Rabu, 16 November 2011

Vallium dan Meditasi





Bertahun-tahun lalu, saya mendampingi seorang biksu senior di retret. Beliau mengajar retret, saya hanya melayani kebutuhannya. Saat itu saya masih seorang biksu muda. Dalam momen ini, terjadi suatu peristiwa yang mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan monastik ini.

Seorang perempuan muda masuk ke ruangan dan kata-kata pertama yang ia ucapkan adalah, “saya datang kemari untuk berterima kasih karena anda telah menyelamatkan hidup saya.” Dan cara perempuan ini mengucapkan hal itu benar-benar mengguncang saya sampai terheran-heran apakah yang telah dilakukan biksu senior kepadanya sampai bisa menyelamatkan hidupnya. Lalu, perempuan ini bercerita.

Ia adalah mahasiswa di universitas yang terletak di Inggris utara. Ia mengalami banyak kesulitan hidup, baik dengan studi maupun pacarnya, dan ia memutuskan pergi ke dokter untuk mengatasi depresinya. Tanpa penyelidikan terlebih dahulu, dokternya meresepkan valium untuk di konsumsinya.

Pada masa itu, valium sama seperti panadol, bisa diresepkan bebas. Jika kondisi belum membaik setelah 2-3 minggu, cukup temui dokter lagi. Hanya saja, valium itu bersifat menagihkan dan perempuan itu kemudian menjadi tergantung pada valium obat antidepresi itu, selama bertahun-tahun. Ketika ia datanguntuk retret, ia diberitahu bahwa ia tidak boleh mengonsumsi alkohol atau obat-obatan. Ia salah paham dan berpikir bahwa itu berarti valium tidak boleh dikonsumsi selama retret, padahal yang dimaksud adalah obat yang tidak bersifat menyembuhkan, bukan seperti valium yang diresepkan dokternya.

Jadi ia berhenti mengonsumsi obat itu selama 9 hari. Dalam situasi retret yang sangat damai, sangat mendukung, dan tenang, ia berhasil melalui retret tanpa minum obat sama sekali. Malangnya, ketika retret selesai, ia harus kembali ke rumah. Ia berpikir,”sudah 9 hari saya tidak makan obat, coba liat apa saya bisa bertahan lebih lama lagi.” Lalu ia pulang dan naik bus ke Glasgow, kemudian di stasiun Glasgow ia menunggu kereta di peron.

Ketika ia memasuki stasiun yang hiruk pikuk, yang bahkan di Perth saja bisa menjadi pengalaman yang cukup traumatis, saat itulah efek-balik kecanduan menimpanya. Ketika anda berhenti minum obat seperti itu, rasanya seperti neraka. Ia mengatakan bahwa hampir saja, sering sekali, ia nyaris tak mampu bertahan, ia hampir jadi gila saat menunggu di peron itu. Namun ia berhasil menguasai dirinya, naik kereta, lalu kembali ke rumah. Ia mengatakan bahwa ia menghabiskan dua bulan berikutnya duduk di kursi, tidak mampu melakukan apa pun, sampai efek kecanduan itu akhirnya luruh.

Ajaran biksu dalam retret itulah yang membantunya bertahan melalui dua bulan itu.”ini pun akan berlalu-akan lewat, maka anda bisa terus bertahan. Mengetahui bahwa ini akan segera berakhir, akan segera berakhir..., ia bertahan... dan berhasil lepas total dari kecanduan akan obat itu.

Ia mengatakan bahwa jika dibandingkan saat hidup bersama obat itu dengan keadaan sekarang, ia merasa dahulu ia hidup bagaikan diselimuti awan, dan kini awan itu sudah lenyap. Ia bisa merasa, melihat, mendengar, kepekaan batinnya telah pulih kembali. Ia kembali hidup! Oleh karena itu ia datang untuk memberitahu biksu itu,”terima kasih karena anda telah menyelamatkan hidup saya.”

Ketika saya mendengarnya, saya menyadari apa yang kita sebut sebagai “kebaikan” itu. Saya membuat tekad saat itu. Tekad saya adalah: jika seluruh hidup saya sebagai biksu, hanya ada satu orang saja, cukup satu saja, yang mengatakan bahwa, “Ajahn Brahm, terima kasih karena anda telah menyelamatkan hidup saya,”maka saya akan bahagia.

Saya tidak perlu banyak hal agar bisa melayani. Cukup satu orang saja. Dan jika siapa pun bisa menyelamatkan hidup satu orang dengan cara itu, tidakkah ini akan menjadi dunia yang indah?saya sangat beruntung bahwa banyak orang telah datang dan berkata,”terima kasih Ajahn Brahm karena anda telah menyelamatkan hidup saya.” Bayangkan, betapa hebatnya kebahagiaan yang muncul pada saya karena itu! Sungguh kebahagiaan raksasa! Itulah sebabnya mengapa menolong orang lain adalah baik. Melayani adalah baik. Menciptakan kebahagiaan bagi diri anda sendiri, hidup terkendali indra, tidak melukai diri sendiri atau orang lain, adalah baik. Berderma adalah baik. Lebih jauh lagi, mengembangkan kebijaksanaan, kedamaian, kepiawaian menolong orang lain, itulah kebajikan yang agung. Singkatnya, apa pun perbuatan yang membuat lebih dekat menuju pencerahan, adalah baik.



(Diambil dari buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya Jilid 2", karya Ajahn Brahm)

Tidak ada komentar: