Harimau tersebut sudah sangat kelaparan. Dia sudah berkeliling selama berhari-hari bersama anaknya untuk mencari mangsa, tapi tidak seekor makhluk pun yang terlihat. Akhirnya sang harimau berniat untuk memangsa anaknya sendiri agar dapat bertahan hidup. Pada saat itu seorang Bodhisattva melintas ditempat itu. Ia melihat induk harimau tersebut akan memangsa anaknya sendiri. Sang Bodhisattva segera mencegahnya dan memberikan tubuhnya sendiri untuk disantap kedua harimau kelaparan tersebut.
Cerita di atas merupakan salah satu dari sekian banyak kisah Jataka yang berisi tentang perjalanan hidup para Bodhisattva dalam mencapai tingkat kesucian. Setiap makhluk yang ingin mencapai tingkat kesucian harus berjuang melaksanakan Sad Paramita yang terdiri dari: Dana (pemberian derma), Sila (kesempurnaan sopan santun), Ksanti (kesabaran), Virya (semangat), Dhyana (penjernihan pikiran/meditasi), dan Prajna (kebijaksanaan).
Di jaman yang sudah berkembang ini, lingkungan kita sudah berbeda jauh dengan jaman yang dikisahkan dalam cerita Jataka. Namun bukan berarti kita sebagai umat awam tidak bisa melakukan Sad Paramita seperti yang diceritakan dalam kisah Jataka. Hanya saja bentuk perbuatan yang kita lakukan berbeda dengan para Bodhisattva tersebut. Untuk menjalankan Sad Paramita, kita tidak perlu meninggalkan keluarga dan harta kita untuk pergi merantau, kecuali jika ingin menjadi bhiksu/bhiksuni. Kita tidak perlu menyodorkan tubuh ini kepada hewan-hewan yang kelaparan di hutan. Kita dapat melakukan berbagai bentuk pengorbanan positif yang sangat sederhana sekalipun untuk dapat membantu kita mengembangkan jiwa / bibit Bodhisattva yang ada di dalam diri kita.
Saya akan mengisahkan kehidupan seorang gadis kecil yang tinggal di bawah jembatan yang kumuh. Ia tinggal bersama seorang ibu yang sudah tua renta, tidak dapat mencarikan makanan untuk anaknya. Makan enak dan tidur yang nyaman hanyalah impian belaka yang tidak akan pernah didapatkan seumur hidupnya. Bisa makan nasi sehari sekali dan tidur tanpa diganggu petugas keamanan merupakan kebahagiaan baginya. Namun apakah hanya sebatas itu kebahagiaan yang diharapkan gadis cilik itu?
Setiap pagi, setelah membersihkan wajah, gadis kecil itu pergi kepelataran parkir di sebuah kantor dengan membawa sebuah ember dan beberapa kain yang sudah lusuh. Setelah sampai disana, ia menyapa seorang satpam yang menjaga kantor tersebut dan melemparkan senyum manis. Satpam tersebut membalas senyuman dan membiarkannya masuk. Kemudian si gadis segera menghampiri barisan mobil-mobil mewah dan meletakkan embernya. Ia membasahi sepotong kain dan dengan cekatan membersihkan semua badan mobil sampai berkilat. Ia membesihkan mobil-mobil tersebut dengan hati-hati agar tidak membuat goresan. Semua mobil yang ada disana ia bersihkan sampai siang hari.
Kemudian ia lagnsung pulang meletakkan embernya dan pergi ke sebuah rumah kecil untuk mengambil sekeranjang kue. Lalu ia pergi ke sebuah sekolah di sekitar daerah tersebut untuk menjajakan kue-kue yang ia bawa hingga sore hari. Setelah kue-kue itu habis terjual, ia segera kembali ke pelataran parkir yang setiap pagi ia kunjungi. Ia menunggu para pemilik mobil keluar dari kantor dan menyapa mereka dengan senyuman.
Para pemilik mobil sudah tahu bahwa mobil mereka selalu dibersihkan setiap pagi oleh gadis cilik tersebut. Mereka selalu menyiapkan uang seribu rupiah untuk diberikan kepada gadis manis yang sudah membersihkan mobil mereka. Setelah mendapatkan uang, ia segera pergi mengembalikan keranjang kue dan membayar hasil penjualan hari itu. Kemudian pemiliknya memberikan ia lima ribu rupiah. Gadis cilik itu segera pergi ke sebuah rumah makan sederhana untuk membeli tiga bungkus nasi. Dalam perjalanan pulang, ia mapir ke sudut jalan dan memberikan sebungkus nasi kepada seorang pengemis tua yang sudah tidak mampu berdiri. Kemudian ia pulang ke rumah untuk menikmati dua nasi bungkus bersama ibunya.
Pada hari minggu, tidak ada kantor dan sekolah yang buka. Biasanya ia pergi ke sebuah vihara kecil bersama ibunya dengan menggunakan pakaian terbaik yang ia miliki. Mereka mengikuti kebaktian dan mendanakan seluruh sisa uang yang didapatkan oleh gadis kecil itu selama enam hari. Setelah kebaktian selesai dan para umat sudah pulang, si gadis kecil dan ibunya bersama-sama pengurus vihara membersihkan vihara tersebut hingga malam hari dan kemudian kembali ke rumah mereka di bawah jembatan.
Begitulah kehidupan yang dijalani sang gadis kecil berasma ibunya. Tindakan yang ia lakukan memang kelihatan bukan hal yang besar. Uang yang ia danakan tidak seberapa. Pakaian yang ia pakai pun hanya pakaian lusuh yang bersih. Sebungkus nasi yang setiap hari ia berikan kepada pengemis pun bisa kita beli dan kita danakan kepada pengemis. Tapi apakah kita telah melakukannya?
Setiap pagi ia melemparkan senyum kepada orang-orang di kantor tersebut, sehingga mereka yang punya banyak masalah pun bisa terhibur sejenak dengan membalas senyuman gadis kecil itu. Yang yang ia danakan meskipun hanya beberapa ribu tetapi merupakan seluruh uang yang ia miliki. Pakaian lusuh yang ia pakai ke vihara merupakan pakaian tersopan yang ia miliki. Sebungkus nasi yang selalu ia danakan kepada pengemis merupakan hasil keringatnya setiap hari. Meskipun apa yang ia lakukan kelihatan sepele tetapi memberikan hasil yang besar bagi orang lain.
Saat ini kita memiliki LEBIH dari yang gadis kecil itu miliki. Renungkanlah kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan selama ini. Apakah dengan kelebihan yang saat ini kita miliki kita mampu berbuat seperti yang dilakukan gadis itu? Menjadi bodhisattva di jaman sekarang tidak perlu "muluk-muluk". Kita dapat melakukan hal-hal kecil untuk membantu orang lain. Apa yang setiap hari dilakukan gadis cilik itu dapat dikatakan sebagai tindakan Bodhisattva. Ia dapat melewati kehidupan ini dengan selalu berbuat baik yang disertai dengan semangat dan kesabaran yang kuat. Mudah-mudahan mulai detik ini kita mau bertekad untuk mengembangkan jiwa bodhisattva dalam diri kita meskipun dimulai dari hal-hal yang kecil.
Oleh Jimmy Lobianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar