Selasa, 22 November 2011

MENJADI MANUSIA WAJAR




         Salah satu dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus kita sadari adalah kecenderungan masyarakat sekarang ini untuk mengukur hampir segala sesuatu hanya dari tampak saja. Demikian juga dalam mengukur harga manusia. Harga manusia diukur dari apa yang tampak. Apakah yang tampak itu? Gelar yang disandang, kedudukannya, rumah tinggalnya, materinya, dan yang semacam itu. Arus penilaian yang bertumpu pada apa yang tampak ini tidak hanya dugunakan oleh seseorang dalam menilai orang lain, tetapi juga sering sekali digunakan oleh tiap-tiap orang untuk ukuran dalam menilai dirinya sendiri.

         Karena gelar, kedudukan, kekayaan yang dijadikan ukuran: maka manusia sering melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Tidak terpikirkan lagi usaha untuk mencari nilai yang lebih tinggi dari sekadar kekayaan dan kedudukan. Manusia hanya berpikir bagaimana kedudukan dan kekuasaan bisa naik, gelar dan kekayaannya bisa bertumpuk-tumpuk; oleh karena hal itu akan membuat namanya menjadi besar, hidupnya dipandang, harga dirinya sebagai manusia menjadi tinggi. Dengan demikian, gelar, kedudukan, dan kekayaan menjadi tujuan hidup ini. Bahkan dengan segala cara ukuran itu berusaha dicapainya.

         Sebutir jagung akan mempunyai nilai yang sangat tinggi ketimbang sebutir permata: bagi ayam. Karena, ayam sama sekali tidak akan mengerti harga sebutir permata. Ayam tidak pernah berkelahi saling berebut permata. Tetapi, sering mereka berkelahi berebut jagung. Demikian pula kita. Sering kita tidak bisa menghargai nilai-nilai luhur dalam kemanusiaan dan kehidupan ini. Bahkan nilai-nilai luhur itu seolah-olah tidak ada harganya, persis seperti ayam melihat bahwa permata hanyalah sebagai batu yang tidak enak dimakan. Sebaliknya, kita memberikan harga sangat tinggi pada segala macam yang tampak. Tidak jarang manusia bertengkar saling memaki, berkelahi saling membunuh untuk merebut kedudukan dan materi. Kalau kita dengan jujur, dengan terus terang membandingkannya dengan ayam; dalam hal ini terlihat, bahwa manusia menjadi lebih rendah dari ayam. Di dunia ini tidak pernah terjadi ayam bertarung sampai mati karena saling berebut makanan. Paling banter, kalau yang satu merasa kalah: lari!

         Inilah anehnya, inilah ironinya. Manusia rela mati untuk makanan, berani membunuh untuk kedudukan pribadi, mau menderita untuk gengsi. Bukankah hidup kita dan hidup orang lain, bahkan hidup makhluk lain itu, sangat berharga. Kehidupan adalah sesuatu yang lebih berharga dari segala-galanya.



        Sekarang apakah yang menjadi tuntutan dan tantangan kita? Tantangan kita adalah: di tengah-tengah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kebutuhan yang tidak bisa dihindari, kita harus tetap berusaha menjadi manusia yang wajar. Manusia wajar inilah yang menjadi tuntutan Sang Buddha juga.

         Kalau kita hanya puas dengan cukup makan, cukup pakaian, ada tempat tinggal, sedikit obat-obatan dan sedikit uang; tanpa perlu mencapai nilai-nilai kehidupan yang lebih luhur —memang ini kelihatannya hidup sederhana. Tetapi, hidup sederhana seperti ini nilainya hanya setara dengan binatang. Belum menjadi manusia wajar. Kemudian kalau makanan, pakaian, tempat tinggal, uang, kekayaan, dan kedudukan dicari berlebih-lebihan. Kalau uang, tempat tinggal, dan kedudukan tidak dimengerti sebagai sarana hidup; tidak dianggap sebagai sarana untuk mengabdi menjadi manusia yang baik; tetapi dijadikan tujuan hidup untuk dapat dimiliki sebanyak-banyaknya, maka segala bentuk kejahatan dapat dilakukan dalam upaya mendapatkan semua itu. Nilai kehidupan seperti ini tidak lagi setara dengan binatang, tetapi bahkan lebih rendah dari binatang. Inilah yang di dalam Kitab Suci disebut sebagai manussapeto :  manusia setan. Sama sekali jauh dari citra manusia wajar.

         Bagaimana manusia yang wajar itu? Apakah nilai-nilai luhur itu? Sementara orang berpendapat, bukankah kita semua ini manusia wajar? Berdiri di atas dua kaki, tidak merangkak seperti hewan; tidak bermoncong atau berparuh; tidak berbulu lebat. Kita bisa berkomunikasi, dan berpakaian; bukankah kita semua ini sudah menjadi manusia wajar? Kalau hanya yang tampak yang dijadikan ukuran nilai, memang benar, secara fisik, secara jasmani, kita semua adalah manusia wajar, tetapi, apakah kita sudah mempunyai sikap mental sebagai manusia wajar?

         Marilah kita tinjau bersama arti kata: 'manusia'. Kata manusia berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Pali: manussa. Manussa terjadi dari dua kata: mana dan ussa. Mana berarti batin atau pikiran. Ussa berarti luhur atau tinggi. Dengan terjemahan bebas, manusia yang berasal dari kata mana dan ussa mempunyai arti: makhluk yang mempunyai batin tinggi. Atau, makhluk yang bisa mengembangkan batinnya, pikirannya, mencapai keluhuran. Dengan demikian, menurut arti kata, maka manusia yang berusaha membawa dirinya mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi, itulah manusia yang wajar. Tinjauan ini menyadarkan kita, bahwa tanpa adanya usaha membawa diri mencari nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi, martabat manusia menjadi melenceng dari sebutan manusia yang dipakainya itu.

        Untuk menemukan kembali citra manusia wajar dengan ciri utama usaha mencapai keluhuran hidup, maka:

 1. Kita harus menggunakan ukuran sedang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak berlebih-lebihan. Berusaha merasa puas dalam pemenuhan materi dalam ukuran sedang. Tidak mewah dan tidak serakah. Satu pertanyaan mungkin muncul, "Apakah budaya hidup dengan ukuran sedang ini tidak membuat semangat menjadi lemah?; Gairah bekerja manjadi berkurang?" Semangat bekerja tidak boleh dilemahkan. Hasil maksimal tetap menjadi tujuan kita. Tetapi, janganlah berniat untuk menikmati semaksimal mungkin hasil kerja kita itu untuk hidup kita sendiri. Kita harus merasa puas hanya menikmati hasil kerja kita sendiri sebats ukuran sedang. Selebihnya untuk kepentingan banyak orang, untuk digunakan membuat amal kebajikan. Kalau kita bisa menggunakan hasil karya kita untuk kepentingan dan kesejahteraan banyak orang, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan yang lebih besar; ketimbang, kepuasan dengan menikmati hasil karya semaksimal mungkin untuk diri sendiri.

 2. Memperhatikan kehidupan rohani dengan memperkuat keyakinan kepada Tuhan. Keyakinan kepada Tuhan sebagai Maha Kuasa, Maha pengatur, dan kekuasaan-Nya meliputi seluruh semesta ini, yang dalam agama Buddha disebut sebagai Niyama Dhamma. Keyakinan terhadap Tuhan sebagai tujuan akhir kehidupan, atau Nibbana Dhamma. Tanpa adanya keyakinan terhadap Tuhan sebagai Maha Pengatur (Niyama Dhamma), dan Tuhan sebagai tujuan akhir (Nibbana Dhamma), maka manusia akan meletakkan kedudukan dan kekayaan di tempat tertinggi. Kemudian, usaha untuk mendapatkan apapun dengan segala cara, menjadi budaya hidupnya. Manusia tanpa keyakinan yang benar akan menjadi manusia binatang atau manusia setan meskipun mempunyai gelar tinggi dan materi berlimpah.

 3. Kalau kita sepakat bahwa kedudukan dan uang bukan jaminan untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan sejati, maka kita harus merubah nilai-nilai materi itu menjadi nilai rohani. Caranya adalah: bukan berusaha menggunakan kedudukan dan menikmati materi semaksimal mungkin untuk menikmati sendiri, tetapi menggunakan kedudukan dan materi tersebut semaksimal mungkin untuk berbuat amal kebajikan demi kebahagiaan banyak orang. Demi bangsa dan negara ini. Bahkan demi semua makhluk, kalau mampu.

4. Manusia wajar adalah manusia yang mempunyai disiplin diri. Mempunyai disiplin moral dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tanpa disiplin diri tidak layak untuk disebut sebagai manusia, tidak layak disebut mana-ussa, makhluk yang berbudaya tinggi.

 5. Selain hidup dalam ukuran sedang, memperkuat kehidupan batin dengan keyakinan, kemudian melakukan perbuatan bajik dan mempunyai disiplin diri; manusia wajar harus berusaha lebih kuat lagi dalam mencari nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi. Apakah usaha kita itu? Selalu berusaha membersihkan pikiran dari kekotoran-kekotoran batin yang halus sekalipun. Bermeditasi. Berusaha mempunyai kebijaksanaan Dhamma. Mengetahui rahasia kehidupan. Dengan demikian akan membuat kita tetap teguh seimbang dalam gelombang suka-duka yang bagaimanapun juga.

         Ungkapan menjadi manusia wajar ini dengan singkat disampaikan oleh Sang Buddha dalam Kitab Suci Dhammapada ayat 185, demikian:

Anupavado anupaghato, patimokkhe ca samvaro,

Mataññuta ca bhattasmim, pantanca sayanasanam,

 Adhicitte ca ayogo, etam Buddhanasasanam.


Tidak menghina, tidak menyakiti; mengendalikan diri sesuai dengan sila

Bersikap madya dalam makanan; bertempat tinggal di tempat yang tepat,

Berusaha meluhurkan batin; inilah ajaran para Buddha.


        Akhir kata, baik bagi seorang pemimpin, karyawan, orang tua, generasi muda, pedagang, petani, pelajar, maupun rohaniwan; jadilah manusia wajar: manusia yang berusaha hidup sedang dan mencari nilai kehidupan yang lebih tinggi!



JADILAH MANUSIA WAJAR:

HIDUP SEDANG,DAN MENCARI NILAI YANG LEBIH TINGGI

***
 oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera.


Sumber :  Kumpulan "Dhammadesana", Sri Paññavaro Thera Jilid 2

Tidak ada komentar: