Salah satu dampak negatif kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus kita sadari adalah kecenderungan
masyarakat sekarang ini untuk mengukur hampir segala sesuatu hanya dari tampak
saja. Demikian juga dalam mengukur harga manusia. Harga manusia diukur dari apa
yang tampak. Apakah yang tampak itu? Gelar yang disandang, kedudukannya, rumah
tinggalnya, materinya, dan yang semacam itu. Arus penilaian yang bertumpu pada
apa yang tampak ini tidak hanya dugunakan oleh seseorang dalam menilai orang
lain, tetapi juga sering sekali digunakan oleh tiap-tiap orang untuk ukuran
dalam menilai dirinya sendiri.
Karena gelar, kedudukan, kekayaan yang
dijadikan ukuran: maka manusia sering melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang
hakiki. Tidak terpikirkan lagi usaha untuk mencari nilai yang lebih tinggi dari
sekadar kekayaan dan kedudukan. Manusia hanya berpikir bagaimana kedudukan dan
kekuasaan bisa naik, gelar dan kekayaannya bisa bertumpuk-tumpuk; oleh karena
hal itu akan membuat namanya menjadi besar, hidupnya dipandang, harga dirinya
sebagai manusia menjadi tinggi. Dengan demikian, gelar, kedudukan, dan kekayaan
menjadi tujuan hidup ini. Bahkan dengan segala cara ukuran itu berusaha
dicapainya.
Sebutir jagung akan mempunyai nilai
yang sangat tinggi ketimbang sebutir permata: bagi ayam. Karena, ayam sama
sekali tidak akan mengerti harga sebutir permata. Ayam tidak pernah berkelahi
saling berebut permata. Tetapi, sering mereka berkelahi berebut jagung.
Demikian pula kita. Sering kita tidak bisa menghargai nilai-nilai luhur dalam
kemanusiaan dan kehidupan ini. Bahkan nilai-nilai luhur itu seolah-olah tidak
ada harganya, persis seperti ayam melihat bahwa permata hanyalah sebagai batu
yang tidak enak dimakan. Sebaliknya, kita memberikan harga sangat tinggi pada
segala macam yang tampak. Tidak jarang manusia bertengkar saling memaki,
berkelahi saling membunuh untuk merebut kedudukan dan materi. Kalau kita dengan
jujur, dengan terus terang membandingkannya dengan ayam; dalam hal ini
terlihat, bahwa manusia menjadi lebih rendah dari ayam. Di dunia ini tidak
pernah terjadi ayam bertarung sampai mati karena saling berebut makanan. Paling
banter, kalau yang satu merasa kalah: lari!
Inilah anehnya, inilah ironinya.
Manusia rela mati untuk makanan, berani membunuh untuk kedudukan pribadi, mau
menderita untuk gengsi. Bukankah hidup kita dan hidup orang lain, bahkan hidup
makhluk lain itu, sangat berharga. Kehidupan adalah sesuatu yang lebih berharga
dari segala-galanya.
Sekarang apakah yang menjadi tuntutan
dan tantangan kita? Tantangan kita adalah: di tengah-tengah majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai kebutuhan yang tidak bisa dihindari, kita
harus tetap berusaha menjadi manusia yang wajar. Manusia wajar inilah yang
menjadi tuntutan Sang Buddha juga.
Kalau kita hanya puas dengan cukup
makan, cukup pakaian, ada tempat tinggal, sedikit obat-obatan dan sedikit uang;
tanpa perlu mencapai nilai-nilai kehidupan yang lebih luhur —memang ini
kelihatannya hidup sederhana. Tetapi, hidup sederhana seperti ini nilainya
hanya setara dengan binatang. Belum menjadi manusia wajar. Kemudian kalau
makanan, pakaian, tempat tinggal, uang, kekayaan, dan kedudukan dicari
berlebih-lebihan. Kalau uang, tempat tinggal, dan kedudukan tidak dimengerti
sebagai sarana hidup; tidak dianggap sebagai sarana untuk mengabdi menjadi
manusia yang baik; tetapi dijadikan tujuan hidup untuk dapat dimiliki
sebanyak-banyaknya, maka segala bentuk kejahatan dapat dilakukan dalam upaya
mendapatkan semua itu. Nilai kehidupan seperti ini tidak lagi setara dengan
binatang, tetapi bahkan lebih rendah dari binatang. Inilah yang di dalam Kitab
Suci disebut sebagai manussapeto :
manusia setan. Sama sekali jauh dari citra manusia wajar.
Bagaimana manusia yang wajar itu?
Apakah nilai-nilai luhur itu? Sementara orang berpendapat, bukankah kita semua
ini manusia wajar? Berdiri di atas dua kaki, tidak merangkak seperti hewan;
tidak bermoncong atau berparuh; tidak berbulu lebat. Kita bisa berkomunikasi,
dan berpakaian; bukankah kita semua ini sudah menjadi manusia wajar? Kalau
hanya yang tampak yang dijadikan ukuran nilai, memang benar, secara fisik,
secara jasmani, kita semua adalah manusia wajar, tetapi, apakah kita sudah
mempunyai sikap mental sebagai manusia wajar?
Marilah kita tinjau bersama arti kata:
'manusia'. Kata manusia berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Pali:
manussa. Manussa terjadi dari dua kata: mana dan ussa. Mana berarti batin atau
pikiran. Ussa berarti luhur atau tinggi. Dengan terjemahan bebas, manusia yang
berasal dari kata mana dan ussa mempunyai arti: makhluk yang mempunyai batin
tinggi. Atau, makhluk yang bisa mengembangkan batinnya, pikirannya, mencapai
keluhuran. Dengan demikian, menurut arti kata, maka manusia yang berusaha membawa
dirinya mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi, itulah manusia yang wajar.
Tinjauan ini menyadarkan kita, bahwa tanpa adanya usaha membawa diri mencari
nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi, martabat manusia menjadi melenceng
dari sebutan manusia yang dipakainya itu.
Untuk menemukan kembali citra manusia
wajar dengan ciri utama usaha mencapai keluhuran hidup, maka:
1. Kita harus menggunakan ukuran sedang dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak berlebih-lebihan. Berusaha merasa puas
dalam pemenuhan materi dalam ukuran sedang. Tidak mewah dan tidak serakah. Satu
pertanyaan mungkin muncul, "Apakah budaya hidup dengan ukuran sedang ini
tidak membuat semangat menjadi lemah?; Gairah bekerja manjadi berkurang?"
Semangat bekerja tidak boleh dilemahkan. Hasil maksimal tetap menjadi tujuan
kita. Tetapi, janganlah berniat untuk menikmati semaksimal mungkin hasil kerja
kita itu untuk hidup kita sendiri. Kita harus merasa puas hanya menikmati hasil
kerja kita sendiri sebats ukuran sedang. Selebihnya untuk kepentingan banyak
orang, untuk digunakan membuat amal kebajikan. Kalau kita bisa menggunakan
hasil karya kita untuk kepentingan dan kesejahteraan banyak orang, maka kita
akan mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan yang lebih besar; ketimbang, kepuasan
dengan menikmati hasil karya semaksimal mungkin untuk diri sendiri.
2. Memperhatikan kehidupan rohani dengan
memperkuat keyakinan kepada Tuhan. Keyakinan kepada Tuhan sebagai Maha Kuasa,
Maha pengatur, dan kekuasaan-Nya meliputi seluruh semesta ini, yang dalam agama
Buddha disebut sebagai Niyama Dhamma. Keyakinan terhadap Tuhan sebagai tujuan
akhir kehidupan, atau Nibbana Dhamma. Tanpa adanya keyakinan terhadap Tuhan
sebagai Maha Pengatur (Niyama Dhamma), dan Tuhan sebagai tujuan akhir (Nibbana Dhamma),
maka manusia akan meletakkan kedudukan dan kekayaan di tempat tertinggi.
Kemudian, usaha untuk mendapatkan apapun dengan segala cara, menjadi budaya
hidupnya. Manusia tanpa keyakinan yang benar akan menjadi manusia binatang atau
manusia setan meskipun mempunyai gelar tinggi dan materi berlimpah.
3. Kalau kita sepakat bahwa kedudukan dan uang
bukan jaminan untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan sejati, maka kita
harus merubah nilai-nilai materi itu menjadi nilai rohani. Caranya adalah:
bukan berusaha menggunakan kedudukan dan menikmati materi semaksimal mungkin
untuk menikmati sendiri, tetapi menggunakan kedudukan dan materi tersebut
semaksimal mungkin untuk berbuat amal kebajikan demi kebahagiaan banyak orang.
Demi bangsa dan negara ini. Bahkan demi semua makhluk, kalau mampu.
4.
Manusia wajar adalah manusia yang mempunyai disiplin diri. Mempunyai disiplin
moral dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tanpa disiplin diri tidak layak
untuk disebut sebagai manusia, tidak layak disebut mana-ussa, makhluk yang
berbudaya tinggi.
5. Selain hidup dalam ukuran sedang,
memperkuat kehidupan batin dengan keyakinan, kemudian melakukan perbuatan bajik
dan mempunyai disiplin diri; manusia wajar harus berusaha lebih kuat lagi dalam
mencari nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi. Apakah usaha kita itu? Selalu
berusaha membersihkan pikiran dari kekotoran-kekotoran batin yang halus
sekalipun. Bermeditasi. Berusaha mempunyai kebijaksanaan Dhamma. Mengetahui
rahasia kehidupan. Dengan demikian akan membuat kita tetap teguh seimbang dalam
gelombang suka-duka yang bagaimanapun juga.
Ungkapan menjadi manusia wajar ini
dengan singkat disampaikan oleh Sang Buddha dalam Kitab Suci Dhammapada ayat
185, demikian:
Anupavado
anupaghato, patimokkhe ca samvaro,
Mataññuta
ca bhattasmim, pantanca sayanasanam,
Tidak
menghina, tidak menyakiti; mengendalikan diri sesuai dengan sila
Bersikap
madya dalam makanan; bertempat tinggal di tempat yang tepat,
Berusaha
meluhurkan batin; inilah ajaran para Buddha.
Akhir kata, baik bagi seorang pemimpin,
karyawan, orang tua, generasi muda, pedagang, petani, pelajar, maupun
rohaniwan; jadilah manusia wajar: manusia yang berusaha hidup sedang dan
mencari nilai kehidupan yang lebih tinggi!
JADILAH
MANUSIA WAJAR:
HIDUP
SEDANG,DAN
MENCARI NILAI YANG LEBIH TINGGI
***
Sumber
: Kumpulan "Dhammadesana", Sri
Paññavaro Thera Jilid 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar