Dua hari
yang lalu, pada saat bulan purnama di bulan Juli, umat Buddha memperingati Hari
Asadha. Kalau pada waktu Waisak Pangeran Siddhattha atau Petapa Siddhattha
mencapai Kebuddhaan dan menjadi Buddha, menemukan Dhamma atau Dharma, dua bulan
kemudian Sang Buddha membabarkan Dhamma yang telah Beliau dapatkan kepada
dunia. Untuk yang pertama kali, kesempatan yang sulit itu memang tidak didengar
oleh banyak orang. Hanya lima orang, yaitu mereka yang dulunya menjadi sahabat
Petapa Siddhattha sewaktu bertapa di Hutan Uruvela.
Sehari setelah bulan purnama di bulan Juli, para bhikkhu mulai menjalani masa vassa selama tiga bulan. Biasanya masa vassa di India berlangsung di tengah musim hujan. Musim hujan itu kalau panjang empat bulan, kalau pendek tiga bulan. Di Indonesia, Juni sampai Agustus itu musim panas, tetapi kali ini rasanya masa vassa itu seperti masa vassa yang sungguh-sungguh karena masih turun hujan, mungkin nanti sampai bulan Agustus masih turun hujan. Musim hujan dimulai bulan September dan sebagaimana tiap-tiap tahun para bhikkhu juga akan memberikan bimbingan atau pelajaran Dhamma selama musim vassa.
Saudara-saudara, rasanya bimbingan Dhamma dalam masa vassa kali ini akan menjadi istimewa, akan menjadi sangat membantu, karena kita penuh dengan kesulitan-kesulitan. Beras menjadi mahal, minyak goreng menjadi mahal, banyak PHK, banyak kerusuhan-kerusuhan. Saya pikir ya kita semua ini bersiap-siap sajalah. Meskipun tidak di medan perang karena negara kita memang tidak dalam keadaan perang, tetapi kita bersiap-siap saja seperti kita menghadapi perang.
Sesungguhnya kita juga diajarkan untuk bersiap-siap. Bersiap-siap karena kematian itu bisa datang setiap saat. Bukan hanya kematian itu datang kalau Saudara sedang sulit, tetapi meskipun dalam keadaan aman, makmur, kematian itu bisa juga datang setiap saat. Dalam beberapa kali kesempatan Sang Buddha mengatakan bahwa kematian datang setiap saat, dan kalau kematian itu sudah datang, maka tidak ada tawar-menawar dengan kematian. “Ah, nanti dululah, umur saya kan masih muda, ya menikah saja belum, kok kematian mau datang. Ini bagaimana?” Tidak mungkin! Kita tidak bisa negosiasi dengan kematian. Kalau kematian itu datang…ya datang.
Tetapi Saudara, kita jangan terlalu takut dengan kematian. Kalau nanti kita terlalu takut dengan kematian, kita akan mengisi pikiran kita dengan kecemasan, kesedihan, dan kekhawatiran. Kita perlu melakukan persiapan karena kematian itu pasti datang, tetapi kita tidak perlu membuat bayangan sendiri: “Jangan-jangan besok saya mati. Jangan-jangan nanti malam saya mati.” Bayangan atau prasangka kita itu tidak akan tepat, kecuali Sang Buddha. Sang Buddha sudah bisa menentukan: tiga bulan kemudian Saya akan meninggal, dan persis tiga bulan, tidak kurang sehari dan tidak lebih sehari, Sang Buddha meninggal.
Saudara-saudara, persiapan apakah yang harus kita lakukan, apalagi dalam keadaan yang sulit seperti ini? Ada dua macam persiapan: persiapan mental atau persiapan pikiran kita dan persiapan fisik.
“Sekarang barang-barang mahal, Bhante, apalagi alat-alat elektronik dan segala macam.” Saudara, pandai seperti apapun kita, punya teori yang sangat jitu, atau mungkin juga kita jadi pejabat, kita tidak bisa mengubah Indonesia ini pulih dalam waktu satu minggu; apalagi dalam waktu dua hari, tiga hari. Sulit! Faktor penyebabnya banyak sekali. Apalagi kita orang kecil, tidak mempunyai teori dan juga tidak mempunyai wewenang. Kita tidak mungkin mengubah keadaan ini jadi beres.
Kalau kita tidak mungkin mengubah keadaan ini menjadi beres, lalu bagaimana? Karena kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengubah keadaan ini menjadi segera beres sekarang, ya tidak ada pilihan lain, kita harus menyesuaikan diri kita. Apa yang saya maksud dengan menyesuaikan? Kalau memang barang-barang itu mahal, ya kita harus mengubah sikap. Kita harus hemat. Kita harus hati-hati melakukan pengeluaran. Hati-hati menggunakan telepon, misalnya. Menghemat listrik. Makan sederhana. Karena kita tidak bisa mengubah keadaan, maka kita yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Kalau kita tidak mau menyesuaikan dengan keadaan, ya kita akan bertambah sengsara.
Memang sulit, sulit sekali. Kalau kita biasa menggoreng dengan minyak Bimoli yang enak itu ya sekarang pakai minyak kelapa bekas. Sudah tiga puluh tahun lupa dengan minyak itu, sekarang balik lagi, ya sudah. Kita harus menyesuaikan diri. Justru kekuatan manusia itu adalah mampu beradaptasi. Bagaimana bisa mampu beradaptasi?
Manusia bisa mampu beradaptasi itu karena, dan akan cepat beradaptasi, kalau dia mengerti anicca—ketidakkekalan. Kalau dia tidak mau menerima perubahan, kalau dia mengingkari ketidakkekalan, dia akan sulit sekali melakukan penyesuaian.
Seorang guru besar sosiologi memberitahukan kepada saya, “Apakah kekuatan manusia yang paling besar, bhikkhu, yang tidak dipunyai oleh binatang? Kekuatan manusia yang paling besar itu adalah manusia bisa beradaptasi, binatang tidak bisa. Dan manusia yang bisa beradaptasi itu, menyesuaikan diri, fisik dan mental.”
Coba sekarang Saudara membawa binatang dari Kanada, sebelah utara Amerika yang dingin, dan Saudara pelihara di sini. Ia pasti akan mati. Tetapi manusia bisa beradaptasi, dari sini pindah ke Amerika, pindah ke Kanada, orang daerah dingin pindah ke Indonesia yang panas, bisa! Meskipun sulit, bisa! Fisik manusia bisa beradaptasi, binatang sulit! Ada yang bisa, tetapi tidak semua.
Mental kita juga bisa beradaptasi. Saya mendengar cerita zaman Belanda keadaannya begini-begini, zaman Jepang keadaannya begini-begini, tapi rakyat bisa beradaptasi. Itulah kekuatan manusia yang terbesar. Beradaptasi itu istilah gampangnya: menyesuaikan diri. Sudah tentu kita mempunyai pedoman-pedoman di dalam perbuatan kita. Bukan menyesuaikan diri melakukan kejahatan, melakukan hal-hal yang tercela.
Nah, Saudara-saudara, kalau kita tidak bisa mengubah lingkungan kita, tidak bisa mengubah negara ini sesegera mungkin, kita harus menyesuaikan diri dan kita tidak usah ikut berteori bagaimana krisis moneter ini kok menjadi krisis kepercayaan. Bagaimana arahnya reformasi ini, sudahlah biar saja, itu urusannya satrio-satrio yang di Jakarta sana. Wong cilik ini tidak usah berpikir begitu. Kita melakukan apa yang kita mampu untuk bisa bertahan dan membantu sekeliling kita. Nanti kalau kita ikut-ikutan, wong cilik ini bukan saja teorinya tidak cocok, nanti menyebutkannya saja sulit. “Bhante, katanya sekarang ini anu, lagi krisis monitor.” Maksudnya moneter, yang diucapkan jadi monitor. Katanya, “Anu, Bhante ini orde baru sudah tidak laku. Sekarang ini katanya zaman informasi.” Oh iya ya, zaman informasi. Maksudnya itu reformasi, tapi keliru menyebutkan informasi. Ya, ya, jadi kita tidak usahlah ikut-ikutan. Kita bukan Emil Salim, kita bukan Kwik Kian Gie. Kalau kita hanya ikut baca ya tidak apa-apa, tetapi kalau kita ikut membuat teori, ya nanti tidak cocok, nanti menyebutkan istilah yang aneh-aneh itu saja kita keliru.
Korupsi, kolusi, nepotisme. Saudara-saudara, bahkan kalau yang tidak mengerti seperti pada waktu perayaan Asadha di Mendut kita bisa berpikir korupsi, kolusi, itu hanya orang-orang gede saja. Kita sendiri, rakyat kecil tidak. Apa betul kita sendiri tidak korupsi, kolusi, nepotisme? Ambil untung sedikit-sedikit itu ya korupsi. Itu korupsinya orang desa. Nanti kalau ada Panitia Waisak, peresmian wihara, yang penting kerabatnya dulu, anak familinya maju dulu. Tidak peduli bisa kerja atau tidak, pokoknya kerabatnya dibawa dulu, itu nepotisme juga.
Sehari setelah bulan purnama di bulan Juli, para bhikkhu mulai menjalani masa vassa selama tiga bulan. Biasanya masa vassa di India berlangsung di tengah musim hujan. Musim hujan itu kalau panjang empat bulan, kalau pendek tiga bulan. Di Indonesia, Juni sampai Agustus itu musim panas, tetapi kali ini rasanya masa vassa itu seperti masa vassa yang sungguh-sungguh karena masih turun hujan, mungkin nanti sampai bulan Agustus masih turun hujan. Musim hujan dimulai bulan September dan sebagaimana tiap-tiap tahun para bhikkhu juga akan memberikan bimbingan atau pelajaran Dhamma selama musim vassa.
Saudara-saudara, rasanya bimbingan Dhamma dalam masa vassa kali ini akan menjadi istimewa, akan menjadi sangat membantu, karena kita penuh dengan kesulitan-kesulitan. Beras menjadi mahal, minyak goreng menjadi mahal, banyak PHK, banyak kerusuhan-kerusuhan. Saya pikir ya kita semua ini bersiap-siap sajalah. Meskipun tidak di medan perang karena negara kita memang tidak dalam keadaan perang, tetapi kita bersiap-siap saja seperti kita menghadapi perang.
Sesungguhnya kita juga diajarkan untuk bersiap-siap. Bersiap-siap karena kematian itu bisa datang setiap saat. Bukan hanya kematian itu datang kalau Saudara sedang sulit, tetapi meskipun dalam keadaan aman, makmur, kematian itu bisa juga datang setiap saat. Dalam beberapa kali kesempatan Sang Buddha mengatakan bahwa kematian datang setiap saat, dan kalau kematian itu sudah datang, maka tidak ada tawar-menawar dengan kematian. “Ah, nanti dululah, umur saya kan masih muda, ya menikah saja belum, kok kematian mau datang. Ini bagaimana?” Tidak mungkin! Kita tidak bisa negosiasi dengan kematian. Kalau kematian itu datang…ya datang.
Tetapi Saudara, kita jangan terlalu takut dengan kematian. Kalau nanti kita terlalu takut dengan kematian, kita akan mengisi pikiran kita dengan kecemasan, kesedihan, dan kekhawatiran. Kita perlu melakukan persiapan karena kematian itu pasti datang, tetapi kita tidak perlu membuat bayangan sendiri: “Jangan-jangan besok saya mati. Jangan-jangan nanti malam saya mati.” Bayangan atau prasangka kita itu tidak akan tepat, kecuali Sang Buddha. Sang Buddha sudah bisa menentukan: tiga bulan kemudian Saya akan meninggal, dan persis tiga bulan, tidak kurang sehari dan tidak lebih sehari, Sang Buddha meninggal.
Saudara-saudara, persiapan apakah yang harus kita lakukan, apalagi dalam keadaan yang sulit seperti ini? Ada dua macam persiapan: persiapan mental atau persiapan pikiran kita dan persiapan fisik.
“Sekarang barang-barang mahal, Bhante, apalagi alat-alat elektronik dan segala macam.” Saudara, pandai seperti apapun kita, punya teori yang sangat jitu, atau mungkin juga kita jadi pejabat, kita tidak bisa mengubah Indonesia ini pulih dalam waktu satu minggu; apalagi dalam waktu dua hari, tiga hari. Sulit! Faktor penyebabnya banyak sekali. Apalagi kita orang kecil, tidak mempunyai teori dan juga tidak mempunyai wewenang. Kita tidak mungkin mengubah keadaan ini jadi beres.
Kalau kita tidak mungkin mengubah keadaan ini menjadi beres, lalu bagaimana? Karena kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengubah keadaan ini menjadi segera beres sekarang, ya tidak ada pilihan lain, kita harus menyesuaikan diri kita. Apa yang saya maksud dengan menyesuaikan? Kalau memang barang-barang itu mahal, ya kita harus mengubah sikap. Kita harus hemat. Kita harus hati-hati melakukan pengeluaran. Hati-hati menggunakan telepon, misalnya. Menghemat listrik. Makan sederhana. Karena kita tidak bisa mengubah keadaan, maka kita yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Kalau kita tidak mau menyesuaikan dengan keadaan, ya kita akan bertambah sengsara.
Memang sulit, sulit sekali. Kalau kita biasa menggoreng dengan minyak Bimoli yang enak itu ya sekarang pakai minyak kelapa bekas. Sudah tiga puluh tahun lupa dengan minyak itu, sekarang balik lagi, ya sudah. Kita harus menyesuaikan diri. Justru kekuatan manusia itu adalah mampu beradaptasi. Bagaimana bisa mampu beradaptasi?
Manusia bisa mampu beradaptasi itu karena, dan akan cepat beradaptasi, kalau dia mengerti anicca—ketidakkekalan. Kalau dia tidak mau menerima perubahan, kalau dia mengingkari ketidakkekalan, dia akan sulit sekali melakukan penyesuaian.
Seorang guru besar sosiologi memberitahukan kepada saya, “Apakah kekuatan manusia yang paling besar, bhikkhu, yang tidak dipunyai oleh binatang? Kekuatan manusia yang paling besar itu adalah manusia bisa beradaptasi, binatang tidak bisa. Dan manusia yang bisa beradaptasi itu, menyesuaikan diri, fisik dan mental.”
Coba sekarang Saudara membawa binatang dari Kanada, sebelah utara Amerika yang dingin, dan Saudara pelihara di sini. Ia pasti akan mati. Tetapi manusia bisa beradaptasi, dari sini pindah ke Amerika, pindah ke Kanada, orang daerah dingin pindah ke Indonesia yang panas, bisa! Meskipun sulit, bisa! Fisik manusia bisa beradaptasi, binatang sulit! Ada yang bisa, tetapi tidak semua.
Mental kita juga bisa beradaptasi. Saya mendengar cerita zaman Belanda keadaannya begini-begini, zaman Jepang keadaannya begini-begini, tapi rakyat bisa beradaptasi. Itulah kekuatan manusia yang terbesar. Beradaptasi itu istilah gampangnya: menyesuaikan diri. Sudah tentu kita mempunyai pedoman-pedoman di dalam perbuatan kita. Bukan menyesuaikan diri melakukan kejahatan, melakukan hal-hal yang tercela.
Nah, Saudara-saudara, kalau kita tidak bisa mengubah lingkungan kita, tidak bisa mengubah negara ini sesegera mungkin, kita harus menyesuaikan diri dan kita tidak usah ikut berteori bagaimana krisis moneter ini kok menjadi krisis kepercayaan. Bagaimana arahnya reformasi ini, sudahlah biar saja, itu urusannya satrio-satrio yang di Jakarta sana. Wong cilik ini tidak usah berpikir begitu. Kita melakukan apa yang kita mampu untuk bisa bertahan dan membantu sekeliling kita. Nanti kalau kita ikut-ikutan, wong cilik ini bukan saja teorinya tidak cocok, nanti menyebutkannya saja sulit. “Bhante, katanya sekarang ini anu, lagi krisis monitor.” Maksudnya moneter, yang diucapkan jadi monitor. Katanya, “Anu, Bhante ini orde baru sudah tidak laku. Sekarang ini katanya zaman informasi.” Oh iya ya, zaman informasi. Maksudnya itu reformasi, tapi keliru menyebutkan informasi. Ya, ya, jadi kita tidak usahlah ikut-ikutan. Kita bukan Emil Salim, kita bukan Kwik Kian Gie. Kalau kita hanya ikut baca ya tidak apa-apa, tetapi kalau kita ikut membuat teori, ya nanti tidak cocok, nanti menyebutkan istilah yang aneh-aneh itu saja kita keliru.
Korupsi, kolusi, nepotisme. Saudara-saudara, bahkan kalau yang tidak mengerti seperti pada waktu perayaan Asadha di Mendut kita bisa berpikir korupsi, kolusi, itu hanya orang-orang gede saja. Kita sendiri, rakyat kecil tidak. Apa betul kita sendiri tidak korupsi, kolusi, nepotisme? Ambil untung sedikit-sedikit itu ya korupsi. Itu korupsinya orang desa. Nanti kalau ada Panitia Waisak, peresmian wihara, yang penting kerabatnya dulu, anak familinya maju dulu. Tidak peduli bisa kerja atau tidak, pokoknya kerabatnya dibawa dulu, itu nepotisme juga.
Saudara-saudara,
saya ingin menggunakan kesempatan ini dengan memberikan pegangan kepada
Saudara-saudara. Apa yang harus kita miliki dalam keadaan yang tidak menentu
seperti sekarang ini? Apakah pegangan yang dipunyai oleh, dan harus dipunyai
oleh setiap umat Buddha dalam menghadapi bermacam-macam masalah yang tidak
menentu, yang menimbulkan ketakutan, was-was, gelisah, khawatir, dan
sebagainya? Tidak lain adalah Triratna. Tidak ada pilihan lain, yaitu Buddha,
Dhamma, dan Sangha.
Setiap umat Buddha melakukan sembahyang, berupacara. Pada waktu kita akan memulai Dhamma Class, ini kita juga melakukan pembukaan singkat sekali. Semuanya tidak lain ditujukan kepada Triratna—Buddha-Dhamma-Sangha. Setiap umat Buddha juga hafal dengan Buddham, Dhammam, dan Sangham saranam gacchami (Aku berlindung kepada Buddha-Dhamma-Sangha). Kalimat itu jelas sekali. Aku berlindung kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Sebagai pelindung fisik, kita punya polisi, tentara, benteng, gembok, kunci, terali dan lain-lain. Namun, sebagai pelindung mental, kita memiliki Buddha, Dhamma, dan Sangha. Mengapa Buddha-Dhamma-Sangha itu dijadikan Pelindung? Mengapa kok tidak sesama manusia saja? Saudara, itu adalah karena Buddha-Dhamma-Sangha sudah bersih dari keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Dewa-dewa atau orang lain bisa melindungi kita. Mungkin saja dia melindungi dengan tulus, tetapi mungkin juga dia bisa melindungi dengan pamrih, minta balasan. Paling tidak ya dia mengharapkan ucapan terima kasih, pujian. Kalau dia tidak mendapatkan itu dia bisa kecewa karena dia sudah berkorban melindungi yang harus dilindungi.
Karena mereka masih mempunyai keserakahan, meskipun mungkin tidak besar, mereka juga mungkin masih mempunyai kebencian, masih mempunyai pandangan-pandangan yang salah. Tetapi Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak lagi mempunyai keserakahan, kebencian, ataupun pandangan yang salah. Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak membutuhkan imbalan apapun dari kita, pujian pun juga tidak, apalagi imbalan-imbalan yang kasar, seperti sesaji atau persembahan-persembahan. Tidak sama sekali. Saudara-saudara, sekarang yang menjadi persoalan adalah kalau kita sudah menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, apakah kita juga sudah bebas dari penderitaan? Nyatanya banyak umat Buddha yang berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha masih belum bebas dari penderitaan.
Benar, Saudara, kalau Saudara menyatakan berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, secara mental Saudara mempunyai pelindung. Paling tidak, pikiran kita tidak dikuasai terus-menerus oleh kekhawatiran, was-was, gelisah, jengkel, benci, dan sebagainya, karena kita mengalihkan pikiran kita kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Pada saat kita memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, kebencian, kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan itu dilupakan sementara. Itulah artinya perlindungan mental. Mungkin di agama lain ada yang mengingat Maria, ada yang mengingat Yesus, ada yang mengingat Gusti Allah, ya silahkan. Bagi umat Buddha yang diingat adalah Buddha-Dhamma-Sangha. Alasannya Buddha-Dhamma-Sangha ini tidak akan meminta imbalan, bersih dari keserakahan, kebencian, pandangan salah dan sebagainya.
Mental kita pun menjadi memiliki tameng yang mulia sehingga mental kita tidak hanya dikuasai oleh kemarahan, ketidakmauan menerima kenyataan, kebencian dan sebagainya. Makin sering kita memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, Aku berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, Aku berlindung pada Sangha, kemarahan dan kejengkelan itu akan berkurang. “Tetapi penderitaan kan belum selesai, Bhante.” Ya, penderitaan belum selesai. Oleh karena itu, Saudara, kita harus meningkatkan sikap berlindung kita itu. Tidak hanya sekadar: Aku berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, Aku berlindung pada Sangha. Kita harus meningkatkan lebih tinggi lagi. Bagaimana caranya?
Caranya adalah belajar Dhamma. Apa yang diberikan Triratna kepada kita? Buddha adalah bagaikan Penemu obat, Dhamma itulah obat, dan Sangha itu adalah seperti orang yang sudah mencoba obat itu serta sudah sembuh dan kemudian menjadi perawat untuk membantu kita-kita yang masih belum sembuh.
Yang pertama mungkin saya menabung kedamaian, karena kalau saya sakit, saya sudah kenal dokter spesialis. Dokternya itu Sang Triratna. Tentu itu tidak cukup! Tidak cukup hanya kenal dokter spesialis lalu damai dan tenang. Memang itu perlu dan lebih baik daripada tidak mengenal dokter sama sekali. Nanti kalau betul-betul sakit, bisa kebingungan. Tetapi tidak cukup begitu. Kita suatu ketika harus mengecek, memeriksa kesehatan kita. “Dok, darah saya bagaimana? Dok, kolesterol saya bagaimana?” Dan suatu ketika kita pasti sakit, tidak mungkin tidak.
Kemudian, kita harus datang kepada dokter itu, mendengarkan nasihatnya, dan dokter kemudian memberikan nasihat, memberikan obat. Kita harus menurut. Kalau kita hanya puas: wah saya sudah aman, saya kenal dokter spesialis itu, spesialis ginjal, spesialis penyakit dalam, spesialis hidung, telinga, tenggorokan, spesialis paru-paru, dan sebagainya, maka itu belum ada manfaatnya. Nah sekarang kita meningkatkannya sehingga tidak hanya kenal, tetapi datang bertanya, “Umur saya ini sudah kepala lima, Dokter, apa yang harus saya perhatikan? Apa yang harus saya lakukan, dan apa yang harus saya hindari?” Dokter akan memberikan nasehat. Kita harus mendengar, memahaminya, dan kemudian berusaha untuk menepati. Itulah berlindung pada Triratna. Tingkat yang selanjutnya, mengerti apa yang diberikan Triratna.
Perasaan Saudara yang tidak senang adalah penderitaan dan perasaan Saudara yang senang itulah bahagia. Nah, perasaan senang atau tidak senang itu kedua-duanya berbahaya. Meskipun perasaan itu didapat dari berbuat baik, yang halal, yang dibenarkan oleh agama, itu juga berbahaya. Karena perasaan senang hasil dari berbuat baik itu tidak kekal. Dan kalau tidak disadari nantinya malah akan membuat kita kecewa. Kecewa itu adalah penderitaan yang baru, buntutnya jengkel, marah. Nah, oleh karena itu, sadarlah!
Merasa tidak senang, ya disadari. Merasa senang, ya disadari. “Kalau kita tidak senang bagaimana, Bhante?” Ya tidak usah kebakaran jenggot. Selagi tidak senang, ya sudah, kan akan hilang sendiri. Tidak usah cari selingan pergi ke tempat yang tidak benar, tidak usah pergi ke tempat yang remang-remang, minum-minum, tidak usah. Sadari saja. Nanti akan hilang sendiri.
Demikian juga kalau lagi puas, lagi gembira. Meskipun itu tidak dari kejahatan, dari kebaikan “Wah lagi senang, lagi bahagia.” Sewaktu selesai meditasi, rasanya bahagia, harus disadari. Bahagianya orang meditasi itu juga tidak kekal. Jangan kaget nanti kalau hilang. Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan tujuan kita yang tertinggi itu bukan mencari bahagia. Memang kita tidak ingin menderita, ya lumrah. Orang tidak ingin menderita, ingin bahagia. Ya. Tapi bahagia itu tidak abadi. Bahagia itu hanya sepintas dan sebentar sehingga akan mengecewakan kita pada akhirnya. Maka yang tertinggi itu bukan mencari kebahagiaan, tetapi mencari KEBEBASAN. Kebebasan ini bukan berarti bebas mau bertindak apapun seenaknya saja. Kebebasan di sini berarti bebas dari perangkap, tidak terperangkap oleh kebencian, tidak terperangkap oleh kebahagiaan.
Kebencian itu bagaikan pancing, Saudara. Kita tidak terpancing bagaimana? Marah. Kalau menghadapi yang tidak disenangi maka menjadi marah dan jengkel. Kalau sudah jengkel, muncul ucapan dan perbuatan yang tidak bisa dikendalikan. Timbullah kejahatan. Itulah pancingan rasa tidak senang. Rasa senang juga sebetulnya pancingan. Pancingannya rasa senang itu apa? Serakah, ingin lagi, ingin lagi, ingin lagi. “Wah, kalau bisa seperti begini terus,” itu pancingan kesenangan.
Pancingan yang tidak menyenangkan: kemarahan, kejengkelan, kebencian. Pancingan yang menyenangkan: keserakahan. Kedua berbahaya. Nah, Saudara-saudara sekalian, oleh karena itu marilah kita mengasah menggunakan kesadaran. Memang susah sekali, sangat susah. Tetapi kita harus latihan meditasi, belajar Dhamma. Pendeknya apa saja yang kontak pada pikiran, perasaan; harus diketahui ataupun disadari dengan dilandasi pengertian ‘ini tidak kekal’, ‘ini tidak abadi’, ‘ini hanya sebentar’.
Selesai mendengarkan khotbah, “Wah saya mengerti, senang saya rasanya.” Harus disadari bahwa rasa senang itu juga tidak kekal meskipun senang itu yang timbul dari mendengarkan khotbah. Itu juga tidak kekal, sebentar saja, nanti akan timbul masalah lain dan hilang sudah senangnya.
Memelihara dan menjaga kesadaran, meskipun tidak bisa setiap detik, itu sangat perlu dilatih sejak dari kita bangun pagi sampai nanti tidur kembali. Sebanyak-banyaknya kita menggunakan kesadaran, kita akan menyadari apa saja yang muncul pada pikiran, perasaan kita. Itulah arti berlindung pada Buddha-Dhamma-Sangha yang tertinggi.
Jadi tidak nyebut-nyebut nama Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Yang kita kerjakan adalah mengawasi pikiran dan perasaan sebanyak mungkin supaya kita tidak terpancing. Karena kalau terpancing yang tidak menyenangkan maka akan timbul marah, panas; sedangkan kalau terpancing yang menyenangkan maka akan timbul serakah, panas juga, sama saja.
Nah, kalau kita bisa menyadari dengan pengertian ketidakkekalan, kita akan bebas meskipun kita belum mencapai kesucian. Detik-detik itu kita menjadi manusia bebas. Meskipun cuma satu detik, itu berharga sekali. Satu saat saya merasa sedih, tapi begitu ingat kesadaran, saya sadari, “Oh perasaan saya sedih, ini tidak kekal.” Begitu saya menyadari, saya menjadi orang bebas; merasakan kebebasan meskipun sesaat. Jengkel saya rasanya, kok tidak enak, wah buru-buru disadari, “Oh ini perasaan tidak senang sedang muncul, tetapi ini juga tidak kekal, nanti juga lenyap.” Pada saat kita menyadari itu, kita merasa ringan, enteng, dan bebas. Detik itu pula kita bebas dari kemarahan dan kebencian. Nah, suatu ketika kita makan enak, atau angin sepoi-sepoi menyejukkan, “Waduh kalau begini kok rasanya enak.” Eh, hati-hati! Sadarilah bahwa rasa enak tersebut juga tidak kekal. Maka pada saat itu kita bebas dari keserakahan. Detik itu kita adalah orang yang bebas.
Nah, kalau Saudara bisa mempertahankan detik-detik ini terus, itulah sesungguhnya dikatakan Nibbana atau Nirvana. Kebebasan. Memang sukar. Meskipun kita tidak bisa menikmati Nibbana dalam waktu yang agak lama, ya tidak apa, minimal dalam saat-saat tertentu. Di saat-saat tertentu kita mencicipi apa yang dikatakan Sang Buddha sebagai Nibbana. Kebebasan itu seperti yang saya jelaskan tadi. Itulah KEBEBASAN, tujuan umat Buddha yang tertinggi dan itulah arti berlindung pada Triratna yang sesungguhnya, bukan kita pakai tasbih, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Menyebut Buddha-Dhamma-Sangha itu memang baik, tapi itu perlindungan kelas nol. Kelas nol memang baik, daripada tidak sekolah. Daripada memikirkan kejahatan, kegelisahan, pemerkosaan, kekhawatiran, kan lebih baik membawa tasbih, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Pelindung saya Buddha-Dhamma-Sangha. Perasaan kita tentram, tetapi kita belum bebas dari penderitaan. Lebih lanjut, belajar Dhamma, kurangi kejahatan, hindari kejahatan, perbuat kebaikan sebanyak mungkin karena ingat Hukum Kamma. Itulah berlindung yang lebih baik. Meskipun demikian, penderitaan masih belum selesai karena untuk menyelesaikan penderitaan itu bukan hanya dengan berbuat baik. Meskipun Anda berbuat baik setinggi langit, penderitaan tidak akan terhapus. Hapusnya penderitaan itu adalah bagian dari kesadaran, supaya tidak terpancing oleh perasaan yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Dengan kesadaran itulah penderitaan akan terhapuskan dan kita memperoleh Kebebasan. Itulah arti berlindung pada Triratna yang sesungguhnya.
Dalam keadaan krisis seperti ini, cobalah kita meningkatkan latihan spiritual kita. “Wah, nanti tahu-tahu saya ikut jadi korban mati. Bagaimana Bhante?” Bukankah kita sudah punya bekal. Bekalnya berlindung pada Triratna dengan cara yang benar. Tahap permulaan, tahap pertengahan, dan mengembangkan kesadaran. Tidak usah khawatir. Kita mulai saja mulai saat ini. Selain itu kalau memang kita masih belum mati, mungkin matinya nanti di umur 70 atau 80, kan kita sudah beruntung karena sekarang kita sudah mengerti bagaimana cara berlindung yang benar; selain menghindari kejahatan, menambah kebaikan, mempertajam kesadaran dan kewaspadaan untuk merasakan, mencicipi kebebasan dari hawa nafsu, dari kebencian, dari keserakahan, dan sebagainya.
Itulah yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Jadi kalau umat Buddha berdoa, bagaimana caranya? Caranya ya menyadari itu tadi. Meskipun di dalam kamar kecil atau di mana saja, waktu mandi, waktu makan, rasa senang yang muncul itu disadari, rasa yang tidak senang muncul juga disadari. Ini akan membuat kita tenang, seimbang. Kalau senang muncul juga tidak menggebu-gebu, kalau senang tidak muncul juga tidak sedih yang luar biasa. “Jadi bagaimana, Bhante, kalau nonton bioskop, nonton TV?” Boleh, Saudara. “Nonton bola bagaimana?” Boleh. “Jagonya kalah, sedih, bagaimana, Bhante?” Ya disadari. Sadari perasaan tidak senang itu. “Jagonya menang bagaimana?” Itu juga disadari. Senang… senang… tidak abadi, tidak kekal. Itulah caranya kita membebaskan diri kita.
Demikian juga kenangan masa lalu yang pahit-pahit, yang sangat pahit. Kadang-kadang kenangan/ingatan itu muncul. “Wah, kita sedih sekali kalau teringat hal itu. Sedih sekali, Bhante” Nah, sadari itu. Ini hanya ingatan, ulahnya pikiran. Saya merasa sedih, rasa sedih ini tidak kekal, tidak kekal. Maka akan mudah sekali kita membebaskan dari nostalgia-nostalgia yang nakal-nakal itu. Kita tidak menjadi orang yang dikuasai oleh ingatan-ingatan dan kesan-kesan yang tidak baik. Demikianlah, Saudara, cara membebaskan pikiran kita dari gangguan-gangguan, dari problem-problem dan persoalan-persoalan.
Malam itu Pangeran Siddharta merasa gelisah. Berbagai fenomena penderitaan yang baru disaksikan di balik tembok istana mengusik nuraninya dan membuat hatinya terguncang.
Ia bergulat dengan pikirannya, “Mengapa penderitaan itu harus terjadi”. Muara kehidupan haruslah kebahagiaan, bukan penderitaan. Kebahagiaan akan terwujud manakala tak ada lagi ketakutan akan usia tua, sakit, kematian. Tak ada lagi air mata, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan.
Akhirnya Pangeran Siddharta mengambil keputusan radikal. Kalau banyak orang menjadi pemimpin dengan mencari istana, Pangeran Siddharta justru meninggalkan istana. Kalau orang berjuang keras untuk menjadi kaya, Pangeran Siddharta dengan penuh kesadaran meninggalkan gemerlap kehidupan istana untuk hidup sederhana, sebagaimana layaknya rakyat biasa.
Ia rela melepas gelar kebangsawanan, kemewahan, kenikmatan hidup dunia, bahkan keluarga yang dicintainya. Pelepasan agung ini tak pernah bisa dicari analoginya dalam kenyataan sekuler.
Berpuluh tahun lalu, para pejuang kemerdekaan dengan tekad bulat, mengusir penjajah yang menjarah kekayaan alam dan mencabik-cabik harga dirinya dan saudara sebangsa. Mereka mengorbankan segalanya; harta, kehormatan, bahkan nyawa. Mereka adalah pahlawan.
Kekuatan ketulusan
Komitmen dan sikap Pangeran Siddharta serta para pahlawan pejuang untuk mengatasi penderitaan dan memerdekakan manusia adalah wujud semangat solidaritas, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial. Mereka disatukan oleh kesederajatan, senasib, sepenanggungan sebagai makhluk yang sama-sama tercecer dan tersingkir ke pinggir-pinggir kehidupan.
Di atas semua itu, tak ada misi sedikitpun yang terselip dalam benak Pangeran Siddharta untuk mendirikan agama; pun tak ada secuil kepentingan untuk mencari pengikut. Pengorbanan dan perjuangan tanpa pamrih Sang Pangeran dan para pahlawan pejuang untuk mencari jalan pembebasan itu yang terus menggugah kita. Mereka dikenang karena ketulusan hatinya. Mereka akan tetap hidup dalam semangat luhur untuk menolong sesama; peduli pada pergumulan kehidupan.
Kekuatan ketulusan membuat para pejuang kehidupan tak pernah menyesali setiap pengorbanan yang telah dilakukan. Mereka meyakini apa yang dilakukan; bahwa melakukan kebajikan akan berbuah kebahagiaan. Sementara orang yang tidak tulus akan lebih banyak gelisah dan khawatir, bahkan tak jarang kecewa dan menyesal manakala mendapati kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Dalam Anggutara Nikaya V, 2 Buddha Gotama menyatakan, “Seseorang yang sungguh-sungguh (tulus) dalam kebajikan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku terbebas dari penyesalan; karena seseorang yang bajik dengan sendirinya akan terbebas dari penyesalan. Dan bagi seseorang yang terbebas dari penyesalan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku berbahagia; karena orang yang terbebas dari penyesalan dengan sendirinya akan berbahagia”.
Tanpa pemilik kebajikan
Menurut Buddha Gotama, kita harus menghancurkan egoisme pribadi untuk menghentikan penderitaan secara total. Namun, sikap tanpa keakuan itu tidak dapat dimiliki hanya karena mengerti, keakuan adalah ilusi. Keakuan juga tidak akan lenyap karena telah memahami, keakuan menjadi sumber penderitaan.
Pengertian “tanpa aku” dan “tanpa diri” hanya kunci untuk membuka pintu kebenaran dan kebebasan, tetapi kebenaran tidak terletak pada kunci.
Pengertian bahwa keakuan hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiran sendiri dan bermuara pada kehancuran pribadi maupun masyarakat merupakan pengertian yang harus menjadi wawasan kita. Namun, pengertian “tanpa aku” itu harus terwujud dalam setiap perilaku kita.
Perilaku bajik yang dilakukan dengan penuh kesadaran (sati) itulah ketulusan sebenarnya. Kesadaran penuh tidak memberi peluang pada hadirnya pemikiran keakuan, baik keakuan sebagai pribadi yang telah berbuat baik, apalagi keakuan yang amat kasar, seperti kehausan akan pahala, keuntungan materi maupun ketenaran.
Kedamaian sejati akan tumbuh manakala kita mempraktikkan ketulusan altruistik yang sadar dilakukan dalam setiap tindakan. Ini berarti “aku” yang melakukan perjuangan dan pengorbanan tidak teridentifikasi. Tidak ada “aku” utuh yang melakukan perjuangan dan pengorbanan karena tidak ada “aku” yang berdiri sendiri tanpa ada kondisi-kondisi lain.
Betapa berharganya kesadaran akan hal ini karena gagasan “milikku, perjuanganku, pengorbananku”, lagi-lagi hanya akan menyuburkan ketamakan dan penderitaan mental yang tak berkesudahan. Gagasan tentang “aku” hanya akan membunuh perkembangan spiritual kita.
Pikiran sulit dikendalikan
Secara alamiah, pikiran yang tidak terlatih akan amat sulit dikendalikan. Pikiran itu merayu orang untuk menjadikannya sebagai makhluk yang diperbudak indera. Pikiran yang tidak terlatih itu menggoda manusia yang telah melakukan kebaikan menjadi sombong dan memamerkan kebaikannya, keilmuannya, hartanya, kedudukannya, pengalamannya, kekuatannya, dan aneka topeng duniawi lainnya yang dianggap dapat mengangkat citra dan pujian kepada dirinya. Demikianlah, khayalan dan emosi selalu menyesatkan manusia jika pikirannya tak pernah dilatih dengan benar.
Jadi, perbuatan baik saja tak cukup untuk mencapai kebebasan. Kebahagiaan tertinggi tak dapat dicapai tanpa memurnikan pikiran. Buddha Gotama mengajarkan, meditasi adalah pendekatan psikologis yang dapat dilakukan untuk melatih, mengembangkan, dan memurnikan pikiran.
Bangsa ini sudah terlalu lama jauh dari ketulusan; ketulusan yang membebaskan kita dari keserakahan, kebencian, dan berbagai ilusi yang selalu membakar mental.
Mari kita, mulai dari diri sendiri, melangkah kembali di jalan ketulusan. Berbuat baik dengan ketulusan hati, menganut agama dengan ketulusan beriman, memangku jabatan dengan ketulusan menunaikan kewajiban, memimpin dengan ketulusan mengabdi.
Selamat Trisuci Waisak 2551. Semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan.
Setiap umat Buddha melakukan sembahyang, berupacara. Pada waktu kita akan memulai Dhamma Class, ini kita juga melakukan pembukaan singkat sekali. Semuanya tidak lain ditujukan kepada Triratna—Buddha-Dhamma-Sangha. Setiap umat Buddha juga hafal dengan Buddham, Dhammam, dan Sangham saranam gacchami (Aku berlindung kepada Buddha-Dhamma-Sangha). Kalimat itu jelas sekali. Aku berlindung kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Sebagai pelindung fisik, kita punya polisi, tentara, benteng, gembok, kunci, terali dan lain-lain. Namun, sebagai pelindung mental, kita memiliki Buddha, Dhamma, dan Sangha. Mengapa Buddha-Dhamma-Sangha itu dijadikan Pelindung? Mengapa kok tidak sesama manusia saja? Saudara, itu adalah karena Buddha-Dhamma-Sangha sudah bersih dari keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Dewa-dewa atau orang lain bisa melindungi kita. Mungkin saja dia melindungi dengan tulus, tetapi mungkin juga dia bisa melindungi dengan pamrih, minta balasan. Paling tidak ya dia mengharapkan ucapan terima kasih, pujian. Kalau dia tidak mendapatkan itu dia bisa kecewa karena dia sudah berkorban melindungi yang harus dilindungi.
Karena mereka masih mempunyai keserakahan, meskipun mungkin tidak besar, mereka juga mungkin masih mempunyai kebencian, masih mempunyai pandangan-pandangan yang salah. Tetapi Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak lagi mempunyai keserakahan, kebencian, ataupun pandangan yang salah. Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak membutuhkan imbalan apapun dari kita, pujian pun juga tidak, apalagi imbalan-imbalan yang kasar, seperti sesaji atau persembahan-persembahan. Tidak sama sekali. Saudara-saudara, sekarang yang menjadi persoalan adalah kalau kita sudah menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, apakah kita juga sudah bebas dari penderitaan? Nyatanya banyak umat Buddha yang berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha masih belum bebas dari penderitaan.
Benar, Saudara, kalau Saudara menyatakan berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, secara mental Saudara mempunyai pelindung. Paling tidak, pikiran kita tidak dikuasai terus-menerus oleh kekhawatiran, was-was, gelisah, jengkel, benci, dan sebagainya, karena kita mengalihkan pikiran kita kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Pada saat kita memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, kebencian, kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan itu dilupakan sementara. Itulah artinya perlindungan mental. Mungkin di agama lain ada yang mengingat Maria, ada yang mengingat Yesus, ada yang mengingat Gusti Allah, ya silahkan. Bagi umat Buddha yang diingat adalah Buddha-Dhamma-Sangha. Alasannya Buddha-Dhamma-Sangha ini tidak akan meminta imbalan, bersih dari keserakahan, kebencian, pandangan salah dan sebagainya.
Mental kita pun menjadi memiliki tameng yang mulia sehingga mental kita tidak hanya dikuasai oleh kemarahan, ketidakmauan menerima kenyataan, kebencian dan sebagainya. Makin sering kita memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, Aku berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, Aku berlindung pada Sangha, kemarahan dan kejengkelan itu akan berkurang. “Tetapi penderitaan kan belum selesai, Bhante.” Ya, penderitaan belum selesai. Oleh karena itu, Saudara, kita harus meningkatkan sikap berlindung kita itu. Tidak hanya sekadar: Aku berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, Aku berlindung pada Sangha. Kita harus meningkatkan lebih tinggi lagi. Bagaimana caranya?
Caranya adalah belajar Dhamma. Apa yang diberikan Triratna kepada kita? Buddha adalah bagaikan Penemu obat, Dhamma itulah obat, dan Sangha itu adalah seperti orang yang sudah mencoba obat itu serta sudah sembuh dan kemudian menjadi perawat untuk membantu kita-kita yang masih belum sembuh.
Yang pertama mungkin saya menabung kedamaian, karena kalau saya sakit, saya sudah kenal dokter spesialis. Dokternya itu Sang Triratna. Tentu itu tidak cukup! Tidak cukup hanya kenal dokter spesialis lalu damai dan tenang. Memang itu perlu dan lebih baik daripada tidak mengenal dokter sama sekali. Nanti kalau betul-betul sakit, bisa kebingungan. Tetapi tidak cukup begitu. Kita suatu ketika harus mengecek, memeriksa kesehatan kita. “Dok, darah saya bagaimana? Dok, kolesterol saya bagaimana?” Dan suatu ketika kita pasti sakit, tidak mungkin tidak.
Kemudian, kita harus datang kepada dokter itu, mendengarkan nasihatnya, dan dokter kemudian memberikan nasihat, memberikan obat. Kita harus menurut. Kalau kita hanya puas: wah saya sudah aman, saya kenal dokter spesialis itu, spesialis ginjal, spesialis penyakit dalam, spesialis hidung, telinga, tenggorokan, spesialis paru-paru, dan sebagainya, maka itu belum ada manfaatnya. Nah sekarang kita meningkatkannya sehingga tidak hanya kenal, tetapi datang bertanya, “Umur saya ini sudah kepala lima, Dokter, apa yang harus saya perhatikan? Apa yang harus saya lakukan, dan apa yang harus saya hindari?” Dokter akan memberikan nasehat. Kita harus mendengar, memahaminya, dan kemudian berusaha untuk menepati. Itulah berlindung pada Triratna. Tingkat yang selanjutnya, mengerti apa yang diberikan Triratna.
Perasaan Saudara yang tidak senang adalah penderitaan dan perasaan Saudara yang senang itulah bahagia. Nah, perasaan senang atau tidak senang itu kedua-duanya berbahaya. Meskipun perasaan itu didapat dari berbuat baik, yang halal, yang dibenarkan oleh agama, itu juga berbahaya. Karena perasaan senang hasil dari berbuat baik itu tidak kekal. Dan kalau tidak disadari nantinya malah akan membuat kita kecewa. Kecewa itu adalah penderitaan yang baru, buntutnya jengkel, marah. Nah, oleh karena itu, sadarlah!
Merasa tidak senang, ya disadari. Merasa senang, ya disadari. “Kalau kita tidak senang bagaimana, Bhante?” Ya tidak usah kebakaran jenggot. Selagi tidak senang, ya sudah, kan akan hilang sendiri. Tidak usah cari selingan pergi ke tempat yang tidak benar, tidak usah pergi ke tempat yang remang-remang, minum-minum, tidak usah. Sadari saja. Nanti akan hilang sendiri.
Demikian juga kalau lagi puas, lagi gembira. Meskipun itu tidak dari kejahatan, dari kebaikan “Wah lagi senang, lagi bahagia.” Sewaktu selesai meditasi, rasanya bahagia, harus disadari. Bahagianya orang meditasi itu juga tidak kekal. Jangan kaget nanti kalau hilang. Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan tujuan kita yang tertinggi itu bukan mencari bahagia. Memang kita tidak ingin menderita, ya lumrah. Orang tidak ingin menderita, ingin bahagia. Ya. Tapi bahagia itu tidak abadi. Bahagia itu hanya sepintas dan sebentar sehingga akan mengecewakan kita pada akhirnya. Maka yang tertinggi itu bukan mencari kebahagiaan, tetapi mencari KEBEBASAN. Kebebasan ini bukan berarti bebas mau bertindak apapun seenaknya saja. Kebebasan di sini berarti bebas dari perangkap, tidak terperangkap oleh kebencian, tidak terperangkap oleh kebahagiaan.
Kebencian itu bagaikan pancing, Saudara. Kita tidak terpancing bagaimana? Marah. Kalau menghadapi yang tidak disenangi maka menjadi marah dan jengkel. Kalau sudah jengkel, muncul ucapan dan perbuatan yang tidak bisa dikendalikan. Timbullah kejahatan. Itulah pancingan rasa tidak senang. Rasa senang juga sebetulnya pancingan. Pancingannya rasa senang itu apa? Serakah, ingin lagi, ingin lagi, ingin lagi. “Wah, kalau bisa seperti begini terus,” itu pancingan kesenangan.
Pancingan yang tidak menyenangkan: kemarahan, kejengkelan, kebencian. Pancingan yang menyenangkan: keserakahan. Kedua berbahaya. Nah, Saudara-saudara sekalian, oleh karena itu marilah kita mengasah menggunakan kesadaran. Memang susah sekali, sangat susah. Tetapi kita harus latihan meditasi, belajar Dhamma. Pendeknya apa saja yang kontak pada pikiran, perasaan; harus diketahui ataupun disadari dengan dilandasi pengertian ‘ini tidak kekal’, ‘ini tidak abadi’, ‘ini hanya sebentar’.
Selesai mendengarkan khotbah, “Wah saya mengerti, senang saya rasanya.” Harus disadari bahwa rasa senang itu juga tidak kekal meskipun senang itu yang timbul dari mendengarkan khotbah. Itu juga tidak kekal, sebentar saja, nanti akan timbul masalah lain dan hilang sudah senangnya.
Memelihara dan menjaga kesadaran, meskipun tidak bisa setiap detik, itu sangat perlu dilatih sejak dari kita bangun pagi sampai nanti tidur kembali. Sebanyak-banyaknya kita menggunakan kesadaran, kita akan menyadari apa saja yang muncul pada pikiran, perasaan kita. Itulah arti berlindung pada Buddha-Dhamma-Sangha yang tertinggi.
Jadi tidak nyebut-nyebut nama Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Yang kita kerjakan adalah mengawasi pikiran dan perasaan sebanyak mungkin supaya kita tidak terpancing. Karena kalau terpancing yang tidak menyenangkan maka akan timbul marah, panas; sedangkan kalau terpancing yang menyenangkan maka akan timbul serakah, panas juga, sama saja.
Nah, kalau kita bisa menyadari dengan pengertian ketidakkekalan, kita akan bebas meskipun kita belum mencapai kesucian. Detik-detik itu kita menjadi manusia bebas. Meskipun cuma satu detik, itu berharga sekali. Satu saat saya merasa sedih, tapi begitu ingat kesadaran, saya sadari, “Oh perasaan saya sedih, ini tidak kekal.” Begitu saya menyadari, saya menjadi orang bebas; merasakan kebebasan meskipun sesaat. Jengkel saya rasanya, kok tidak enak, wah buru-buru disadari, “Oh ini perasaan tidak senang sedang muncul, tetapi ini juga tidak kekal, nanti juga lenyap.” Pada saat kita menyadari itu, kita merasa ringan, enteng, dan bebas. Detik itu pula kita bebas dari kemarahan dan kebencian. Nah, suatu ketika kita makan enak, atau angin sepoi-sepoi menyejukkan, “Waduh kalau begini kok rasanya enak.” Eh, hati-hati! Sadarilah bahwa rasa enak tersebut juga tidak kekal. Maka pada saat itu kita bebas dari keserakahan. Detik itu kita adalah orang yang bebas.
Nah, kalau Saudara bisa mempertahankan detik-detik ini terus, itulah sesungguhnya dikatakan Nibbana atau Nirvana. Kebebasan. Memang sukar. Meskipun kita tidak bisa menikmati Nibbana dalam waktu yang agak lama, ya tidak apa, minimal dalam saat-saat tertentu. Di saat-saat tertentu kita mencicipi apa yang dikatakan Sang Buddha sebagai Nibbana. Kebebasan itu seperti yang saya jelaskan tadi. Itulah KEBEBASAN, tujuan umat Buddha yang tertinggi dan itulah arti berlindung pada Triratna yang sesungguhnya, bukan kita pakai tasbih, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Menyebut Buddha-Dhamma-Sangha itu memang baik, tapi itu perlindungan kelas nol. Kelas nol memang baik, daripada tidak sekolah. Daripada memikirkan kejahatan, kegelisahan, pemerkosaan, kekhawatiran, kan lebih baik membawa tasbih, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Pelindung saya Buddha-Dhamma-Sangha. Perasaan kita tentram, tetapi kita belum bebas dari penderitaan. Lebih lanjut, belajar Dhamma, kurangi kejahatan, hindari kejahatan, perbuat kebaikan sebanyak mungkin karena ingat Hukum Kamma. Itulah berlindung yang lebih baik. Meskipun demikian, penderitaan masih belum selesai karena untuk menyelesaikan penderitaan itu bukan hanya dengan berbuat baik. Meskipun Anda berbuat baik setinggi langit, penderitaan tidak akan terhapus. Hapusnya penderitaan itu adalah bagian dari kesadaran, supaya tidak terpancing oleh perasaan yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Dengan kesadaran itulah penderitaan akan terhapuskan dan kita memperoleh Kebebasan. Itulah arti berlindung pada Triratna yang sesungguhnya.
Dalam keadaan krisis seperti ini, cobalah kita meningkatkan latihan spiritual kita. “Wah, nanti tahu-tahu saya ikut jadi korban mati. Bagaimana Bhante?” Bukankah kita sudah punya bekal. Bekalnya berlindung pada Triratna dengan cara yang benar. Tahap permulaan, tahap pertengahan, dan mengembangkan kesadaran. Tidak usah khawatir. Kita mulai saja mulai saat ini. Selain itu kalau memang kita masih belum mati, mungkin matinya nanti di umur 70 atau 80, kan kita sudah beruntung karena sekarang kita sudah mengerti bagaimana cara berlindung yang benar; selain menghindari kejahatan, menambah kebaikan, mempertajam kesadaran dan kewaspadaan untuk merasakan, mencicipi kebebasan dari hawa nafsu, dari kebencian, dari keserakahan, dan sebagainya.
Itulah yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Jadi kalau umat Buddha berdoa, bagaimana caranya? Caranya ya menyadari itu tadi. Meskipun di dalam kamar kecil atau di mana saja, waktu mandi, waktu makan, rasa senang yang muncul itu disadari, rasa yang tidak senang muncul juga disadari. Ini akan membuat kita tenang, seimbang. Kalau senang muncul juga tidak menggebu-gebu, kalau senang tidak muncul juga tidak sedih yang luar biasa. “Jadi bagaimana, Bhante, kalau nonton bioskop, nonton TV?” Boleh, Saudara. “Nonton bola bagaimana?” Boleh. “Jagonya kalah, sedih, bagaimana, Bhante?” Ya disadari. Sadari perasaan tidak senang itu. “Jagonya menang bagaimana?” Itu juga disadari. Senang… senang… tidak abadi, tidak kekal. Itulah caranya kita membebaskan diri kita.
Demikian juga kenangan masa lalu yang pahit-pahit, yang sangat pahit. Kadang-kadang kenangan/ingatan itu muncul. “Wah, kita sedih sekali kalau teringat hal itu. Sedih sekali, Bhante” Nah, sadari itu. Ini hanya ingatan, ulahnya pikiran. Saya merasa sedih, rasa sedih ini tidak kekal, tidak kekal. Maka akan mudah sekali kita membebaskan dari nostalgia-nostalgia yang nakal-nakal itu. Kita tidak menjadi orang yang dikuasai oleh ingatan-ingatan dan kesan-kesan yang tidak baik. Demikianlah, Saudara, cara membebaskan pikiran kita dari gangguan-gangguan, dari problem-problem dan persoalan-persoalan.
Malam itu Pangeran Siddharta merasa gelisah. Berbagai fenomena penderitaan yang baru disaksikan di balik tembok istana mengusik nuraninya dan membuat hatinya terguncang.
Ia bergulat dengan pikirannya, “Mengapa penderitaan itu harus terjadi”. Muara kehidupan haruslah kebahagiaan, bukan penderitaan. Kebahagiaan akan terwujud manakala tak ada lagi ketakutan akan usia tua, sakit, kematian. Tak ada lagi air mata, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan.
Akhirnya Pangeran Siddharta mengambil keputusan radikal. Kalau banyak orang menjadi pemimpin dengan mencari istana, Pangeran Siddharta justru meninggalkan istana. Kalau orang berjuang keras untuk menjadi kaya, Pangeran Siddharta dengan penuh kesadaran meninggalkan gemerlap kehidupan istana untuk hidup sederhana, sebagaimana layaknya rakyat biasa.
Ia rela melepas gelar kebangsawanan, kemewahan, kenikmatan hidup dunia, bahkan keluarga yang dicintainya. Pelepasan agung ini tak pernah bisa dicari analoginya dalam kenyataan sekuler.
Berpuluh tahun lalu, para pejuang kemerdekaan dengan tekad bulat, mengusir penjajah yang menjarah kekayaan alam dan mencabik-cabik harga dirinya dan saudara sebangsa. Mereka mengorbankan segalanya; harta, kehormatan, bahkan nyawa. Mereka adalah pahlawan.
Kekuatan ketulusan
Komitmen dan sikap Pangeran Siddharta serta para pahlawan pejuang untuk mengatasi penderitaan dan memerdekakan manusia adalah wujud semangat solidaritas, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial. Mereka disatukan oleh kesederajatan, senasib, sepenanggungan sebagai makhluk yang sama-sama tercecer dan tersingkir ke pinggir-pinggir kehidupan.
Di atas semua itu, tak ada misi sedikitpun yang terselip dalam benak Pangeran Siddharta untuk mendirikan agama; pun tak ada secuil kepentingan untuk mencari pengikut. Pengorbanan dan perjuangan tanpa pamrih Sang Pangeran dan para pahlawan pejuang untuk mencari jalan pembebasan itu yang terus menggugah kita. Mereka dikenang karena ketulusan hatinya. Mereka akan tetap hidup dalam semangat luhur untuk menolong sesama; peduli pada pergumulan kehidupan.
Kekuatan ketulusan membuat para pejuang kehidupan tak pernah menyesali setiap pengorbanan yang telah dilakukan. Mereka meyakini apa yang dilakukan; bahwa melakukan kebajikan akan berbuah kebahagiaan. Sementara orang yang tidak tulus akan lebih banyak gelisah dan khawatir, bahkan tak jarang kecewa dan menyesal manakala mendapati kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Dalam Anggutara Nikaya V, 2 Buddha Gotama menyatakan, “Seseorang yang sungguh-sungguh (tulus) dalam kebajikan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku terbebas dari penyesalan; karena seseorang yang bajik dengan sendirinya akan terbebas dari penyesalan. Dan bagi seseorang yang terbebas dari penyesalan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku berbahagia; karena orang yang terbebas dari penyesalan dengan sendirinya akan berbahagia”.
Tanpa pemilik kebajikan
Menurut Buddha Gotama, kita harus menghancurkan egoisme pribadi untuk menghentikan penderitaan secara total. Namun, sikap tanpa keakuan itu tidak dapat dimiliki hanya karena mengerti, keakuan adalah ilusi. Keakuan juga tidak akan lenyap karena telah memahami, keakuan menjadi sumber penderitaan.
Pengertian “tanpa aku” dan “tanpa diri” hanya kunci untuk membuka pintu kebenaran dan kebebasan, tetapi kebenaran tidak terletak pada kunci.
Pengertian bahwa keakuan hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiran sendiri dan bermuara pada kehancuran pribadi maupun masyarakat merupakan pengertian yang harus menjadi wawasan kita. Namun, pengertian “tanpa aku” itu harus terwujud dalam setiap perilaku kita.
Perilaku bajik yang dilakukan dengan penuh kesadaran (sati) itulah ketulusan sebenarnya. Kesadaran penuh tidak memberi peluang pada hadirnya pemikiran keakuan, baik keakuan sebagai pribadi yang telah berbuat baik, apalagi keakuan yang amat kasar, seperti kehausan akan pahala, keuntungan materi maupun ketenaran.
Kedamaian sejati akan tumbuh manakala kita mempraktikkan ketulusan altruistik yang sadar dilakukan dalam setiap tindakan. Ini berarti “aku” yang melakukan perjuangan dan pengorbanan tidak teridentifikasi. Tidak ada “aku” utuh yang melakukan perjuangan dan pengorbanan karena tidak ada “aku” yang berdiri sendiri tanpa ada kondisi-kondisi lain.
Betapa berharganya kesadaran akan hal ini karena gagasan “milikku, perjuanganku, pengorbananku”, lagi-lagi hanya akan menyuburkan ketamakan dan penderitaan mental yang tak berkesudahan. Gagasan tentang “aku” hanya akan membunuh perkembangan spiritual kita.
Pikiran sulit dikendalikan
Secara alamiah, pikiran yang tidak terlatih akan amat sulit dikendalikan. Pikiran itu merayu orang untuk menjadikannya sebagai makhluk yang diperbudak indera. Pikiran yang tidak terlatih itu menggoda manusia yang telah melakukan kebaikan menjadi sombong dan memamerkan kebaikannya, keilmuannya, hartanya, kedudukannya, pengalamannya, kekuatannya, dan aneka topeng duniawi lainnya yang dianggap dapat mengangkat citra dan pujian kepada dirinya. Demikianlah, khayalan dan emosi selalu menyesatkan manusia jika pikirannya tak pernah dilatih dengan benar.
Jadi, perbuatan baik saja tak cukup untuk mencapai kebebasan. Kebahagiaan tertinggi tak dapat dicapai tanpa memurnikan pikiran. Buddha Gotama mengajarkan, meditasi adalah pendekatan psikologis yang dapat dilakukan untuk melatih, mengembangkan, dan memurnikan pikiran.
Bangsa ini sudah terlalu lama jauh dari ketulusan; ketulusan yang membebaskan kita dari keserakahan, kebencian, dan berbagai ilusi yang selalu membakar mental.
Mari kita, mulai dari diri sendiri, melangkah kembali di jalan ketulusan. Berbuat baik dengan ketulusan hati, menganut agama dengan ketulusan beriman, memangku jabatan dengan ketulusan menunaikan kewajiban, memimpin dengan ketulusan mengabdi.
Selamat Trisuci Waisak 2551. Semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan.
SRI PANNYAVARO
Bhikkhu, Kepala Vihara Mendut
Bhikkhu, Kepala Vihara Mendut
Sumber: Harian Kompas, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar