Oleh :YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA
KEBENCIAN TIDAK AKAN PERNAH BERAKHIR BILA DIBALAS DENGAN KEBENCIAN
KEBENCIAN BARU AKAN BERAKHIR BILA DILAWAN DENGAN CINTA KASIH
[Dhammapada I,5]
Saudara-saudara, para Bapak dan Ibu yang berbahagia, di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering menghadapi cinta dan benci, karena memang seperti logo cakra yang berada di atas vihara ini. Kehidupan kita itu selalu dipenuhi oleh 2 hal; suka-duka, untung-rugi, dipuji-dicela, memperoleh pangkat-dipecat, termasuk cinta dan benci. Sebetulnya cinta ini juga bikin problem, tetapi jarang orang merasakan bahwa ini problem. Contoh yang paling gampang; orang jatuh cinta. Ndak enak sembarang. Ndak enak makan, ndak enak tidur, kerja ndak konsentrasi, kepikiran terus. Sebetulnya ini problem, tapi biasanya orang bisa mengabaikan. Malah ada yang mengatakan, “Untung loh ada yang dicintai”. Loh kenapa? “Jadi ada seng dikangeni”. Lhar….. jadi punya pekerjaan. Kalo mau tidur, bisa dikerjakan apa yah? Mikir pacarnya bagaimana yah? Mau kerja, konsentrasi, biasanya perhatian pada nafas, perhatian pada obyek, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sekarang… yang saya cintai ini sedang apa yah? Loh….. ada sesuatu kebahagiaan. Katanya ada yang dikangeni, ada yang dirindui itu kebahagiaan, padahal itu juga penderitaan.
Di dalam Dhammapada sudah disebutkan bahwa dari cinta itu sebetulnya muncul problem, tapi banyak orang lupa di bagian itu. Kemudian nanti kalo yang dicintai itu berproblem, itu lebih parah lagi. Kita cinta dengan anjing, anjingnya banyak kutunya. Eh…. Ngamuk-ngamuk. Anjing koq banyak kutunya. Lhar iya, kalo anjing banyak ketombenya. Wah…. Ini butuh shampoo baru nih.
Wah… ini anjing kutunya banyak nih, Stress ! Anjingnya sakit, ditangisi, digendong kemana-mana, ditangisi. Sebetulnya itu berproblem, tetapi tidak begitu bikin masalah. Lebih menderita itu, kalo ada yang dibenci, padahal efeknya yah… sama.
Cinta tadi, mau makan, mikiri yang dicintai. Mau tidur, mikiri yang dicintai. Tapi nanti kalo yang dibenci, juga sama, efeknya yah… sama.
Nggak enak makan, nggak enak tidur.
Mau makan, ingat yang dibenci. Masakan enak, jadi nggak enak.
Mau tidur, ingat yang dibenci. Kasur yang nyaman, wah….. rasanya kayak ada pakunya. Sebentar balik kanan, sebentar balik kiri. Aduh…. sakit semua badannya. Sebetulnya sama, tapi orang sering bermasalah atau dimasalahkan itu adalah kebenciannya ini.
Saudara-saudara, di dalam Dhamma sebetulnya hidup ini sederhana cara berpikirnya. Bagaimana itu? Koq saya ketemu yang saya cintai, koq yang ini? Koq bukan yang itu? Saya kok benci sama yang ini? Koq bukan yang itu? Itu mesti ada sebabnya. Karena di dalam Dhamma pada saat Sang Buddha membabarkan Dhamma pada hari Asadha, pada waktu dulu sudah kita bahas bersama, Sang Buddha membabarkan 4 Kesunyataan Mulia yang demikian panjang ceritanya, intinya sederhana. Yang disampaikan oleh Bhante Kondaňňa, segala sesuatu ada sebab, kalo sebabnya dihilangkan, hilang juga segala sesuatunya itu.
Jadi hukum Dharma adalah hukum sebab dan akibat. Sekarang saya koq senang sama yang ini, mesti ada sebab. Kenapa koq saya benci sama yang itu? Pasti ada sebab. Apakah yang menjadi sebab di dalam Dharma? Sebetulnya adalah karena karma kita masing-masing. Cinta dan benci itu muncul dari karmanya masing-masing.
Satu contoh yang pernah saya sampaikan disini adalah, kalo kita berdiri di depan pintu, kemudian ada orang yang lewat, walaupun kita nggak kenal namanya, nggak tahu rumahnya, kita bisa muncul rasa senang. Waduh…… aku senangnya.
Kalo sekarang ibu-ibu senang misalnya seperti anak remaja, Meteor Garden misalnya. Wong kenal orangnya aza ndak. Dia ketemu anda, noleh aza ndak. Sueeneng eh….. Pada bintang film Korea lagi, siapa nggak tahu, itu ibu-ibu sueeneng eh………”Bhante, kalo sudah bintang itu keluar, wah… happy”. Lhar…… bintang itu kenal anda aza, yah… ndak.
Sebaliknya, anda nonton film yang lain, yang selalu pemainnya menjengkelkan. Itu juga anda kalo lihat, “Aku geting (bahasa Jawa : benci) loh, kalo ketemu ini”. “Iki koq mesti main toh yah?” Yah… kenal anda aza ndak, nyalahin anda yah ndak. Lhar…ngapain anda jengkel-jengkel ama orang itu? Kenapa? Itu sebetulnya ada ikatan karma. Anda nggak usah nonton TV atau nonton sinetron. Anda di depan pintu aza, anda akan tahu siapa orang yang anda sukai dan siapa orang yang anda benci, padahal nggak kenal orangnya, nggak kenal namanya, nggak tahu rumahnya, nggak tahu prilakunya, muncul perasaan itu. Itu kalo anda lanjutkan, anda kenalan. Kalo orang itu, pertama anda lihat sudah menyenangkan. Anda kenalan. Anda akan menjadi teman yang baik. Kalo menjadi teman dagang, teman dagang yang menguntungkan. Kalo itu lawan jenis, dan anda masih sendirian, jadi pasangan hidup yang akur.
Tapi kalo orang itu, sekali lihat anda sudah nggak seneng, sudah getting (bahasa Jawa : benci). Tapi anda merasa, “Ahr…Aku harus berbuat baik”. “Coba saya salaman sama dia”. “Coba saya hubungan dagang sama dia”. Itu pasti yah… ada-ada aza, yang gegeran, kerja nanti jadi ditipu, dihutang nggak dibayar, jadi pasangan hidup geger terus. Selalu begitu. Nah… ini karena cinta dan benci kumpulkan.
Seperti yang tadi saya bahas, sebetulnya ini sumbernya adalah dari karma kita masing-masing dan kita muncul cinta pada satu orang atau satu makhluk, kita benci pada satu orang atau satu makhluk. Itu sebetulnya bukan hanya sekali dalam kehidupan ini, sudah melewati banyak kehidupan. Saya katakan pada satu orang atau satu makhluk, kenapa? Karena anda ini, kadang-kadang lihat anjing aza, senengnya ndak karuan.
Aduh… kirek (bahasa Jawa : aning) ini koq gantengnya kayak gini! KIREK GANTENG? BAGIAN MANA GANTENGNYA ITU? Itu kan anda bisa lihat begitu toh. Kirek koq gantengnya kayak gini. Kadang-kadang opo ini kehidupan lampau pernah lahir jadi sejenis atau apa? Lhar… yang bisa menikmati gantengnya, kan mesti yang sejenis. Lhar… buktinya kirek bisa kawin toh. Itu kan berarti menganggap,”Oh… iki ganteng, seng iki ayu”. Kawin! Kan begitu? Lhar… sekarang manusia bisa ngomong, ”Iki ganteng yah kucingnya”. “Iki ayu loh kucingnya”. Oh….. ini karma lampau lahir sejenis ini.
Nah, saudara-saudara, itu kenapa? Karena kita berhubungan dengan seseorang atau berhubungan dengan satu makhluk itu sudah ribuan kali kehidupan, kita selalu begitu.
Anda bisa melihat di dalam riwayat Sang Buddha, Devadatta yang selalu memusuhi Sang Buddha, itu bukan hanya satu kehidupan, ribuan kehidupan itu kumpul, musuuuuh….. terus, ndak pernah ndak musuhan. Sebaliknya nanti ada Bhante Ananda, Bhante Sariputta, Bhante Mogallana yang selalu dekat dengan Sang Buddha. Itu ribuan kehidupan juga selalu berdekatan.
Apa sebab saudara? Karena kadang-kadang kita memberikan minyak pada api cinta dan api benci itu. Cinta dipupuk terus. Aduh…. aku cinta sama pasangan hidupku. Aku sayang sama anjingku. Meninggal dunia. Mungkin jadi kutunya anjing itu. Jadi…. mungkin karena kita melekat. Karena dulu pernah ada kejadian begitu. Seorang Bhikkhu sedang pindapatta alias keliling menerima dana makan dari umat. Lalu Bhikkhu ini melihat ada anjing santai-santai di kolong meja. Lalu Bhikkhu ini merenung, “Waduh… enaknya, pagi-pagi santai di bawah kolong meja. Eh…. Bhikkhunya mati, lahir jadi anaknya anjing itu. Itu kejadian sungguhan. Di dalam cerita Dharma itu ada. Kenapa? Karena kemelekatan. Cinta yang diberi dengan bahan bakarnya.
Sekarang saudara-saudara, benci juga sering diberi bahan bakar, karena itu di dalam Dharma pernah disebutkan begini. Pada zaman dulu ada seorang pria yang menikah, mereka menjadi suami istri yang cukup lama, tapi setelah lama menjadi suami istri, mereka ndak punya keturunan, sehingga istrinya menjadi gelisah. Karena zaman dulu toh, kalo ndak punya keturunan ini dikira istri yang ndak beres. Sekarang aza masih terdengar nada seperti itu. “Ada apa yah istrinya?” Kan begitu toh! Yah… ibu-ibu, bapak-bapak.
Zaman dulu apa lagi. Istri ini lalu mikir, “Waduh….. kalo aku nggak punya anak, repot ini. Nanti aku dicerai sama suamiku”. Lalu bagaimana sekarang? Suaminya disuruh kawin lagi. Hah… itu zaman sekarang yah banyak itu. “Sudah Pak, sana kawin lagi aza”. “Pokoknya saya nggak dicerai.” Itu normal sekali. Padahal hari ini sudah terbukti orang tidak hamil itu, belum tentu karena salahnya istri, bisa juga karena salahnya suami.
Nah… kemudian istri ini menyarankan suaminya. “Coba, Bapak kawin lagi, nanti saya pilihkan istri yang paling sip, yang paling bisa diajak kompromi”. Hah benar. Yah… setelah didesak-desak, akhirnya suaminya katakan, “Iya lahr, kalo memang mau mu begitu, yah….. ndak apa-apa lahr”. Memang jarang laki-laki kalo disuruh kawin lagi, nolak itu… rasanya agak jarang. Bapak-bapak iya yah…., jarang, rata-rata jarang nolak itu. Ayo, cobalah kawin lagi. Eh… sudah! Kebetulan!
Eh… beneran, nggak lama setelah menikah, istri yang kedua ini hamil sungguhan. Wah… bener ini! Hamil! Istri yang pertama stress. Gimana ini caranya? Saya kasih anu aza, bubur campur racun. Soalnya nanti kalo dia hamil, punya anak, suamiku senang sama dia, kan repot. Jadi dikasih bubur campur racun. Wah… sungguhan, gugur anaknya. Lego…. Istri pertama. “Eh…. Akhirnya kamu kan juga ndak punya toh”. Hah… lego. Eh…. ndak lama, hamil lagi. Wah… ugal-ugalan, koq bisa lagi? Kasih racun lagi, kena lagi, gugur lagi. Lego… lagi. Istri pertama sudah lego, istri kedua cenut-cenut, makin stress.
Sehingga nggak lama kemudian memang hamil yang ketiga, tapi nggak kasih tahu. Karena dipikir, kalo kasih tahu, waduh…. Diendrim ((bahasa Jawa : diracuni) lagi, gugur lagi, kan repot. Diam-diam aza. Tapi namanya orang hamil, kan nggak bisa disembunyiin. Yah… perutnya makin melentung, makin melentung, makin melentung. Ketahuan! Wah… sudah. Dikerjain lagi, sehingga akhirnya waktu istri kedua ini melahirkan, meninggal. Anaknya meninggal, ibunya meninggal, tapi…… meninggal dengan kebencian, jengkel sekali sama istri pertama. “Ini gara-gara dia ini, bikin saya sampai stress begini”. Mati dia dengan kebenciannya dan dia memberi bahan bakar kebencian ini. Lahirlah dia jadi DORAEMON, kucing. Lahir jadi kucing, bukan Doraemon namanya, tapi kucing.
Kemudian istri yang pertama ini juga karena nggak suka dengan istri yang kedua, maka ndak lama kemudian setelah meninggal, lahir jadi ayam betina. HAH……. Ayam betina nelur, diemplok kucing. “RASAIN LU, TAK BALAS”. Nelur lagi, emplok lagi, nelur lagi, emplok lagi. Terus …. Begitu, sampai akhirnya si ayam betina ini jueeengkel, benci. Mati dia, lahir jadi harimau. Si kucing mati, lahir jadi rusa betina.
HAH… ketemu lagi, ketemu lagi. Rusa betina melahirkan anak, diemplok sama harimau. “GANTIAN LU SEKARANG”. Lahir lagi, emplok lagi. Lahir lagi, emplok lagi. Lahir lagi, emplok lagi. Terusss… begitu, sampai akhirnya babon ((bahasa Jawa :induk ) nya ikut dicaplok sekalian. Mati dia dengan kebenciannya. Lahir jadi demit ((bahasa Jawa : setan), jadi makhluk halus. Si harimau yang suka makan itu, lahir jadi seorang wanita, tinggal di zaman Sang Buddha.
Nah…. Wanita itu setelah berumah tangga, dia punya anak, tinggal di Savatthi, itu yang Jetavana. Wanita ini lahir di Savatthi, kemudian punya anak. Anak ini diincar sama si demit. Mungkin kalo zaman sekarang apa yah namanya demit yang suka bayi itu loh? Namanya kuntilanak. Wewe juga toh ya, wewe kan juga suka anak. Kemudian dikejar. Anaknya dikejar sama demit ini. Wah… ibunya ini girap-girap. Lari ke vihara. Yah…. Memang kan sasarannya kalo ada makhluk demit, vihara yang dicari. Supaya kalo ada demit, gigit Bhikkhunya aza lhar, jangan gigit saya. Yahhh…. Itu sudah pengorbanan memang. Yah… nggak apa-apa lahr, kita ndak punya anak istri, digigit demit ndak apa-apa, ndak ada yang nangisi koq.
Bener, setelah ketemu Sang Buddha. Lalu ibu ini meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha, “Tolong Sang Buddha, bayi saya ini diselamatkan, jangan sampai dimakan demit”. Kemudian Sang Buddha lihat, lho memang di depan vihara ada demit nunggu, demitnya kan ndak bisa masuk. Lalu sama Sang Buddha disuruh, “Ayo sini masuk”. Demit ketemu Sang Buddha, “Apa tujuanmu makan bayi ini?” “Kenapa?” “JENGKEL!” “BENCI!” Lalu Sang Buddha menerangkan, “Benci dan jengkel ini bukan untuk kehidupan ini aza. Sudah berkali-kali kamu kelahiran selalu jadi musuh”. Lalu Sang Buddha mengeluarkan kalimat itu “KEBENCIAN ITU TIDAK AKAN BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN.” Kamu sekarang makan, nanti besok lahir lagi. Ini gantian makan sana. Sana nanti lahir lagi, makan sini. Sana makan sini. Sini makan sana. Teruuusssss begitu, ndak akan pernah habis. “KEBENCIAN TIDAK AKAN BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN, TAPI KEBENCIAN AKAN BERAKHIR DENGAN CINTA KASIH”. Apa kamu mau melanjutkan terus sampai kelahiran-kelahiran yang akan datang? Geger, cekcok seperti ini? Kalo mau terus, yah…. Silahkan. Tapi kalo kamu mau mengembangkan cinta kasih, mulai sekarang kamu harus berhenti.
Nah, kemudian si demit ini sadar. Setelah diceramahi Sang Buddha, dia sadar. Lalu Sang Buddha dengan mata batin melihat bahwa demit ini sudah sadar, Sang Buddha mengatakan kepada ibu tadi, “Coba, anaknya sekarang kasihkan kepada demit itu, suruh gendong”. Wah, ibunya takut nanti dimakan ini. Coba saja! Dan ternyata si demit itu mengendong bayinya, mengelus rambut anak itu, mencium dan menetes air matanya. Mulai saat itu juga permusuhan antara keduanya berakhir. Mereka malah menjadi sahabat. Mereka saling menjaga.
Saudara-saudara, cerita ini meskipun ada di zaman Sang Buddha, sebetulnya bisa menjadi contoh untuk kita. Kalo kita nggak suka sama seseorang, apa toh sebetulnya? Ini bukan kejadian saat ini saja. Sudah berkali-kali kelahiran kita itu sebetulnya kisruh (bahasa Jawa : berantem/ribut), dikisruhi, atau kita yang mengkisruh dia di bagian ini. Terus berulang-ulang, terus berulang-ulang. Kenapa? Karena kita berjalan sesuai dengan karma kita. Tidak ada sesuatu yang tanpa sebab muncul di dunia ini. Semua mesti ada sebab. Karena kalo sekarang kita mempunyai orang yang kita sayangi. Kita mempunyai makhluk yang tidak kita sukai. Sebetulnya kita JANGAN memberi bahan bakar kebencian. Karena nanti kalo lahir lagi, malah ketemu lagi.
Suami istri. Kenapa bisa lahir suami istri terus? Itu karena saling mencintai. Tapi suami istri juga bisa lahir sebagai suami istri terus, karena sangking bencinya. Biar puas! Kalo sangking cintanya puas. Dari pacaran sampai kawin, sampai tua, sampai nenek kakek, gandengan kemana-mana, bersama-sama berdua. Puas! Sampai mati pun kalo perlu bisa bareng.
Tapi kalo benci juga, kemana-mana gandengan, tapi untuk cekcok. Puas! Pagi bangun tidur, cekcok. Siang, tengah malam, cekcok. Puas! Tapi apa kita mau selalu begitu? Apa kebencian akan dibalas dengan kebencian? Padahal sebetulnya kebencian itu karena karma buruk kita yang berbuah. Kita mengalami kejengkelan, kita mengalami stress, karena karma buruk kita berbuah. Tapi kalo saat kita menghajar dengan kebencian, kita melawan kebencian dengan kebencian lagi, pertempuran jangka panjang itu akan kita lanjutkan terus. Pertempuran dimenangkan kita pada kehidupan ini. Mungkin di kehidupan yang akan datang, kita yang kalah. Kita nggak terima, lanjut lagi di kehidupan yang berikutnya, lanjut lagi, lanjut lagi, lanjut lagi. Berapa kehidupan kita harus menyia-nyiakan hanya untuk memuaskan api kebencian kita?
Oleh karena itu saudara-saudara, dalam kesempatan ini tentu kita semua di dalam kehidupan ini banyak masalah, banyak kesulitan, banyak orang yang tidak kita sukai, banyak makhluk yang tidak kita sukai. Cobalah mulai hari ini kita pancarkan cinta kasih kepada mereka, supaya di dalam kehidupan ini sajalah, putus sudah, putus sudah, putuuuussssss sudahhhhh. Putus sudah urusan kebencian yang berlanjut di kehidupan yang terus itu.
Kalo kita bisa mengembangkan cinta kasih. Kita mendoakan, ”Semoga dia bahagia. Semoga semua makhluk berbahagia”. Itu bisa memutus rantai kebencian. Selama masih muncul benci, kalo masih muncul jengkel kita, pada saat kematian tiba nanti, sesungguhnya kita akan memulai melanjutkan pertempuran jangka panjang.
Oleh karena itu saudara-saudara, cobalah sekarang pikirkan untung dan ruginya, memelihara kebencian, sampai jengkel sekali, bertahun-tahun jengkel, menyimpan kebencian sudah bertahunan. Apa artinya? Sama dengan menyimpan barang busuk di dalam diri kita. Apa gunanya? Kecuali itu merugikan kita semua. Oleh karena itu, coba mulailah sekarang, kalo anda bisa memancarkan cinta kasih kepada orang yang anda benci. Misalnya kita benci si A. Kemudian anda mengucapkan, “Semoga si A bahagia”. “Semoga semua makhluk berbahagia”. Pertama anda mungkin akan jengkel ngomong itu. Ucapkan terus! Ucapkan terus! Sampai anda bisa memaafkan dia, pada saat hati anda mengatakan, “Semoga dia bahagia. Semoga semua makhluk bahagia”. Anda ucapkan terus dengan seluruh perasaan anda. Karena anda bisa memaafkan dia, maka pada saat itu, putus sudah ikatan kebencian anda yang terbawa sekian kali. Kebencian itu bisa muncul di dalam kehidupan kita, mungkin sebagai keluarga dekat kita, mungkin dia ayah kita, mungkin dia ibu kita, mungkin dia anak kita, mungkin dia tetangga kita, mungkin itu binatang kita. Itu semua yang akan datang untuk saling bayar membayar hutang piutang kita.
Kan ada itu anak dari kecil, dikandung. Bikin orang tua nya sakit-sakitan terus, itu dari kandungan sudah nagih hutang. Terus nanti itu sudah lahir, yah…. Sakit-sakitan, masuk rumah sakit, duitnya habis, tenaganya habis. Tapi juga ada anak yang sejak dalam kandungan membayar hutang sama kita. Begitu mengandung dia, rezekinya datang, usahanya lancar, pangkatnya naik, semuanya sukses. Itu juga ada.
Ada orang kawin, begitu kawin. Wah… semuanya sukses, juga ada. Sampai ada orang katakan, “Ini loh, ini rezekinya yang bawa suaminya. Ini yang bawa istrinya”. Karena begitu menanjak. Tapi juga nggak kurang orang begitu kawin, langsung merosot semua. Ini semua karena bayar membayar hutang.
Marilah kita putuskan rantai ini. Kalo kita masih belum mau putus, mungkin masih bisa lanjut lagi rantai cinta. Mungkin kalo kita mau punya pasangan ini lagi. Yah…. Boleh dengan saling mencintai, saling menyayangi. Tapi rantai kebencian ini sungguh menyakitkan untuk terus disambung lagi, akan membuat kita selalu kecewa, meneteskan air mata, jengkel, tidak suka makan, sulit tidur, gara-gara kebencian kita. Karena itu ucapkanlah, “Semoga dia bahagia. Semoga semua makhluk bahagia”. Kalo kebencian itu bisa kita hilangkan, kebahagiaan akan menjadi milik kita.
Oleh karena itu saudara-saudara, KEBENCIAN TIDAK AKAN BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN. KEBENCIAN JUSTRU AKAN BERAKHIR, SELESAI, DENGAN CINTA KASIH.
Pancarkanlah cinta kasih kita kepada siapa pun juga, kepada semua makhluk, baik yang tampak maupun tidak tampak. Karena di antara kita mungkin juga ada makhluk-makhluk tak tampak, leluhur-leluhur kita, musuh-musuh kita di kehidupan lampau, masih mengikuti kita terus sehingga membuat kita sakit-sakitan dan sebagainya. Kita pancarkan cinta kasih, sehingga akhirnya hubungan dengan mereka akan bisa kita lenyapkan sehingga hidup di dunia menjadi selalu bahagia.
Semoga anda selalu berbahagia di dalam Dharma. Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun tak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagian sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing.
Sabbe sattã bhavantu sukhitattã.
KEBENCIAN BARU AKAN BERAKHIR BILA DILAWAN DENGAN CINTA KASIH
[Dhammapada I,5]
Saudara-saudara, para Bapak dan Ibu yang berbahagia, di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering menghadapi cinta dan benci, karena memang seperti logo cakra yang berada di atas vihara ini. Kehidupan kita itu selalu dipenuhi oleh 2 hal; suka-duka, untung-rugi, dipuji-dicela, memperoleh pangkat-dipecat, termasuk cinta dan benci. Sebetulnya cinta ini juga bikin problem, tetapi jarang orang merasakan bahwa ini problem. Contoh yang paling gampang; orang jatuh cinta. Ndak enak sembarang. Ndak enak makan, ndak enak tidur, kerja ndak konsentrasi, kepikiran terus. Sebetulnya ini problem, tapi biasanya orang bisa mengabaikan. Malah ada yang mengatakan, “Untung loh ada yang dicintai”. Loh kenapa? “Jadi ada seng dikangeni”. Lhar….. jadi punya pekerjaan. Kalo mau tidur, bisa dikerjakan apa yah? Mikir pacarnya bagaimana yah? Mau kerja, konsentrasi, biasanya perhatian pada nafas, perhatian pada obyek, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sekarang… yang saya cintai ini sedang apa yah? Loh….. ada sesuatu kebahagiaan. Katanya ada yang dikangeni, ada yang dirindui itu kebahagiaan, padahal itu juga penderitaan.
Di dalam Dhammapada sudah disebutkan bahwa dari cinta itu sebetulnya muncul problem, tapi banyak orang lupa di bagian itu. Kemudian nanti kalo yang dicintai itu berproblem, itu lebih parah lagi. Kita cinta dengan anjing, anjingnya banyak kutunya. Eh…. Ngamuk-ngamuk. Anjing koq banyak kutunya. Lhar iya, kalo anjing banyak ketombenya. Wah…. Ini butuh shampoo baru nih.
Wah… ini anjing kutunya banyak nih, Stress ! Anjingnya sakit, ditangisi, digendong kemana-mana, ditangisi. Sebetulnya itu berproblem, tetapi tidak begitu bikin masalah. Lebih menderita itu, kalo ada yang dibenci, padahal efeknya yah… sama.
Cinta tadi, mau makan, mikiri yang dicintai. Mau tidur, mikiri yang dicintai. Tapi nanti kalo yang dibenci, juga sama, efeknya yah… sama.
Nggak enak makan, nggak enak tidur.
Mau makan, ingat yang dibenci. Masakan enak, jadi nggak enak.
Mau tidur, ingat yang dibenci. Kasur yang nyaman, wah….. rasanya kayak ada pakunya. Sebentar balik kanan, sebentar balik kiri. Aduh…. sakit semua badannya. Sebetulnya sama, tapi orang sering bermasalah atau dimasalahkan itu adalah kebenciannya ini.
Saudara-saudara, di dalam Dhamma sebetulnya hidup ini sederhana cara berpikirnya. Bagaimana itu? Koq saya ketemu yang saya cintai, koq yang ini? Koq bukan yang itu? Saya kok benci sama yang ini? Koq bukan yang itu? Itu mesti ada sebabnya. Karena di dalam Dhamma pada saat Sang Buddha membabarkan Dhamma pada hari Asadha, pada waktu dulu sudah kita bahas bersama, Sang Buddha membabarkan 4 Kesunyataan Mulia yang demikian panjang ceritanya, intinya sederhana. Yang disampaikan oleh Bhante Kondaňňa, segala sesuatu ada sebab, kalo sebabnya dihilangkan, hilang juga segala sesuatunya itu.
Jadi hukum Dharma adalah hukum sebab dan akibat. Sekarang saya koq senang sama yang ini, mesti ada sebab. Kenapa koq saya benci sama yang itu? Pasti ada sebab. Apakah yang menjadi sebab di dalam Dharma? Sebetulnya adalah karena karma kita masing-masing. Cinta dan benci itu muncul dari karmanya masing-masing.
Satu contoh yang pernah saya sampaikan disini adalah, kalo kita berdiri di depan pintu, kemudian ada orang yang lewat, walaupun kita nggak kenal namanya, nggak tahu rumahnya, kita bisa muncul rasa senang. Waduh…… aku senangnya.
Kalo sekarang ibu-ibu senang misalnya seperti anak remaja, Meteor Garden misalnya. Wong kenal orangnya aza ndak. Dia ketemu anda, noleh aza ndak. Sueeneng eh….. Pada bintang film Korea lagi, siapa nggak tahu, itu ibu-ibu sueeneng eh………”Bhante, kalo sudah bintang itu keluar, wah… happy”. Lhar…… bintang itu kenal anda aza, yah… ndak.
Sebaliknya, anda nonton film yang lain, yang selalu pemainnya menjengkelkan. Itu juga anda kalo lihat, “Aku geting (bahasa Jawa : benci) loh, kalo ketemu ini”. “Iki koq mesti main toh yah?” Yah… kenal anda aza ndak, nyalahin anda yah ndak. Lhar…ngapain anda jengkel-jengkel ama orang itu? Kenapa? Itu sebetulnya ada ikatan karma. Anda nggak usah nonton TV atau nonton sinetron. Anda di depan pintu aza, anda akan tahu siapa orang yang anda sukai dan siapa orang yang anda benci, padahal nggak kenal orangnya, nggak kenal namanya, nggak tahu rumahnya, nggak tahu prilakunya, muncul perasaan itu. Itu kalo anda lanjutkan, anda kenalan. Kalo orang itu, pertama anda lihat sudah menyenangkan. Anda kenalan. Anda akan menjadi teman yang baik. Kalo menjadi teman dagang, teman dagang yang menguntungkan. Kalo itu lawan jenis, dan anda masih sendirian, jadi pasangan hidup yang akur.
Tapi kalo orang itu, sekali lihat anda sudah nggak seneng, sudah getting (bahasa Jawa : benci). Tapi anda merasa, “Ahr…Aku harus berbuat baik”. “Coba saya salaman sama dia”. “Coba saya hubungan dagang sama dia”. Itu pasti yah… ada-ada aza, yang gegeran, kerja nanti jadi ditipu, dihutang nggak dibayar, jadi pasangan hidup geger terus. Selalu begitu. Nah… ini karena cinta dan benci kumpulkan.
Seperti yang tadi saya bahas, sebetulnya ini sumbernya adalah dari karma kita masing-masing dan kita muncul cinta pada satu orang atau satu makhluk, kita benci pada satu orang atau satu makhluk. Itu sebetulnya bukan hanya sekali dalam kehidupan ini, sudah melewati banyak kehidupan. Saya katakan pada satu orang atau satu makhluk, kenapa? Karena anda ini, kadang-kadang lihat anjing aza, senengnya ndak karuan.
Aduh… kirek (bahasa Jawa : aning) ini koq gantengnya kayak gini! KIREK GANTENG? BAGIAN MANA GANTENGNYA ITU? Itu kan anda bisa lihat begitu toh. Kirek koq gantengnya kayak gini. Kadang-kadang opo ini kehidupan lampau pernah lahir jadi sejenis atau apa? Lhar… yang bisa menikmati gantengnya, kan mesti yang sejenis. Lhar… buktinya kirek bisa kawin toh. Itu kan berarti menganggap,”Oh… iki ganteng, seng iki ayu”. Kawin! Kan begitu? Lhar… sekarang manusia bisa ngomong, ”Iki ganteng yah kucingnya”. “Iki ayu loh kucingnya”. Oh….. ini karma lampau lahir sejenis ini.
Nah, saudara-saudara, itu kenapa? Karena kita berhubungan dengan seseorang atau berhubungan dengan satu makhluk itu sudah ribuan kali kehidupan, kita selalu begitu.
Anda bisa melihat di dalam riwayat Sang Buddha, Devadatta yang selalu memusuhi Sang Buddha, itu bukan hanya satu kehidupan, ribuan kehidupan itu kumpul, musuuuuh….. terus, ndak pernah ndak musuhan. Sebaliknya nanti ada Bhante Ananda, Bhante Sariputta, Bhante Mogallana yang selalu dekat dengan Sang Buddha. Itu ribuan kehidupan juga selalu berdekatan.
Apa sebab saudara? Karena kadang-kadang kita memberikan minyak pada api cinta dan api benci itu. Cinta dipupuk terus. Aduh…. aku cinta sama pasangan hidupku. Aku sayang sama anjingku. Meninggal dunia. Mungkin jadi kutunya anjing itu. Jadi…. mungkin karena kita melekat. Karena dulu pernah ada kejadian begitu. Seorang Bhikkhu sedang pindapatta alias keliling menerima dana makan dari umat. Lalu Bhikkhu ini melihat ada anjing santai-santai di kolong meja. Lalu Bhikkhu ini merenung, “Waduh… enaknya, pagi-pagi santai di bawah kolong meja. Eh…. Bhikkhunya mati, lahir jadi anaknya anjing itu. Itu kejadian sungguhan. Di dalam cerita Dharma itu ada. Kenapa? Karena kemelekatan. Cinta yang diberi dengan bahan bakarnya.
Sekarang saudara-saudara, benci juga sering diberi bahan bakar, karena itu di dalam Dharma pernah disebutkan begini. Pada zaman dulu ada seorang pria yang menikah, mereka menjadi suami istri yang cukup lama, tapi setelah lama menjadi suami istri, mereka ndak punya keturunan, sehingga istrinya menjadi gelisah. Karena zaman dulu toh, kalo ndak punya keturunan ini dikira istri yang ndak beres. Sekarang aza masih terdengar nada seperti itu. “Ada apa yah istrinya?” Kan begitu toh! Yah… ibu-ibu, bapak-bapak.
Zaman dulu apa lagi. Istri ini lalu mikir, “Waduh….. kalo aku nggak punya anak, repot ini. Nanti aku dicerai sama suamiku”. Lalu bagaimana sekarang? Suaminya disuruh kawin lagi. Hah… itu zaman sekarang yah banyak itu. “Sudah Pak, sana kawin lagi aza”. “Pokoknya saya nggak dicerai.” Itu normal sekali. Padahal hari ini sudah terbukti orang tidak hamil itu, belum tentu karena salahnya istri, bisa juga karena salahnya suami.
Nah… kemudian istri ini menyarankan suaminya. “Coba, Bapak kawin lagi, nanti saya pilihkan istri yang paling sip, yang paling bisa diajak kompromi”. Hah benar. Yah… setelah didesak-desak, akhirnya suaminya katakan, “Iya lahr, kalo memang mau mu begitu, yah….. ndak apa-apa lahr”. Memang jarang laki-laki kalo disuruh kawin lagi, nolak itu… rasanya agak jarang. Bapak-bapak iya yah…., jarang, rata-rata jarang nolak itu. Ayo, cobalah kawin lagi. Eh… sudah! Kebetulan!
Eh… beneran, nggak lama setelah menikah, istri yang kedua ini hamil sungguhan. Wah… bener ini! Hamil! Istri yang pertama stress. Gimana ini caranya? Saya kasih anu aza, bubur campur racun. Soalnya nanti kalo dia hamil, punya anak, suamiku senang sama dia, kan repot. Jadi dikasih bubur campur racun. Wah… sungguhan, gugur anaknya. Lego…. Istri pertama. “Eh…. Akhirnya kamu kan juga ndak punya toh”. Hah… lego. Eh…. ndak lama, hamil lagi. Wah… ugal-ugalan, koq bisa lagi? Kasih racun lagi, kena lagi, gugur lagi. Lego… lagi. Istri pertama sudah lego, istri kedua cenut-cenut, makin stress.
Sehingga nggak lama kemudian memang hamil yang ketiga, tapi nggak kasih tahu. Karena dipikir, kalo kasih tahu, waduh…. Diendrim ((bahasa Jawa : diracuni) lagi, gugur lagi, kan repot. Diam-diam aza. Tapi namanya orang hamil, kan nggak bisa disembunyiin. Yah… perutnya makin melentung, makin melentung, makin melentung. Ketahuan! Wah… sudah. Dikerjain lagi, sehingga akhirnya waktu istri kedua ini melahirkan, meninggal. Anaknya meninggal, ibunya meninggal, tapi…… meninggal dengan kebencian, jengkel sekali sama istri pertama. “Ini gara-gara dia ini, bikin saya sampai stress begini”. Mati dia dengan kebenciannya dan dia memberi bahan bakar kebencian ini. Lahirlah dia jadi DORAEMON, kucing. Lahir jadi kucing, bukan Doraemon namanya, tapi kucing.
Kemudian istri yang pertama ini juga karena nggak suka dengan istri yang kedua, maka ndak lama kemudian setelah meninggal, lahir jadi ayam betina. HAH……. Ayam betina nelur, diemplok kucing. “RASAIN LU, TAK BALAS”. Nelur lagi, emplok lagi, nelur lagi, emplok lagi. Terus …. Begitu, sampai akhirnya si ayam betina ini jueeengkel, benci. Mati dia, lahir jadi harimau. Si kucing mati, lahir jadi rusa betina.
HAH… ketemu lagi, ketemu lagi. Rusa betina melahirkan anak, diemplok sama harimau. “GANTIAN LU SEKARANG”. Lahir lagi, emplok lagi. Lahir lagi, emplok lagi. Lahir lagi, emplok lagi. Terusss… begitu, sampai akhirnya babon ((bahasa Jawa :induk ) nya ikut dicaplok sekalian. Mati dia dengan kebenciannya. Lahir jadi demit ((bahasa Jawa : setan), jadi makhluk halus. Si harimau yang suka makan itu, lahir jadi seorang wanita, tinggal di zaman Sang Buddha.
Nah…. Wanita itu setelah berumah tangga, dia punya anak, tinggal di Savatthi, itu yang Jetavana. Wanita ini lahir di Savatthi, kemudian punya anak. Anak ini diincar sama si demit. Mungkin kalo zaman sekarang apa yah namanya demit yang suka bayi itu loh? Namanya kuntilanak. Wewe juga toh ya, wewe kan juga suka anak. Kemudian dikejar. Anaknya dikejar sama demit ini. Wah… ibunya ini girap-girap. Lari ke vihara. Yah…. Memang kan sasarannya kalo ada makhluk demit, vihara yang dicari. Supaya kalo ada demit, gigit Bhikkhunya aza lhar, jangan gigit saya. Yahhh…. Itu sudah pengorbanan memang. Yah… nggak apa-apa lahr, kita ndak punya anak istri, digigit demit ndak apa-apa, ndak ada yang nangisi koq.
Bener, setelah ketemu Sang Buddha. Lalu ibu ini meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha, “Tolong Sang Buddha, bayi saya ini diselamatkan, jangan sampai dimakan demit”. Kemudian Sang Buddha lihat, lho memang di depan vihara ada demit nunggu, demitnya kan ndak bisa masuk. Lalu sama Sang Buddha disuruh, “Ayo sini masuk”. Demit ketemu Sang Buddha, “Apa tujuanmu makan bayi ini?” “Kenapa?” “JENGKEL!” “BENCI!” Lalu Sang Buddha menerangkan, “Benci dan jengkel ini bukan untuk kehidupan ini aza. Sudah berkali-kali kamu kelahiran selalu jadi musuh”. Lalu Sang Buddha mengeluarkan kalimat itu “KEBENCIAN ITU TIDAK AKAN BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN.” Kamu sekarang makan, nanti besok lahir lagi. Ini gantian makan sana. Sana nanti lahir lagi, makan sini. Sana makan sini. Sini makan sana. Teruuusssss begitu, ndak akan pernah habis. “KEBENCIAN TIDAK AKAN BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN, TAPI KEBENCIAN AKAN BERAKHIR DENGAN CINTA KASIH”. Apa kamu mau melanjutkan terus sampai kelahiran-kelahiran yang akan datang? Geger, cekcok seperti ini? Kalo mau terus, yah…. Silahkan. Tapi kalo kamu mau mengembangkan cinta kasih, mulai sekarang kamu harus berhenti.
Nah, kemudian si demit ini sadar. Setelah diceramahi Sang Buddha, dia sadar. Lalu Sang Buddha dengan mata batin melihat bahwa demit ini sudah sadar, Sang Buddha mengatakan kepada ibu tadi, “Coba, anaknya sekarang kasihkan kepada demit itu, suruh gendong”. Wah, ibunya takut nanti dimakan ini. Coba saja! Dan ternyata si demit itu mengendong bayinya, mengelus rambut anak itu, mencium dan menetes air matanya. Mulai saat itu juga permusuhan antara keduanya berakhir. Mereka malah menjadi sahabat. Mereka saling menjaga.
Saudara-saudara, cerita ini meskipun ada di zaman Sang Buddha, sebetulnya bisa menjadi contoh untuk kita. Kalo kita nggak suka sama seseorang, apa toh sebetulnya? Ini bukan kejadian saat ini saja. Sudah berkali-kali kelahiran kita itu sebetulnya kisruh (bahasa Jawa : berantem/ribut), dikisruhi, atau kita yang mengkisruh dia di bagian ini. Terus berulang-ulang, terus berulang-ulang. Kenapa? Karena kita berjalan sesuai dengan karma kita. Tidak ada sesuatu yang tanpa sebab muncul di dunia ini. Semua mesti ada sebab. Karena kalo sekarang kita mempunyai orang yang kita sayangi. Kita mempunyai makhluk yang tidak kita sukai. Sebetulnya kita JANGAN memberi bahan bakar kebencian. Karena nanti kalo lahir lagi, malah ketemu lagi.
Suami istri. Kenapa bisa lahir suami istri terus? Itu karena saling mencintai. Tapi suami istri juga bisa lahir sebagai suami istri terus, karena sangking bencinya. Biar puas! Kalo sangking cintanya puas. Dari pacaran sampai kawin, sampai tua, sampai nenek kakek, gandengan kemana-mana, bersama-sama berdua. Puas! Sampai mati pun kalo perlu bisa bareng.
Tapi kalo benci juga, kemana-mana gandengan, tapi untuk cekcok. Puas! Pagi bangun tidur, cekcok. Siang, tengah malam, cekcok. Puas! Tapi apa kita mau selalu begitu? Apa kebencian akan dibalas dengan kebencian? Padahal sebetulnya kebencian itu karena karma buruk kita yang berbuah. Kita mengalami kejengkelan, kita mengalami stress, karena karma buruk kita berbuah. Tapi kalo saat kita menghajar dengan kebencian, kita melawan kebencian dengan kebencian lagi, pertempuran jangka panjang itu akan kita lanjutkan terus. Pertempuran dimenangkan kita pada kehidupan ini. Mungkin di kehidupan yang akan datang, kita yang kalah. Kita nggak terima, lanjut lagi di kehidupan yang berikutnya, lanjut lagi, lanjut lagi, lanjut lagi. Berapa kehidupan kita harus menyia-nyiakan hanya untuk memuaskan api kebencian kita?
Oleh karena itu saudara-saudara, dalam kesempatan ini tentu kita semua di dalam kehidupan ini banyak masalah, banyak kesulitan, banyak orang yang tidak kita sukai, banyak makhluk yang tidak kita sukai. Cobalah mulai hari ini kita pancarkan cinta kasih kepada mereka, supaya di dalam kehidupan ini sajalah, putus sudah, putus sudah, putuuuussssss sudahhhhh. Putus sudah urusan kebencian yang berlanjut di kehidupan yang terus itu.
Kalo kita bisa mengembangkan cinta kasih. Kita mendoakan, ”Semoga dia bahagia. Semoga semua makhluk berbahagia”. Itu bisa memutus rantai kebencian. Selama masih muncul benci, kalo masih muncul jengkel kita, pada saat kematian tiba nanti, sesungguhnya kita akan memulai melanjutkan pertempuran jangka panjang.
Oleh karena itu saudara-saudara, cobalah sekarang pikirkan untung dan ruginya, memelihara kebencian, sampai jengkel sekali, bertahun-tahun jengkel, menyimpan kebencian sudah bertahunan. Apa artinya? Sama dengan menyimpan barang busuk di dalam diri kita. Apa gunanya? Kecuali itu merugikan kita semua. Oleh karena itu, coba mulailah sekarang, kalo anda bisa memancarkan cinta kasih kepada orang yang anda benci. Misalnya kita benci si A. Kemudian anda mengucapkan, “Semoga si A bahagia”. “Semoga semua makhluk berbahagia”. Pertama anda mungkin akan jengkel ngomong itu. Ucapkan terus! Ucapkan terus! Sampai anda bisa memaafkan dia, pada saat hati anda mengatakan, “Semoga dia bahagia. Semoga semua makhluk bahagia”. Anda ucapkan terus dengan seluruh perasaan anda. Karena anda bisa memaafkan dia, maka pada saat itu, putus sudah ikatan kebencian anda yang terbawa sekian kali. Kebencian itu bisa muncul di dalam kehidupan kita, mungkin sebagai keluarga dekat kita, mungkin dia ayah kita, mungkin dia ibu kita, mungkin dia anak kita, mungkin dia tetangga kita, mungkin itu binatang kita. Itu semua yang akan datang untuk saling bayar membayar hutang piutang kita.
Kan ada itu anak dari kecil, dikandung. Bikin orang tua nya sakit-sakitan terus, itu dari kandungan sudah nagih hutang. Terus nanti itu sudah lahir, yah…. Sakit-sakitan, masuk rumah sakit, duitnya habis, tenaganya habis. Tapi juga ada anak yang sejak dalam kandungan membayar hutang sama kita. Begitu mengandung dia, rezekinya datang, usahanya lancar, pangkatnya naik, semuanya sukses. Itu juga ada.
Ada orang kawin, begitu kawin. Wah… semuanya sukses, juga ada. Sampai ada orang katakan, “Ini loh, ini rezekinya yang bawa suaminya. Ini yang bawa istrinya”. Karena begitu menanjak. Tapi juga nggak kurang orang begitu kawin, langsung merosot semua. Ini semua karena bayar membayar hutang.
Marilah kita putuskan rantai ini. Kalo kita masih belum mau putus, mungkin masih bisa lanjut lagi rantai cinta. Mungkin kalo kita mau punya pasangan ini lagi. Yah…. Boleh dengan saling mencintai, saling menyayangi. Tapi rantai kebencian ini sungguh menyakitkan untuk terus disambung lagi, akan membuat kita selalu kecewa, meneteskan air mata, jengkel, tidak suka makan, sulit tidur, gara-gara kebencian kita. Karena itu ucapkanlah, “Semoga dia bahagia. Semoga semua makhluk bahagia”. Kalo kebencian itu bisa kita hilangkan, kebahagiaan akan menjadi milik kita.
Oleh karena itu saudara-saudara, KEBENCIAN TIDAK AKAN BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN. KEBENCIAN JUSTRU AKAN BERAKHIR, SELESAI, DENGAN CINTA KASIH.
Pancarkanlah cinta kasih kita kepada siapa pun juga, kepada semua makhluk, baik yang tampak maupun tidak tampak. Karena di antara kita mungkin juga ada makhluk-makhluk tak tampak, leluhur-leluhur kita, musuh-musuh kita di kehidupan lampau, masih mengikuti kita terus sehingga membuat kita sakit-sakitan dan sebagainya. Kita pancarkan cinta kasih, sehingga akhirnya hubungan dengan mereka akan bisa kita lenyapkan sehingga hidup di dunia menjadi selalu bahagia.
Semoga anda selalu berbahagia di dalam Dharma. Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun tak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagian sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing.
Sabbe sattã bhavantu sukhitattã.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar