Anehnya, dengan segala pengetahuan kita, dengan segenap pengalaman kita, apa yang paling tidak bisa kita terima adalah bahwa kematian bisa terjadi kapan saja. Kita tidak menerima ikhlas kenyataan ini. Akibatnya, kita memiiki pengharapan yang tak realistis akan kehidupan, berpikir bahwa kita bisa merencanakan berapa lama kita akan hidup.
Ada dua orang lansia di Perth, keduanya adalah sahabat karib. Satu hal yang paling mereka sukai melebihi apa pun adalah menonton olahraga kriket. Saking cintanya, mereka sampai menanti-nantikan The Ashes, pertandingan kriket tahunan Australia lawan Inggris, yang akan diadakan di Perth dalam beberapa minggu. Namun ketika mengobrol, mereka bertanya-tanya, “Jika kamu mati dan masuk surga, mereka main kriket di surga gak ya?”
Sebagai pecinta kriket yang saleh, mereka pun bikin perjanjian, “Siapa yang mati lebih dahulu akan turun dan memberitahukan jawabannya kepada yang lain: apakah mereka main kriket di surga.”
Segera saja salah satu dari mereka mati dan dalam beberapa minggu ia kembali mengunjungi sahabatnya dan bersaksi, “Aku punya dua berita kepadamu, kawan. Yang pertama: ya, mereka main kriket di surga. Yang kedua: giliranku memukul baru selesai, berikutnya giliranmu!”
Ini menunjukkan bahwa kematian bisa datang kapan saja, bahkan ketika Anda tidak mengharapkannya. Jadi maknanya adalah ketika kita bisa memahami kebenaran hidup. Ketika kita memahaminya, kita cenderung tidak lagi berharap akan apa yang kehidupan bisa berikan kepada kita.
Kita memahami bahwa ketika kita bertemu dengan seseorang dan jatuh cinta, itu tidak akan bertahan selamanya. Kita memahami bahwa ketika kita menjalani masa-masa indah bersama, masa-masa itu pun punya waktu kadaluwarsa. Dan akan tiba saatnya ketika tubuh kita pun harus kita lepas. Ini seakan seperti ketika kita tengah mendayung perahu sewaan di danau, lalu ada orang berteriak dari tepian, “Hei nomor 10! Waktumu habis!”
Tak peduli betapa kerasnya kita ingin memberontak, dengan mengatakan bahwa kita belum siap, kita tak bisa menunda kematian. Aneh sekali bahwasanya tak seorang pun atau sedikit orang yang selalu siap jika kematian datang mengetuk. Banyak yang akan berkata, “Saya belum siap sekarang. Bisakah Anda kembali lagi besok?” Dan bahkan besok pun, kita belum siap.
Kadang saya bertanya kepada orang-orang. “Berapa lama Anda ingin hidup?” Orang-orang pada usia 20-an akan menjawab, “Sampai umur 60 atau 70.” Sungguh hebat seandainya saya bisa menaruh pernyataan tadi hitam di atas putih, sebab ketika mereka sampai pada usia 60 atau 70, mereka akan berkata, “Tidak, tidak, tidak... 80 saja. Sampai umur 80 cukup panjang.” Ketika mereka sampai 80 tahun, mereka bilang, “Jangan, jangan... 90 saja ya.”
Sungguh aneh sedikit sekali orang yang siap untuk mati, padahal salah satu ciri orang bijak adalah siap mati. Ketika kita siap untuk mati, pada saat itulah kita siap untuk hidup.
(Diambil dari buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya Jilid 2", karya Ajahn Brahm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar