Rabu, 02 November 2011

Interview dengan Bhante Sri Paññavaro Mahathera



Biodata

Nama : Sri Pannyavaro Mahathera
Nama Lahir : Husodo (Ong Tik Tjong)
Tempat Lahir : Blora, Jawa Tengah, Indonesia
Tanggal Lahir : 22 Juli 1954
Alamat tinggal : Vihara Mendut
Depan Candi Mendut, Desa Mendut, Kota Mungkid,
Kotakpos 111, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia 56501
Telp 0293 788236, Fax 0293 788404
Pendidikan Akhir : Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1972-1975)

Mengenal Ajaran Buddha

Saya lahir di Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kakek dari ibu saya adalah seorang kapiten. Oleh karena seorang kapiten adalah sesepuh masyarakat, maka beliau dianggap sesepuh di klenteng. Waktu itu tugas kapiten mengurus berbagai macam hal, termasuk upacara agama. Tidak hanya Lo Cu, kalau kapiten datang sembahyang di klenteng, tambur juga harus di pukul. Setelah jaman Belanda, meskipun sudah tidak menjadi kapiten, masyarakat tetap menganggap beliau sebagai sesepuh. Karena pengaruh dari kakek, ibu saya tidak dekat dengan agama Kristen, meskipun bersekolah di sekolah Belanda. Ayah saya juga tidak pernah dekat dengan agama Kristen. Sehingga anak-anaknya menjadi umat klenteng, meskipun tidak mengerti apa yang diajarkan oleh agama. Dunia saya adalah dunia sembahyang, baik di klenteng ataupun di rumah. Orangtua saya menjadi pengurus klenteng ketika saya akhir SMP atau awal SMA.

Saya mengenal ajaran Agama Buddha dari guru sejarah SMP saya, Bapak Suprapto, ketika saya duduk di kelas 1. Memang sebelumnya saya sudah mendengar adanya ajaran Buddha tetapi tidak mengetahui apa yang diajarkan. Pak Suprapto adalah orang yang pertama kali menjelaskan apa yang diajarkan oleh Agama Buddha, tentang Empat Kesunyataan Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan sebagainya. Sejak itu saya tertarik dan merasa cocok dengan ajaran Agama Buddha karena merasa ajaran Agama Buddha sangat logis dan jelas sekali inti ajarannya.

Di tahun 1965, ketika saya kelas satu SMP, terjadi G 30 S. Waktu itu terjadi perubahan kurikulum sehingga saya duduk di SMP kelas satu selama satu setengah tahun. Semua orang harus menentukan agama apa yang dianut. Sebelumnya agama tidak menjadi keharusan. Lalu saya mulai ikut kebaktian pada hari Minggu jam empat sore di Klenteng Hok Tik Bio Blora. Klenteng itu dipakai untuk kebaktian Agama Buddha. Di sana terdapat altar Sang Buddha.

Pada tahun 1967, beberapa bulan setelah mengikuti kebaktian , Bhante Narada Mahathera datang ke Blora. Beliau adalah bhikkhu pertama yang saya lihat dalam kehidupan saya. Dari Beliaulah saya menjadi upasaka dengan nama Tejavanto. Pada awal suatu ceramah, beliau mengajukan pertanyaan-pertanyaan Dhamma. Kepada yang bisa menjawab—terutama generasi muda dan anak-anak—beliau memberi hadiah, antara lain kartupos Buddhis atau buku-buku Dhamma kecil.

Pada suatu kesempatan, beliau bertanya, ”Guru Agung Buddha Gotama sudah lama parinibbana, sudah tidak bersama kita lagi. Apakah Anda masih bisa melihat Beliau?” Saya ingat suatu kalimat yang artinya adalah: kalau Anda melihat Dhamma, Anda akan melihat Buddha. Itulah jawaban saya atas pertanyaan Bhante Narada Mahathera. Bhante Narada membenarkan jawaban itu, tetapi karena hadiahnya habis, sebagai gantinya beliau memberikan semacam harapan kepada saya dengan mengatakan, “Benar sekali jawabanmu. Semoga engkau menjadi bhikkhu yang baik untuk bangsamu.” Saya ingat sekali kalimat yang diterjemahkan oleh penterjemahnya itu, sampai hari ini. Beliau memberi inspirasi kepada saya untuk menjadi bhikkhu. Harapan Bhante Narada yang bagi saya dan masyarakat yang mendengarkan ceramah beliau pada waktu itu dianggap tidak lazim, terpatri pada pikiran saya. Hanya keinginan untuk menjadi bhikkhu belum muncul. Waktu itu saya masih duduk di SMP kelas 2.

Saya tekun mengikuti kebaktian sore yang dipimpin oleh Upasaka Pandita Muda Gunapriya. Nama Tionghoanya adalah Ong Seng Hiap. Dia adalah salah seorang tokoh awal, tokoh pertama yang mengenalkan Agama Buddha di Blora. Ada seorang lagi yang bernama Tan Bo Siu, nama buddhisnya Upasaka Bodhiphala Mulyono. Saya lebih banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, meskipun juga dengan Upasaka Pandita Muda Gunapriya, Ong Seng Hiap. Om Bo Siu mempunyai toko bahan makanan. Setiap saya pulang sekolah dan tidak ada pelajaran tambahan atau les sore, saya selalu berkunjung ke tokonya. Selama tidak sibuk, sambil menunggu pembeli, saya berdiskusi tentang dhamma dan tentang aktivitas buddhis dengan om Bo Siu. Kemudian belakangan muncul lagi Upasaka Pandita Dharmapriya, seorang pensiunan angkatan darat, yang sempat menjadi anggota DPRD di buddhis. Dia mengikuti aktivitas di Gabungan Tridharma Indonesia di Blora. Waktu saya aktif di Blora, sudah tidak ada lagi Perbudi maupun PUUI di Blora.

Setelah banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, bergaul dengan om Seng Hiap, dan dengan Romo Dharmapriya, kemudian saya ikut mengasuh sekolah minggu pada Minggu Pagi. Lalu kedekatan dan kecintaan saya pada ajaran agama Buddha bertambah, ditambah juga pengertian saya juga bertambah, kurang lebih 3 tahun kemudian timbullah keinginan untuk menjadi bhikkhu.

Keinginan menjadi bhikkhu

Saya melihat bermacam-macam kebahagiaan yang bisa dirasakan banyak orang. Tapi toh kebahagiaan itu akhirnya selesai, tidak kekal, berubah. Pikiran seperti itu muncul dalam pemikiran saya, dan itulah yang mendorong timbulnya keinginan untuk menjadi bhikkhu.

Saya menyampaikan keinginan itu kepada orangtua. Namun, orangtua sangat berkeberatan. Apalagi saya tidak mempunyai saudara laki-laki, baik kakak maupun adik. Saya anak pertama laki-laki dan tiga adik saya perempuan. Ini membuat orangtua semakin berat untuk mengijinkan saya menjadi bhikkhu. Orangtua menganjurkan dan meminta dengan keras supaya saya melanjutkan studi terlebih dahulu, selesai SMA dan sampai ke perguruan tinggi semaksimal mungkin, baru nanti dipikirkan kembali keinginan untuk menjadi bhikhu tersebut.

Sebagai seorang anak muda yang mempunyai keinginan—dan keinginan itu berkembang—ditambah lagi dengan harapan Bhante Narada yang terpatri, memperkuat timbulnya keinginan menjadi bhikkhu. Permintaan orangtua untuk studi dulu sampai maksimal, terasa sebagai penghalang. Akan tetapi, setiap tahun saya menyampaikan lagi keinginan itu, setiap tahun pula orangtua juga menyampaikan permintaannya. Sehingga seperti tarik-menarik antara orangtua dengan saya. Banyak nasihat yang diberikan kepada saya dari berbagai pihak untuk tidak tergesa-gesa menjadi bhikkhu. Nasihat bahwa melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan umum adalah sangat berguna, agar kelak kemudian bisa memahami Dhamma dan mengajarkan Dhamma kepada masyarakat dengan baik. Namun, banyak juga pihak yang memberikan nasihat kepada orangtua saya, untuk memahami keinginan sang anak, karena keinginan untuk menjadi bhikkhu juga keinginan yang luhur. Bahagia di dalam kehidupan spiritual, tidak kalah bila dibandingkan dengan kebahagiaan sukses di kehidupan duniawi.

Pada waktu kuliah di fakultas psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, saya banyak bertemu dengan para bhikkhu. Saya membantu para bhikkhu mengetik terjemahan naskah-naskah Dhamma dari bahasa Inggris. Membantu para bhikkhu ketika memberikan latihan meditasi. Mengikuti para bhikkhu ke pelosok-pelosok daerah di Jawa Tengah untuk membabarkan Dhamma. Semuanya itu memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Saya melihat para bhikkhu hidup sederhana. Tidak disibukkan dengan mencari materi sebagaimana layaknya masyarakat dan tidak mempunyai banyak materi. Bahkan sangat sederhana. Tetapi para bhikkhu mempunyai kehidupan yang bahagia. Dan kehidupannya juga bermanfaat bagi orang banyak, tidak hanya bagi lingkungan kecil, keluarganya sendiri, seperti para perumah tangga.

Alasan-alasan itulah—yang saya lihat dengan mata kepala sendiri dan saya ikut terlibat dalam kehidupan para bhikkhu sehari-hari di Yogyakarta—yang juga memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Akhirnya orangtua mengijinkan saya untuk menjadi bhikkhu.

Setelah saya menjadi bhikkhu, harapan orangtua yang dahulu meminta saya untuk studi dulu, menunda menjadi samanera, yang dahulu saya anggap sebagai penghalang cita-cita luhur menjadi bhikkhu, sekarang saya membuktikan bahwa harapan orangtua itu ternyata sangat berguna sekali. Dengan pengetahuan yang meskipun tidak banyak—yang saya dapat pada waktu menjadi mahasiswa di fakultas psikologi Universitas Gajah Mada—membekali saya untuk mampu menyampaikan Dhamma dengan lebih baik. Memang dalam dunia di mana sains, ilmu pengetahuan berkembang dan digunakan dengan baik oleh masyarakat luas, para bhikkhu yang ingin menjadi Dhammaduta, menyampaikan bimbingan Dhamma kepada masyarakat, sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang memang tidak harus banyak, tetapi cukup membantu dalam pengabdian para bhikkhu memberikan pembinaan Dhamma kepada masyarakat. Oleh karena itu, sekarang saya sungguh berterima kasih bahwa orangtua mendorong saya untuk menyelesaikan sekolah saya sampai maksimal melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi.

Memasuki kebhikkhuan

Pada tahun 1969 datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn, Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Ven. Phra Maha Prataen Khemadas, dan Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo.

Bhante Vidhurdhammabhorn yang juga akrab di panggil bhante Wim, menjadi upajjhaya yang mentahbiskan saya menjadi samanera di Vihara Dharmasurya, desa Kaloran, Temanggung pada tanggal 24 November 1974. Waktu pentahbisan saya sebagai samanera, di Kaloran, hadirlah bhante Girirakkhito dan bhante Jinapiya. Meskipun mereka sudah bergabung dalam Sangha Agung Indonesia, hubungan dengan Sangha Agung Indonesia sudah tidak harmoni lagi. Hadir juga bhante Khemasarano, dan beberapa samanera yang tentu bukan anggota Sangha Theravada Indonesia, karena Sangha Theravada Indonesia belum berdiri.

Bhante Vidhurdhammabhorn yang akrab dipanggil bhante Wim, waktu itu mondar-mandir di Tangerang, di Jakarta di beberapa rumah yang disediakan oleh umat, dan di Malang di Dhammadipa Arama. Hubungan beliau dengan Sangha Agung Indonesia yang merupakan satu-satunya sangha waktu itu, tidak harmoni. Beliau bukan anggota Sangha Agung Indonesia. Apalagi beliau bhikkhu dari luar negeri. Sebagai samanera, saya bukanlah anggota sangha. Saya bertanggung jawab pada upajjhaya saya, bhante Vidhurdhammabhorn dari Wat Bovoranies Vihara. Samanera adalah tanggung jawab penuh upajjhaya.

Waktu itu Vihara Mendut belum ada. Saya tinggal di Yogyakarta. Di suatu kuti kecil di belakang rumah umat, Ibu Soepangat Prawirokoesoemo. Tanggal 2 Januari 1976, saya pindah ke Vihara Mendut, yang tanahnya masih sekitar 200 meter. Vihara Mendut adalah milik Yayasan Mendut, yang waktu itu pendiri atau pengurusnya antara lain: Ibu Soepangat, Bapak Suradji.

Setelah lebih dari 2 tahun menjadi samanera, tepatnya tanggal 21 Februari 1977, saya ditahbis menjadi bhikkhu di Wat Bovoranives Vihara, Bangkok. Upajjhaya saya adalah His Holiness Somdeth Phra Nyanasamvara. Beliau adalah Sangharaja Thailand yang sekarang.

Penahbisan samanera
Nama penahbisan: Tejavanto
Vihara Dharmasurya, desa Kaloran, Temanggung, 24 Nopember 1974
Upajjhaya: Y.M. Vidhurdhammabhorn
Acariya: Y.M. Vidhurdhammabhorn

Penahbisan bhikkhu :

Nama penahbisan: Pannavaro
Wat Bovoranives Vihara, Bangkok, Thailand, 21 Februari 1977
Upajjhaya: Y.M. Suvaddhano
(H.H. Somdeth Phra Nyanasamvara – Sangharaja Thailand sekarang)
Kammavacariya, Guru Penahbisan: Y.M. Dhammadiloka
Anusavanacariya, Guru Pembimbing: Y.M. Vidhurdhammabhorn

Gelar Kehormatan

7 Gelar kehormatan keagamaan dari Sangha Sri Lanka
1 Gelar kehormatan keagamaan dari Sangha Thailand
Jabatan : Kepala Sangha Theravada Indonesia
Kepala Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah
Kepala Vihara Dhamma Sundara, Solo, Jawa Tengah
Pendiri bersama Konferensi Agung Sangha Indonesia
(All Indonesia Conference of Sangha)

Posted by Robby Candra

Tidak ada komentar: