by: Thich Nhat Hanh
Saya akan menceritakan sebuah kisah tentang Tuan Truong. Ini adalah sebuah kisah nyata. Kisah ini terjadi di negara saya, ratusan tahun yang lalu. Semua orang di negara saya mengetahui kisah ini. Ada seorang pria yang masih muda belia, ia harus mengikuti wajib militer. Sehingga dia menjadi tentara dan pergi berperang. Dia harus meninggalkan istrinya sendirian di rumah dalam keadaan hamil. Mereka menangis cukup lama saat berpisah. Mereka tidak tahu apakah sang pria ini akan kembali dengan selamat, karena tidak ada yang tahu pasti. Pergi berperang sangatlah beresiko. Anda bisa saja mati seketika dalam waktu beberapa minggu, beberapa bulan, atau mungkin anda terluka parah, atau jika anda sangat beruntung, anda akan selamat, pulang ke rumah, bertemu orang tua, istri, dan anak-anakmu.
Pria muda tersebut cukup beruntung; dia selamat. Beberapa tahun kemudian, dia dibebas-tugaskan. Istrinya sangat gembira mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang. Dia pergi ke pintu gerbang desa dan menyambut suaminya, dia ditemani anak laki-lakinya yang masih kecil. Anak kecil itu dilahirkan saat ayahnya masih bergabung dengan pasukan militer. Pada saat mereka bertemu kembali, mereka menangis dan saling berpelukan, mereka menitikkan air mata kegembiraan. Mereka sangat bersyukur, pria muda tersebut selamat dan pulang ke rumah. Saat itu adalah pertama kalinya pria muda itu melihat anak laki-lakinya yang masih kecil.
Berdasarkan tradisi, kita harus membuat persembahan di altar leluhur, untuk memberitahu para leluhur bahwa keluarga telah bersatu kembali. Pria itu meminta istrinya pergi ke pasar untuk membeli bunga, buah-buahan, dan barang persembahan lain yang diperlukan untuk membuat persembahan di altar. Pria itu membawa anaknya pulang dan mencoba membujuk anaknya untuk memanggilnya ayah. Tetapi anak tersebut menolak. “Tuan, kamu bukanlah ayah saya. Ayah saya adalah orang lain. Dia selalu mengunjungi kami setiap malam, dan setiap kali ia datang, ibu saya akan berbicara denganya lama sekali. Saat ibu duduk ayah saya juga duduk, saat ibu tidur, dia juga tidur. Jadi, kamu bukanlah ayah saya.
Ayah muda tersebut sangat sedih, sangat terluka. Dia membayangkan ada pria lain yang datang ke rumahnya setiap malam dan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya. Semua kebahagiaanya lenyap seketika. Kebahagiaan datang sangat singkat, diikuti dengan ketidakbahagiaan. Ayah muda tersebut sangat menderita sehingga hatinya menjadi sebongkah batu atau es. Tiada lagi senyum di wajahnya. Dia terdiam seribu bahasa. Dia sangat menderita. Istrinya, yang sedang berbelanja, tidak tahu sama sekali mengenai hal itu. Sehingga, sewaktu ia pulang ke rumah, ia sangat terkejut. Suaminya tidak mau menatap wajahnya lagi. Dia tidak mau berbicara. Dia menjadi sangat dingin, seakan-akan ia memandang rendah istrinya. Wanita itu tidak mengerti. Mengapa? Sehingga sang istri mulai menderita. Menderita sangat mendalam.
Setelah persembahan selesai dibuat, perempuan tersebut meletakkannya di altar. Suaminya menyalakan dupa, berdoa kepada para leluhur, membentangkan tikar, melakukan empat sujud dan memberitahukan bahwa ia sudah pulang ke rumah dengan selamat dan kembali ke keluarganya. Di negara saya, ini adalah latihan yang sangat penting. Di setiap rumah selalu ada altar para leluhur. Di atas altar, kami meletakkan sebuah gambar seorang leluhur yang mewakili semua leluhur. Seperti gambar kakek, nenek, dan sebagainya. Setiap pagi, seseorang datang ke altar, membersihkan debu yang ada di meja, menyalakan sebuah dupa, menundukkan kepala, dan mempersembahkannya kepada para leluhur. Hal ini sangat sederhana, tapi hal ini adalah latihan yang sangat penting di setiap pagi. Sehingga anda selalu memiliki dupa di rumah.
Setiap kali anda ke altar dan menyalakan sebuah dupa, anda menyentuh leluhurmu. Menyentuh leluhurmu adalah latihan yang sangat mendalam. Saya tidak tahu apakah saudara-saudari kita yang berasal dari barat ingin berlatih dengan cara ini, tapi jika mereka melakukannya, mereka akan mendapatkan kesempatan untuk menyentuh para leluhur mereka setiap pagi. Para leluhur spiritual seperti Yesus, Buddha, para kepala keluarga, dan para guru. Para leluhur darah seperti kakek, kakek buyut, nenek buyut, dan sebagainya. Di Vietnam, ini adalah latihan yang sangat populer. Setiap pagi anda menyalakan sebuah dupa. Anda persembahkan pada para leluhur spiritual dan leluhur darah. Anda bernapas masuk dan keluar, dan anda menyentuh para leluhurmu. Ini sangat penting karena jika anda terputus dengan para leluhurmu, anda akan sakit seperti pohon tanpa akar. Jadi, saya hanya sekedar memberi saran kepadamu, untuk melihat apakah mungkin membuat altar leluhur keluarga di rumah-rumah orang Eropa atau di rumah-rumah orang Amerika Utara.
Setelah mempersembahkan dupa, berdoa dan melakukan empat sujud, ayah muda tersebut menggulung tikar, dan ia tidak mengizinkan istrinya untuk menggulung tikar, karena ia berpikir bahwa istrinya tidak pantas untuk menampakkan dirinya di depan altar para leluhur. Wanita muda itu kemudian merasa malu, “terhina” karena peristiwa itu, dan dia menderita lebih dalam lagi. Menurut tradisi, setelah upacara selesai, mereka harus membereskan persembahan, dan keluarga tersebut harus duduk dan menikmati makanan dengan suka cita dan kegembiraan; tetapi pria muda tersebut tidak melakukannya. Setelah ritual persembahan, pria muda tersebut kemudian pergi ke desa, dan menghabiskan waktunya di kedai arak. Pria muda tersebut mabuk karena dia tidak dapat menanggung penderitaannya. Pada masa itu, saat mereka sangat menderita, mereka biasanya pergi ke kedai arak dan minum banyak alkohol. Sekarang, mereka dapat menggunakan banyak macam obat-obatan terlarang. Tapi pada masa itu hanya ada alkohol. Ia tidak pulang ke rumah hingga larut malam, sekitar pukul satu atau dua dini hari dia baru pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Dia mengulangi perbuatannya tersebut hingga beberapa hari, tidak pernah berbicara dengan istrinya, tidak pernah menatap istrinya, tidak pernah makan di rumah, wanita muda tersebut sangat menderita dan ia tidak dapat menanggungnya. Pada hari keempat ia melompat ke sungai dan mati. Dia sangat menderita. Pria tersebut juga sangat menderita. Tapi tidak seorangpun dari mereka berdua yang datang pada salah satu pihak dan meminta bantuan, karena “harga diri”-mu harus memanggil dengan nama aslinya, “harga diri” penghambat.
Saat anda menderita dan anda yakin bahwa penderitaanmu disebabkan oleh orang yang paling anda cintai, anda lebih suka menderita sendiri. Harga diri mencegahmu menemui orang lain dan meminta bantuan. Bagaimana seandainya sang suami tersebut menemui istrinya? Situasinya mungkin akan berbeda. Malam itu, dia harus tetap tinggal di rumah karena istrinya sudah meninggal dunia, untuk menjaga anak laki-lakinya yang masih kecil. Dia mencari lampu minyak tanah dan menyalakannya. Saat lampunya menyala, tiba-tiba anak kecil itu berteriak: “Ini dia Ayahku!” dia menunjuk bayangan ayahnya di dinding. “Tuan, ayahku biasanya datang tiap malam dan ibu berbicara banyak dengannya, dia menangis di depannya, setiap kali ibu duduk, ayah juga duduk. Setiap kali ibu tidur, ayah juga tidur.”
Jadi, ‘ayah’ yang dimaksudkan anak tersebut hanyalah bayangan ibunya. Ternyata, wanita itu biasanya berbicara dengan bayangannya setiap malam, karena dia sangat merindukan suaminya. Suatu ketika anaknya bertanya kepada ibunya: “Setiap orang di desa memiliki ayah, kenapa aku tidak punya?” Sehingga pada malam tersebut, untuk menenangkan anaknya, sang ibu menunjuk bayangannya di dinding, dan berkata, “Ini dia ayahmu!” dan ia mulai berbicara dengan bayangannya. “Suamiku sayang, kamu sudah pergi begitu lama. Bagaimana mungkin aku membesarkan anak kita sendirian? Tolong, cepatlah pulang sayang.” Itulah pembicaraan yang sering ia lakukan. Tentu saja, saat dia lelah, ia duduk, dan bayangannya juga duduk. Sekarang ayah muda tersebut mulai mengerti. Persepsi keliru sudah menjadi jernih. Tetapi semua itu sudah terlambat; istrinya sudah mati. Persepsi yang keliru dapat menyebabkan banyak penderitaan dan kita semua mengalami persepsi yang keliru setiap harinya. Seperti yang disabdakan oleh Buddha. Kita hidup dengan persepsi keliru setiap hari. Itulah yang disabdakan Buddha. Sehingga kita wajib berlatih meditasi dan melihat secara lebih mendalam pada sifat alamiah dari persepsi kita. Setiap saat kita merasakan sesuatu, kita perlu bertanya, “Apakah kamu yakin persepsi tersebut benar?” Agar aman, kamu harus bertanya, Apakah kamu yakin dengan persepsi anda?
Saat kita berdiri bersama para sahabat, dan memandang indahnya sinar matahari yang terbenam, kita menikmati pemandangan tersebut, dan barangkali kita yakin bahwa matahari sedang terbenam, atau belum terbenam. Tetapi seorang ilmuwan akan memberitahukan kepada kita bahwa matahari sudah tenggelam delapan menit yang lalu. Pemandangan matahari yang kita singgung hanyalah pemandangan matahari delapan menit yang lalu. Dia mengatakan hal yang sebenarnya, karena diperlukan waktu delapan menit agar citra matahari dapat dilihat mata kita yang berada di bumi. Itu adalah kecepatan cahaya. Kita sangat yakin kita sedang melihat mahatari saat ini juga. Itu adalah salah satu persepsi keliru. Kita mengalami ribuan persepsi yang keliru seperti itu dalam kehidupan sehari-hari kita. Mungkin saja orang lain tidak bermaksud melukaimu, tetapi anda yakin kalau dia melakukannya untuk menghukummu, untuk membuatmu menderita, untuk menghancurkanmu. Anda membawa persepsi yang keliru seperti itu siang dan malam, dan anda sangat menderita. Mungkin saja anda akan tetap mempertahankan persepsimu hingga anda mati, memiliki banyak kebencian terhadap seseorang yang mungkin saja tidak bersalah. Itulah sebabnya, memeditasikan persepsi adalah latihan yang sangat penting.
Andai saja pria muda tersebut menemui istrinya dan mengatakan: “Sayang, aku sangat menderita beberapa hari ini. Sepertinya aku tidak dapat hidup lagi. Tolong aku. Tolong beritahu aku siapa pria yang selalu datang setiap malam, kamu ajak bicara, menangis di depannya, setiap kali kamu duduk, ia duduk.” Hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Temui dia dan katakan. Jika pria tersebut melakukannya, wanita muda itu akan punya kesempatan untuk menjelaskan, dan tragedi tersebut dapat dihindari. Mereka dapat memulihkan kebahagiaan dengan mudah, secara langsung. Tetapi ia tidak melakukannya karena ia terluka sangat mendalam, dan harga diri telah mencegahnya untuk menemui istrinya dan meminta bantuan. Dia belum belajar mantra keempat.
Tidak hanya pria tersebut yang melakukan kesalahan, wanita itu juga melakukan kesalahan yang serupa. Dia juga sangat menderita, tetapi ia terlalu sombong untuk meminta bantuan. Dia seharusnya menemui suaminya dan mengatakan: “Sayang, aku tidak mengerti. Aku sangat menderita. Aku tidak mengerti mengapa kamu tidak mau menatapku, kamu tidak mau berbicara denganku, kamu sepertinya merendahkan aku. Tampaknya kamu merasa bahwa aku ini tidak ada sama sekali. Apakah aku telah melakukan kesalahan sehingga aku pantas diperlakukan seperti itu?” itulah yang seharusnya ia lakukan. “Sayang, aku menderita, tolong aku!’ itulah mantranya. Jika dia mengatakannya, pria muda tersebut, suami muda tersebut akan menjawab seperti ini: “Kenapa? Apakah kamu tidak tahu jawabannya? Siapa orang yang selalu datang setiap malam, orang yang selalu kamu ajak bicara?’ maka wanita itu seharusnya memiliki kesempatan untuk menjelaskannya.
Setelah pria muda tersebut sadar akan kesalahannya, dia menangis dan terus menangis. Dia menjambak rambutnya. Memukul dadanya. Tapi semuanya sudah terlambat! Akhirnya semua penduduk di desa tersebut belajar dari tragedi itu, mereka datang dan mengadakan upacara besar untuk mendoakan wanita yang malang itu. Sebuah upacara pembersihan ketidakadilan yang dilakukan orang seperti kita, yang berasal dari ketidaktahuan dan persepsi keliru kita. Bersama-sama, mereka membangun stupa untuk wanita malang itu. Hingga saat ini, stupa itu masih berdiri tegak di sana . Jika anda mengunjungi Vietnam Utara, dan melewati sungai itu, anda akan melihat stupa tersebut.
Kita semua harus belajar dari penderitaan pasangan muda tersebut. Kita seharusnya tidak melakukan kesalahan yang sama. Lain kali, saat anda menderita, bila anda yakin bahwa penderitaan itu disebabkan oleh orang yang paling anda cintai, anda harus ingat cerita ini. Anda harus berhati-hati. Anda harus mengetahui bagaimana caranya melatih dirimu sendiri, untuk bersiap-siap menghadapi situasi seperti itu. Saat itu, anda akan mampu berlatih mantra keempat. Berlatih meditasi jalan. Berlatih meditasi duduk. Berlatih napas masuk dan keluar dengan kesadaran untuk memulihkan dirimu sendiri. Kemudian, dengan Tanpa kesombongan anda temui dia dan latih mantra. “Sayang, aku sangat menderita. Anda adalah orang yang paling aku cintai di dunia ini. Tolong aku.”. Jika anda membiarkan kesombongan berdiri diantara dirimu dan dia, itu berarti cintamu bukanlah cinta sejati, karena di dalam cinta sejati tidak ada tempat untuk kesombongan. Jika kesombongan masih ada, anda harus berlatih untuk merubah cinta itu menjadi cinta sejati. Anak-anak masih sangat muda, mereka masih punya banyak kesempatan untuk melatih diri mereka dengan latihan ini. Saya yakin walaupun anda masih sangat muda, jika anda mendapatkan ajaran ini dan jika anda melatihnya saat ini juga, akan sangat mudah bagimu untuk berlatih nantinya, disaat anda menderita karena anda berpikir orang yang paling anda cintai telah melakukannya padamu, telah mengatakannya padamu. Saya rasa anda tidak akan sering menggunakan mantra keempat, tapi ini adalah mantra yang sangat penting. Mungkin anda akan menggunakannya sekali setahun, atau dua kali setahun, tapi ini sangat penting. Saya ingin anda mencatatnya, dan simpan itu di suatu tempat. Setiap kali anda sangat menderita, cari mantra itu, dan cobalah melatihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar