Bentuknya begitu anggun
Bening dan berkilau
Tanpa noda
Tanpa cela
Begitu indahnya
Begitu sayang bila kupakai
Biarlah ada di rak hiasku
Menjadi kebanggaan bagiku
Ketika saat itu terjadi.....
Hancur hatiku melihatnya
Pecah tak berbekas
Yang tertinggal hanyalah .....
Serpihan kaca tiada arti .
Andai saat itu ..................
Kuraih kesempatan yang ada
Merasakan segarnya air
Dari sebuah gelas kristal yang indah
Baru kusadari
Betapa bodohnya aku
Hanya membanggakannya
Dan bukan memakainya untuk manfaat diri
Aku mendapatkan sebuah gelas kristal yang sangat indah bentuknya. Kutimang-timang gelas itu, dapat kurasakan betapa halus buatannya. “Pasti mahal harganya,” pikirku. Gelas itu begitu berkilau memukau mata yang melihatnya. Kucari tempat yang paling baik untuk menempatkannya agar bisa dilihat oleh semua orang. Begitu bangga dan puasnya diriku membayangkan gelas kristal milikku itu nantinya dipandang setiap orang yang datang bertamu ke rumah. Semua pasti kagum dan ingin memilikinya. Senang dan puas hatiku bisa membanggakannya kepada semua orang. Ya, itulah gelas kristal indah milikku.
Sampai suatu ketika, saat di
rumahku ada pesta, banyak sekali orang yang datang. Di antara mereka tak
sedikit yang datang dengan membawa anak kecil. Dan waktu itulah kecelakaan
terjadi. Rak tempat gelas kristal itu berada tertabrak anak-anak kecil yang
sedang bermain dan berlarian di rumahku. “Brakk...!!!” Suara benturan itu
begitu keras mengagetkan semua orang. Sejurus kemudian menyusul terdengar suara
nyaring yang menyakitkan telinga: “Pranggg ........ !!!” Mendengar suara satu
ini aku langsung meloncat dan berlari untuk melihat apa yang sebenarnya
terjadi, tepatnya meyakinkan diriku bahwa hal yang tak kuinginkan itu benar
telah terjadi. Suara gelas pecah mungkin menyakitkan telinga para tamu, tetapi
lebih menyakitkan lagi bagiku karena kebanggaanku ikut hancur bersamanya.
Habislah sudah hari-hari penuh kebanggaan menerima pujian dan menikmati mata
kagum para tamu atas keindahan gelas kristalku.
Pesta sudah
bubar sejak 3 jam yang lalu, persisnya ketika para tamu melihatku begitu
bersedih meratapi gelas kristal yang menjadi kebanggaanku selama ini.
Aku
masih duduk di depan gelas kristal yang kini menjadi serpihan kaca tiada arti. Sampah,
itulah kata yang tepat. Kubiarkan hati dan pikiranku melayang menyesali
kehancuran gelas itu. Aku benci mengingat apa yang telah terjadi. Semua emosi
buruk muncul di benakku. Marah, benci, gusar, menyesal, umpatan kasar,
de-el-el.
Setelah
reda amarah dan penyesalanku, aku kemudian membersihkan semua bekas kekacauan
dalam rumahku. Tertampak olehku begitu banyak sampah. Hiasan–hiasan yang
tadinya kutata rapi jadi berantakan semua. Sejurus melihat ini aku tertegun.
Semua pemandangan ini kulihat dengan mata kepala yang sama dengan yang tadi,
tetapi baru aku sadari saat ini. Begitu bodohnya diriku yang menyesali hal
tiada arti selama berjam-jam. Sedih, marah, dan semua emosi yang merugikan itu
telah menjeratku serta membuatku begitu menderita. Ternyata yang kulakukan tak
lebih hanyalah menyesali hal yang bersifat semu. Semua hal yang sebelumnya
kutata rapi dan indah, pada akhirnya juga akan berakhir dalam wujud sampah.
Selanjutnya
aku mulai berandai-andai. Apabila tidak kupamerkan dan kuletakkan di rak ruang
tamu yang tinggi, gelas kristal itu pasti masih utuh berada di lemari dalam
yang aman. Apabila aku memakainya sebagai gelas minum, aku akan bisa merasakan
betapa segarnya minuman yang kuteguk dari gelas kristal itu. Meski kemudian
ketika gelas itu hancur, aku masih tetap dapat menceritakan kepada orang lain
betapa nikmatnya minum dengan menggunakan sebuah gelas kristal.
Ini
pulalah kepandiran yang kita lakukan selama ini. Kita umat Buddha pada umumnya
memandang Buddha Dhamma bagai sebuah gelas kristal yang harus dibanggakan
sebagai milik kita yang indah. Tanpa disadari kita menempatkan Buddha Dhamma
hanya sebagai sebuah rangkaian kata bijak yang kita sombongkan pada semua
orang. Kita merasa begitu bangga kala bisa memenangkan setiap perdebatan
tentang nilai-nilai kehidupan dengan berpedoman pada Dhamma yang indah itu.
Namun
kita lupa bahwa Buddha Dhamma adalah sebuah nilai kebenaran yang harus dijalani
dan dibuktikan oleh diri sendiri. Buddha Dhamma harus kita cicipi dengan
menjalankannya tanpa harus memamerkan dengan membawa keakuan dan kesombongan
kita. Buddha Dhamma yang hanya menjadi simbol kesombongan tak akan menjadi
sesuatu yang bermanfaat, ini bagaikan gelas kristal indah yang hanya dipamerkan
dan akhirnya hancur berkeping-keping tanpa membawa sedikitpun manfaat nyata
bagi pemiliknya.
Demikian
pula dengan seseorang yang tidak menerapkan dan menyelami kebenaran Dhamma,
keyakinan dan keteguhannya mudah rapuh seperti halnya gelas kristal. Sehingga
ketika sedang menuai buah karma buruk, bukan keyakinan dan ketegaran yang
ditunjukkannya, melainkan kekecewaan dan penolakan. Oleh karena itulah mari
kita cicipi Buddha Dhamma dengan menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari,
bukan hanya sekedar dipamerkan di depan orang tanpa pernah dipakai sendiri.
Simpanlah Gelas Kristal Dhamma jauh di dalam lubuk hati kita dan biarkan
kemilau cahaya yang memukau terpancar melalui diri kita. Dengan demikian tidak
ada seorangpun yang bisa memecahkan Gelas Kristal tersebut karena telah
terpahat di dalam hati dan menyatu dalam diri kita.
Dalam
masa awal penyebaran Dhamma, Buddha meminta 60 orang bhikkhu untuk membabarkan
Dhamma ke berbagai tempat demi kebahagiaan banyak orang. Hal ini dilakukan oleh
Buddha dan para bhikkhu karena pada masa itu banyak orang yang belum mengenal
Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya, dan indah pada akhirnya
itu. Namun, apa yang harus kita lakukan setelah berkesempatan mendengarkan
Dhamma? Di samping membabarkannya pada orang lain yang membutuhkannya, yang
terpenting adalah kita harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
kata lain, Gelas Kristal indah yang telah ditunjukkan Buddha jangan hanya kita
jadikan ajang pameran kesombongan.
Dalam
memperingati Hari Magha Puja, marilah kita renungkan: Dhamma telah dibabarkan,
aturan kedisiplinan Sangha telah dipaparkan; Dhamma terus disebarkan, aturan
kedisiplinan pun tetap dijaga, kini yang harus dipertanyakan adalah: sudahkah
kita menerapkan Dhamma yang indah itu dan menghormati aturan kedisiplinan yang
bermoral itu?
Dengan
pengertian ini, marilah kita mulai memanfaatkan Gelas Kristal Dhamma
masing-masing (pemahaman kita akan Buddha Dhamma) untuk mencicipi segarnya air
dari dalam Gelas Kristal itu (kebahagiaan dalam penerapan Dhamma). Lalu
simpanlah dalam lubuk hati yang paling dalam dan biarlah diri kita memancarkan
kemilaunya (biarlah cahaya Dhamma itu memancar dari apa yang kita lakukan,
bukan dari yang kita katakan).
Semoga
pemahaman gelas kristal ini membawa kita pada kebahagiaan.
Semoga semua makhluk berbahagia.
Oleh: Sang attha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar