Sabtu, 26 November 2011

KEPEDULIAN SOSIAL


 Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan kita —atau dengan kalimat lain: keberadaan setiap orang— tidak mungkin bisa dilepaskan dari keluarga dan masyarakat. Tidak ada seorang pun yang benar-benar hidup sendiri —sama sekali tidak pernah berhubungan dengan orang lain atau masyarakat.

         Tetapi meskipun kenyataan ini adalah sesuatu yang sangat jelas bagi setiap orang, sesungguhnya seringkali kita mengingkari. Ungkapan ini mungkin sangat mengejutkan. Benarkah kita bisa mengingkari kenyataan adanya keluarga dan masyarakat yang selalu mengelilingi kita setiap hari? Kita pasti menjawabnya: Tidak mungkin! Tidak mungkin kita bisa mengatakan bahwa tidak ada keluarga, tidak ada orang lain, tidak ada masyarakat di sekeliling kita —yang selalu mengelilingi kita setiap saat.

         Memang pengelihatan kita tidak bisa memungkiri bahwa kita hidup di tengah-tengah keluarga dan juga di tengah-tengah masyarakat. Tetapi juga tidak bisa dipungkiri, bahwa seringkali tindakan yang kita lakukan adalah tindakan yang tidak mempedulikan keluarga, orang lain, atau masyarakat. Banyak contoh yang bisa kita lihat. Dan tidak hanya bisa kita lihat —dengan jujur harus kita akui— bahwa banyak juga contoh yang bisa kita sebutkan dari tindakan-tindakan kita sendiri.

         Seorang suami misalnya, sampai hati menjalin hubungan cinta dengan wanita lain. Bukankah tindakan seperti itu adalah tindakan yang memungkiri keberadaan istrinya sendiri? Contoh yang lain lagi: Seseorang mencuri atau merampas milik orang lain. Tindakan ini adalah tindakan yang dengan jelas tidak menghargai hak atau keberadaan orang lain.

         Masih banyak lagi contoh tindakan atau sikap yang bisa disebutkan. Bermacam-macam tindakan dilakukan oleh seseorang ataupun kita sendiri demi kepentingan diri sendiri dengan tidak menghargai dan juga tidak mempedulikan hak serta keberadaan orang lain. Sampai hati menyakiti —karena mungkin tidak peduli lagi apakah orang lain menderita atau tidak— bahkan bukannya tidak mungkin sampai menghancurkan atau membunuh, dengan tujuan keinginan pribadinya bisa terpenuhi.

         Inilah ironi kehidupan. Indria mata melihat keberadaan orang lain, tetapi mata-nafsu kita seringkali tidak mampu melihat kehadiran orang lain, termasuk keluarga kita sendiri. Mata-nafsu hanya melihat —dan selalu ingin melihat— kenikmatan-kenikmatan indriawi. Meskipun di tengah-tengah keluarganya sendiri, apalagi di tengah-tengah masyarakat, mata-nafsu itu selalu mencari kenikmatan.

         Mata-nafsu tidak bisa menghargai hak dan keberadaan orang lain. Yang bisa dihargai hanyalah hak dan keberadaan dirinya sendiri. Mengapa demikian? Sang Buddha menunjukkan bahwa pikiran yang diliputi kegelapan atau ketidak-tahuan adalah sebabnya. Pikiran yang sedang gelap tidak mungkin mengetahui tentang kebenaran dalam kehidupan ini. Demikian juga sebaliknya, pikiran yang tidak mempunyai pengetahuan tentang kehidupan ini akan selalu diliputi kegelapan. Pikiran gelap inilah yang mempunyai indria mata yang disebut mata-nafsu. Pikiran bermata-nafsu tidak mampu melihat kenyataan dalam kehidupan ini. Pikiran seperti itu mempunyai ukuran nilai sendiri untuk menilai segala sesuatu. Satu-satunya ukuran yang dipakainya tidak lain adalah: Aku, diriku dan milikku.

         Demikianlah problema manusia di sepanjang zaman. Kegelapan, keakuan, dan kehancuran. Bila kita tidak berusaha mengatasi kegelapan dan keakuan ini, maka kita akan menghancurkan diri kita sendiri. Keakuan akan membakar setiap orang dengan keserakahan, irihati, kebencian, kejengkelan, dendam, dan kejahatan. Tidak hanya membakar dirinya sendiri, keakuan yang dibiarkan tumbuh akan menyebabkan malapetaka dan kehancuran bagi orang lain. Tindakan apa pun akan dilakukannya demi kenikmatan dirinya. Timbullah kemudian pencurian, perampasan hak, persaingan tidak sehat, perkosaan, kekerasan, kekejaman, bahkan pembunuhan. Demikian juga, pertengkaran, perkelahian, sampai peperangan yang silih berganti. Semuanya menghancurkan keberadaan dan kesejahteraan orang banyak. Semuanya timbul karena keakuan seseorang yang bertambah besar, yang tidak pernah disadari, dan tidak pernah diatasi. Kalau kita ingin mencari sebab kejahatan apa pun di dunia ini, yang begitu banyak dan begitu sering menimbulkan kesedihan dan kesengsaraan; sebabnya tidak lain adalah keakuan.

         Karena itulah, tantangan dan sekaligus tuntutan terbesar bagi setiap umat beragama adalah menaklukkan dirinya sendiri. Menaklukkan diri sendiri adalah menaklukkan tumbuhnya keakuan —yang menuntut kenikmatan dengan tidak mempedulikan keberadaan dan kesejahteraan orang lain.

         Sang Buddha menegaskan, bahwa kemenangan terbesar sama sekali bukan menaklukkan orang lain, melainkan sebaliknya; menaklukkan keakuan dirinya sendiri. Dalam Dhammapada disebutkan:

 "Walaupan seseorang menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri".

 "Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya leblh baik daripada menaklukkan makhluk lain; orang yang telah menaklukkan dirinya selalu dapat mengendalikan diri".

 "Tidak ada dewa, mara, gandhabba, ataupun brahma yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri".



"Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih, begitu juga kuda-kuda Sindhu dan gajah-gajah perang milik para ksatria; tetapi jauh lebih baik dari semua itu adalah orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri".

(Dhammapada 103, 104, 105, 322)

         Keserakahan atau kebencian yang bersumber dari keakuan dan bermuara pada kejahatan mendorong seseorang untuk menaklukkan orang lain. Akibat kejahatan ini adalah kepuasan hawa nafsu bagi dirinya sendiri dan kesengsaraan bagi orang lain. Sedangkan kepuasan hawa nafsu itu sendiri pasti membuat seseorang selalu terangsang, gelisah, dan cemas. Sekarang marilah kita lihat bila sebaliknya; menaklukkan keakuan dengan pengendalian diri dan melakukan perbuatan-perbuatan baik akan menumbuhkan kebijaksanaan dalam diri seseorang serta membawa manfaat bagi orang lain. Menaklukkan keakuan akan memberikan kedamaian bagi dunia seseorang, dunia keluarganya, dan juga dunia kita bersama ini.

         Kita bukan hanya menaklukkan keakuan supaya tidak melakukan perbuatan yang menghancurkan keluarga dan masyarakat, tetapi lebih dari itu, kita pun mempunyai kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat.

         Setiap orang —setiap umat beragama tentunya— dituntut oleh kehidupan ini untuk mempunyai kepedulian sosial. Moral kita pun akan dinilai dengan kepedulian sosial kita. Kalau seseorang tidak melakukan kewajiban terhadap keluarganya —suami, isteri, dan anak-anak— dan tidak mempedulikan masyarakat, tidak mungkin ia dikatakan bermoral tinggi. Sesungguhnya sikap pasif tidak mempedulikan keluarga dan masyarakat itu adalah kejahatan mental. Dan sudah pasti, sikap itu dengan mudah menyeret seseorang pada perbuatan jahat. Moral seperti ini adalah moral yang rendah.

         Keharmonian dan kebahagiaan keluarga menjadi tanggung jawab bagi setiap anggota keluarga. Kesulitan dan persoalan-persoalan keluarga harus juga dihadapi dan diselesaikan bersama.

         Demikian juga, kita pun mempunyai tanggung jawab untuk ikut membangun masyarakat yang sejahtera. Tantangan dan problema-problema sosial harus menjadi tanggung jawab kita —setiap orang.

         Kewajiban dan tanggung jawab setiap orang kepada lingkungannya, baik keluarga maupun masyarakat, merupakan kenyataan yang tidak mungkin bisa dipungkiri. Kepedulian setiap orang kepada lingkungan tidak mungkin pula bisa dihindari lagi. Kepedulian dan tanggung jawab itu memerlukan landasan yang tangguh. Dan landasan itu tidak lain adalah mental yang sehat.



        Melalui artikel kita ini saya ingin mengajak kepada Saudara, kepada semua umat beragama, marilah kita membangun mental kita masing-masing menjadi mental yang sehat. Jangan kita biarkan mental ini menjadi mental yang diliputi kegelapan. Jangan kita biarkan mental ini melihat dan menilai segala sesuatu melalui mata-nafsu. Marilah kita membuka mata-kebijaksanaan dengan mengembangkan sikap mencintai semua makhluk, mempertahankan moral, melakukan perbuatan-perbuatan yang berguna, dan lebih-lebih lagi dengan bermeditasi.


"Seorang yang bijak tidak akan berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain; demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang sesungguhnya luhur, bijak, dan berbudi".

(Dhammapada 84)

***
 oleh: YM. Sri Paññavaro Mahathera, 


Sumber : BUDDHA CAKKHU No.19/XI/90; Yayasan Dhammadipa Arama.

Tidak ada komentar: