Senin, 21 November 2011

Tidak Ada Manfaatnya Menyesali Masa Lampau



oleh: YM.Bhikkhu Uttamo Mahathera

Memang benar. Penyesalan yang sudah terjadi tak ada gunanya untuk disesali. Tetapi seharusnya kita sadari dan memperbaiki kekeliruan yang sudah terjadi dengan suatu tindakan yang lebih baik supaya hal yang belum tercapai dapat diraih. Untuk lebih jelasnya mari kita simak artikel berikut ini.

Kelihatannya pokok bahasan ini sederhana, tapi kita akan melihat sejauh mana kita mampu melaksanakan ajaran Sang Buddha. Kalau kita melihat dari paritta yang pernah kita bacakan, dan kalau kita mau membalik-balik buku Dhamma di sekitar kita, kadang-kadang muncul kebingungan. Karena banyaknya buku-buku tersebut, umat yang masih baru menjadi bingung dan akan berpikir: "Dari mana saya harus mulai belajar? Apakah saya harus mulai belajar mengenai sila, ataukah dari mengikuti kebaktian di vihara-vihara, atau dari membaca buku-buku atau dari yang lainnya?" Oleh karena itu, agar Anda tidak menjadi bingung dan dapat mengetahui dari mana titik awal praktek ajaran Sang Buddha, saya akan membahasnya dalam kesempatan ini. Tema ini sangat penting dan bermanfaat sekali. Semoga setelah membaca tulisan ini Anda bisa melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi problema hidup.

Kita sebagai umat Buddha sama dengan umat beragama lain, sama dalam arti kita punya problema/masalah. Saya akan memberikan suatu cerita sebagai ilustrasi. Suatu ketika saya mengunjungi sebuah rumah sakit untuk menjenguk seorang Bhikkhu yang sedang dirawat di rumah sakit tersebut. Beliau adalah guru saya, ketika saya masih umat biasa. Beliau sudah cukup tua dan sakit tidak dapat ditolong lagi. Itulah sebabnya saya berusaha menjenguk. Pada waktu itu saya sudah menjadi Samanera.

Kebetulan saat itu belum jam bezuk, maka saya dan umat duduk di sebuah bangku panjang. Tak lama kemudian muncul laki-laki setengah baya duduk di sebelah saya. Dia melihat saya seperti melihat barang antik. Diperhatikannya dari atas sampai ke bawah. Karena saya mendiamkan tingkahnya itu, akhirnya orang ini menyapa saya, "Nak, Anda sakit apa?"

"Sakit bagaimana?" sahut saya.

"Saya kasihan melihat Anda, rambut rontok semua, pakai selimut tertutup, apakah tidak merasa panas?"

Ternyata karena saya berada di rumah sakit, saya dikira sedang sakit. Lalu saya menjawab dengan wajah sedih,

"Iya pak. Saya memang sedang sakit".

"Kelihatannya Anda masih muda, masih kuat, memangnya sakit apa? apakah Anda sakit menular?"

"Sakit saya cukup parah, parah sekali, tapi tidak menular".

"Tidak menular?"

"Tidak, tetapi Bapak juga mempunyai sakít seperti saya".

"Seperti Anda? Sakit apa? Rambut saya masih banyak, saya tidak kedinginan seperti Anda".

"Justru di situ bedanya. Bapak dan saya sama-sama sakit, tapi Bapak tidak tahu bahwa Bapak sedang sakit sedang saya sadar bahwa saya sedang sakit".

Bapak ini menjadi semakin penasaran.

"Sesungguhnya kita mempunyai sakit yang sama. Kita menjadi sakit jika berpisah dengan orang yang kita cintai. Kita akan menjadi sakit jika berkumpul dengan orang-orang yang kita benci/tidak kita senangi. Ini sakit saya, sakit kita bersama. Sakitkah Bapak jika berpisah dengan orang yang dicintai? Tidakkah Bapak merasa sakit jika berkumpul dengan orang yang tidak disenangi?"

"Iya, rasanya sakit dan jengkel".

"Wah, kalau demikan kita punya penyakit yang sama. Hanya saja Bapak baru sadar bahwa Bapak sakit, sedangkan saya sudah agak lama menyadarinya, lalu mengambil jalan seperti ini, menjadi Bhikkhu. Inilah orang yang menjalankan Sila, agar bisa mengatasi penyakit ini. Ini artinya kita mempunyai penyakit yang sama. Berkumpul dengan yang tidak kita senangi merupakan penderitaan. Berpisah dengan yang dicintai merupakan penderitaan. Penyakit ini merupakan wabah kita bersama".

Bagaimana kita sebagai umat Buddha mengatasi kesulitan ini? Tentunya tidak usah bermodal seperti saya —menjadi Bhikkhu— Saya akan menjelaskan untuk para perumah tangga, para umat biasa yang tinggal dalam masyarakat, bagaimana kita mengatasi kesulitan/problem ini?

Suatu ketika saya teringat tentang suatu kisah dalam sebuah keluarga ketika diundang pada upacara kematian. Pada upacara yang cukup besar ini, ada seorang anak yang histeris, menjerit-jerit. Pada malam harinya ketika saya sedang berkhotbah, tangisnya lebih keras daripada khotbah yang saya berikan. Lama-lama konsentrasi saya buyar, sehingga terpaksa saya minta agar mereka tenang sebentar dan mengajak mereka untuk merenungkan ajaran-ajaran Sang Buddha.

Saya mengatakan, "Saudara-saudara mengadakan upacara kematian, kita mempunyai hak sepenuhnya untuk menangis. Karena kematian berarti kita kehilangan satu anggota keluarga kita. Ada pepatah mengatakan: Semakin keras menangis, semakin sayang pada yang meninggal, dll, dll".

Kemudian saya simpulkan: "Saudara-saudara, inilah kesempatan yang paling baik untuk merenungkan apa makna tangis kepada orang yang telah meninggal. Saya yakin sewaktu Saudara menangis, Saudara tidak akan pernah berpikir, semoga ia yang mati menjadi hidup kembali, 100% tidak ada yang berpikir demikian. Dan kalau seandainya betul berpikir demikian dan si mati bangun kembali, yang menangis pasti akan lari ketakutan. Karena kita tahu si mati tidak bisa hidup lagi.

Lalu siapa yang kita tangisi? Temyata kita menangisi diri kita sendiri, dia mati sebelum saya puas hidup dengan dia, mengapa dia mati sebelum saya memberikan bakti saya, saya belum bisa membahagiakan dia. Oh, semalam saya makan bersama dia, mengapa pagi ini dia meninggal? Mengapa saya ditinggal sendirian dan harus mencari nafkah sendiri?"

Ternyata kita menangisi diri kita sendiri, kita cinta pada diri kita sendiri. Saya yakin Anda semua pernah mempunyai sesuatu yang dicintai, apakah kepada orang ataupun benda. Ini suatu kenyataan bahwa kita semua punya rasa cinta, punya rasa sayang, dan kalau yang kita cintai/sayangi itu kita tinggalkan atau dirampas orang, ada rasa sedih dalam hati.

Ketika berpisah dengan anak semata wayang yang begitu mungil dan cantik karena harus pergi ke vihara selama 3 atau 4 jam, di vihara hati menjadi tidak tenang dan berpikir, "Wah anak saya sedang apa, apakah dia sudah tidur?" Pikiran ini sering terjadi.

Orang yang ditinggal pergi oleh pacarnya dan tidak tahu kapan bisa bertemu lagi, timbul kesedihan di lubuk hati. Kalau sedang tidur, lalu bermimpi. Berpisah walaupun sejenak menggundahkan perasaan, hati menjadi susah.

Siapa yang sebenarnya ditangisi, apakah Anda sedih karena disebabkan oleh pacar Anda? Anda tahu, walaupun Anda berpikir dalam keadaan bagaimanapun, "Saya kangen dengan anak saya/pacar saya", kesayangan Anda tidak mungkin muncul di tempat Anda. Tidak mungkin. Kalau demikian sesungguhnya siapa yang Anda pikirkan? Yang Anda sayangi? Anak Anda ataukah diri Anda sendiri? Saya merenung, "Kenapa ya saya sampai di sini". Kalau tadi saya tidak berangkat tentunya saya tidak akan berpisah dengan anak saya, kalau saya tidak pergi tentunya saya tidak berpisah dengan istri saya, dst..,dst.

Jadi yang menjadi sumber penderitaan adalah "SAYA". "Saya yang susah", "Saya yang ingin bertemu dengan dia". Ini menimbulkan problema.

Demikian pula apabila kita merenungkan perbuatan kita ketika melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan penyesalan, penyesalan yang dalam sekali. Apabila bersalah cukup besar, "Kenapa saya melakukan hal itu? Kenapa hal itu harus terjadi? Kenapa saya yang menjadi korban dalam peristiwa itu?" Kita menyesal dan menyesal.

Ada satu peristiwa yang mengingatkan saya kepada ajaran Sang Buddha mengenai hal itu. Diceritakan bahwa di suatu kota/tempat, ada seseorang yang sedang berdiri menonton karnaval/arak-arakan. Kemudian rombongan berkuda lewat, sehingga mengakibatkan debu berterbangan dan masuk ke hidung orang itu. Ia tidak tahan dengan debu dan ingin bersin. Ia bingung, karena di sekelilingnya sesak akan manusia, sehingga kalau bersin pasti kena pada salah satu di antara mereka, padahal keadaan sudah darurat. Akhirnya karena sudah tak tahan orang ini bersin ke sebelah kiri, sambil menutup mata. Pada waktu ia membuka mata, ia kaget hampir pingsan, karena di sebelahnya ini seorang tentara dan ia bersin tepat di muka tentara itu. Mukanya basah. Dengan kumis melintang gagah tinggi besar, tentara berseragam ini melihat kepadanya sehingga ia menjadi tambah kaget dan ketakutan. Dengan tenang tentara ini mengambil sapu tangan dan melap mukanya. Setelah selesai dengan tenang tentara ini melihat kembali pada orang ini. Dengan terbata-bata ia minta maaf, "M......a.......a......f..... saya....... tidak...... sengaja... ini dalam keadaan darurat. Tadi saya pikir di depan tidak ada orang. Lalu saya pikir di pinggir kiri kosong. Saya bersin dengan mata tertutup, tidak melihat. Ma..af, maaf pak. Saya tidak tahu". Tentara ini melihat, "Yakh... sudah, tidak apa-apa". Tapi ia merasa, "Sudah, tidak apa-apa". Sepertinya tidak tulus ia masih belum merasa lega "Betul lho pak, maafkan saya. Saya ini pegawai kecil, maafkan saya". Ini disesali terus menerus padahal perjalanan hidup demikian sudah lama, dari hari ke hari sudah dijalankan, tapi pikiran kita masih melekat pada masa yang lampau, sehingga orang yang tidak tahan dapat bunuh diri. Gagal, tidak lulus ujian, tidak dapat jodoh, gagal usaha, bunuh diri. Semua ini muncul karena penyesalan yang tidak pada lempatnya. Di dalam agama Buddha, timbulnya penyesalan ini tidak perlu ada karena Sang Buddha mengajarkan kita untuk hidup pada saat ini. Saat inilah hidup. Di masa lampau memang kita pernah hidup, tapi sudah tidak hidup lagi. Jadi sekali lagi saya katakan agama BUDDHA tidak pernah mengenal penyesalan.

Lalu apakah umat Buddha adalah umat yang tidak pernah mengembangkan/memperbaiki diri? Umat Buddha adalah umat yang selalu waspada, eling, menyadari kesalahan, sadar dirinya salah, tapi tidak diikuti penyesalan yang berkepanjangan. Namun, kesadaran akan kesalahan harus disertai tekad: "Di masa yang akan datang saya tidak akan melakukan kesalahan yang sama".

Jadi seandainya sekarang kita gagal ujian, kita tahu sekarang ini kita gagal. Kita sadar kita gagal tapi jangan menyesali: "Wah, gara-gara nonton terus-menerus waktu ujian, sehingga sekarang saya yang gagal". Lalu ini disesali terus. "Sudahlah saya bunuh diri". Mengapa bisa terjadi demikian? Ini dikarenakan penyesalan yang berkepanjangan. Padahal kalau kita menyadari ini salah dan bertekad jangan sampai kesalahan yang sama ini kita ulang pada masa yang akan datang, kita akan memperoleh banyak manfaat.

Ada pepatah yang mengatakan: "Tidak mungkin keledai terperosok dua kali pada lubang yang sama". Artinya keledai ini tidak menyesali dia terperosok, tapi dia ingat bahwa di situ ada lubang, jangan sampai di kemudian hari saya masuk lubang yang sama. Janji keledai ini dapat kita terapkan dalam kehidupan kita.

Kekecewaan dan kegembiraan silih berganti dalam hati. Apa yang menyebabkan kekecewaan? Apa yang menyebabkan kegembiraan? Kita catat baik-baik dan kita buat tekad, "Saya tidak akan mengulang kesalahan yang sama dan saya akan berbuat perbuatan benar yang sama untuk mencapai kebahagiaan".

Contoh konkrit: Cekcok dengan istri misalnya. Kita sadar mengapa bisa terjadi percekcokan. Jangan lalu berpikir mengapa saya punya istri seperti ini? Mengapa saya mempunyai suami ini, ganteng tidak, gagah tidak. Suami orang lain lebih ganteng. Ini sikap yang salah. Seharusnya kita sadar, kita cekcok masalah apa? Mungkin kata-kata saya terlalu kasar terhadap istri. Kalau kita sadar ini penyebabnya, lalu kita punya niat, "Saya tidak akan mengeluarkan kata-kata yang kasar pada istri saya". Dengan demikian keluarga akan bahagia. Demikian pula bila kebetulan si istri tahu suami datang, beri senyuman, sambut dengan ramah. Ini akan menimbulkan keluarga bahagia.

Suatu hari ada seorang istri menemui saya dan bercerita bahwa suaminya tidak kerasan di rumah. Kenapa bisa demikian? Saya sarankan agar istri tersebut mencari tahu hobi suaminya, apakah masakan kesayangannya, warna kasayangan, senang lihat istri pakai baju apa, senang pengaturan rumah yang bagaimana.

Saya anjurkan agar si istri menuruti hobi kesenangan suami yang tidak makan biaya, dengan sekali-sekali menuruti kesukaannya yang lain. Jadi istri harus berusaha mengikat kesenangan suami. Ini jauh lebih baik daripada menyesali apa yang ada. "Kenapa suami saya tidak pernah pulang?" Penyesalan ini yang akan menimbulkan penderitaan. Tapi kalau kita mau memperbaiki, mau berusaha mengerti dan bertekad: "Saya akan mengubah kekurangan dengan kelebihan yang ada". Ini pasti akan mendatangkan kebahagiaan.

Mungkin saya pernah berbuat kesalahan, misalnya berdagang dan menjual dengan harga murah sehingga rugi. Jangan disesali kenapa rugi, namun harus disadari saya sudah rugi, kenapa rugi begini dan bertekad jangan sampai mengulang kembali kesalahan yang sama.

Suatu ketika ada orang bertanya, "Mengapa saya selalu dikejar rasa bersalah? Kenapa saya menjadi orang yang selalu merasa rendah diri, kenapa saya takut bergaul?" Saya hanya menyarankan cara yang mudah. Sediakanlah kertas putih selembar dengan alat tulis. Kalau mau tidur buat tulisan disitu —bukan tulis teori— tapi sebelah kiri beri tanda plus (+), sebelah kanan tanda minus (-). Kolom plus diisi dengan kebaikan yang telah Anda lakukan sehari itu misalnya menolong orang, mengantar teman dsb. Kolom minus diisi dengan perbuatan negatif misalnya: Saya hari ini marah, memukul istri, menyesali mengapa saya dengan si dia..... dst.. dst. Malam harinya kita telaah dan kemudian kita bertekad, besok pagi saya akan mulai melakukan dan mengembangkan yang positif, dan saya akan mengurangi yang negatif. Lalu tidur. Dan pagi hari dibuka kembali. "Oh.., berarti saya harus berbuat yang baik-baik begini, kemudian menghindari yang negatif-negatif begini. "Saya bertekad akan menambah yang baik dan mengurangi yang tidak baik". Kalau ini dilakukan selama satu bulan pasti Anda akan bahagia dan Anda pasti akan menjadi orang yang bermanfaat dalam masyarakat. Anda dapat mengatakan bahwa Anda pandita, mengerti agama Buddha. Oleh karena itu untuk mengatasi problem hidup, untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam masyarakat, kembali saya tekankan tidak perlu mengingat masa lampau, tidak perlu mengingat susah hati dengan kesalahan-kesalahan masa lampau. Tapi sadarlah bahwa Anda telah salah dan bertekad bahwa Anda tidak akan melakukan perbuatan itu lagi.

Semoga anda punya kesempatan merenungkan dan mencerna ajaran Sang Buddha yang sederhana serta bisa mengatasi semua problem kehidupan ini.

Dengan bekal Dhamma semoga Anda tambah yakin pada Sang Buddha dan kesucian Sang Tiratana. Dan semoga berbahagia dalam Dhamma.***


Sumber:
BUDDHA CAKKHU No.19/XI/90; Yayasan Dhammadipa Arama.

Tidak ada komentar: