Rabu, 02 November 2011

GELAS KRISTAL (Memandang Dhamma)


Bentuknya begitu anggun
Bening dan berkilau
Tanpa noda
Tanpa cela
Begitu indahnya
Begitu sayang bila kupakai
Biarlah ada di rak hiasku
Menjadi kebanggaan bagiku
Ketika saat itu terjadi.....
Hancur hatiku melihatnya
Pecah tak berbekas
Yang tertinggal hanyalah .....
Serpihan kaca tiada arti .
Andai saat itu ..................
Kuraih kesempatan yang ada
Merasakan segarnya air
Dari sebuah gelas kristal yang indah
Baru kusadari
Betapa bodohnya aku
Hanya membanggakannya
Dan bukan memakainya untuk manfaat diri

Aku mendapatkan sebuah gelas kristal yang sangat indah bentuknya. Kutimang-timang gelas itu, dapat kurasakan betapa halus buatannya. “Pasti mahal harganya,” pikirku. Gelas itu begitu berkilau memukau mata yang melihatnya. Kucari tempat yang paling baik untuk menempatkannya agar bisa dilihat oleh semua orang. Begitu bangga dan puasnya diriku membayangkan gelas kristal milikku itu nantinya dipandang setiap orang yang datang bertamu ke rumah. Semua pasti kagum dan ingin memilikinya. Senang dan puas hatiku bisa membanggakannya kepada semua orang. Ya, itulah gelas kristal indah milikku.
Sampai suatu ketika, saat di rumahku ada pesta, banyak sekali orang yang datang. Di antara mereka tak sedikit yang datang dengan membawa anak kecil. Dan waktu itulah kecelakaan terjadi. Rak tempat gelas kristal itu berada tertabrak anak-anak kecil yang sedang bermain dan berlarian di rumahku. “Brakk...!!!” Suara benturan itu begitu keras mengagetkan semua orang. Sejurus kemudian menyusul terdengar suara nyaring yang menyakitkan telinga: “Pranggg ........ !!!” Mendengar suara satu ini aku langsung meloncat dan berlari untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, tepatnya meyakinkan diriku bahwa hal yang tak kuinginkan itu benar telah terjadi. Suara gelas pecah mungkin menyakitkan telinga para tamu, tetapi lebih menyakitkan lagi bagiku karena kebanggaanku ikut hancur bersamanya. Habislah sudah hari-hari penuh kebanggaan menerima pujian dan menikmati mata kagum para tamu atas keindahan gelas kristalku.
Pesta sudah bubar sejak 3 jam yang lalu, persisnya ketika para tamu melihatku begitu bersedih meratapi gelas kristal yang menjadi kebanggaanku selama ini.
Aku masih duduk di depan gelas kristal yang kini menjadi serpihan kaca tiada arti. Sampah, itulah kata yang tepat. Kubiarkan hati dan pikiranku melayang menyesali kehancuran gelas itu. Aku benci mengingat apa yang telah terjadi. Semua emosi buruk muncul di benakku. Marah, benci, gusar, menyesal, umpatan kasar, de-el-el.
Setelah reda amarah dan penyesalanku, aku kemudian membersihkan semua bekas kekacauan dalam rumahku. Tertampak olehku begitu banyak sampah. Hiasan–hiasan yang tadinya kutata rapi jadi berantakan semua. Sejurus melihat ini aku tertegun. Semua pemandangan ini kulihat dengan mata kepala yang sama dengan yang tadi, tetapi baru aku sadari saat ini. Begitu bodohnya diriku yang menyesali hal tiada arti selama berjam-jam. Sedih, marah, dan semua emosi yang merugikan itu telah menjeratku serta membuatku begitu menderita. Ternyata yang kulakukan tak lebih hanyalah menyesali hal yang bersifat semu. Semua hal yang sebelumnya kutata rapi dan indah, pada akhirnya juga akan berakhir dalam wujud sampah.
Selanjutnya aku mulai berandai-andai. Apabila tidak kupamerkan dan kuletakkan di rak ruang tamu yang tinggi, gelas kristal itu pasti masih utuh berada di lemari dalam yang aman. Apabila aku memakainya sebagai gelas minum, aku akan bisa merasakan betapa segarnya minuman yang kuteguk dari gelas kristal itu. Meski kemudian ketika gelas itu hancur, aku masih tetap dapat menceritakan kepada orang lain betapa nikmatnya minum dengan menggunakan sebuah gelas kristal.
Ini pulalah kepandiran yang kita lakukan selama ini. Kita umat Buddha pada umumnya memandang Buddha Dhamma bagai sebuah gelas kristal yang harus dibanggakan sebagai milik kita yang indah. Tanpa disadari kita menempatkan Buddha Dhamma hanya sebagai sebuah rangkaian kata bijak yang kita sombongkan pada semua orang. Kita merasa begitu bangga kala bisa memenangkan setiap perdebatan tentang nilai-nilai kehidupan dengan berpedoman pada Dhamma yang indah itu.
Namun kita lupa bahwa Buddha Dhamma adalah sebuah nilai kebenaran yang harus dijalani dan dibuktikan oleh diri sendiri. Buddha Dhamma harus kita cicipi dengan menjalankannya tanpa harus memamerkan dengan membawa keakuan dan kesombongan kita. Buddha Dhamma yang hanya menjadi simbol kesombongan tak akan menjadi sesuatu yang bermanfaat, ini bagaikan gelas kristal indah yang hanya dipamerkan dan akhirnya hancur berkeping-keping tanpa membawa sedikitpun manfaat nyata bagi pemiliknya.
Demikian pula dengan seseorang yang tidak menerapkan dan menyelami kebenaran Dhamma, keyakinan dan keteguhannya mudah rapuh seperti halnya gelas kristal. Sehingga ketika sedang menuai buah karma buruk, bukan keyakinan dan ketegaran yang ditunjukkannya, melainkan kekecewaan dan penolakan. Oleh karena itulah mari kita cicipi Buddha Dhamma dengan menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekedar dipamerkan di depan orang tanpa pernah dipakai sendiri. Simpanlah Gelas Kristal Dhamma jauh di dalam lubuk hati kita dan biarkan kemilau cahaya yang memukau terpancar melalui diri kita. Dengan demikian tidak ada seorangpun yang bisa memecahkan Gelas Kristal tersebut karena telah terpahat di dalam hati dan menyatu dalam diri kita.
Dalam masa awal penyebaran Dhamma, Buddha meminta 60 orang bhikkhu untuk membabarkan Dhamma ke berbagai tempat demi kebahagiaan banyak orang. Hal ini dilakukan oleh Buddha dan para bhikkhu karena pada masa itu banyak orang yang belum mengenal Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya, dan indah pada akhirnya itu. Namun, apa yang harus kita lakukan setelah berkesempatan mendengarkan Dhamma? Di samping membabarkannya pada orang lain yang membutuhkannya, yang terpenting adalah kita harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Gelas Kristal indah yang telah ditunjukkan Buddha jangan hanya kita jadikan ajang pameran kesombongan.
Dalam memperingati Hari Magha Puja, marilah kita renungkan: Dhamma telah dibabarkan, aturan kedisiplinan Sangha telah dipaparkan; Dhamma terus disebarkan, aturan kedisiplinan pun tetap dijaga, kini yang harus dipertanyakan adalah: sudahkah kita menerapkan Dhamma yang indah itu dan menghormati aturan kedisiplinan yang bermoral itu?
Dengan pengertian ini, marilah kita mulai memanfaatkan Gelas Kristal Dhamma masing-masing (pemahaman kita akan Buddha Dhamma) untuk mencicipi segarnya air dari dalam Gelas Kristal itu (kebahagiaan dalam penerapan Dhamma). Lalu simpanlah dalam lubuk hati yang paling dalam dan biarlah diri kita memancarkan kemilaunya (biarlah cahaya Dhamma itu memancar dari apa yang kita lakukan, bukan dari yang kita katakan).
Semoga pemahaman gelas kristal ini membawa kita pada kebahagiaan.
Semoga semua makhluk berbahagia.

Oleh: Sang attha


Tidak ada komentar: