Selama ini, kita mengenal adanya 2 tradisi besar dalam
agama Buddha yaitu tradisi Theravada dan tradisi Mahayana yang seakan-akan
berbeda, padahal keduanya adalah sama, yaitu sama-sama membawa kita mengapai
kebahagiaan hingga akhirnya tercerahkan.
Sulitnya menerima perbedaan yang ada kadang justru
menimbulkan perselisihan, padahal tanpa disadari kita sebenarnya hidup dalam
perbedaan itu sendiri. Sebenarnya bila kita dapat melihat perbedaan itu, maka
akan timbul keasikan tersendiri karena justru dari perbedaan itulah kita bisa
saling menunjang, saling bekerjasama dimana masing-masing menjalankan tugasnya
sendiri-sendiri. Salah satu contohnya adalah tangan kita, bila diamati
sebenarnya kedua tangan kita berbeda dan memiliki perannya masing-masing. Bila
tangan kanan memang sendok sewaktu makan, maka tangan kiri menjalankan perannya
memegang garpu. Bukankah itu adalah suatu hal yang indah? Coba bayangkan apa
jadinya bila kedua tangan kita persis sama, misalnya kedua-duanya hanya tangan
kanan atau kedua-duanya hanya tangan kiri..?
Begitu juga sebenarnya dengan keanekaragaman aliran
agama yang ada. Semestinya kita bisa menerima bahwa aliran agama Buddha ini
meskipun berbeda, juga menjalankan peran dan bidangnya masing2, tujuannya
sama-sama mengarahkan kita menjadi manusia yang lebih baik hingga tercerahkan.
Jika kita memandang perbedaan ini secara seimbang dengan melihat dari saat
petapa Gotama mencapai mencapai pencerahan dibawah pohon Bodhi sebagai titik
nol, maka tradisi Theravada (dari India ) menggunakan titik dimana Sang Buddha
mencapai kesucian sebagai titik nol dan ke depan, sedangkan tradisi Mahayana
(dari Tiongkok – dan menyebar lagi ke Tibet sebagai aliran Vajrayana)
menggunakan titik Sang Buddha mencapai kesucian sebagai titik nol dan ke
belakang.
Oleh karena itulah dalam tradisi Theravada lebih banyak
diajarkan khotbah-khotbah Sang Buddha yang dibabarkan setelah Beliau mencapai
pencerahan, sedangkan Mahayana lebih menitikberatkan ajarannya tentang
Bodhisatta, tentang pengumpulan kebajikan/ menyempurnakan parami-parami. Karena
sebelum pangeran Siddharta mencapai Buddha, beliau juga seorang Bodhisatta dan
jadi inilah yang diajarkan dalam aliran dari Tiongkok. Dengan kata lain, kedua
tradisi yang berbeda ini pembahasannya tetap sama, hanya sudut pandang saja
yang berbeda. Tetapi intinya tetap sama, karena keduanya menceritakan riwayat
hidup Sang Buddha, hanya saja yang satu lebih banyak mengajarkan waktu sebelum
pangeran Siddharta menjadi Buddha sedangkan yang satunya lagi lebih banyak mengajarkan
waktu setelah pangeran Siddharta menjadi Buddha.
Meski demikian, anda tidak akan pernah menemukan ada
dari kedua tradisi besar agama Buddha yang mengajarkan menurut pribadi-pribadi
yang lain selain sang Buddha. Tidak akan pernah ada yang mengajarkan “Kalo
menurut Si Budi atau Si Christine...” tetapi pastinya semua yang diajarkan
dalam agama Buddha adalah “Menurut Buddha....”
Dengan kata lain, boleh dikatakan bahwa tradisi yang
ada sama-sama mengajarkan Satu Dhamma yang tidak mungkin berbeda, yaitu Empat
Kesunyataan Mulia , yang isinya adalah Hidup berisi ketidakpuasan,
ketidakpuasan itu ada sebabnya, sebab itu bisa dihilangkan sehingga orang bisa
mencapai kebahagiaan sejati dan cara mengatasi ketidakpuasan yang disebabkan
oleh keinginan yang disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tidak mungkin
ada akan mengatakan bahwa Kesunyataan Mulia ada 5, atau pula mengatakan bahwa
Jalan Mulia berunsur Sembilan.
Kita memilih tradisi karena kecocokan, jadi janganlah
karena memilih tradisi yang satu kemudian mengatakan tradisi yang lain salah.
Selama aliran atau tradisi itu mengajarkan Empat Kesunyataan Mulia, Jalan Mulia
Berunsur Delapan, dan Hukum Karma, maka itulah Buddha Dhamma. Yang juga harus
kita ketahui dengan pasti bahwasanya Dhamma atau ajaran dari semua Buddha
adalah Sama, tidak mungkin berbeda dan itulah sebabnya hanya ada 1 Dhamma.
Sekali lagi, inilah yang dinamakan perbedaan yang indah
itu, yang dapat menambahkan seni dalam kehidupan kita. Kelihatan beraneka,
namun di dalamnya tetap hanya ada 1 Dhamma (Kebenaran). Bagaikan gelas yang
dibuat dengan berbagai macam bentuk dan motif, namun sesungguhnya itu tetap
sebuah gelas yang fungsinya sama, hanya kita sendiri yang melihatnya sebagai
berbeda dan menjadi kompleks. Begitu juga dengan kedua tradisi yang berbeda,
pikiran kita sendirilah yang melabelinya dengan berbagai macam merk.
Janganlah puas menjadi umat Buddha yang hanya percaya
dengan membaca buku-buku, kitab suci atau mendengar Dhammadesana dari Bhikkhu
Sangha. Tetapi setelah percaya kita juga harus EHIPASSIKO dengan mempraktekkan
sendiri ajaran Buddha itu sehingga bila terbukti kita baru bisa yakin.
Oleh: YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera
(Dikutip dari B+Magz Edisi 7 Bulan Agust-Sept 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar