Rabu, 30 November 2011

MAHĀ-BODHI-JĀTAKA


Sumber : Indonesia Tipitaka Center


“Apa arti dari benda-benda ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam kebijaksanaan.


Kisahnya berhubungan di dalam Mahāummagga-Jātaka.


Sekarang dalam kisah ini, Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, Tathāgata adalah yang bijaksana dan mengalahkan para penganut pandangan salah (pembantah),” dan dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________


Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Bodhisatta terlahir di Benares dalam Kerajaan Kasi, di keluarga seorang brahmana yang kaya raya, yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta, dan mereka memberinya nama Bodhi.


Ketika dewasa, ia diajari semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasilā, dan sekembalinya ke rumah, ia hidup dalam lingkungan kehidupan rumah tangga. Seiring berjalannya waktu, dengan tujuan untuk melenyapkan kesenangan indriawi yang buruk, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya [228] dan menjalani kehidupan suci dari seorang petapa pengembara, tinggal di sana untuk waktu yang lama, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan (yang tumbuh liar).


Pada musim hujan, ia turun gunung dan dengan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, akhirnya ia tiba di Benares. Di sana ia mengambil tempat tinggalnya di dalam taman kerajaan. Keesokan harinya, sewaktu berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, dengan penampilannya sebagai seorang petapa pengembara, ia menghampiri gerbang istana. Raja yang sedang berdiri dekat jendela melihat dirinya, dan karena merasa senang dengan kelakuannya yang tenang, raja mempersilakan ia masuk ke dalam istananya dan duduk di dipan raja.


Setelah perbincangan kecil yang ramah, raja mendengarkan pemaparan kebenaran dan kemudian mempersembahkan kepadanya berbagai jenis makanan lezat. Sang Mahasatwa menerima makanan tersebut dan berpikir, “Sesungguhnya istana raja ini penuh dengan kebencian dan terdapat musuh yang berlimpah ruah. Saya bertanya-tanya siapa gerangan yang akan menghilangkan rasa takut yang muncul dalam pikiranku?”


Dan sewaktu melihat seekor anjing pemburu yang berwarna kuning kecoklatan, hewan kesayangan raja, yang berdiri di dekatnya, ia mengambil segenggam makanan dan membuat gerakan yang menunjukkan ia ingin untuk memberikannya kepada anjing itu. Raja yang menyadari ini meminta pengawal untuk membawakan piring anjing itu dan memintanya untuk mengambil makanan itu kemudian memberikannya kepada anjing tersebut. Demikian Sang Mahasatwa memberikannya dan kemudian selesai bersantap.


Setelah mendapatkan persetujuan darinya atas satu perencanaan, raja meminta anak buahnya untuk membangun sebuah gubuk daun untuknya di taman kerajaan di dalam kota, dan raja memintanya untuk tinggal di sana setelah memberikan kepadanya semua barang perlengkapan petapa. Dua atau tiga kali setiap harinya, raja datang untuk memberikan penghormatan kepadanya. Dan pada saat makan, Sang Mahasatwa tetap duduk di dipan raja dan saling berbagi makanan. Dengan keadaan demikian, dua belas tahun berlalu.


Ketika itu, raja memiliki lima orang penasihat yang memberinya nasihat dalam masalah pemerintahan dan spiritual. Salah satu dari mereka membantah adanya akar penyebab (ahetukavāda). Yang kedua percaya bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi (issarakatavāda). Yang ketiga percaya dalam perbuatan telah terjadi sebelumnya (pubbekatavāda). Yang keempat percaya dalam pemusnahan setelah kematian (ucchedavāda). Yang kelima percaya dalam doktrin Kesatria (khattavijjavāda).


Ia yang membantah adanya akar penyebab, mengajarkan orang-orang bahwa makhluk di dunia ini menjadi suci/bersih kembali oleh kelahiran kembali. Ia yang percaya dalam segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk mahatinggi, mengajarkan bahwa dunia ini diciptakan oleh dirinya. Ia yang percaya dalam perbuatan masa lampau mengajarkan bahwa penderitaan atau kebahagiaan yang terjadi pada diri manusia di dunia ini adalah hasil dari perbuatan masa lampau. Yang percaya dalam pemusnahan setelah kematian mengajarkan bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir kembali di alam manapun, melainkan kehidupan di dunia ini mengalami pemusnahan. Ia yang percaya dalam doktrin Kesatria mengajarkan bahwa keinginan seseorang harus dipenuhi meskipun harus dengan membunuh orang tuanya.


Orang-orang ini ditunjuk untuk menduduki jabatan di pengadilan kerajaan, [229] dan dikarenakan keserakahan akan uang suap, mereka merampas harta benda milik orang yang sah. Suatu hari ada seorang laki-laki, yang disalahkan dalam tindakan yang tidak benar dalam hukum, melihat Sang Mahasatwa masuk ke dalam istana untuk berpindapata, ia memberi hormat kepadanya dan memberitahukan penderitaannya dengan berkata, “Bhante, mengapa Anda, yang mengambil makananmu di dalam istana raja, menanggapi dengan ketidakpedulian atas tindakan dari para pejabat pengadilan yang dengan menerima uang suap menghancurkan kehidupan orang-orang? Baru saja kelima penasihat raja ini, setelah menerima suap dari seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tidak benar, telah merampas harta benda milikku.”


Maka Sang Mahasatwa, yang tergerak oleh rasa belas kasihan terhadap dirinya, pergi ke pengadilan dan dengan memberikan keputusan yang benar mengembalikan harta benda miliknya seperti sediakala. Orang-orang serempak bertepuk tangan dengan meriah atas tindakannya tersebut. Raja yang mendengar suara ribut itu menanyakan apa maksudnya itu, dan ketika diberitahukan jawabannya, ketika Sang Mahasatwa telah selesai bersantap, raja mengambil tempat duduk di sampingnya dan bertanya, “Apakah benar, Bhante, seperti yang mereka katakan, bahwasannya Anda telah memutuskan suatu perkara di pengadilan?” “Benar, Paduka.” Raja berkata, “Akan menjadi suatu keuntungan bagi banyak orang jika Anda yang memutuskan perkara. Mulai saat ini, Anda harus menduduki jabatan di pengadilan.” “Paduka,” jawabnya, “Kami adalah para petapa. Ini bukanlah urusan kami.” “Bhante, Anda harus melakukannya atas dasar rasa belas kasihan terhadap orang-orang. Anda tidak perlu menjadi hakim sepanjang hari, tetapi ketika Anda datang ke sini dari taman, pergilah sewaktu fajar pagi ke pengadilan dan adili empat perkara, kemudian kembali ke taman dan setelah selesai bersantap, adili empat perkara lagi; Dengan cara ini orang-orang akan memperoleh keuntungan.” Setelah secara berulang-ulang diminta kesediaannya, ia pun menyetujuinya dan sejak saat itu ia bertindak dengan benar.


Mereka yang melakukan perbuatan yang tidak benar, tidak menemukan peluang lebih lanjut lagi, dan para penasihat yang tidak lagi mendapatkan uang suap berada dalam keadaan yang buruk dan berpikir, “Sejak si Petapa Pengembara Bodhi ini menduduki jabatan di pengadilan, kita tidak mendapatkan apa pun sama sekali.” Dan dengan menyebutnya sebagai musuh raja, mereka berkata, “Ayo, mari kita rusak nama baiknya di hadapan raja dan menyebabkan kematiannya.” Maka dengan menghampiri raja, mereka berkata, “Paduka, Petapa Pengembara Bodhi ingin mencelakaimu.” Raja tidak memercayai mereka dan berkata, “Tidak, ia adalah seorang yang baik dan terpelajar. Ia tidak akan melakukan hal yang demikian.” “Paduka,” mereka membalas, “semua penduduk menjadi pengikutnya. [230] Tinggal kami berlima yang tidak dapat ia kendalikan. Jika Anda tidak memercayai kami, di saat ia datang nanti, perhatikanlah pengikutnya.” Raja setuju untuk melakukan demikian, dan dengan berdiri di jendelanya, raja mengawasi kedatangannya dan ketika melihat kerumunan penuntut yang mengikuti Bodhi tanpa sepengetahuannya, raja berpikir bahwa mereka itu adalah rombongannya, dan dengan memiliki prasangka buruk terhadap dirinya, raja memanggil para penasihatnya dan bertanya, “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” “Tangkap ia, Paduka,” kata mereka. “Jika kita tidak melihat pelanggaran buruk yang dilakukannya,” kata raja, “Bagaimana kita dapat menahan dirinya?” “Baiklah kalau begitu, kurangi kehormatan yang biasa diberikan kepadanya, dan ketika melihat kurangnya kehormatan ini, dikarenakan menjadi seorang petapa yang bijaksana, ia akan pergi dengan sendirinya tanpa berkata apa pun kepada siapa pun.” Raja setuju dengan saran ini dan secara berangsur-angsur mengurangi kehormatan yang diberikan kepadanya.


Pada hari pertama, mereka memberikannya dipan tanpa alas. Ia memperhatikannya dan segera mengetahui bahwa ia telah difitnah terhadap raja, dan sekembalinya ke taman, ia berpikir untuk pergi pada hari itu juga, tetapi kemudian ia berpikir, “Di saat saya mengetahui kepastian ini, baru saya akan pergi,” dan ia pun tidak jadi pergi. Maka keesokan harinya ketika ia duduk di dipan tanpa alas, mereka datang dengan membawa makanan (yang disiapkan) untuk raja dan makanan yang lainnya juga, dan memberikan kepadanya campuran dari kedua jenis makanan tersebut. Pada hari ketiga mereka tidak membolehkannya mendekati dipan, tetapi menempatkan dirinya di ujung tangga dan mempersembahkan kepadanya makanan campuran tersebut. Ia mengambilnya dan pulang kembali ke taman untuk menyantap makanannya di sana. Pada hari keempat, mereka menempatkan dirinya di bawah, teras, dan memberikan kepadanya bubur yang tercampur dengan sekam, dan ini juga dibawanya ke taman dan membuat makanannya di sana.


Raja berkata, “Walaupun kehormatan yang diberikan kepadanya telah dikurangi, tetapi Petapa Bodhi tidak juga pergi. Apa yang harus kita lakukan?” “Paduka,” kata mereka, “Ia datang ke sini bukanlah untuk mendapatkan derma makanan, tetapi untuk mendapatkan kekuasaan. Jika ia memang datang hanya untuk memperoleh derma makanan, ia pasti sudah pergi pada hari di saat ia tidak dihormati.” “Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?” “Perintahkanlah kami untuk membunuhnya, Paduka.” Raja berkata, “Baiklah,” dan dengan menempatkan pedang di tangan orang-orang itu raja berkata, “Besok, di saat ia datang dan berdiri di pintu, penggal kepalanya dan hancurkan ia berkeping-keping, dan tanpa mengatakan apa pun kepada siapa pun buanglah jasadnya di tempat tumpukan kotoran, kemudian mandilah dan kembali ke sini.” Mereka langsung menyetujuinya dan berkata, “Besok kami akan datang dan melakukan demikian,” [231] dan setelah menyusun semua hal satu sama lain, mereka kembali ke rumah masing-masing.


Raja juga setelah menyantap makan malam, berbaring di tempat tidur kerajaan dan teringat akan kebajikan dari Sang Mahasatwa. Segera kesedihan melandanya dan keringat bercucuran keluar dari tubuhnya, dan karena tidak mendapatkan kenyamanan di tempat tidurnya, ia berbaring ke sana dan ke sini dari satu sisi ke sisi yang lain.


Kala itu, permaisuri tidur di sampingnya, tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun kepadanya. Maka permaisuri bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa, Paduka, Anda tidak berbicara sepatah kata pun kepadaku? Apakah saya telah berbuat kesalahan kepadamu secara tidak disengaja?” “Tidak, Ratu,” katanya, “tetapi mereka mengatakan kepadaku bahwa si Petapa Bodhi telah menjadi seorang musuh kita. Saya telah memerintahkan lima penasihatku untuk membunuhnya besok. Setelah membunuhnya, mereka akan memotongnya menjadi hancur berkeping-keping dan membuangnya di tempat tumpukan kotoran. Tetapi selama dua belas tahun ia telah mengajarkan kepada kita tentang banyak kebenaran. Tidak ada satu kesalahan pun dalam dirinya yang benar-benar saya lihat dengan jelas sebelumnya, melainkan karena omongan dari orang lain saya telah menurunkan perintah untuk membunuhnya, dan inilah alasan mengapa saya bersedih.”


Kemudian ratu menghibur dirinya dengan berkata, “Paduka, jika ia adalah musuhmu, mengapa Anda bersedih untuk membunuhnya? Keselamatanmu harus dijaga, meskipun musuh yang Anda harus bunuh itu adalah putramu sendiri. Jangan terlalu memikirkannya.” Raja menjadi yakin kembali dengan perkataan ratu dan kemudian tidur.


Pada waktu itu, anjing pemburu yang berwarna kuning kecoklatan tersebut mendengar pembicaraan mereka dan berpikir, “Besok dengan kekuatan diriku sendiri, saya harus menyelamatkan nyawa orang ini.” Maka pagi-pagi keesokan harinya, anjing itu turun dari teras, menuju ke pintu utama dan berbaring dengan kepalanya di ambang pintu sambil memperhatikan jalan yang akan dilalui oleh Sang Mahasatwa. Sedangkan para penasihat, dengan pedang di tangan mereka, datang pada pagi-pagi sekali dan mengambil posisi di balik pintu itu. Dan Bodhi yang datang tepat waktu dari taman mendekat ke arah pintu istana tersebut. Kemudian anjing pemburu itu yang melihat dirinya, membuka mulutnya dan menunjukkan empat gigi besarnya dan berpikir, “Mengapa, Bhante, Anda tidak berkeliling untuk mencari derma makanan di tempat yang lain di India? Raja kami telah menempatkan lima penasihat yang dipersenjatai dengan pedang di balik pintu ini untuk membunuhmu. Janganlah datang untuk menerima kematian sebagai nasibmu, tetapi cepat pergilah,” dan ia menyalak dengan keras.


Dari pengetahuannya atas arti dari semua jenis suara, Bodhi mengerti akan permasalahannya dan kembali ke taman [232] dan mengambil semua yang diperlukan untuk perjalanannya. Raja yang berdiri di jendelanya, ketika ia mengetahui Bodhi tidak datang, berpikir, “Jika orang ini adalah musuhku, ia akan kembali ke taman dan mengumpulkan semua kekuatan pasukannya dan akan bersiap untuk bertempur. Tetapi jika sebaliknya, ia pasti akan mengambil semua yang ia perlukan dan bersiap untuk pergi. Saya akan mencari tahu apa yang ia kerjakan.” Dan setelah pergi ke taman, raja menemukan Sang Mahasatwa keluar dari gubuk daunnya dan dengan semua barang perlengkapannya di ujung beranda, bersiap untuk pergi, dan setelah memberi hormat, raja berdiri di satu sisi dan mengucapkan bait pertama berikut:


Apa arti dari benda-benda ini,
tongkat, jubah kulit (antelop), payung, sandal,
galah, patta, dan jubah luar (sangghati)?
Saya ingin untuk dapat mengerti mengapa
dengan tergesa-gesa Anda akan pergi dan ke mana.


Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Saya rasa ia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya. Saya akan membuatnya mengerti.” Dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikutnya:


Selama dua belas tahun yang panjang ini
saya telah tinggal, wahai raja, di dalam taman kerajaanmu;
Tidak pernah sekalipun sebelumnya
anjing pemburu ini menyalak.


Hari ini ia menunjukkan giginya yang begitu putih,
bersifat menantang dan angkuh, dan karena telah mendengar
apa yang Anda bicarakan dengan ratu,
untuk memperingatkan diriku, ia menyalak dengan keras.

Kemudian raja mengakui kesalahannya, dan meminta maaf, mengucapkan bait keempat berikut:


[233] Saya telah melakukan perbuatan buruk:
Tujuanku adalah untuk membunuhmu.
Tetapi sekarang saya memohon kepadamu sekali lagi,
dan ingin sekali untuk memintamu tetap tinggal di sini.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa berkata, “Sebenarnya, Paduka, orang bijak tidak tinggal dengan seseorang yang tanpa melihat sesuatu dengan matanya sendiri langsung memercayai omongan orang lainnya,” dan setelah berkata demikian, ia memaparkan perbuatan buruknya dan berkata demikian:


Mulanya makananku berwarna putih bersih,
berikutnya beraneka ragam warna, kemudian berwarna merah;
Sudah seharusnya lah saya pergi di saat seperti ini.


Mulanya di dipan (atas), berikutnya di tangga (tengah), kemudian di teras (bawah);
Sebelum saya diseret keluar dengan ditarik pada bagian leher
dan dipenggal, saya akan mengundurkan diri.


Jangan berteman dengan seorang yang tak setia:
ia itu seperti sebuah sumur kering; Betapa dalamnya pun seseorang menggali,
air yang dikeluarkannya tetap kotor (berlumpur).


Bersahabatlah dengan teman yang setia, jauhilah teman
yang tak setia; seperti orang kehausan yang bergegas ke sebuah kolam,
demikianlah seharusnya kita mengejar seorang teman yang setia.


Eratlah dengan teman yang setia padamu,
balaslah cinta kasihnya dengan cinta kasih juga;
Orang yang meninggalkan seorang teman setia
adalah orang yang menyedihkan.


Barang siapa yang tidak bersahabat erat dengan seorang teman setia,
juga tidak membalas cinta kasihnya dengan cinta kasih,
maka ia adalah orang yang paling buruk,
bahkan tidak berada di atas peringkat dari bangsa kera.


Terlalu sering berjumpa sama buruknya
dengan sama sekali tidak pernah berjumpa;
Meminta hadiah kecil terlalu awal—ini juga
dapat menyebabkan hilangnya cinta kasih.


Kunjungilah teman, tetapi jangan terlalu sering,
jangan pula tinggal terlalu lama;
Pada waktu tepat meminta hadiah:
demikian cinta kasih tidak akan hilang.


Barang siapa yang tinggal terlalu lama (bersama teman)
sering kali mendapatkan kawan berubah menjadi lawan;
Demikianlah sebelumnya saya kehilangan persahabatanmu,
saya akan berangkat dan pergi.
[234] Raja berkata:


Meskipun dengan tangan terlipat (sikap anjali) saya memohon,
Anda tidak akan mendengarkanku, Anda tidak mempunyai kata-kata lagi
bagi kami yang menghargai jasamu,
Saya memohon satu hal, datanglah lagi dan berkunjung ke sini.
Bodhisatta berkata:


Jika tidak ada yang mengambil kehidupan kita, wahai raja,
jika saya dan Anda masih hidup, wahai pemimpin kerajaan,
mungkin saya akan datang ke sini, dan kita dapat berjumpa kembali,
seperti siang dan malam yang datang silih berganti.

[235] Demikianlah Sang Mahasatwa mengkhotbahkan kebenaran kepada raja, ditambah dengan berkata, “Waspadalah (jangan lengah), Paduka.” Setelah meninggalkan taman dan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, ia pun meninggalkan Benares dan secara berangsur-angsur akhirnya tiba di suatu tempat di daerah Himalaya.


Setelah tinggal beberapa lama di sana, ia turun gunung dan berdiam di dalam hutan dekat suatu desa perbatasan. Segera setelah ia pergi, para penasihat tersebut kembali menduduki pengadilan, merampas penduduk, dan mereka berpikir, “Jika Petapa Pengembara Mahābodhi (Mahabodhi) datang kembali, kita akan kehilangan mata pencaharian kita. Apa yang harus dilakukan untuk mencegah kedatangannya kembali?” Kemudian ini muncul di dalam pikiran mereka, “Orang-orang demikian ini tidak bisa meninggalkan benda yang memikat hatinya. Apa kira-kira yang mungkin menjadi benda itu di sini yang dapat memikat hatinya?”


Kemudian dengan merasa yakin bahwa benda itu adalah permaisuri raja, mereka berpikir, “Ini adalah alasannya mengapa ia akan datang kembali ke sini. Kita akan mendahului mereka dan membunuh ratu.” Dan mereka mengatakan ini kepada raja, dengan berkata, “Paduka, hari ini ada satu berita hangat yang tersebar di kota.” “Berita apa?” katanya. “Petapa Pengembara Mahabodhi dan permaisuri saling mengirim pesan.” “Atas masalah apa?” “Pesan darinya kepada ratu, dikatakan, adalah ini, ‘Apakah Anda mampu membunuh raja dengan kekuatanmu sendiri dan memberikan payung putih kepadaku?’ Pesan dari permaisuri kepadanya adalah, ‘Serahkanlah tugas kematian raja padaku. Anda cepat datang ke sini.’ ” Mereka secara terus-menerus mengulangi ini sampai raja memercayainya dan bertanya, “Kalau begitu apa yang harus dilakukan?” Mereka menjawab, “Kita harus membunuh permaisuri.” Dan tanpa menyelidiki kebenaran masalahnya, raja berkata, “Baiklah kalau begitu, bunuh permaisuri. Setelah memotong tubuhnya menjadi hancur berkeping-keping, buanglah di tempat tumpukan kotoran.” Mereka pun melakukan demikian, dan berita kematian ratu tersebar luas di seluruh kota.


Kemudian keempat putra ratu berkata, “Meskipun tidak bersalah, tetapi ibu kita dibunuh oleh orang ini,” mereka pun menjadi musuh raja. Dan raja menjadi amat cemas. Seiring berjalannya waktu, Sang Mahasatwa mendengar apa yang telah terjadi dan berpikir, “Selain diriku, tidak ada orang lain yang dapat menenangkan pangeran-pangeran ini dan membujuk mereka untuk memaafkan ayah mereka. Saya akan menyelamatkan nyawa raja dan membebaskan pangeran-pangeran muda ini dari niat mereka melakukan perbuatan buruk.”


Maka pada keesokan harinya, ia masuk ke sebuah desa perbatasan dan setelah memakan daging kera yang diberikan kepadanya oleh para penduduk desa tesebut, [236] ia meminta kulit kera tersebut yang kemudian dikeringkan di dalam gubuknya sampai hilang bau-nya dan dijadikan sebagai satu jubah dalam dan satu jubah luar yang disampirkan pada bahunya. Mengapa ia melakukan hal demikian? Ia berkata, “Ini sangatlah berguna bagiku.”


Dengan membawa kulit itu bersamanya, secara berangsur-angsur ia menuju ke Benares dan setelah menghampiri para pangeran muda tersebut, ia berkata kepada mereka, “Membunuh ayah (kandung) adalah suatu pelanggaran berat. Kalian tidak boleh melakukan ini. Tidak ada manusia yang terbebas dari usia tua dan kematian. Saya datang ke sini untuk mendamaikan kalian. Di saat saya mengirim pesan nanti, kalian harus datang kepadaku.” Setelah demikian menasihati para pangeran muda itu, ia masuk ke taman kerajaan dan duduk pada satu papan batu, dengan terlebih dahulu membentangkan kulit kera tersebut di atasnya.


Ketika penjaga taman melihatnya, ia bergegas pergi untuk memberitahu raja. Mendengar ini, raja diliputi oleh kegembiraan dan dengan membawa serta para penasihat tersebut bersamanya, ia pergi memberi hormat kepada Sang Mahasatwa dan setelah duduk, ia mulai untuk berbincang dengan bahagianya kepadanya. Tanpa membalas salam yang diberikan kepadanya, Sang Mahasatwa hanya mengelus-elus kulit kera tersebut.


Raja berkata, “Bhante, tanpa mengucapkan sepatah kata, Anda cuma mengelus kulit kera itu. Apakah ini lebih berharga bagimu dibandingkan diriku?” “Ya, Paduka, kera ini memberikan pelayanan terbesar kepada diriku. Saya bepergian dengan duduk pada punggungnya. Ia membawakan kendi airku. Ia membersihkan tempat tinggalku. Ia melakukan berbagai pekerjaan kecil untukku. Dikarenakan kepolosannya, saya (dapat) memakan dagingnya dan setelah mengeringkan kulitnya, saya membentangkannya dan duduk serta berbaring di atasnya. Jadi ia sangatlah berguna bagiku.”


Demikianlah untuk membantah ajaran (pandangan) para penganut pandangan salah itu, ia mempersalahkan perbuatan seekor kera sehingga menjadi kulit kera, dan ia berbicara dengan objek ini seolah-olah seperti ia sendiri yang melakukannya. Dikarenakan perbuatannya yang mengenakan kulit kera itu, ia berkata, “Saya bepergian dengan duduk pada punggung kera ini.” Dikarenakan perbuatannya yang menyampirkan kulit kera itu pada bahunya dan dengan cara demikian membawa kendi airnya, ia berkata, “Kera ini membawakan kendi airku.” Dikarenakan ia membersihkan lantai dengan kulit kera itu, ia berkata, “Kera ini membersihkan tempat tinggalku.” Karena punggungnya tersentuh oleh kulit kera itu di saat ia berbaring, dan karena kulit kera itu menyentuh kakinya di saat ia berdiri, ia berkata, “Kera ini melakukan berbagai pekerjaan kecil ini untukku.” Dikarenakan ia memakan daging kera itu di saat ia merasa lapar, ia berkata, [237] “Karena ia adalah satu makhluk yang demikian polos, maka saya memakan dagingnya.”


Ketika mendengar hal ini, para penasihat tersebut berpikir, “Orang ini melakukan pembunuhan. Coba pikirkan perbuatan dari pabbajita ini: ia mengatakan ia membunuh seekor kera, memakan dagingnya dan pergi ke sana dan ke sini dengan kulitnya,” dan sambil bertepuk tangan, mereka mengolok-olok dirinya. Ketika melihat mereka melakukan ini, Sang Mahasatwa berkata, “Orang-orang ini tidak tahu bahwa saya datang dengan kulit kera ini untuk membuktikan kesalahan pandangan mereka. Saya tidak akan memberitahu mereka.” Dan untuk menyapa ia yang membantah adanya akar penyebab, pabbajita itu berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan saya?” “Karena Anda telah bersalah atas suatu tindakan pengkhianatan terhadap seorang teman, dan atas pembunuhan.”


Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Jika seseorang percaya kepadamu dan ajaranmu, kemudian bertindak sesuai dengan itu, perbuatan buruk apa yang telah dilakukannya?” Dan untuk membuktikan kesalahan ajarannya, ia berkata:


Jika ini adalah ajaranmu, ‘Semua perbuatan manusia,
yang baik maupun yang buruk, muncul secara alamiah,’
Di manakah perbuatan buruk dapat menemukan tempatnya
dalam hal perbuatan yang buruk?


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.

[238] Demikianlah Sang Mahasatwa mengecamnya dan membuatnya membisu. Raja, yang menjadi galau atas kecaman di hadapan banyak orang, jatuh tidak berdaya dan terduduk. Setelah membuktikan kesalahan pandangan yang pertama, Sang Mahasatwa menyapa ia yang percaya bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi, dan berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan diriku jika Anda benar-benar berpegangan pada pandangan yang mengatakan bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi?” Dan ia mengucapkan bait berikut:


Jika benar ada seorang makhluk kuat yang mahakuasa
untuk memberikan, dalam kehidupan semua makhluk,
kebahagiaan atau penderitaan, dan perbuatan baik atau buruk,
maka Tuan itu telah ternoda oleh perbuatan buruk;
Manusia hanya berbuat atas (sesuai dengan) keinginannya.


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.
Demikianlah, seperti seseorang yang menyodok jatuh buah mangga dengan batang kayu yang diambil dari pohon mangga itu sendiri, ia membuktikan kesalahan pandangan orang tersebut, yang percaya dalam segala hal adalah atas keinginan suatu makhluk mahatinggi, dengan ajaran dari orang itu sendiri. Dan kemudian ia demikian menyapa orang yang percaya dalam hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, dengan berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan diriku jika Anda percaya dalam kebenaran dari ajaran bahwa semuanya telah terjadi sebelumnya?” Dan ia mengucapkan bait berikut:


Hal-hal yang telah terjadi sebelumnya
menimbulkan kebahagiaan dan penderitaan;
Kera ini membayar utangnya, untuk melunasi perbuatan buruk terdahulunya:
Setiap perbuatan melunasi utangnya.
Kalau begitu, dari mana kesalahan itu datang?


[239] Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.

Setelah demikian membuktikan kesalahan pandangan dari orang tersebut, kemudian ia beralih kepada orang yang percaya dalam pemusnahan118 dan berkata, “Āvuso, Anda menganut pandangan bahwa tidak ada ganjaran dan sebagainya, dengan percaya bahwa semua makhluk hidup mengalami pemusnahan di kehidupan ini, dan bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir kembali di kehidupan berikutnya. Kalau begitu, mengapa Anda menyalahkan diriku?” Dan untuk mengecamnya, ia berkata:


Makhluk hidup terdiri atas empat unsur;
Setiap bagian dari elemen ini akan lenyap
di saat badan jasmani hancur terurai.
Orang yang meninggal tidak akan terlahir lagi
dan orang yang hidup masih menjalankan kehidupannya;


Jika dunia ini (kehidupan ini) hancur, baik orang-orang bijak
maupun orang-orang dungu akan musnah:
Di tengah-tengah kehidupan yang akan hancur ini (tidak ada kehidupan berikutnya),
noda kesalahan dari perbuatan buruk tak akan mengotori apa pun.


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.

[240] Demikianlah ia membuktikan kesalahan pandangan dari orang ini juga, dan kemudian untuk menyapa orang yang percaya dalam doktrin Kesatria, ia berkata, “Āvuso, Anda mengajarkan bahwa seseorang harus dapat memenuhi keinginannya sendiri, bahkan meskipun ia harus membunuh ayah dan ibunya sendiri. Jika Anda mengajarkan pandangan ini, mengapa Anda menyalahkan diriku?” Dan ia mengucapkan syair berikut:


Para penganut doktrin kesatria, orang dungu yang merasa dirinya cendekia,
mengatakan seseorang boleh saja membunuh kedua orang tuanya,
atau saudara-saudaranya, anak, istri, jika hal itu memang diperlukan.


Demikianlah ia menentang pandangan dari orang ini juga,
dan memaklumkan pandangannya, ia melanjutkan berkata:
‘Di bawah satu pohon rindang seseorang duduk berteduh dan beristirahat;
Adalah merupakan suatu tindak pengkhianatan bila ia mematahkan satu cabangnya.
Kita tidak menyukai teman yang tidak setia.


Tetapi kemudian ketika keadaan lain muncul,
pohon itu dicabut (ditebang sampai ke akarnya).’
Kera tersebut juga mati disembelih,
untuk memenuhi kebutuhanku.


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.
[241] Demikianlah ia membuktikan kesalahan pandangan dari orang ini juga, dan di saat kelima penganut pandangan salah ini tercengang bingung119 dan duduk membisu, untuk menyapa sang raja, ia berkata, “Paduka, orang-orang ini yang selalu bersamamu adalah pencuri besar yang menjarah kerajaanmu.


Oh, Anda adalah orang dungu, orang yang bergaul dengan orang-orang yang seperti ini baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan berikutnya akan memperoleh penderitaan yang besar,” dan setelah berkata demikian, ia memaparkan kebenaran kepada raja dan berkata:


Orang yang ini menganut tidak ada akar penyebab,
yang lain menganut adanya makhluk mahatinggi,
yang lainnya menganut hal-hal yang telah terjadi sebelumnya,
berikutnya menganut semuanya akan musnah dalam satu kehidupan ini,
yang terakhir menganut doktrin Kesatria.


Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;
Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan perbuatan buruk
terhadap diri sendiri dan orang lain, pandangan salah
menyebabkan penderitaan dan hukuman berat.
Kemudian dengan perumpamaan, untuk menambah uraian kebenarannya, ia berkata:


Seekor serigala menyamar sebagai domba jantan di masa lampau,
mendekati kawanan domba tanpa dicurigai.
Kawanan domba yang menjadi panik dibunuhnya,
kemudian berlari cepat ke padang rumput yang baru.


Demikian juga para petapa dan brahmana
yang sering menggunakan pakaian (penampilannya)
untuk mengelabui orang-orang yang mudah percaya.
Sebagian berbaring tanpa alas di tanah yang kotor,
sebagian berpantang makan, sebagian lagi menahan sakit lainnya.


[242] Sebagian tidak minum, sebagian makan dengan peraturan,
masing-masing bersikap seperti orang suci, orang dungu yang kejam itu.
Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;


Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan perbuatan buruk
terhadap diri sendiri dan orang lain, pandangan salah
menyebabkan penderitaan dan hukuman berat.


Ia yang mengatakan, ‘Tidak ada yang muncul dalam hal apa pun,’
membantah adanya akar penyebab, menganggap perbuatan mereka sendiri
dan orang lain sebagai hal yang tidak ada hasilnya, wahai raja,
Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;


Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan perbuatan buruk
terhadap diri sendiri dan orang lain, pandangan salah
menyebabkan penderitaan dan hukuman berat.


Jika tidak ada yang muncul dalam hal (perbuatan) apa pun,
yang baik atau yang buruk, mengapa seorang raja harus mempekerjakan
para tukang untuk mendapatkan keuntungan dari keahlian mereka?


Dikarenakan ada yang muncul dan perbuatan itu ada yang baik
dan yang buruk, maka raja mempekerjakan para tukang
dan mendapatkan keuntungan dari keahlian mereka.


Jika selama ratusan tahun tidak ada hujan atau salju yang turun,
maka kita, di tengah satu kehidupan yang akan hancur, akan musnah selamanya.
Tetapi karena adanya hujan dan salju yang turun,
memastikan tahun yang terus berganti, sehingga hasil panen dan tanah
bertahan untuk waktu yang lama dan panjang.

Sapi yang mengambil jalan berliku-liku di dalam banjir, dan seterusnya120.


Barang siapa yang memetik buah sebelum buah itu matang di pohon,
akan membuat benihnya hancur dan tidak akan pernah tahu
bagaimana manisnya buah tersebut.


[243] Demikianlah ia, yang dengan menggunakan aturan yang tidak benar,
telah menghancurkan buah-buah manis yang muncul dari kebenaran
yang tidak pernah dinikmati sekalipun.


Tetapi barang siapa yang membiarkan buah itu matang di pohonnya
sebelum dipetik, akan melindungi benihnya dan mengetahui dengan amat baik
bagaimana manisnya buah tersebut.


Demikian juga ia, yang dengan menggunakan aturan yang benar,
telah melindungi kerajaannya, dapat memahami dengan benar
bagaimana manisnya buah dari kebenaran.


Raja yang memerintah kerajaannya dengan tidak benar
tidak akan memiliki dan menderita kerugian pada tanaman dan herba,
atau apa pun yang tanah (kerajaan) itu hasilkan.


Demikianlah jika ia menghancurkan rakyatnya dengan merampas,
maka satu sumber pendapatan yang tidak benar
akan menyebabkan keuangannya habis.


Dan jika ia menyalahkan pasukannya yang gagah berani,
yang demikian ahli dalam pertempuran, maka pasukannya akan berpaling darinya
dan menggulingkan kekuasaannya.


Demikianlah jika melukai resi atau orang-orang yang menapaki kehidupan suci,
maka ia akan mendapatkan ganjaran yang sesuai:
Dan dikarenakan perbuatan buruknya itu, ia akan terhalang untuk masuk ke alam surga,
betapa pun tingginya status kelahiran dirinya.


Dan jika seorang istri, meskipun tidak bersalah, dibunuh oleh raja yang kejam,
maka ia akan menimbulkan penderitaan bagi anak-anaknya
dan tersiksa kesakitan di alam neraka.


Berikanlah perlakuan benar kepada penduduk kota dan desa,
dan perlakukan para pasukanmu dengan baik, bersikaplah yang baik
kepada anak dan istri, dan janganlah melukai para resi (petapa suci).


Seorang pemimpin kerajaan yang demikian ini, wahai raja,
jika bebas dari semua nafsu keinginan, seperti Dewa Indra,
pemimpin para asura, akan memerangi keburukan di mana saja.
[245] Setelah demikian memaparkan kebenaran kepada raja, Sang Mahasatwa memanggil keempat pangeran muda tersebut dan menasihati mereka, dengan menjelaskan perbuatan raja kepada mereka, dan berkata, “Minta maaflah kepada raja,” dan setelah membujuk raja untuk memaafkan mereka, ia berkata, “Paduka, mulai saat ini, jangan menerima pernyataan dari para penghasut tanpa menyelidiki perkataan mereka, dan jangan melakukan kesalahan atas perbuatan buruk yang sama lagi. Dan kepada kalian, Para Pangeran Muda, jangan melakukan tindak pengkhianatan terhadap raja,” dan demikianlah ia menasihati mereka semuanya.


Kemudian raja berkata kepadanya, “Bhante, dikarenakan orang-orang ini saya telah melakukan perbuatan buruk terhadap Anda dan permaisuri, dan karena menerima hasutan mereka, saya melakukan perbuatan buruk ini. [246] Saya akan membunuh mereka berlima.” “Paduka, Anda tidak boleh melakukan ini.” “Kalau begitu, saya akan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangan mereka.” “Anda juga tidak boleh melakukan ini.” Raja menyetujuinya dengan berkata, “Baiklah,” dan ia mengambil semua harta benda mereka dan membuat mereka malu dengan cara yang beraneka ragam, dengan membuat rambut mereka menjadi berkucir lima121, dengan mengikat mereka menggunakan belenggu dan rantai, dan dengan menyiramkan kotoran sapi pada mereka, ia mengusir mereka keluar dari kerajaannya.


Setelah tinggal selama beberapa hari di sana, memberikan wejangan kepada raja, dengan memintanya untuk tetap waspada, Bodhisatta berangkat ke pegunungan Himalaya dan mengembangkan kesaktian yang timbul dari meditasi jhana, dan hidup dengan mengembangkan kediaman luhur (brahmavihāra), ia pun menjadi penghuni alam brahma.
____________________


Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan setelah berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau, Tathāgata adalah yang bijaksana dan mengalahkan para pembantah,” demikian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, kelima penganut pandangan salah itu122 adalah Purāṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Pakudha Kaccāna, Ajita Kesakambalī, Nigaṇṭha Nāthaputta, anjing kuning kecoklatan itu adalah Ānanda, dan Petapa Pengembara Mahabodhi (Mahābodhi) adalah saya sendiri.


____________________


Catatan kaki :


117 Bandingkan Jātaka-Mālā, XXIII. Cerita Mahābodhi, dan Digha Nikāya, II. Sāmañña-Phala (Dialogues of the Buddha diterjemahkan oleh R. Davids, hal. 65).


118 ucchedavāda. Bandingkan Vinaya Texts, ii. 111, Dhamma Saṅgaṇi, hal. 268 dari terjemahan, dan Buddhist Suttas, hal. 149 (S.B.E. XI) dan Kathā Vatthu, Pakaraṇa Aṭṭakathā, hal. 6 (P.T.S.J. 1889).


119 nippaṭibhāna, bandingkan appaṭibhāna, Cullavagga, IV. 4. 8.


120 Syair-syair ini muncul di dalam Jātaka Vol. III, hal. 74 (versi bahasa Inggris) dan Jātaka Vol. IV. hal. 1113 (versi bahasa Inggris), sudah ada di halaman sebelumnya.


121 Bandingkan Kathā Sarit Sāgara, xii. 168, Tawney’s Transalation, Vol. I. hal. 80, sebagai suatu tanda aib, kepala seorang wanita akan dicukur sampai hanya ada lima kucir yang tersisa. Di Jātaka VI. 135 menunjukkan bahwa kata cūỊā kadang-kadang adalah tanda dari perbudakan (status/kasta rendah). Di Jātaka V. hal. 249 seorang anak laki-laki kecil yang miskin diuraikan memiliki penampilan rambut yang sama seperti model ini.


122 Untuk nama para penganut ini lihat Hardy’s Manual, hal. 300, dan Vinaya Texts, II. 111. Sebagian nama mereka ditemukan di tempat lain dengan bentuk yang berbeda, Pūraṇa, Kakudha Kaccāyana dan Nātaputta.


(www.samaggi-phala.or.id)

Tidak ada komentar: