan, perbuatan kita agar tidak menghancurkan, merugikan orang lain,
melenyapkan, membunuh orang lain atau makhluk lain, sebetulnya tidak perlu
saudara pusing kalau saudara bisa menjaga kehendak saudara, pasti ucapan dan
tingkah laku yang muncul itu akan baik.
Kadang-kadang walau kita sudah punya
niat yang baik, masih saja ada orang yang salah mengerti. Salah mengerti adalah
sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Karena kita tidak bisa membuat orang lain
mempunyai pandangan seperti yang kita harapkan. Tetapi saudara, minimal sudah
punya itikad baik, niat baik, kehendak baik, itu sudah positif.
Saya ingin memberikan satu contoh
dengan cerita. Di negara mayoritas umat Buddha itu patung Buddha ada di
mana-mana, kadang-kadang di perempatan jalan, di depan kantor, sekolah-sekolah,
di tepi jalan. Ada yang kecil, ada yang sedang, ada yang besar. Suatu hari ada
umat Buddha yang berjalan di tengah hujan yang lebat, dia melihat patung Buddha
yang kecil kehujanan. Dia pikir, wah tidak pantas ini. Air hujan membasahi
patung Buddha yang tidak ada tutupnya. Tapi dia sendiri tidak membawa payung,
pakaiannya basah, mau diangkat dari semen, patung itu melekat dengan alasnya.
Dia melihat ke kanan ke kiri, terlihat ada sebuah sepatu yang sudah dibuang,
yang sudah jebol, baunya mungkin tidak karu-karuan. Sepatu yang jebol itu
diambil, lalu ditaruh di atas kepala patung Buddha, supaya tidak kehujanan.
Kemudian dia pergi. Pada waktu hujan sudah berhenti, ada orang lain lewat dan
dia juga umat Buddha. "Siapa ini, sepatu jebol ditumpangi di kepalanya
patung Buddha. Tidak betul caranya ini, tidak masuk akal, penghinaan ini",
lalu diambilnya sepatu jebol itu dan dibuang.
Saudara, menurut psikologi Buddhis,
menurut jiwa Dhamma, atau menurut ajaran Dhamma, kedua orang ini sama-sama
memiliki cetana yang positif. Kedua orang ini sama-sama mempunyai tindakan yang
positif, meskipun caranya yang berbeda. Orang yang pertama mengerudungi kepala
patung dengan sepatu yang jebol, orang yang kedua mengatakan; perbuatan ini
tidak baik, meskipun ini penilaiannya. Orang yang pertama tetap mempunyai nilai
yang positif, meskipun orang yang kedua salah paham dan mengira orang yang
pertama itu mempunyai niat yang tidak baik. Niat yang positif itu tidak berubah
menjadi niat yang negatif, meskipun orang lain menilai itu negatif. Kalau saya
menanam jagung, kemudian tumbuh. Sebelum berbuah, orang melihat apa yang
ditanam ini; "Ini bukan jagung, ini jali". Tidak menjadi soal
saudara, meskipun orang menilai jagung ini jali, pada waktunya nanti dia
berbuah dia tetap akan menjadi jagung. Dan saudara tidak usah pusing dengan apa
yang akan saudara hasilkan nanti. Benih itu, bibit itu seperti cetana. Kalau
saudara sudah memastikan bahwa kehendak saudara itu baik, maka tidak usah
pusing. Ucapan dan perbuatan saudara, sekalipun orang lain akan salah paham,
nilainya tetap positif. Apakah orang kedua yang melemparkan sandal yang jebol
itu menghancurkan niat positif orang yang pertama? Tidak. Dan apa yang dia
lakukan itu apakah negatif, karena dia merusak hasil orang yang pertama? Juga
tidak. Orang yang kedua juga melakukan hal yang positif, karena dia membuang
sepatu yang jebol itu dengan niat yang positif.
Kalau kita bisa memeriksa dan
memastikan bahwa tidak ada unsur yang negatif maka itu menjadi positif.
Sekalipun orang lain salah paham kepada kita, sekalipun kita sudah lakukan
namun tidak berhasil, tetap harganya positif. Itulah yang disebut dengan
'Hati-hati'. Orang yang hati-hati adalah orang yang selalu memeriksa
kehendaknya, mengamat-amati kehendaknya, jangan sampai menimbulkan kehendak
yang negatif, yang merugikan orang lain. Tetapi ini tidak cukup. Memang
berhati-hati itu harus mempunyai niat yang baik, kehendak yang positif, tetapi
tidak hanya asal mempunyai kehendak yang positif, tidak hanya asal mempunyai
niat baik.
Saya ingin menguraikan faktor yang
lain, yaitu sati dan sampajanna. Apakah yang disebut dengan sati? Menurut
Sutta, sati mempunyai banyak arti. Yang pertama yaitu kemampuan mengingat. Jadi
apa-apa yang pernah anda temui, kenalan-kenalan lama, begitu ketemu saudara
ingat, ini menunjukkan satinya kuat, ingatannya kuat, tidak lemah. Banyak
mempelajari, dan yang dipelajarinya itu tidak dilupakan, itu satinya bagus.
Tetapi sati juga berarti pengenalan. Memang ingatan dan pengenalan tidak bisa
dipisahkan. Mengenali bentuk-bentuk, mengenali sesuatu, mengenali keadaan,
mengenali orang-orang. Tetapi sati juga berarti kesadaran, sati juga berarti
kewaspadaan, sati juga berarti perhatian. Jadi itulah arti dari sati. Ingatan,
pengenalan, kesadaran, kewaspadaan, atau perhatian; mewaspadai setiap saat
kehendak-kehendak yang muncul. Kewaspadaan misalnya: dari berdiri sudah agak
lama saya ingin duduk. Saya harus tahu dengan jelas kehendak ini apakah positif
atau negatif. Kalau hanya dari berdiri ingin duduk, dari duduk ingin berdiri,
dari duduk ingin berjalan itu netral (tidak positif, tidak negatif). Tetapi
juga selain duduk, berdiri dan berjalan, kita juga mempunyai kehendak lain,
misalnya ingin menemui dia, ingin melakukan ini, ingin melakukan itu.
Mengamat-amati kehendak itu adalah fungsi dari sati. Makin kuat sati kita, kita
tidak akan kecolongan. Makin lemah sati kita, kehendak kita akan muncul tidak
karu-karuan. Lalu bagaimana agar sati ini menjadi kuat? Ia harus dilatih. Tidak
ada atlet yang langsung mempunyai otot yang kuat, nafas yang panjang, daya
tahan fisik yang kuat, tetapi itu harus dilatih. Demikian juga sati yang kuat,
kewaspadaan yang kuat, perhatian yang kuat, yang tidak lengah, tidak sembrono,
itu harus dilatih. Kalau sati saudara baik, maka cetana saudara akan
terseleksi. Tidak akan muncul begitu saja, tanpa diketahui, tanpa dilihat,
tanpa diamat-amati.
Sampajanna terjemahannya yang paling
tepat adalah 'Pengertian lengkap' (pengertian atau pengetahuan lengkap). Apakah
yang dimaksud dengan pengertian lengkap? Sampajanna meliputi 4 hal, yaitu:
a.
Sathaka Sampajanna,
b.
Sappaya Sampajanna,
c.
Gocara Sampajanna, dan
d.
Asammoha Sampajanna.
a.
Sathaka Sampajanna
Artinya 'Pengertian yang lengkap
tentang kebenaran'. Ini maksudnya adalah, kalau saudara mempunyai kehendak yang
baik, saudara harus melihat 'baik' itu dari berbagai segi. Yang pertama dari
segi Dhamma. Apakah betul niat saya ini baik dari segi Dhamma, tidak
bertentangan dengan Dhamma. Yang kedua, tidak bertentangan dengan hukum negara.
Yang ketiga, juga tidak bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang
berlaku di lingkungan sekitar.
Di daerah saya ada kepercayaan begini:
Kalau baru selesai melayat orang mati ke kuburan atau ke krematorium, tidak
boleh langsung menengok orang sakit. Kalau habis melayat orang mati lalu
menengok orang sakit itu nanti membuat si sakit cepat mati. Apakah betul,
Bhante? Oh jelas tidak betul. Tidak sesuai dengan kebenaran. Mati, sehat, atau
sakit itu tergantung dari berbagai macam faktor, singkat kata adalah karena
KARMA masing-masing. Tetapi kalau menurut Dhamma, menengok orang sakit itu
memang baik. Hukum negara juga tidak ada yang melarang. Tetapi kalau di
lingkungan atau di daerah orang itu, kalau menengok orang sakit ini, akan
menjadi kesalah-pahaman. Sebagai bhikkhu, saya tidak ingin memperbaiki
pandangan yang salah itu? Ya saya ingin, tetapi caranya harus bijaksana, tidak
radikal. Kalau radikal nanti jadi bumerang. Itu namanya sikap tidak hati-hati.
Saudara tidak perlu menjadi pahlawan, menjadi orang pertama yang
memulai, dengan resiko akan membuat keonaran, kekacauan, ketidak-harmonisan.
Jadi memang, punya niat baik itu syarat mutlak, tetapi dia tidak boleh berdiri
sendiri. Tidak asal niat baik. Tetapi baik itu harus sathaka sampajanna, kita
harus melihat tidak hanya dari satu arah, tetapi dari berbagai arah, sehingga
sikap kita tidak akan membuat keonaran, kekacauan, dan sebagainya. Itulah yang
disebut dengan hati-hati. Kalau saudara tidak mau melihat kiri kanan, tidak mau
melihat suasana di sekitar, "pokoknya niatku apik", ini juga termasuk
ceroboh.
b. Sappaya Sampajanna
Artinya 'Pengertian lengkap tentang
kelayakan'. Apakah yang dimaksud dengan kelayakan? Kalau saya mempunyai niat yang
seperti ini, jelas sekali itu baik, bersih, saya sudah cek berkali-kali,
periksa berkali-kali, dari segala arah, dari Dhamma, dari hukum yang tertulis
maupun hukum yang tidak tertulis. Tetapi, kita perlu Sappaya Sampajanna, yaitu
apakah saya mampu melaksanakan niat itu? Saudara harus mengukur pada diri
sendiri. Satu contoh, seorang ibu-ibu yang sudah berumur 65 tahun,
pendidikannya sampai kelas 5 SD, bisa baca dan tulis. Nah, kalau ibu berumur 65
tahun, dengan pendidikan formal hanya SD kelas 5, sekarang kok punya cita-cita
ingin menjadi menteri —Menteri Sosial— misalnya, apakah mampu? Saya pernah
mendapatkan penjelasan dari seseorang yang sering memberi pelajaran tentang
manajemen. Menurut ilmu manajemen modern, seorang pemimpin itu harus bisa
mengira-ngira. Jadi kalau mempunyai program atau cita-cita itu harus bisa
mengira-ngira, mengukur, saya mampu mencapainya atau tidak? Persis sih memang
tidak bisa, halangan pasti muncul, tetapi cita-citanya itu yang bernalar,
jangan yang muluk-muluk. Pemimpin yang tidak mempunyai atau tidak melihat
visi/gambaran, kira-kira tujuan apa yang mampu ia capai, maka orang itu tidak
bisa menjadi pemimpin. Nanti cita-cita, programnya itu meskipun baik, tetapi
terlalu idealis, tidak bakal terlaksana, karena tidak mampu. Nah, itu namanya
sembrono, bukan orang yang berhati-hati.
c.
Gocara Sampajanna
Artinya 'Pengertian yang lengkap
tentang ruang lingkup'. Apa yang dimaksud dengan Ruang Lingkup? Saudara boleh
melakukan apa saja, yang sudah tentu dengan niat yang baik dan benar dari
segala arah, asal apa yang saudara lakukan itu mempunyai hubungan dengan apa
yang ingin saudara capai. Contohnya bagaimana? Misalnya kita mau membangun
vihara, lalu kita bikin arisan? Tidak apa. Karena hasil arisannya nanti akan
masuk ke panitia pembangunan. Jual parcel, tidak apa. Apa hubungannya parcel
dengan vihara? Karena keuntungan dari jual parsel ini masuk ke panitia
pembangunan. Bikin malam kesenian, lho vihara belum jadi kok malah senang-senang
bikin acara malam kesenian. Tidak apa, asal ada keuntungannya, lalu
keuntungannya masuk ke panitia pembangunan. Arisan, jual parcel, bikin malam
kesenian, sepertinya tidak ada hubungannya dengan pembangunan vihara, tetapi
kalau itu ditujukan untuk cita-cita supaya tercapai, itu termasuk Gocara
Sampajanna.
Sesungguhnya, dalam hidup
bermasyarakat, saudara cukup sampai di sini, yaitu: niat baik, sathaka
sampajanna, sampaya sampajanna, dan gocara sampajanna. Nah, inilah bekal atau
pedoman untuk membawa diri saudara di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai
macam rangsangan, bujukan, dan sebagainya. Tetapi di sini, kalau saudara ingin
meningkatkan batin saudara menjadi ke tingkat yang lebih tinggi, tidak di level
yang biasa, ada yang nomor empat, ini yang paling sulit.
d. Asammoha Sampajanna
Yang dimaksud dengan asammoha
sampajanna adalah 'Pengertian yang lengkap, bebas dari kegelapan batin, bebas
dari moha'. Apakah yang dimaksud ini saudara? Kalau saudara mempunyai niat
baik, sathaka sampajanna, dari segala arah dicek dengan baik, dan niat itu
memungkinkan untuk dicapai, dan berhasil. Pada waktu saudara mencapai niat itu,
kemudian saudara berhasil, kalau saudara menginginkan Asammoha Sampajanna untuk
meningkatkan kualitas mental saudara agar naik ke level yang tinggi, saudara
tidak boleh punya perasaan atau pengertian bahwa: "Saya sudah melakukan
tujuan yang baik dan sudah berhasil". Tidak boleh sama sekali. "Saya
sudah menolong dia, saya sudah berkhotbah dan selesai, saya sudah membuat orang
lain puas, saya sudah menyelesaikan kewajiban". Tidak boleh. Mengapa?
Karena ada 'aku yang sesungguhnya' yang melakukan, yang merasakan keberhasilan
itu. Padahal tidak ada 'aku yang sesungguhnya' itu. Kalau saudara tanya,
Bhante, ini siapa yang memberikan Dhammaclass? Saya mengatakan: 'Saya, aku'.
Itu kok boleh, Bhante? Itu supaya kita berbicara tidak bingung. Ini tas siapa?
Ini tas saya, bukan tas anda. Tetapi pengertian saya sendiri ke dalam, harus
dimengerti bahwa tidak ada aku yang benar-benar memiliki tas ini, tidak ada aku
yang memberi khotbah yang sudah selesai dan membuat anda puas. Mengapa kok
tidak ada? Sebab, khotbah ini bisa terjadi karena banyak macam sebab! Misalnya:
ada lampu/penerangan. Ada saudara, kalau tidak ada saudara, saya mau berkhotbah
kepada siapa. Ada bahan, ada kehendak untuk berkhotbah, ada yang dikhotbahi.
Jadi seperti ada orang sakit, ada kehendak untuk mengobati, dan ada obat,
obatnya lalu diberikan kepada yang sakit. Yang sakit merasa senang, sembuh.
Kalau ditanya: "Siapa yang menolong dia, yang memberikan obat?"
"Saya". Itu boleh. Tetapi pengertian untuk kemajuan batin harus
dimengerti bahwa tidak ada 'saya' yang menolong mengambil obat. Mengapa? Kalau
tidak ada yang sakit, siapa yang mau diambili obat? Kalau ada yang sakit, tidak
ada obat, apa yang akan diberikan? Kalau saya sudah mengatakan, saya sudah
menolong dia, mengatakan begitu dan merasa begitu menang, itu namanya
menang-menangan, mendiskreditkan, menganggap orang sakit dan obat itu tidak
ada. Yang ada, aku sudah berbuat menolong. Lalu, yang ada itu apa, Bhante? Yang
ada adalah proses, proses yang baik, mata melihat itu, "Kok ia
sakit", timbul kehendak, melihat obat ada di sini, tangannya bergerak,
lalu obat ini diangkat, diberikan pada dia. Dianya lalu senyum-senyum, senang,
ya sudah. Hanya begitu saudara —proses. Itu namanya proses yang baik. Aku yang
berbuat baik itu tidak ada. Ini hanya salah satu faktor. Untuk bercakap-cakap,
membuat orang agar tidak bingung, boleh kita mengatakan "Dia yang
memberikan obat". Tetapi untuk kepentingan batin, ini tidak boleh. 'Aku'
yang sejati itu yang mana? Pikirannya, jasmaninya, perasaannya, hidungnya,
matanya?
Sering saya bertanya, saudara melihat
ini sebagai apa? Bentuk ini apa? Rumah. Siapa yang diantara saudara melihat ini
lalu bilang: "Oh, ini nagasari". Tidak ada. Tetapi coba saudara
tunjukkan, mana yang intinya rumah, mana yang disebut rumah yang sejati, yang
betul-betul rumah? Kalau yang lain-lain dipisah-pisahkan, intinya rumah yang
mana? Tidak ada. Coba saudara tunjuk yang mana? Ini lantai, ini dinding, ini
plafon, itu atap. Mana yang disebut rumah? Kalau bentuk ini dirobohkan,
ditumpuk-tumpukkan di sini, tidak dibuang, tidak diambil, utuh tapi diroboh dan
ditumpuk-tumpukkan di sini; rumahnya hilang. Orang melihat apa? Oh, itu
puing-puing. Jadi rumah itu apa Bhante? Rumah itu adalah sebutan saja, supaya
kita tidak bingung. Ini rumah, ini gelas.
Kalau saya pelan-pelan jalan, saudara
mengatakan ini jalan. Tapi kalau nanti lebih cepat, disebut lari. Apakah ini
jalan, atau sungguh-sungguh jalan? Ini hanya kaki yang bergerak begini. Proses
kaki ini bergerak, itu yang betul.
Faktor-faktor berkumpul menjadi satu,
cocok, lalu jadi, dan itu tidak kekal. Kalau saudara bisa punya pengertian
seperti begitu, batin saudara akan naik menuju ke level yang tertinggi. Kalau
hanya menjaga niat tidak negatif, tidak jahat, baik dari segala arah, punya
cita-cita yang masuk akal, tidak muluk-muluk, dan berusaha mencapai sukses, dan
bahagia, itu biasa saudara. Dan itu sudah cukup untuk hidup bermasyarakat. Jadi
kalau saudara tidak bisa mengerti yang nomor 4, jangan pusing. Tinggalkan saja,
buang! Tidak usah dipikir-pikir, buang saja! Yang penting saya menginginkan
saudara minimal mempunyai sikap yang disebut hati-hati.
Hati-hati itu menurut ajaran agama
Buddha adalah punya kehendak baik. Dan itu harus sengaja dilihat, diteliti dan
betul-betul kita mengerti itu sebagai baik. Yang baik itu dari segala arah.
Dari Dhamma, dari undang-undang, dari lingkungan, dan dari sama sekali bukan
baik karena saya merasa baik. Kemudian Sappaya Sampajanna, niat itu yang masuk
akal, yang mampu kita lakukan dan capai, kemudian berusaha dengan tidak
meninggalkan niat yang telah kita sepakati —gocara sampajanna— cukup. Kusala
Cetana, Sathaka Sampajanna, Sappaya Sampajanna, Gocara Saampajanna; cukup!
Kalau saudara tidak mengerti yang nomor 4, buang saja. Tetapi kalau saudara
bisa mengerti, saudara membawa sikap mental saudara ke tingkat level yang
paling tinggi, yang mungkin itu adalah ciri khas dari apa yang menjadi ajaran
agama Buddha.***
Sumber
: Mutiara Dhamma X, Ir. Lindawati T. (Editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar