Biodata
Nama : Sri Pannyavaro Mahathera
Nama Lahir : Husodo (Ong Tik Tjong)
Tempat Lahir : Blora, Jawa Tengah, Indonesia
Tanggal Lahir : 22 Juli 1954
Alamat tinggal : Vihara Mendut
Depan Candi Mendut, Desa Mendut, Kota Mungkid,
Kotakpos 111, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia 56501
Telp 0293 788236, Fax 0293 788404
Pendidikan Akhir : Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta (1972-1975)
Mengenal Ajaran Buddha
Saya lahir di Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kakek dari
ibu saya adalah seorang kapiten. Oleh karena seorang kapiten adalah sesepuh
masyarakat, maka beliau dianggap sesepuh di klenteng. Waktu itu tugas kapiten
mengurus berbagai macam hal, termasuk upacara agama. Tidak hanya Lo Cu, kalau
kapiten datang sembahyang di klenteng, tambur juga harus di pukul. Setelah
jaman Belanda, meskipun sudah tidak menjadi kapiten, masyarakat tetap
menganggap beliau sebagai sesepuh. Karena pengaruh dari kakek, ibu saya tidak
dekat dengan agama Kristen, meskipun bersekolah di sekolah Belanda. Ayah saya
juga tidak pernah dekat dengan agama Kristen. Sehingga anak-anaknya menjadi
umat klenteng, meskipun tidak mengerti apa yang diajarkan oleh agama. Dunia
saya adalah dunia sembahyang, baik di klenteng ataupun di rumah. Orangtua saya
menjadi pengurus klenteng ketika saya akhir SMP atau awal SMA.
Saya mengenal ajaran Agama Buddha dari guru sejarah SMP saya,
Bapak Suprapto, ketika saya duduk di kelas 1. Memang sebelumnya saya sudah
mendengar adanya ajaran Buddha tetapi tidak mengetahui apa yang diajarkan. Pak
Suprapto adalah orang yang pertama kali menjelaskan apa yang diajarkan oleh
Agama Buddha, tentang Empat Kesunyataan Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan,
dan sebagainya. Sejak itu saya tertarik dan merasa cocok dengan ajaran Agama
Buddha karena merasa ajaran Agama Buddha sangat logis dan jelas sekali inti
ajarannya.
Di tahun 1965, ketika saya kelas satu SMP, terjadi G 30 S. Waktu
itu terjadi perubahan kurikulum sehingga saya duduk di SMP kelas satu selama
satu setengah tahun. Semua orang harus menentukan agama apa yang dianut.
Sebelumnya agama tidak menjadi keharusan. Lalu saya mulai ikut kebaktian pada
hari Minggu jam empat sore di Klenteng Hok Tik Bio Blora. Klenteng itu dipakai
untuk kebaktian Agama Buddha. Di sana terdapat altar Sang Buddha.
Pada tahun 1967, beberapa bulan setelah mengikuti kebaktian ,
Bhante Narada Mahathera datang ke Blora. Beliau adalah bhikkhu pertama yang
saya lihat dalam kehidupan saya. Dari Beliaulah saya menjadi upasaka dengan
nama Tejavanto. Pada awal suatu ceramah, beliau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan Dhamma. Kepada yang bisa menjawab—terutama generasi muda
dan anak-anak—beliau memberi hadiah, antara lain kartupos Buddhis atau
buku-buku Dhamma kecil.
Pada suatu kesempatan, beliau bertanya, ”Guru Agung Buddha Gotama
sudah lama parinibbana, sudah tidak bersama kita lagi. Apakah Anda masih bisa
melihat Beliau?” Saya ingat suatu kalimat yang artinya adalah: kalau Anda
melihat Dhamma, Anda akan melihat Buddha. Itulah jawaban saya atas pertanyaan Bhante
Narada Mahathera. Bhante Narada membenarkan jawaban itu, tetapi karena
hadiahnya habis, sebagai gantinya beliau memberikan semacam harapan kepada saya
dengan mengatakan, “Benar sekali jawabanmu. Semoga engkau menjadi bhikkhu yang
baik untuk bangsamu.” Saya ingat sekali kalimat yang diterjemahkan oleh
penterjemahnya itu, sampai hari ini. Beliau memberi inspirasi kepada saya untuk
menjadi bhikkhu. Harapan Bhante Narada yang bagi saya dan masyarakat yang
mendengarkan ceramah beliau pada waktu itu dianggap tidak lazim, terpatri pada
pikiran saya. Hanya keinginan untuk menjadi bhikkhu belum muncul. Waktu itu
saya masih duduk di SMP kelas 2.
Saya tekun mengikuti kebaktian sore yang dipimpin oleh Upasaka
Pandita Muda Gunapriya. Nama Tionghoanya adalah Ong Seng Hiap. Dia adalah salah
seorang tokoh awal, tokoh pertama yang mengenalkan Agama Buddha di Blora. Ada
seorang lagi yang bernama Tan Bo Siu, nama buddhisnya Upasaka Bodhiphala
Mulyono. Saya lebih banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, meskipun juga dengan Upasaka
Pandita Muda Gunapriya, Ong Seng Hiap. Om Bo Siu mempunyai toko bahan makanan.
Setiap saya pulang sekolah dan tidak ada pelajaran tambahan atau les sore, saya
selalu berkunjung ke tokonya. Selama tidak sibuk, sambil menunggu pembeli, saya
berdiskusi tentang dhamma dan tentang aktivitas buddhis dengan om Bo Siu.
Kemudian belakangan muncul lagi Upasaka Pandita Dharmapriya, seorang pensiunan
angkatan darat, yang sempat menjadi anggota DPRD di buddhis. Dia mengikuti
aktivitas di Gabungan Tridharma Indonesia di Blora. Waktu saya aktif di Blora,
sudah tidak ada lagi Perbudi maupun PUUI di Blora.
Setelah banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, bergaul dengan om Seng
Hiap, dan dengan Romo Dharmapriya, kemudian saya ikut mengasuh sekolah minggu
pada Minggu Pagi. Lalu kedekatan dan kecintaan saya pada ajaran agama Buddha
bertambah, ditambah juga pengertian saya juga bertambah, kurang lebih 3 tahun
kemudian timbullah keinginan untuk menjadi bhikkhu.
Keinginan menjadi bhikkhu
Saya melihat bermacam-macam kebahagiaan yang bisa dirasakan banyak
orang. Tapi toh kebahagiaan itu akhirnya selesai, tidak kekal, berubah. Pikiran
seperti itu muncul dalam pemikiran saya, dan itulah yang mendorong timbulnya
keinginan untuk menjadi bhikkhu.
Saya menyampaikan keinginan itu kepada orangtua. Namun, orangtua
sangat berkeberatan. Apalagi saya tidak mempunyai saudara laki-laki, baik kakak
maupun adik. Saya anak pertama laki-laki dan tiga adik saya perempuan. Ini
membuat orangtua semakin berat untuk mengijinkan saya menjadi bhikkhu. Orangtua
menganjurkan dan meminta dengan keras supaya saya melanjutkan studi terlebih
dahulu, selesai SMA dan sampai ke perguruan tinggi semaksimal mungkin, baru
nanti dipikirkan kembali keinginan untuk menjadi bhikhu tersebut.
Sebagai seorang anak muda yang mempunyai keinginan—dan keinginan
itu berkembang—ditambah lagi dengan harapan Bhante Narada yang terpatri,
memperkuat timbulnya keinginan menjadi bhikkhu. Permintaan orangtua untuk studi
dulu sampai maksimal, terasa sebagai penghalang. Akan tetapi, setiap tahun saya
menyampaikan lagi keinginan itu, setiap tahun pula orangtua juga menyampaikan
permintaannya. Sehingga seperti tarik-menarik antara orangtua dengan saya.
Banyak nasihat yang diberikan kepada saya dari berbagai pihak untuk tidak
tergesa-gesa menjadi bhikkhu. Nasihat bahwa melengkapi diri dengan ilmu
pengetahuan umum adalah sangat berguna, agar kelak kemudian bisa memahami
Dhamma dan mengajarkan Dhamma kepada masyarakat dengan baik. Namun, banyak juga
pihak yang memberikan nasihat kepada orangtua saya, untuk memahami keinginan
sang anak, karena keinginan untuk menjadi bhikkhu juga keinginan yang luhur.
Bahagia di dalam kehidupan spiritual, tidak kalah bila dibandingkan dengan
kebahagiaan sukses di kehidupan duniawi.
Pada waktu kuliah di fakultas psikologi Universitas Gajah Mada
Yogyakarta, saya banyak bertemu dengan para bhikkhu. Saya membantu para bhikkhu
mengetik terjemahan naskah-naskah Dhamma dari bahasa Inggris. Membantu para
bhikkhu ketika memberikan latihan meditasi. Mengikuti para bhikkhu ke
pelosok-pelosok daerah di Jawa Tengah untuk membabarkan Dhamma. Semuanya itu
memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Saya melihat para bhikkhu
hidup sederhana. Tidak disibukkan dengan mencari materi sebagaimana layaknya
masyarakat dan tidak mempunyai banyak materi. Bahkan sangat sederhana. Tetapi
para bhikkhu mempunyai kehidupan yang bahagia. Dan kehidupannya juga bermanfaat
bagi orang banyak, tidak hanya bagi lingkungan kecil, keluarganya sendiri, seperti
para perumah tangga.
Alasan-alasan itulah—yang saya lihat dengan mata kepala sendiri
dan saya ikut terlibat dalam kehidupan para bhikkhu sehari-hari di
Yogyakarta—yang juga memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Akhirnya
orangtua mengijinkan saya untuk menjadi bhikkhu.
Setelah saya menjadi bhikkhu, harapan orangtua yang dahulu meminta
saya untuk studi dulu, menunda menjadi samanera, yang dahulu saya anggap
sebagai penghalang cita-cita luhur menjadi bhikkhu, sekarang saya membuktikan
bahwa harapan orangtua itu ternyata sangat berguna sekali. Dengan pengetahuan
yang meskipun tidak banyak—yang saya dapat pada waktu menjadi mahasiswa di
fakultas psikologi Universitas Gajah Mada—membekali saya untuk mampu
menyampaikan Dhamma dengan lebih baik. Memang dalam dunia di mana sains, ilmu
pengetahuan berkembang dan digunakan dengan baik oleh masyarakat luas, para
bhikkhu yang ingin menjadi Dhammaduta, menyampaikan bimbingan Dhamma kepada
masyarakat, sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang
memang tidak harus banyak, tetapi cukup membantu dalam pengabdian para bhikkhu
memberikan pembinaan Dhamma kepada masyarakat. Oleh karena itu, sekarang saya
sungguh berterima kasih bahwa orangtua mendorong saya untuk menyelesaikan
sekolah saya sampai maksimal melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi.
Memasuki kebhikkhuan
Pada tahun 1969 datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari
Thailand untuk membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah
Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun
Vidhurdhammabhorn, Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Ven. Phra Maha Prataen
Khemadas, dan Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo.
Bhante Vidhurdhammabhorn yang juga akrab di panggil bhante Wim,
menjadi upajjhaya yang mentahbiskan saya menjadi samanera di Vihara
Dharmasurya, desa Kaloran, Temanggung pada tanggal 24 November 1974. Waktu
pentahbisan saya sebagai samanera, di Kaloran, hadirlah bhante Girirakkhito dan
bhante Jinapiya. Meskipun mereka sudah bergabung dalam Sangha Agung Indonesia,
hubungan dengan Sangha Agung Indonesia sudah tidak harmoni lagi. Hadir juga
bhante Khemasarano, dan beberapa samanera yang tentu bukan anggota Sangha
Theravada Indonesia, karena Sangha Theravada Indonesia belum berdiri.
Bhante Vidhurdhammabhorn yang akrab dipanggil bhante Wim, waktu
itu mondar-mandir di Tangerang, di Jakarta di beberapa rumah yang disediakan
oleh umat, dan di Malang di Dhammadipa Arama. Hubungan beliau dengan Sangha
Agung Indonesia yang merupakan satu-satunya sangha waktu itu, tidak harmoni.
Beliau bukan anggota Sangha Agung Indonesia. Apalagi beliau bhikkhu dari luar
negeri. Sebagai samanera, saya bukanlah anggota sangha. Saya bertanggung jawab
pada upajjhaya saya, bhante Vidhurdhammabhorn dari Wat Bovoranies Vihara.
Samanera adalah tanggung jawab penuh upajjhaya.
Waktu itu Vihara Mendut belum ada. Saya tinggal di Yogyakarta. Di
suatu kuti kecil di belakang rumah umat, Ibu Soepangat Prawirokoesoemo. Tanggal
2 Januari 1976, saya pindah ke Vihara Mendut, yang tanahnya masih sekitar 200
meter. Vihara Mendut adalah milik Yayasan Mendut, yang waktu itu pendiri atau
pengurusnya antara lain: Ibu Soepangat, Bapak Suradji.
Setelah lebih dari 2 tahun menjadi samanera, tepatnya tanggal 21
Februari 1977, saya ditahbis menjadi bhikkhu di Wat Bovoranives Vihara,
Bangkok. Upajjhaya saya adalah His Holiness Somdeth Phra Nyanasamvara. Beliau
adalah Sangharaja Thailand yang sekarang.
Penahbisan samanera
Nama penahbisan: Tejavanto
Vihara Dharmasurya, desa Kaloran, Temanggung, 24 Nopember 1974
Upajjhaya: Y.M. Vidhurdhammabhorn
Acariya: Y.M. Vidhurdhammabhorn
Penahbisan bhikkhu :
Nama penahbisan: Pannavaro
Wat Bovoranives Vihara, Bangkok, Thailand, 21 Februari 1977
Upajjhaya: Y.M. Suvaddhano
(H.H. Somdeth Phra Nyanasamvara – Sangharaja Thailand sekarang)
Kammavacariya, Guru Penahbisan: Y.M. Dhammadiloka
Anusavanacariya, Guru Pembimbing: Y.M. Vidhurdhammabhorn
Gelar Kehormatan
7 Gelar kehormatan keagamaan dari Sangha Sri Lanka
1 Gelar kehormatan keagamaan dari Sangha Thailand
Jabatan : Kepala Sangha Theravada Indonesia
Kepala Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah
Kepala Vihara Dhamma Sundara, Solo, Jawa Tengah
Pendiri bersama Konferensi Agung Sangha Indonesia
(All Indonesia Conference of Sangha)
Posted by Robby Candra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar