Jumat, 18 November 2011

Samma Samadhi Detachment Within Activity




Perhatikan contoh Sang Buddha.
Baik praktek maupun cara mengajar Beliau kepada para siswaNya patut diteladani.
Sang Buddha mengajarkan standar-standar/norma-norma praktek sebagai alat yang bermanfaat untuk bebas dari kesombongan.
Beliau tidak dapat melakukan praktek tersebut untuk kita.
Setelah mendengarkan ajaran itu, kita harus mengajar diri sendiri lebih mendalam, berlatih untuk diri sendiri.
Hasilnya akan muncul di sini, bukan pada sang ajaran.

Ajaran Sang Buddha hanya memungkinkan kita untuk mendapatkan pemahaman awal tentang Dhamma, tetapi Dhamma sendiri belum berada di dalam hati kita.
Mengapa begitu?

Karena kita belum berlatih, kita belum mengajar diri kita sendiri.
Dhamma muncul di dalam praktek.
Jika kalian mengetahuinya, kalian mengetahuinya lewat praktek.
Jika kalian meragukannya, ragukanlah pada prakteknya.
Ajaran Sang Buddha memang benar, tetapi hanya dengan mendengarkan Dhamma tidaklah cukup untuk membuat kita merealisasinya.
Sang Ajaran hanya menunjukkan jalan untuk relisasi.
Untuk merealisasi Dhamma kita harus mengambil ajaran itu dan menempatkannya di dalam batin kita.
Bagian untuk jasmani kita terapkan untuk jasmani, bagian untuk batin kita terapkan pada batin.
Ini berarti setelah mendengarkan Dhamma kita selanjutnya harus mengajar diri sendiri untuk mengetahui Dhamma itu, untuk menjadi Dhamma itu sendiri.

Sang Buddha mengatakan bahwa mereka yang hanya mempercayai orang lain tidaklah sepenuhnya bijaksana.
Seorang bijaksana berlatih sampai ia menjadi satu dengan Dhamma, sampai ia mempunyai keyakinan di dalam dirinya, tidak tergantung pada orang lain.

Pada suatu ketika, ketika Yang Ariya Sariputta sedang duduk, dengan penuh perhatian mendengarkan Sang Buddha membabarkan Dhamma, Sang Buddha menengok ke arahnya dan bertanya,
"Sariputta, apakah kamu mempercayai ajaran ini?"
Yang Ariya Sariputta menjawab,
"Tidak, saya belum mempercayainya".

Ini merupakan gambaran yang baik.
Yang Ariya Sariputta mendengarkan, dan beliau memperhatikan.
Ketika beliau menjawab bahwa beliau belum percaya tersebut bukannya beliau ceroboh, tapi beliau berkata jujur.
Beliau baru saja memperhatikan ajaran itu, maka beliau mengatakan pada Sang Buddha bahwa beliau belum mempercayai karena memang beliau tidak percaya.
Dengan mengeluarkan kata-kata ini sepertinya Yang Ariya Sariputta tidak sopan, tetapi sesungguhnya tidak begitu.
Beliau mengatakan kebenaran, dan untuk itu Sang Buddha memujinya.
"Bagus, bagus, Sariputta.
Seorang bijak tidak percaya begitu saja, ia harus mempertimbangkan dahulu sebelum mempercayainya".

Keyakinan pada suatu kepercayaan dapat berwujud dalam berbagai bentuk.
Bentuk pertama adalah penalaran sesuai dengan Dhamma, sedangkan yang lainnya bertentangan dengan Dhamma.
Cara yang kedua ini berbahaya, itu adalah pemahaman yang membabi-buta, micchaditthi, pandangan salah. Orang tersebut tidak akan mendengarkan siapapun juga.

Ambillah contoh Brahmana Dighanakha.
Brahmana ini hanya mempercayai dirinya, ia tidak mau percaya pada orang lain.
Pada satu ketika saat Sang Buddha sedang beristirahat di Rajagaha, Dighanakha pergi untuk mendengarkan ajaran Sang Buddha.
Atau bisa dikatakan bahwa Dighanakha pergi untuk mengajar Sang Buddha, karena ia bermaksud untuk menguraikan pandangannya sendiri...

"Saya berpandangan bahwa tidak ada yang cocok denganku".

Itulah pandangannya. Sang Buddha mendengarkan pandangan Dighanakha lalu menjawabnya,
"Brahmana, pandanganmu juga tidak cocok untukmu".

Ketika Sang Buddha menjawab demikian, Dighanakha terbungkam.
Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Sang Buddha menjelaskan dalam berbagai cara, sampai di Brahmana mengerti.
Ia berhenti untuk merenungkan dan melihat...

"Hmm, pandanganku ini tidak benar".

Ketika mendengar jawaban Sang Buddha si Brahmana melepaskan pandangannya yang congkak dan segera melihat kebenaran.
Ia segera berubah, berpaling, seperti orang yang membalikkan telapak tangannya.
Ia memuji ajaran Sang Buddha, sebagai berikut:
"Mendengarkan ajaran Sang Buddha, batinku diterangi, sama seperti orang yang hidup dalam kegelapan melihat cahaya.
Batinku seperti baskom terbalik yang ditegakkan kembali, seperti orang tersesat yang menemukan jalannya".

Pada saat itu satu pengetahuan tertentu muncul dalam batinnya, di dalam batin yang telah diluruskan.
Pandangan salah lenyap dan muncul pandangan benar. Kegelapan hilang dan muncul cahaya.


Sang Buddha menyatakan bahwa Brahmana Dighanakha merupakan orang yang telah membuka Mata Dhamma.
Awalnya Dighanakha terikat pada pandangan sendiri dan tidak berniat untuk mengubahnya.
Tetapi ketika ia mendengarkan ajaran Sang Buddha batinnya melihat kebenaran, ia melihat bahwa kemelekatannya pada pandangan itu salah.
Ketika pengertian benar muncul ia mampu melihat bahwa pengertiannya dahulu sebagai kesalahan, sehingga ia membandingkan pengalamannya dengan orang yang hidup dalam kegelapan yang kini telah menemukan cahaya.
Begitulah keadaannya. Saat itu Brahmana Dighanakha mengatasi pandangan salahnya.

Sekarang kita harus berubah seperti itu.
Sebelum kita bisa melepaskan kekotoran-kekotoran batin, kita harus mengubah pandangan kita.
Kita harus mulai berlatih dengan benar dan baik.
Sebelumnya kita tidak berlatih dengan benar dan baik, tetapi kita pikir kita benar dan baik.
Jika kita benar-benar memperhatikan permasalahannya, kita meluruskan diri sendiri, seperti membalikkan telapak tangan.
Ini berarti bahwa
"Sesuatu yang Mengetahui",
atau kebijaksanaan, muncul di dalam batin, sehingga ia mampu melihat segala sesuatu secara benar.
Suatu kesadaran baru muncul.

Oleh sebab itu para pelaksana Dhamma harus berlatih untuk mengembangkan pengetahuan ini, yang kita sebut Buddho, Sesuatu Yang Mengetahui, di dalam batin mereka.
Awalnya, sesuatu yang mengetahui ini tidak ada di sana, pengetahuan kita tidak jernih, tidak benar atau lengkap.
Oleh karena itu pengetahuan ini terlalu lemah untuk melatih sang batin.
Tetapi batin selanjutnya berubah, atau berbalik, sebagai akibat dari kesadaran ini, yang disebut kebijaksanaan atau pandangan terang, yang melampaui kesadaran kita sebelumnya.
"Sesuatu yang Mengetahui"
sebelumnya adalah belum sepenuhnya mengerti sehingga ia tidak bisa membawa kita kepada tujuan.

Itulah sebabnya Sang Buddha mengajar untuk melihat ke dalam, opanayiko.
Lihatlah ke dalam, jangan melihat ke luar.
Atau jika kalian melihat ke luar maka lihatlah ke dalam, untuk melihat sebab dan akibat di sana.
Lihatlah kebenaran pada semua hal, karena obyek di luar dan di dalam selalu berpengaruh satu sama lain.
Praktek kita adalah untuk membangun bentuk kesadaran tertentu sampai ia menjadi lebih kuat daripada kesadaran kita yang sebelumnya.
Ini menyebabkan kebijaksanaan dan pandangan terang muncul di dalam batin, yang memungkinkan kita untuk mengetahui secara jelas bekerjanya batin, bahasa batin, serta jalan dan cara dari semua kekotoran-batin.

Sang Buddha, ketika Beliau pertama kali meninggalkan rumah untuk mencari pembebasan, mungkin tidak yakin apa yang harus dikerjakan, seperti juga kita.
Beliau mencoba berbagai cara untuk mengembangkan kebijaksanaannya.
Beliau mencari guru, seperti Udaka Ramaputra, pergi ke sana untuk berlatih meditasi... kaki kanan di atas kaki kiri, tangan kanan di atas tangan kiri... badan tegak... mata dipejamkan... melepaskan segala sesuatu... sampai Beliau bisa mencapai tingkat penyerapan yang tinggi, samadhi (Tingkat dari kekosongan, salah satu dari "penyerapan tanpa-bentuk", kadang-kadang disebut "jhana" atau penyerapan ketujuh).
Tetapi ketika Beliau ke luar dari samadhi itu, pemikiran kuno Beliau muncul dan Beliau akan melekat padanya seperti dahulu.
Melihat hal ini, Beliau menyadari bahwa kebijaksanaan belum muncul.
Pemahaman Beliau belum menembus kebenaran, ia tetap belum lengkap, tetap kurang, namun melihat hal ini Beliau memperoleh sedikit pengertian bahwa ini belumlah puncak dari praktek lalu Beliau meninggalkan tempat itu untuk mencari guru yang baru lagi.

Ketika Sang Buddha meninggalkan guru lamanya, Beliau tidak mencelanya, Beliau melakukannya seperti lebah yang menghisap sari bunga tanpa merusak kelopaknya.

Sang Buddha lalu melanjutkan belajar pada Alara Kalama dan mencapai keadaan samadhi yang lebih tinggi, tetapi ketika Beliau keluar dari keadaan itu, Bimba dan Rahula (Bimba, atau Putri Yasodhara, mantan istri Sang Buddha,
Rahula, putra Beliau.) kembali lagi ke dalam pikiran Beliau, ingatan-ingatan dan perasaan-perasaan masa lalu muncul lagi.
Beliau tetap mempunyai nafsu dan keinginan.
Merenungkan di dalam batin seperti ini, Beliau melihat bahwa Beliau tetap belum mencapai tujuannya, sehingga Beliau meninggalkan pula guru itu.
Beliau mendengar kepada guru-gurunya dan melakukan yang terbaik dalam mengikuti ajaran mereka.
Beliau terus-menerus mengamati hasil dari prakteknya, Beliau tidak hanya melakukan sesuatu lalu membuangnya untuk sesuatu yang lain.

Bahkan ketika sampai pada praktek pertapaan, setelah Beliau mencobanya, Beliau menyadari bahwa kelaparan sampai seseorang bagaikan tengkorak hanyalah sesuatu untuk jasmani.
Jasmani tidak mengetahui apapun.
Praktek dengan cara itu bagaikan menghukum orang yang tidak bersalah dengan membiarkan pencuri yang sesungguhnya merajarela.






Ketika Sang Buddha benar-benar melihat persoalannya, Beliau melihat bahwa praktek bukanlah soal jasmani, ia merupakan persoalan batin.
Attakilamathanuyoga (penyiksaan-diri)


Sang Buddha telah mencobanya dan menyadari bahwa itu hanya terbatas pada jasmani.
Pada kenyataannya, para Buddha mencapai penerangan di dalam batin.

Berkenaan dengan jasmani ataupun batin, buanglah semuanya sebagai Sementara,


Tidak Sempurna, dan Tanpa Pemilik


anicca, dukkha, dan anatta.
Mereka hanyalah kondisi-kondisi dari Alam.
Mereka muncul bergantung pada faktor-faktor pendukung, muncul sesaat lalu lenyap.
Jika ada kondisi yang cocok, mereka muncul lagi,
setelah muncul mereka bertahan sejenak lalu lenyap lagi.
Keadaan-keadaan ini bukanlah "diri", "makhluk", "kita" atau "mereka".
Tidak ada siapapun di sana, hanya perasaan.
Kebahagiaan tidak mempunyai diri yang hakiki, penderitaan tidak memiliki diri yang hakiki.
Tak ada diri yang bisa ditemukan, hanya ada unsur-unsur Alam yang muncul, bertahan dan lenyap.
Mereka berjalan pada lingkaran perubahan yang terus-menerus.

Semua makhluk, termasuk manusia, cenderung untuk melihat kemunculan sebagai diri mereka, keberadaan sebagai diri mereka, dan penghentian sebagai diri mereka.
Jadi mereka terikat pada segala sesuatu.
Mereka tidak menginginkan segala sesuatu berjalan sebagai apa adanya, mereka menginginkan hal-hal tersebut menjadi sebaliknya.
Misalnya, setelah muncul mereka tidak mengharapkannya lenyap,
setelah merasakan kebahagiaan, mereka tidak menginginkan penderitaan.
Jika penderitaan muncul mereka menginginkan agar penderitaan pergi secepat mungkin, bahkan lebih baik ia tidak muncul sama sekali.
Ini karena mereka melihat jasmani dan batin sebagai diri mereka, atau menjadi milik mereka, sehingga mereka meminta semuanya mengikuti keinginan mereka.

Pemikiran semacam ini seperti membangun waduk atau tambak tanpa membuat saluran untuk dilewati air. Akibatnya bendungan itu bobol.
Begitulah dengan pemikiran semacam ini.
Sang Buddha melihat bahwa cara pemikiran semacam inilah penyebab dari penderitaan.
Melihat sebab ini, Sang Buddha melepaskannya.

Inilah Kesunyataan Mulia tentang Penyebab Penderitaan.
Kebenaran tentang Penderitaan, Penyebabnya, Penghentiannya,dan Jalan Menuju Penghentian itu.
Orang-orang melekat di sini.
Jika orang harus mengatasi keragu-raguannya maka di situlah pokok permasalahannya.
Setelah melihat bahwa hal ini hanyalah rupa dan nama, atau jasmaniah dan badaniah, yang ternyata bahwa mereka bukanlah makhluk, orang, "kita" atau "mereka".
Mereka hanya mengikuti hukum alam




Praktek kita adalah untuk mengetahui segala sesuatu dalam cara ini.
Kita tidak memiliki kekuatan untuk sepenuhnya mengendalikan keadaan ini,


kita bukanlah pemilik mereka.
Berusaha untuk mengendalikan mereka hanya menyebabkan penderitaan, karena mereka tidak sepenuhnya di bawah kendali kita.
Baik jasmani maupun batin, bukanlah pribadi atau yang lainnya.
Jika kita mengetahui keadaan ini sebagaimana adanya maka kita melihat dengan jelas.
Kita melihat kebenaran, kita menyatu dengannya.
Bagaikan melihat potongan besi panas yang telah dipanaskan dalam pembakaran.
Semuanya panas.
Apakah kita memegang di atas, di bawah, atau di sisi, semuanya panas.
Tidak peduli di mana kita memegangnya, semuanya panas.
Begitulah seharusnya kalian melihat segala sesuatu.

Biasanya ketika kita mulai berlatih kita ingin mencapai, memperoleh, mengetahui dan melihat, tetapi kita belum mengetahui apakah yang ingin kita capai atau ketahui.
Pernah ada seorang murid saya yang prakteknya diganggu dengan kebingungan dan keragu-raguan.
tetapi ia tetap berlatih, dan saya tetap memberinya petunjuk, sampai ia mulai menemukan sedikit kedamaian.
Tetapi ketika akhirnya ia menjadi sedikit tenang ia terperangkap dalam keragu-raguannya lagi, dengan berkata,
"Apa yang selanjutnya harus kukerjakan?"
Nah! kebingungan muncul lagi.
Ia berkata ia menginginkan kedamaian tetapi ketika ia mendapatkannya, ia tak menghendakinya, ia bertanya selanjutnya apa yang harus ia kerjakan!

Jadi di dalam praktek ini kita harus mengerjakannya dengan melepaskan.
Bagaimana kita melepaskan?
Kita melepaskan dengan melihat segala sesuatu dengan kelas.
Ketahuilah sifat-sifat jasmani dan batin sebagaimana adanya.
Kita bermeditasi untuk menemukan kedamaian, tetapi dengan melakukan ini kita melihat apa yang tidak tenang.
Ini karena sifat batin adalah bergerak.

Ketika berlatih samadhi kita memutuskan perhatian kita pada keluar-masuknya napas di ujung hidung atau bibir atas.
"Mengangkat" batin untuk memusatkannya disebut vitakka, atau "mengangkat".
Ketika kita sudah "mengangkat" batin dan mantap pada satu obyek, ini disebut vicara, perenungan terhadap napas pada ujung hidung.
Sifat vicara ini secara alamiah akan bercampur dengan perasaan-perasaan mental lainnya, dan kita mungkin berpikir bahwa batin kita tidak tenang, ia tidak mau mengendap, tetapi sesungguhnya ini hanya proses kerja dari vicara ketika ia bercampur dengan perasaan-perasaan lainnya.
Apabila hal ini berjalan terlalu jauh pada arah yang salah, batin kita akan kehilangan ketenangan, maka selanjutnya kita harus menata batin sekali lagi, mengangkatnya pada obyek konsentrasi dengan vitakka.
Segera setelah kita membangun perhatian kita, vicara akan mengambil alih, bercampur dengan berbagai macam perasaan mental lainnya.

Sekarang apabila kita melihat hal ini terjadi, pengertian kita yang masih lemah mungkin mengarahkan kita untuk berpikir:
"Mengapa pikiranku selalu mengembara?
Saya inginkan dia agar tenang/diam, mengapa ia tidak tenang?"
Ini adalah berlatih dengan kemelekatan.

Sesungguhnya batin hanya mengikuti alamiahnya, tetapi kita berjalan dan menambahkan kegiatan dengan menginginkan batin untuk tenang, dan berpikir,
"Mengapa ia tidak tenang?"
Kebencian muncul dan kita menambahkannya pada yang lain-lainnya pula, memperbesar keragu-raguan kita, memperbesar penderitaan kita dan memperbesar kebingungan kita.
Jadi jika ada vicara, renungkanlah berbagai kejadian dalam batin dengan cara ini, kita harus dengan cara bijaksana mempertimbangkan...
"Ah, batin hanyalah seperti ini".
Nah, di sana
"Sesuatu Yang Mengetahui"
sedang berbicara, berkata pada kalian untuk melihat segala sesuatu sebagaimana mereka adanya.
Batin hanyalah seperti itu.
Kita lepaskan hal itu dan batin akan menjadi tenang.
Jika ia sudah tidak terpusat lagi sekali lagi kita angkat vitakka, dan segera ada ketenangan lagi.
Vitakka dan vicara bekerjasama seperti ini. Kita menggunakan vicara untuk merenungkan berbagai sensasi/perasaan yang timbul.
Ketika vicara secara berangsur-angsur terpencar maka sekali lagi kita "angkat" perhatian kita dengan vitakka.

Yang terpenting di sini adalah praktek kita pada titik ini harus dilakukan dengan melepaskan.
Melihat proses vicara saling mempengaruhi dengan sensasi-sensasi batin, kita mungkin mengira bahwa batin bingung dan marah terhadap proses ini.
Inilah sebab sesungguhnya.
Kita tidak berbahagia hanya karena kita menginginkan batin menjadi tenang.
Ini adalah penyebab pandangan salah.
Seandainya kita memperbaiki pandangan kita sedikit saja, melihat kegiatan ini hanya sebagai sifat batin, ini saja cukup untuk mengatasi kebingungan.
Ini disebut melepaskan.

Sekarang, jika kita tidak melekat, jika kita berlatih dengan melepaskan... melepas di dalam kegiatan dan kegiatan di dalam melepas... jika kita belajar berlatih seperti ini, maka vicara secara alamiah cenderung kurang berpengaruh.
Jika batin kita berhenti terganggu, vicara akan cenderung untuk merenungkan Dhamma, karena jika kita tidak merenungkan Dhamma, batin akan kembali terganggu.

Jadi ada vitakka lalu vicara, vitakka lalu vicara, vitakka lalu vicara dan seterusnya, sampai vicara akhirnya menjadi lebih halus.
Pada mulanya vicara pergi mengenbara ke berbagai tempat.
Bilamana kita memahami hal ini hanya sebagai kegiatan batin, ia tak akan mengganggu kita kecuali jika kita melekat padanya.
Ia bagaikan air yang mengalir.
Jika kita tergoda, bertanya
"Mengapa ia mengalir?"
Maka tentu saja kita menderita.
Jika kita mengerti bahwa air mengalir karena itu memang merupakan sifatnya maka tidak ada penderitaan.
Begitulah vicara.
Ada vitakka, lalu vicara, berinteraksi dengan sensasi-sensasi batin.
Kita bisa menjadikan sensasi-sensasi ini sebagai obyek meditasi kita, menenangkan batin dengan memperhatikan sensasi-sensasi itu.

Jika kita mengetahui sifat alamiah batin seperti ini maka kita akan melepaskan, seperti membiarkan air mengalir.
Vicara menjadi lebih halus.
Mungkin batin cenderung merenungkan jasmani, atau kematian misalnya, atau beberapa pokok Dhamma lainnya.
Jika pokok perenungan itu benar maka akan muncul perasaan gairah.
Apakah perasaan gairah itu?
Itu adalah piti (kegairahan).
Piti, kegairahan, muncul.
Ia bisa berwujud sebagai tegaknya bulu roma, rasa sejuk atau ringan.
Batin terpesona.
Inilah yang disebut piti.
Ada pula kesenangan, sukha, datang dan perginya berbagai perasaan,
dan ekaggatarammana, atau keterpusatan.

Sekarang jika kita berbicara kerkenaan dengan konsentrasi (jhana) tingkat pertama, ia harus seperti ini:
vitakka, vicara, piti, sukha, ekaggata.
Lalu seperti apakah tingkat yang kedua?
Karena batin menjadi semakin halus, maka vitakka dan vicara terasa menjadi relatif kasar, sehingga mereka diabaikan, hanya tersisa piti, sukha dan ekaggata.
Ini merupakan sesuatu yang dikerjakan oleh batin sendiri, kita tidak perlu menerkanya, hanya sadarilah segala sesuatu sebagaimana adanya.

Setelah batin menjadi lebih halus, piti akhirnya disingkirkan dan hanya menyisakan sukha dan ekaggata, jadi kita memperhatikan itu. Ke manakah piti pergi?
Ia tidak pergi ke manapun, itu hanya karena batin menjadi lebih halus sehingga ia membuang sifat-sifat yang terlalu kasar baginya.
Apapun yang terlalu kasar ia buang, dan ia tetap membuang seperti itu sampai ia mencapai puncak kehalusan, yang di dalam buku diketahui sebagai jhana ke empat, tingkat penyerapan tertinggi.
Di sini batin semakin membuang apapun yang menjadi terlalu kasar baginya, sampai di sana hanya tersisa ekaggata dan upekkha, keseimbangan. Tidak ada yang lebih lanjut, inilah batasnya.




Ketika batin mengembangkan tingkat-tingkat samadhi ia harus berlangsung dalam cara ini, tetapi hendaknya kita mengerti dasar-dasar dari praktek.
Kita ingin membuat batin tenang tetapi ia tidak mau tenang,
ini namanya berlatih atas dasar keinginan, tetapi kita tidak menyadarinya.
Kita mempunyai keinginan untuk tenang.
Batin sudah terganggu dan kita mengganggunya lebih jauh dengan menginginkan membuatnya tenang.
Keinginan inilah penyebabnya.
Kita tidak melihat bahwa keinginan untuk menenangkan batin adalah tanha (keinginan).
Ini seperti menambah beban.
Semakin banyak kita menginginkan ketenangan, semakin pikiran menjadi terganggu, sampai kita dapat melepaskannya.
Kita selesai bertarung, setiap kali kita duduk dan bekerja keras dengan diri kita sendiri.

Mengapa begini?
Karena kita tidak merenungkan kembali bagaimana kita sudah menyusun batin kita.
Ketahuilah bahwa kondisi-kondisi batin hanyalah cara alamiah mereka sendiri.
Apapun yang muncul, amati saja.
Itu hanyalah sifat batin, ia tidak berbahaya kecuali jika kita tidak mengetahui sifatnya.
Ia tidak membahayakan jika kita melihat untuk apakah kegiatannya.
Jadi kita berlatih dengan vitakka dan vicara sampai batin menjadi tenang, kita bergaul dengan mereka dan memahaminya.

Bagaimanapun, biasanya kita cenderung untuk mulai bertarung dengan mereka, karena sejak awal kita memutuskan untuk menenangkan batin.
Begitu kita duduk, bentuk-bentuk pikiran datang mengganggu kita.
Begitu kita mulai menyusun obyek meditasi, perhatian kita mengembara, batin pergi mengikuti semua bentuk pikiran, dengan berpikir bahwa bentuk-bentuk pikiran itu datang mengganggu kita, tetapi sesungguhnya persoalan muncul di sini, yaitu dari sangat menginginkan.

Jika kita melihat bahwa batin hanya berperilaku sesuai dengan sifatnya, bahwa wajar ia datang dan pergi seperti ini, dan jika kita tidak terlalu memperhatikannya, kita bisa mengetahui sifatnya yang tak jauh berbeda seperti anak kecil.
Anak-anak tidak mengetahui dengan baik, mereka bisa mengatakan apa saja.
Jika kita memahami mereka kita hanya membiarkannya berbicara, anak-anak memang berbicara seperti itu.
Jika kita membiarkan seperti ini maka tidak ada gangguan dengan si anak.
Kita bisa berbicara pada tamu kita tanpa terganggu, ketika si anak mengobrol dan bermain.
Begitulah batin.
Ia tidak berbahaya kecuali jika kita mencengkram dan merasa terganggu.
Itulah penyebab gangguan yang sebenarnya.

Ketika piti muncul orang merasakan kesenangan yang tak dapat digambarkan, hanya mereka yang berpengalaman yang bisa mengerti.
Sukha (kesenangan) muncul, dan disana juga ada sifat keterpusatan.
Ada vitakka, vicara, piti, sukha dan ekaggata.
Kelima sifat ini semua berkumpul pada satu tempat.
Meskipun mereka merupakan sifat-sifat yang berbeda, mereka semua terkumpul pada satu tempat, dan kita bisa melihat mereka semua di sana, seperti melihat berbagai jenis buah di dalam satu mangkok.
Vitakka, vicara, piti, sukha dan ekaggata kita dapat melihat mereka semua dalam satu batin, semua dari kelima sifat itu.
Seandainya orang bertanya,
"Bagaimanakah vitakka di sana, bagaimanakah vicara di sana, bagaimanakah piti dan sukha di sana?" ...
Sangatlah sulit untuk menjawabnya, seperti ketika mereka berkumpul di dalam batin kita akan melihat bagaimana mereka untuk diri kita sendiri.

Pada titik ini praktek kita menjadi sedikit istimewa.
Kita pasti mempunyai ingatan dan kesadaran diri serta tidak tersesat.
Mengetahui segala sesuatu seperti apa adanya.
Inilah tingkatan-tingkatan meditasi, kemampuan dari batin.
Jangan ragukan apapun berkenaan dengan praktek.
Bahkan seandainya kalian ditelan bumi atau melayang di udara, atau bahkan "mati" saat hidup, jangan ragukan itu.
Apapun sifat-sifat batin yang muncul, tetaplah mengetahuinya. Inilah dasar kita memiliki sati, ingatan dan sampajaa, kesadaran diri, apakah sedang berdiri, berjalan, duduk atau berbaring.
Apapun yang muncul, biarkanlah, jangan terpaku padanya.
Apakah ia menyenangkan atau tidak menyenangkan, kebahagiaan atau penderitaan, keraguan atau kepastian, renungkanlah dengan vicara dan ukurlah hasil dari sifat-sifat itu.
Jangan berusaha untuk menamai segala sesuatu, cukup kita ketahui saja.
Sadarilah bahwa semua yang muncul di dalam batin hanyalah sensasi-sensasi.
Mereka bersifat sementara.
Mereka muncul, bertahan dan lenyap.
Begitulah mereka semua, mereka tidak mempunyai pribadi atau diri, mereka bukanlah "kita" maupun "mereka".
Mereka tidaklah berharga untuk dilekati, yang manapun.


Apabila kita melihat semua rupa dan nama (Rupa obyek-obyek materi atau jasmani,
nama obyek-obyek bukan materi atau batin, unsur pokok dari jasmani dan batin suatu makhluk.) dalam cara ini dengan kebijaksanaan, maka kita akan melihat cara ini dengan kebijaksanaan, maka kita akan melihat jejak-jejak yang lama.
Kita akan melihat kesementaraan dari batin, kesementaraan dari jasmani, kesementaraan dari kebahagiaan, kesementaraan dari penderitaan, cinta, dan benci.
Mereka semuanya tidak kekal.
Melihat ini, batin menjadi bosan
bosan terhadap jasmani dan batin, bosan terhadap segala sesuatu yang muncul dan lenyap serta bersifat sementara.
Ketika batin merasa kecewa, ia akan mencari jalan keluar dari semua hal itu.
Ia tidak ingin lagi melekat pada segala sesuatu, ia melihat kekurangan dari dunia ini dan kekurangan dari kelahiran ini.

Ketika batin melihat seperti ini, ke manapun kita pergi, kita melihat anicca (kesementaraan), dukkha (ketidak-sempurnaan), dan anatta (ketanpa-pemilikan).
Tidak ada yang tersisa untuk dipertahankan.
Apakah kita pergi untuk duduk di bawah pohon, di puncak gunung atau di kedalaman lembah, kita bisa mendengarkan ajaran Sang Buddha. Semua pohon akan tampak satu, semua makhluk terlihat satu, tidak ada yang istimewa tentang mereka.
Mereka muncul, bertahan sejenak, tua, lalu mati.

Dengan demikian kita melihat dunia dengan lebih jelas, melihat jasmani dan batin ini dengan lebih lebih jelas.
Mereka menjadi lebih jelas di bawah sinar kesementaraan, lebih jelas di bawah sinar ketidak-sempurnaan, dan lebih jelas di bawah sinar ketanpa-pemilikan.
Jika orang terlalu terikat mereka akan menderita.
Beginilah cara munculnya penderitaan.
Jika kita melihat jasmani dan batin hanya sebagai apa adanya maka tidak ada penderitaan yang muncul, karena kita tidak terikat pada mereka. Kemanapun kita pergi, kita akan mempunyai kebijaksanaan.
Bahkan melihat sebatang pohon pun kita bisa mempertimbangkannya dengan kebijaksanaan.
Melihat rumput dan berbagai serangga akan menjadi makanan bagi perenungan.

Jika semua direnungkan dalam cara seperti itu maka mereka akan jatuh pada perahu yang sama.
Mereka semua adalah Dhamma, mereka tanpa kecuali bersifat sementara.
Inilah kebenaran, inilah Dhamma yang sejati, inilah yang pasti.
Bagaimana ia pasti?
Ia pasti di dalam hal bahwa dunia adalah dalam cara itu, dan tidak pernah bisa menjadi sebaliknya.
Tidak ada yang lebih daripada itu.
Jika kita bisa melihat dengan cara ini maka kita sudah menyelesaikan perjalanan kita.

Dalam agama Buddha, berkenaan dengan pandangan, dikatakan bahwa dengan merasa bahwa kita lebih bodoh daripada yang lain adalah tidak benar,
merasa bahwa kita sama dengan yang lain adalah tidak benar,
dan merasa bahwa kita lebih baik daripada yang lain adalah tidak benar... Karena tidak ada "kita".
Begitulah adanya, kita harus mencabut kesombongan.
Ini disebut lokavidu memahami dunia dengan jelas sebagaimana adanya.
Jika kita melihat kebenaran, batin akan mengetahui dirinya secara lengkap dan akan memotong sebab penderitaan.
Jika tidak ada sebabnya lagi, hasilnya tidak bisa muncul. Beginilah cara praktek kita harus berlanjut.

Dasar-dasar yang perlu kita kembangkan adalah:
yang pertama,
harus lurus dan jujur,
yang kedua, waspada terhadap perbuatan salah,
yang ketiga, memiliki sifat rendah-hati di dalam hati, menyendiri dan puas dengan yang sedikit.
Jika kita puas dengan yang sedikit berkenaan dengan ucapan dan hal-hal lainnya, kita akan mengerti diri kita sendiri, kita tidak akan hanyut di dalam kebingungan.
Batin akan memiliki landasan sila, samadhi, dan panna.

Oleh karena itu para pelaksana Sang Jalan tidak boleh ceroboh.
Meskipun jika kalian benar, janganlah ceroboh. Jika kalian salah, jangan ceroboh.
Jika semua berjalan lancar atau kallian merasa berbahagia, janganlah ceroboh.
Mengapa saya katakan
"jangan ceroboh"?
Karena semua hal itu tidak pasti.
Perhatikan mereka seperti demikian.
Jika kalian mendapat kedamaian biarkanlah rasa damai itu.
Kalian mungkin sangat ingin mengikutinya tetapi kalian harus mengetahui kebenaran tentang hal itu, begitu pula halnya dengan sifat-sifat yang tidak menyenangkan.

Praktek batin ini bergantung pada setiap orang.
Guru hanya menerangkan cara untuk melatih batin, karena batin itu berada di dalam setiap orang.
Kita tahu apa yang ada di dalam, tak ada seorangpun yang bisa mengetahui batin kita sebaik yang kita bisa.
Praktek ini memerlukan kejujuran semacam itu.
Kerjakan dengan benar, jangan kerjakan dengan setengah hati.
Ketika saya mengatakan
"kerjakan dengan benar",
apakah itu berarti kalian harus menghabiskan tenaga kalian?
Tidak, kalian tidak perlu menghabiskan tenaga kalian, karena praktek itu dikerjakan di dalam batin.
Jika kalian mempunyai sati dan sampajna, kalian dapat melihat kebajikan dan keburukan di dalam diri kalian.
Jika kalian mengetahui hal ini maka kalian akan mengetahui prakteknya.
Kalian tidak perlu banyak. Hanya gunakanlah norma praktek untuk merenungkan di dalam diri kalian sendiri.

Oleh: Ven.Ajahn Chah

Tidak ada komentar: