Adanya kehidupan setelah kematian
tidak sulit untuk diterima oleh hampir semua agama. Tetapi mengubah pernyataan
itu dengan kalimat "Adanya kelahiran kembali setelah Kematian" akan
membuat banyak orang dengan serta merta menolak.
Tetapi sebagian orang ada yang
mempercayai bahwa kelahiran kembali akan terjadi pada saat terjadinya hidup
kembali yang kedua. Hidup kembali itu terjadi pada waktu jasad yang dikuburkan
—yang tentunya sudah membusuk, bahkan mungkin sudah lebur dengan tanah— menjadi
utuh kembali dan bangkit lagi.
Kelahiran kembali sering juga
disebutkan dengan menjelma lagi atau menitis kembali. Hidup ini seperti burung
dalam sangkar. Bila kematian terjadi, ibarat sangkar yang rusak. Sang burung
akan terbang melayang-layang untuk kemudian memasuki sangkar yang baru. Roh
itulah yang seperti burung dan jasmani adalah sangkarnya.
Kalau kita setuju menggunakan sebutan
yang netral, tidak menamakan lagi peristiwa-peristiwa dalam kehidupan ini
bahagia atau sengsara, suka atau duka; maka kehidupan ini sesungguhnya adalah
proses yang terus menerus terjadi. Kebahagiaan sebagai salah satu bentuk
perasaan akan timbul pada suatu saat, kemudian bertahan beberapa saat, dan
akhirnya lenyap. Demikian pula kesedihan. Kesedihan timbul, bertahan, akhirnya
juga lenyap. Timbul lagi bentuk-bentuk perasaan yang lain, demikian juga
bentuk-bentuk pikiran. Semua itu tampak dengan jelas sebagai proses
timbul-tenggelam yang tidak pernah berhenti.
Tidak hanya proses mental yang mengalir
terus, fisik kita dan segala sesuatu di semesta ini adalah perpaduan berbagai
unsur yang terus menerus mengalami proses perubahan di sepanjang masa.
Sankhara sassata natthi,
perpaduan tidak memiliki kekekalan.
Bila kokon (kepompong ulat sutera)
telah terbentuk, maka tiba waktunya untuk diproses. Kalau kokon telah menjadi
benang, proses ini boleh saja disebut: "Kokon telah 'lahir' menjadi
benang". Kalau demikian pintalan benang menjadi selembar sutera yang
lembut, maka benang telah lahir kembali kain sutera. Kain sutera akan lahir
kembali menjadi gaun. Gaun pada suatu saat akan usang, dan sang gaun akan lahir
kembali menjadi kain lap. Demikian proses itu mengalir terus.
Segala sesuatu akan terkena hukum
proses yang berlangsung terus menerus. Sesuatu terjadi karena faktor-faktor
penyebab yang mendahuluinya. Faktor-faktor penyebab itupun timbul karena
sebab-sebab yang sebelumnya. Demikian sebaliknya, apa yang terjadi sekarang
akan menjadi faktor untuk kejadian yang akan datang. Kejadian yang akan terjadi
kemudian pun akan menjadi faktor untuk fenomena-fenomena selanjutnya.
Hukum sebab-musabab yang saling
bergantungan, yang tampak pada proses perubahan yang terus menerus terjadi di
semesta ini dalam terminologi Buddhis disebut Paticca Samuppada.
Secara ringkas Paticca Samuppada bisa
disimpulkan dalam rumusan kalimat sebagai berikut:
"Imasmim sati idam hoti,
imasuppada idam uppajjati. Imasmim asati idam na hoti, imassa nirodha imam
nirujjhati".
Karena adanya ini, maka ada itu;
karena timbulnya ini, maka timbullah itu;
Dengan tidak adanya ini, maka tidak
akan ada itu; dengan lenyapnya ini, maka lenyapnya itu.
Sekarang timbul pertanyaan:
"Dalam proses kejadian yang berkesinambungan itu adakah substansi yang
kekal? Adakah suatu inti yang tidak terkena perubahan?" Kenyataan akan
menunjukkan: Tidak!
Benang yang dipintal bukan lagi kokon.
Kain sutera bukan lagi benang. Dan gaun yang bernilai mahal tidak lagi disebut
selembar kain. Bukan hanya bentuknya yang berubah, tetapi materinya pun
berubah. Kini tidak sulit lagi untuk memahami bahwa tidak ada atom atau molekul
yang statis —kekal, abadi.
Karena adanya ulat sutera, timbullah
kokon. Karena adanya kokon, terpintallah benang. Karena benang telah terpintal,
terjadilah kain. Dengan adanya kain, terwujudlah gaun. Ini adalah sepenggal
kejadian yang saling bergantungan. Kejadian itu timbul karena banyak faktor
yang menjadi penyebabnya. Sama sekali tidak boleh dipandang sebagai satu faktor
menimbulkan satu kejadian. Sang ulat tidak akan membuat kokon tanpa adanya
makanan yang cukup dan iklim yang sesuai. Tanpa alat pemintal dan orang yang
mempunyai kecakapan memintal, kokon akan tetap menjadi kokon. Demikian juga
selembar sutera mungkin akan menjadi sekadar kain penutup meja, bila tidak ada
perancang mode dan alat-alat lain yang mendukung terbentuknya gaun yang mahal.
Meskipun banyak faktor menjadi sebab,
benang yang terjadi dari kokon sutera tetap benang sutera, tidak akan berubah
menjadi benang wol. Kain yang akan terbentuk pasti kain sutera, bukan kain
katun. Memang benang sutera yang terjadi tidak sama lagi dengan kokon, tetapi
juga bukan benang jenis yang lain. Kokonlah penyebabnya. Kain yang terbentuk
bukan lagi benang —memang tidak sama tetapi bukan berbeda sepenuhnya. Kain itu
tetap kain sutera, karena benang suteralah penyebabnya.
Proses yang mendasari segala sesuatu
di semesta ini yang tidak sama sepenuhnya, tetapi juga tidak berbeda sama
sekali, disimpulkan dalam kalimat Pali yang sangat terkenal:
"Na ca so, na ca anno".
Bukan sama, tetapi bukan juga
berbeda.
Sekarang kita akan melihat proses
kokon dengan cara yang lain. Kokon yang tidak dipintal akan menjadi kupu-kupu.
Kupu-kupu tidak memerlukan daun sebagai makanan. Hidupnya singkat, bertelur,
kemudian mati. Telur kupu-kupu yang menetas tidak akan tampak seperti
kupu-kupu. Makhluk yang muncul sangat berbeda: ulat. Ulat sangat kurus. Memangsa
daun menggunduli tanaman. Tetapi pada suatu saat ulat akan berhenti makan.
Tubuhnya menjadi jernih dan mulai mengeluarkan benang halus untuk mengurung
dirinya sendiri. Sekarang ulat yang menjijikkan itu telah menjadi kokon yang
indah. Setelah kokon pecah, terbanglah kupu-kupu yang sangat berbeda dengan
perangai ulat.
Demikianlah kelahiran kembali dapat
digambarkan dan dimengerti dengan cara yang sederhana. Tidak ada yang tetap
tinggal sebagai inti abadi dalam proses metamorfosis telur—ulat—kokon—kupu-kupu.
Semuanya terjadi karena sebab yang mendahului. Yang akan datang terjadi karena
sebab yang sekarang.
Demikian juga halnya kehidupan ini,
termasuk kehidupan kita sebagai manusia sekarang, Kelahiran kita sekarang —yang
sempurna, yang cacat; yang pria, yang wanita— terjadi karena sebab yang lalu.
Sedangkan kebodohan (avijja) kita sekarang akan menyebabkan timbulnya nafsu
keinginan, kemelekatan, dan kemudian mendorong kita melakukan bermacam-macam
perbuatan. Sebagai akibatnya, berlanjutlah kehidupan berikutnya setelah
kematian. Peristiwa yang akan datang terjadi karena sebab-sebab yang kita buat
sekarang.
Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijja)
menjadi pokok pangkal terjadinya kelahiran kembali. Kebodohan atau
ketidak-tahuan akan sifat segala sesuatu, yaitu: ketidak-kekalan, perubahan
yang terus menerus terjadi, dan tanpa adanya inti. Ketidak-tahuan ini membius
setiap orang sehingga mengganggap bahwa apapun yang sedang dinikmati adalah
kekal —tidak berubah— dan bisa dikuasai sepenuhnya.
Demikianlah kelahiran kembali harus
dipahami sebagai proses.
Kehidupan yang berkesinambungan dan
berubah terus menerus. Tidak ada inti atau roh, yang abadi dan tetap tinggal
suci, yang menjelma atau menitis kembali dari satu sangkar jasmani ke sangkar
yang lain.
Akhirnya tujuan hidup ini harus
diletakkan hanya pada satu hal: mengakhiri proses kehidupan (samsâra) yang
berkepanjangan itu.***
oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera.
Sumber:
Majalah
Buddha Cakkhu No. 21/Tahun XII/1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar