Tidak dapat dipungkiri, bahwa
keberadaan kita —atau dengan kalimat lain: keberadaan setiap orang— tidak
mungkin bisa dilepaskan dari keluarga dan masyarakat. Tidak ada seorang pun
yang benar-benar hidup sendiri —sama sekali tidak pernah berhubungan dengan
orang lain atau masyarakat.
Tetapi meskipun kenyataan ini adalah
sesuatu yang sangat jelas bagi setiap orang, sesungguhnya seringkali kita
mengingkari. Ungkapan ini mungkin sangat mengejutkan. Benarkah kita bisa
mengingkari kenyataan adanya keluarga dan masyarakat yang selalu mengelilingi
kita setiap hari? Kita pasti menjawabnya: Tidak mungkin! Tidak mungkin kita
bisa mengatakan bahwa tidak ada keluarga, tidak ada orang lain, tidak ada
masyarakat di sekeliling kita —yang selalu mengelilingi kita setiap saat.
Memang pengelihatan kita tidak bisa
memungkiri bahwa kita hidup di tengah-tengah keluarga dan juga di tengah-tengah
masyarakat. Tetapi juga tidak bisa dipungkiri, bahwa seringkali tindakan yang
kita lakukan adalah tindakan yang tidak mempedulikan keluarga, orang lain, atau
masyarakat. Banyak contoh yang bisa kita lihat. Dan tidak hanya bisa kita lihat
—dengan jujur harus kita akui— bahwa banyak juga contoh yang bisa kita sebutkan
dari tindakan-tindakan kita sendiri.
Seorang suami misalnya, sampai hati
menjalin hubungan cinta dengan wanita lain. Bukankah tindakan seperti itu
adalah tindakan yang memungkiri keberadaan istrinya sendiri? Contoh yang lain
lagi: Seseorang mencuri atau merampas milik orang lain. Tindakan ini adalah
tindakan yang dengan jelas tidak menghargai hak atau keberadaan orang lain.
Masih banyak lagi contoh tindakan atau
sikap yang bisa disebutkan. Bermacam-macam tindakan dilakukan oleh seseorang
ataupun kita sendiri demi kepentingan diri sendiri dengan tidak menghargai dan
juga tidak mempedulikan hak serta keberadaan orang lain. Sampai hati menyakiti
—karena mungkin tidak peduli lagi apakah orang lain menderita atau tidak—
bahkan bukannya tidak mungkin sampai menghancurkan atau membunuh, dengan tujuan
keinginan pribadinya bisa terpenuhi.
Inilah ironi kehidupan. Indria mata
melihat keberadaan orang lain, tetapi mata-nafsu kita seringkali tidak mampu
melihat kehadiran orang lain, termasuk keluarga kita sendiri. Mata-nafsu hanya
melihat —dan selalu ingin melihat— kenikmatan-kenikmatan indriawi. Meskipun di
tengah-tengah keluarganya sendiri, apalagi di tengah-tengah masyarakat,
mata-nafsu itu selalu mencari kenikmatan.
Mata-nafsu tidak bisa menghargai hak
dan keberadaan orang lain. Yang bisa dihargai hanyalah hak dan keberadaan
dirinya sendiri. Mengapa demikian? Sang Buddha menunjukkan bahwa pikiran yang
diliputi kegelapan atau ketidak-tahuan adalah sebabnya. Pikiran yang sedang
gelap tidak mungkin mengetahui tentang kebenaran dalam kehidupan ini. Demikian
juga sebaliknya, pikiran yang tidak mempunyai pengetahuan tentang kehidupan ini
akan selalu diliputi kegelapan. Pikiran gelap inilah yang mempunyai indria mata
yang disebut mata-nafsu. Pikiran bermata-nafsu tidak mampu melihat kenyataan
dalam kehidupan ini. Pikiran seperti itu mempunyai ukuran nilai sendiri untuk
menilai segala sesuatu. Satu-satunya ukuran yang dipakainya tidak lain adalah:
Aku, diriku dan milikku.
Demikianlah problema manusia di
sepanjang zaman. Kegelapan, keakuan, dan kehancuran. Bila kita tidak berusaha
mengatasi kegelapan dan keakuan ini, maka kita akan menghancurkan diri kita
sendiri. Keakuan akan membakar setiap orang dengan keserakahan, irihati,
kebencian, kejengkelan, dendam, dan kejahatan. Tidak hanya membakar dirinya
sendiri, keakuan yang dibiarkan tumbuh akan menyebabkan malapetaka dan
kehancuran bagi orang lain. Tindakan apa pun akan dilakukannya demi kenikmatan
dirinya. Timbullah kemudian pencurian, perampasan hak, persaingan tidak sehat,
perkosaan, kekerasan, kekejaman, bahkan pembunuhan. Demikian juga,
pertengkaran, perkelahian, sampai peperangan yang silih berganti. Semuanya
menghancurkan keberadaan dan kesejahteraan orang banyak. Semuanya timbul karena
keakuan seseorang yang bertambah besar, yang tidak pernah disadari, dan tidak
pernah diatasi. Kalau kita ingin mencari sebab kejahatan apa pun di dunia ini,
yang begitu banyak dan begitu sering menimbulkan kesedihan dan kesengsaraan;
sebabnya tidak lain adalah keakuan.
Karena itulah, tantangan dan sekaligus
tuntutan terbesar bagi setiap umat beragama adalah menaklukkan dirinya sendiri.
Menaklukkan diri sendiri adalah menaklukkan tumbuhnya keakuan —yang menuntut
kenikmatan dengan tidak mempedulikan keberadaan dan kesejahteraan orang lain.
Sang Buddha menegaskan, bahwa
kemenangan terbesar sama sekali bukan menaklukkan orang lain, melainkan
sebaliknya; menaklukkan keakuan dirinya sendiri. Dalam Dhammapada disebutkan:
"Walaupan seseorang menaklukkan beribu-ribu
musuh dalam beribu kali pertempuran namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah
orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri".
"Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya
leblh baik daripada menaklukkan makhluk lain; orang yang telah menaklukkan
dirinya selalu dapat mengendalikan diri".
"Tidak ada dewa, mara, gandhabba,
ataupun brahma yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah dapat
menaklukkan dirinya sendiri".
"Sungguh baik
keledai-keledai yang terlatih, begitu juga kuda-kuda Sindhu dan gajah-gajah
perang milik para ksatria; tetapi jauh lebih baik dari semua itu adalah orang
yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri".
(Dhammapada
103, 104, 105, 322)
Keserakahan atau kebencian yang
bersumber dari keakuan dan bermuara pada kejahatan mendorong seseorang untuk
menaklukkan orang lain. Akibat kejahatan ini adalah kepuasan hawa nafsu bagi
dirinya sendiri dan kesengsaraan bagi orang lain. Sedangkan kepuasan hawa nafsu
itu sendiri pasti membuat seseorang selalu terangsang, gelisah, dan cemas.
Sekarang marilah kita lihat bila sebaliknya; menaklukkan keakuan dengan
pengendalian diri dan melakukan perbuatan-perbuatan baik akan menumbuhkan
kebijaksanaan dalam diri seseorang serta membawa manfaat bagi orang lain.
Menaklukkan keakuan akan memberikan kedamaian bagi dunia seseorang, dunia
keluarganya, dan juga dunia kita bersama ini.
Kita bukan hanya menaklukkan keakuan
supaya tidak melakukan perbuatan yang menghancurkan keluarga dan masyarakat,
tetapi lebih dari itu, kita pun mempunyai kewajiban terhadap keluarga dan
masyarakat.
Setiap orang —setiap umat beragama
tentunya— dituntut oleh kehidupan ini untuk mempunyai kepedulian sosial. Moral
kita pun akan dinilai dengan kepedulian sosial kita. Kalau seseorang tidak
melakukan kewajiban terhadap keluarganya —suami, isteri, dan anak-anak— dan
tidak mempedulikan masyarakat, tidak mungkin ia dikatakan bermoral tinggi.
Sesungguhnya sikap pasif tidak mempedulikan keluarga dan masyarakat itu adalah
kejahatan mental. Dan sudah pasti, sikap itu dengan mudah menyeret seseorang
pada perbuatan jahat. Moral seperti ini adalah moral yang rendah.
Keharmonian dan kebahagiaan keluarga
menjadi tanggung jawab bagi setiap anggota keluarga. Kesulitan dan
persoalan-persoalan keluarga harus juga dihadapi dan diselesaikan bersama.
Demikian juga, kita pun mempunyai
tanggung jawab untuk ikut membangun masyarakat yang sejahtera. Tantangan dan
problema-problema sosial harus menjadi tanggung jawab kita —setiap orang.
Kewajiban dan tanggung jawab setiap
orang kepada lingkungannya, baik keluarga maupun masyarakat, merupakan
kenyataan yang tidak mungkin bisa dipungkiri. Kepedulian setiap orang kepada
lingkungan tidak mungkin pula bisa dihindari lagi. Kepedulian dan tanggung
jawab itu memerlukan landasan yang tangguh. Dan landasan itu tidak lain adalah
mental yang sehat.
Melalui artikel kita ini saya ingin
mengajak kepada Saudara, kepada semua umat beragama, marilah kita membangun
mental kita masing-masing menjadi mental yang sehat. Jangan kita biarkan mental
ini menjadi mental yang diliputi kegelapan. Jangan kita biarkan mental ini
melihat dan menilai segala sesuatu melalui mata-nafsu. Marilah kita membuka
mata-kebijaksanaan dengan mengembangkan sikap mencintai semua makhluk,
mempertahankan moral, melakukan perbuatan-perbuatan yang berguna, dan
lebih-lebih lagi dengan bermeditasi.
"Seorang yang
bijak tidak akan berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain;
demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan
dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang sesungguhnya luhur,
bijak, dan berbudi".
(Dhammapada
84)
***
Sumber :
BUDDHA CAKKHU No.19/XI/90; Yayasan Dhammadipa Arama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar