Pertapaan sebagai kondisi pengembangan batin sempurna amatlah terpuji;namun perkawinan dengan seorang wanita (pria) dan setia kepadanya adalah salah satu bentuk pertapaan juga.
Poligami dikritik Sang Buddha sebagai kegelapan batin dan menambah ketamakan.
(Anguttara Nikaya IV, 55)
PENDAHULUAN
Dalam pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara —sebagai bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini —ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa. Hidup berumah tangga ataupun tidak hanyalah merupakan satu sarana untuk mencapai kebahagiaan di dunia sebagai salah satu dari tiga tujuan beragama Buddha. Tiga tujuan itu adalah pertama, memperoleh kebahagiaan di dunia; kedua, terlahir di salah satu dari dua puluh enam alam surga setelah kehidupan ini dan ketiga, tercapainya Nibbana sebagai tujuan tertinggi seorang umat manusia.
Sesungguhnya dalam Agama Buddha, hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha, seperti dalam syair di atas.
Namun, apabila seseorang memutuskan untuk hidup membiara, menjadi bhikkhu, samanera ataupun anagarini, maka hendaknya ia juga berjuang sekuat tenaga untuk mencapai cita-citanya sekaligus memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Dan, jika seseorang memutuskan untuk tidak berumah tangga serta tidak juga hidup membiara, ia hendaknya juga dapat memberikan yang terbaik kepada masyarakat sekitarnya ketika ia masih dalam usia produktif dan tidak merepotkan lingkungan ketika sudah habis usia produktifnya.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu pilihan jalan hidup yaitu berumah tangga dan memiliki pasangan hidup. Di sini akan diterangkan tentang cara mencari dan membina pasangan hidup.
PERMASALAHAN
Dengan berbagai macam alasan, banyak orang kebingungan mencari pasangan hidup. Selama usia mudanya, bahkan mungkin sepanjang usianya, dipergunakan untuk 'berburu' calon pasangannya. Berbagai cara digunakan untuk mencapai tujuan itu. Cara paling halus sampai yang sangat kasar dikeluarkan. Apabila ia telah berhasil mendapatkan pasangan hidup yang diharapkan, sungguh terasa berbahagia hidupnya. Ia akan segera melanjutkan hubungannya dalam ikatan perkawinan. Sebagai pasangan suami istri baru, kebanyakan mereka jarang menjumpai masalah yang berarti. Jika ada permasalahan pun akan dapat cepat diselesaikan. Namun sejalan dengan berlalunya sang waktu, masalah yang timbul pun bertambah banyak. Sedikit saja terdapat perbedaan pendapat akan dapat menjadi masalah besar. Percekcokan semakin ramai mengisi hari-hari perkawinannya. Kebosanan timbul. Kejengkelan muncul. Akhirnya, kadang timbunan permasalahan ini menyebabkan mereka putus hubungan perkawinan, cerai. Dalam benak mereka, perceraian adalah jalan keluar yang terbaik. Ternyata, bukan. Masalah di antara suami istri memang mungkin sedikit terpecahkan, tetapi timbul masalah baru pada diri anak-anak. Mereka menjadi korban. Sedangkan mereka tidak mengetahui dengan jelas permasalahan sebenarnya yang terjadi di antara orangtuanya. Mereka tidak bersalah. Mereka kecewa. Frustrasi. Akhirnya mereka dapat terjebak dalam kenakalan remaja. Atau, kepahitan hidup yang ditemuinya dalam usia dini ini akan memunculkan gagasan di bawah sadarnya: Takut berumah tangga!
PEMBAHASAN
Agama Buddha dalam menguraikan tujuan hidup manusia, disebutkan salah satunya tentang adanya pencapaian kebahagiaan di dunia. Dengan demikian, pasti ada cara untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga.
Pasti ada pula petunjuk dan cara-cara mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan baik, mempertahankan komunikasi serasi setelah menjadi suami istri.
Memang, hal tersebut dapat diperoleh dalam Kitab Suci Tripitaka, Digha Nikaya III, 152, 232 atau dalam Anguttara Nikaya II, 32. Diuraikan di sana bahwa ada minimal empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami istri yang harmonis. Keempat hal itu adalah:
1. KERELAAN = DANA
Konsep berdana adalah konsep dasar dalam kehidupan ini. Dana berupa materi maupun bukan materi akan mampu menghasilkan kedekatan hati. Reaksi ini bersifat alami, termasuk juga dalam dunia binatang. Seekor kucing akan muncul kesetiaannya dengan orang yang selalu memberi makan kepadanya. Hal serupa juga terjadi pada manusia. Tidak jarang kita jumpai seorang anak lebih dekat dengan ibunya daripada dengan ayahnya. Kedekatan hati ini timbul karena, pada umumnya, pengorbanan ibu kepada anak jauh lebih besar daripada seorang ayah. Oleh karena itu, sebenarnya tidak akan ada kebahagiaan yang kita peroleh apabila kita tidak berusaha mendapatkannya. Dalam Hukum Karma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan seluruh kehidupannya. Ia akan melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan bencana. Ia akan memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya. Ia akan rela memaafkan segala kesalahan anaknya. Ia, bahkan, memberikan keakuannya; tidak ada istilah 'jaga gengsi' dihadapan anaknya. Memang, dana yang paling sulit dalam hidup ini adalah mendanakan keakuan kita sendiri.
Kemampuan berdana keakuan dan perhatian ini dapat dilatih dengan berdana materi terlebih dahulu. Dana materi lebih mudah dilakukan. Dana materi digunakan untuk membentuk kebiasaan berpikir: Semoga semua mahluk berbahagia.
Apabila dana materi telah menjadi kebiasaan, maka hendaknya kualitas diri ini dikembangkan dengan latihan merelakan perhatian dan keakuan kepada fihak lain. Hal ini menjadi lebih mudah karena memang konsep: 'Semoga semua mahluk berbahagia' telah ada dalam diri kita. Sebagai tanda berkurangnya keakuan adalah timbulnya kesabaran, berkurangnya iri hati dan banyaknya pikiran positif dalam menghadapi segala bentuk kesulitan hidup.
Dalam mencari dan membina pasangan hidup, kerelaan jelas amat diperlukan. Kerelaan materi di awal perkenalan dapat dikembangkan dengan kemampuan merelakan keakuan. Kerelaan keakuan ini berbentuk pengembangan sifat saling pengertian. Saling memaafkan. Kesalahan pasangan hidup, seringkali bukanlah karena disengaja. Oleh karena itu, menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali-kali kepada pasangan untuk dapat membangun kualitas dirinya. Berilah pasangan kesempatan untuk memperbaiki diri. Maafkanlah kesalahan yang telah dilakukan. Kemarahan bukanlah tanda cinta. Kemarahan adalah tanda keakuan. Ingin segala harapannya terpenuhi. Dengan kerelaan, orang akan lebih mudah mengerti serta menerima kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap ini akan menjadi salah satu tiang kokoh dalam menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya dengan pasangan hidup.
2. UCAPAN YANG BAIK/HALUS = PIYAVACA
Kemampuan untuk mengutarakan segala perasaan dengan ucapan halus sesungguhnya masih dapat dikategorikan berdana juga. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar akan sangat membantu memperbanyak kawan. Semakin banyak kawan, akan semakin besar pula kemungkinan memperoleh pasangan hidup. Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Dengan kata halus tetapi berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam mencari dan membina pasangan hidup.
Sampaikanlah pujian kita pada pasangan hidup dengan kalimat yang menyenangkan. Demikian pula, ucapkan kritikan pada pasangan hidup dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, untuk menghindari kesalahfahaman. Perlu direnungkan, menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri. Sebab, orang tentunya akan menjadi sedih apabila orang yang dicintainya juga sedang sedih.
3. MELAKUKAN HAL YANG BERMANFAAT BAGINYA = ATTHACARIYA
Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: Semoga semua mahluk hidup berbahagia. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah mahluk pula. Berarti, ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.
Dengan demikian, kalau di atas telah diuraikan tentang kata yang halus sebagai sarana membahagiakan pasangan hidup, maka sekarang lebih tegas lagi, berkenaan dengan tingkah laku. Tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Banyak pendapat umum yang menganggap bahwa cinta adalah menuntut. Orang yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai. Konsep ini sesungguhnya tidak tepat. Sebab, apabila orang yang dicintai sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan, apakah ia kemudian diceraikan?
Oleh karena itu, cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi. Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan?
Pola pikir 'ingin membahagiakan orang yang dicintai' hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan termasuk dalam kehidupan perkawinan. Apabila bukan pasangan hidupnya sendiri yang membahagiakannya, apakah seseorang akan meminta orang lain untuk membahagiakan dirinya?
4. BATIN SEIMBANG, TIDAK SOMBONG = SAMANATTATA
Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah karmanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
TAMBAHAN
Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup, selain selalu berusaha melaksanakan empat sikap di atas, hendaknya jangan melupakan adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Hal ini apabila terpenuhi akan menjadi faktor tambahan yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga. Terdapat empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan (agama), Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.
a. Kesamaan keyakinan (agama)
Perbedaan agama sering dianggap kecil oleh para pasangan baru. Muda-mudi apabila diingatkan tentang hal ini pun seakan tidak percaya. Mereka meremehkan adanya kenyataan ini. Padahal, perbedaan agama sering sudah menjadi masalah pada saat pacaran. Setiap hari Minggu, pasangan menjadi sulit menentukan akan mengikuti kebaktian di tempat ibadah yang mana. Ke vihara atau ke tempat lain. Kadang mereka malah tidak pergi ke mana-mana. Lebih parah lagi, mungkin, mereka memilih satu agama yang sama sekali berbeda dengan agama yang telah mereka anut selama ini. Sikap ini menunjukkan bahwa sering agama hanya dijadikan sekedar pengisi kolom dalam KTP saja, bukan sebagai pedoman hidup yang penting untuk diikuti.
Begitu pula apabila hubungan akan dilanjutkan dalam ikatan perkawinan. Menentukan tempat pemberkahan pernikahan menjadi beban ekstra mereka. Setelah memiliki anak pun masalah ini masih terus berlanjut. Pasangan akan terus terlibat dalam diskusi berkepanjangan dan mungkin perdebatan sengit tentang pembinaan agama bagi keturunan mereka. Bahkan di ambang kematian pun masalah ini akan timbul. Ketika seseorang sedang sakit keras, maka sering dijumpai ada beberapa orang yang terus berusaha mengajak si sakit pindah ke agama tertentu. Hal ini kadang justru membingungkan si sakit dan juga keluarganya. Tidak jarang, setelah meninggal, masalah perbedaan agama ini masih terus mengejar. Keluarga akan terlibat diskusi seru tentang agama yang akan digunakan untuk upacara penyempurnaan jenazah, sekaligus memilih tempat pemakaman ataupun kremasi jenazah. Masalah ini masih dapat ditarik lebih panjang lagi. Namun, intinya: perbedaan agama dalam keluarga akan menambah masalah yang tidak perlu!
b. Kesamaan kemoralan (sila)
Apabila agama telah sama yaitu Agama Buddha, maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan banyak menghindarkan masalah dalam masyarakat dan rumah tangga. Dalam segala lapisan masyarakat, pelanggaran kelima latihan kemoralan ini akan dipandang sebagai kesalahan. Pelaksana kelima latihan kemoralan ini akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah. Membuka wawasan komunikasi yang baik. Menghindarkan saling curiga dan was-was di antara pasangan.
c. Kesamaan kedermawanan (caga)
Memiliki watak kedermawanan yang sama dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita cintai. Selama sikap ini masih belum tertanam baik-baik di pikiran setiap pasangan, masalah sebagai akibat tuntutan agar pasangan dapat memenuhi harapan kita akan selalu muncul.
d. Kesamaan kebijaksanaan (pañña)
Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar bila menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma. Buddha Dhamma telah mengajarkan bahwa hidup ini berisikan ketidakpuasan. Penyebab adanya ketidakpuasan ini hanyalah karena keinginan sendiri yang tidak terkendali. Oleh karena itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginannya maka ketidakpuasannya pun akan dapat segera diatasi. Lalu, akhirnya Dhamma memberikan jalan keluar untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan. Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini, maka tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sesungguhnya, dengan melaksanakan hidup sesuai dengan Dhamma, kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.
KESIMPULAN
1. Perkawinan adalah pilihan pribadi, bukan kewajiban dalam hidup.
2. Terdapat satu 'jurus' dalam Agama Buddha yang dapat digunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan baik setelah menjadi suami-istri.
3. 'Jurus' itu terdiri dari: Kerelaan, Ucapan yang lemah lembut, Perbuatan yang memberikan manfaat untuk orang yang dicintai dan menghindari sifat sombong.
4. Tanamkanlah dalam pikiran: Kebahagiaan orang yang dicintai adalah merupakan kebahagiaan orang yang mencintai.
5. Sebagai tambahan untuk kebahagiaan rumah tangga, pasangan hendaknya memiliki kesamaan agama, kemoralan, kedermawanan dan kebijaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Dhammika, Y.A. Shravasti, Buddha Vacana, Yayasan Penerbit Karaniya, Januari 1993.
2.Vajiranyanavarorasa, Prince, H.R.H. The Late Supreme Patriarch, Navakovada, Alih bahasa: Bhikkhu Jeto, Aksara Buddhis Mandiri, Jakarta, Agustus 1989.
***
Sumber:
Naskah Simposium Mencari Dan Membina Pasangan Hidup, Bhikkhu Uttamo Thera, Wanita Theravada Indonesia-Pemuda Theravada Indonesia, Jakarta, 23 Nopember 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar