Jumat, 04 November 2011

Bukalah pintu hatimu




oleh Ajahn Brahm


Beberapa abad yang silam, tujuh orang bhikkhu tinggal di sebuah gua di sebuah rimba di suatu tempat di Asia, bermeditasi pada jenis cinta kasih tak berkondisi yang saya kisahkan di cerita sebelumnya.Ada seorang bhikkhu kepala, saudara laki-lakinya dan sahabat baiknya. Yang keempat adalah seorang lawan bhikkhu kepala: mereka tidak bisa pernah akur. Bhikkhu yang kelima adalah seorang bhikkhu yang sangat tua, begitu tuanya sampai-sampai mungkin akan meninggal dalam beberapa tahun lagi. Yang keenam sakit berat –bisa saja meninggal kapan pun. Dan yang terakhir, ketujuh, adalah bhikkhu yang tidak berguna.

Dia mendengkur saat dia seharusnya bermeditasi, tidak bisa mengingat paritta dan kalaupun kebetulan ingat, dia mengucapkannya dengan nada sumbang. Dia juga tidak bisa mengatur jubahnya dengan pantas. Namun yang lain-lain semuanya membiarkannya saja dan berterimakasih kepadanya karena telah mengajarkan mereka cara bersabar.

Suatu hari, segerombolan penjahat menemukan gua tersebut. Gua itu sangat terpencil, sangat tersembunyi, sehingga mereka ingin mengambil alih gua tersebut untuk dijadikan markas. Jadi mereka berniat untuk membunuh semua bhikkhu tersebut. Namun, bhikkhu kepala sangat fasih berbicara untuk meyakinkan orang. Dia akhirnya bisa –jangan tanya saya caranya- membujuk gerombolan penjahat untuk membiarkan bhikkhu-bhikkhu itu pergi, kecuali satu orang, yang akan dibunuh sebagai peringatan kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain untuk tidak mengatakan lokasi gua kepada seorangpun. Hanya itulah yang terbaik yang bisa dilakukan si bhikkhu kepala.

Bhikkhu kepala berpikir sendirian selama beberapa menit untuk membuat keputusan yang menyedihkan mengenai siapa yang seharusnya dikorbankan, sehingga yang lainnya semua bisa bebas pergi.

Sewaktu saya menceritakan kisah ini di publik, saya berhenti sebentar bertanya kepada pemirsa, “Baiklah, menurut kalian, siapakah yang akan dipilih bhikkhu kepala?”. Pertanyaan ini biasanya bisa menyegarkan pemirsa yang terkantuk-kantuk dalam kotbah saya dan membangunkan mereka yang sudah tertidur. Saya mengingatkan mereka bahwa ada bhikkhu kepala, saudara laki-laki, sahabat baik, lawan, bhikkhu tua, si sakit (dua-duanya sudah mau mati) dan bhikkhu yang tidak berguna. Menurut anda, siapa yang akan terpilih?

Beberapa orang memilih si lawan. “Bukan,” saya jawab.

“Saudara laki-lakinya?”

“Salah.”

Bhikkhu yang tak berguna selalu disebutkan –betapa kejamnya kita! Setelah saya cukup menikmati jawaban-jawaban itu, saya beberkan jawabnya: bhikkhu kepala tidak bisa memilih.

Cinta kasihnya kepada saudaranya persis sebesar, tidak lebih dan tidak kurang, cinta kasihnya kepada sahabat baiknya, dan juga persis sama besarnya dengan cinta kasihnya terhadap lawannya, kepada bhikkhu tua, si sakit bahkan kepada bhikkhu yang tak berguna itu. Dia telah menyempurnakan arti kata-kata: pintu hati saya akan selalu terbuka untukmu, apapun yang kamu lakukan, siapapun kamu.

Pintu hati si bhikkhu kepala terbuka lebar untuk semua, tanpa kondisi, tidak membeda-bedakan, cinta kasih yang mengalir bebas. Dan yang paling penting, cinta kasihnya kepada orang lain sama besarnya dengan cinta kasihnya kepada diri sendiri. Pintu hatinya juga terbuka untuk dirinya sendiri. Itulah mengapa dia tidak bisa memilih antara dirinya sendiri dan yang lain-lain.

Saya mengingatkan ajaran Judeo-Christian di dalam diri pemirsa saya bahwa buku mereka mengajarkan untuk “cintai tetanggamu seperti dirimu sendiri”. Tidak lebih dari dirimu sendiri dan tidak kurang dari dirimu sendiri, namun sama besarnya dengan dirimu sendiri. Itu berarti memperlakukan orang lain seperti halnya diri sendiri dan diri sendiri seperti halnya orang lain.

Mengapa kebanyakan pemirsa saya berpikir bahwa bhikkhu kepala akan mengorbankan diri dan memilih dirinya sendiri untuk dibunuh? Mengapa, dalam budaya kita, kita selalu mengorbankan diri sendiri untuk orang lain dan menganggap ini untuk kebaikan? Mengapa kita kadang-kadang menuntut lebih, lebih kritis dan menghukum diri sendiri lebih daripada siapa pun? Semuanya untuk satu alasan: kita belum belajar bagaimana untuk mencintai diri sendiri. Bila anda merasa sulit untuk berkata kepada orang lain: “pintu hatiku terbuka untukmu, apapun yang kau lakukan,” maka akan jauh lebih sulit untuk berkata kepada diri sendiri, “Aku. Orang yang sangat dekat, sejauh yang bisa saya ingat. Saya sendiri. Pintu hatiku akan selalu terbuka untuk diriku sendiri. Tidak perduli apa yang telah saya lakukan. Masuklah.”

Itulah yang saya maksudkan dengan mencintai diri kita sendiri: yang dinamakan pemberian maaf. Melangkah keluar dari penjara rasa bersalah; berdamai dengan diri sendiri. Dan jika anda mendapatkan keberanian untuk mengatakan kata-kata itu kepada diri anda sendiri, dengan sejujurnya, dalam hati anda yang dalam, maka anda akan menyongsong ke depan, bukan mundur, untuk menemukan cinta kasih yang menakjubkan. Suatu hari, kita semua harus mengatakan kata-kata itu atau yang sejenis, kepada diri kita sendiri, dengan kejujuran, bukan main-main. Saat kita melakukannya, sama halnya seperti memanggil pulang bagian dari diri kita yang telah lama terpisah dan membeku di luar. Kita merasa penuh, utuh, siap dan bebas untuk berbahagia. Hanya saat kita bisa mencintai diri sendiri dengan cara begitu, kita mengerti untuk mencintai orang lain, tidak lebih dan tidak kurang.

Dan harap diingat, anda tidak perlu menjadi sempurna terlebih dahulu, tanpa kesalahan, untuk memberikan cinta kepada diri anda sendiri. Jika anda harus menunggu kesempurnaan, itu tidak akan tiba. Kita harus membuka pintu hati kita kepada diri kita sendiri, apapun yang telah kita lakukan. Sekali kita berada di dalam, maka kita telah sempurna.

Orang sering bertanya kepada saya, apa yang terjadi kepada tujuh bhikkhu tersebut sewaktu bhikkhu kepala mengatakan para penjahat bahwa dia tidak bisa memilih.

Kisah ini, seperti yang saya dengar beberapa tahun silam, tidak mengatakan: ceritanya berhenti di tempat saya menyelesaikannya. Tapi saya tahu apa yang terjadi kemudian; saya berpikir apa yang seharusnya terjadi. Ketika bhikkhu kepala menjelaskan kepada para penjahat mengapa dia tidak bisa memilih antara dirinya sendiri dan orang lain, dan menceritakan arti cinta kasih dan pemberian maaf seperti yang telah saya lakukan tadi, maka semua penjahat menjadi sangat terkesan dan terinspirasi sehingga tidak hanya mereka melepaskan semua bhikkhu, namun mereka juga bertobat dan menjadi bhikkhu!

Tidak ada komentar: