Saudara-saudara umat Buddha yang berbahagia, tidak sampai seminggu
kurang lebih lima atau enam hari kemudian, kita akan menginggalkan tahun ini
dan memasuki tahun yang baru. Kalau saudara-saudara mengikuti kebaktian pada
pagi hari ini, dengan tidak terasa hari ini adalah minggu yang terakhir.
Saudara-saudara pada saat menjelang tutup tahun, terutama generasi muda
dan apalagi yang tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta ini, pada saat
tutup tahun seperti ini, maka kemudian kegiatan sejenak berhenti. Apakah
saudara akan berlibur di rumah ataukah mungkin melancong piknik ke luar kota,
yang semuanya itu merupakan acara tutup tahun. Saudara-saudara, memang sudah
merupakan tradisi dalam kehidupan bermasyarakat membuat acara pada saat
menjelang tutup tahun, meskipun sudah tentu saya ingin mengingatkan saudara,
cobalah saudara membuat acara yang wajar saja dan lebih penting dari
acara-acara kebiasaan menutup tahun, mengakhiri tutup tahun dan menyambut tahun
yang baru itu. Saya ingin mengajak kepada saudara gunakanlah waktu dua, tiga
hari ini untuk bersama-sama melakukan mawas diri, melihat setidak-tidaknya satu
tahun yang telah kita lalui bersama.
Saudara-saudara, marilah kita melihat perjalanan kehidupan kita,
setidaknya setahun yang lalu, dengan satu kaca mata kejujuran. Saudara tidak
perlu mengakui dengan jujur apa yang telah saudara lakukan dalam satu tahun
kepada orang lain termasuk mungkin kepada orang tua atau kepada suami, istri
saudara sendiri. Tetapi saudara, berusahalah untuk melihat dan mengakui dengan
jujur satu tahun yang telah saudara lewatkan, dengan jujur kepada diri sendiri.
Kalau kita tidak pernah melakukan mawas diri saudara, maka akan sulit untuk
maju. Kalau kita sulit melihat kekurangan kita, sikap-sikap yang tidak baik
yang telah kita lakukan dalam satu tahun, maka sulit untuk memperbaiki itu pada
tahun yang selanjutnya. Oleh karena itu, dalam dua, tiga hari ini jadikanlah
hari-hari ini sebagai hari-hari yang baik, untuk membuat evaluasi, untuk
membuat rincian kembali, apa saja yang telah saudara lalui, apa sajakah yang
telah saudara lakukan dalam setahun ini dengan sejujur-jujurnya kepada diri
saudara sendiri.
Saudara-saudara, kemudian menjelang memasuki tahun yang baru, gunakanlah
kesempatan itu untuk bertekad membuat revolution, membuat tekad mempertahankan
yang sudah baik, dan memperbaiki yang masih belum kita capai. Oleh karena
saudara, kehidupan kita ini adalah akumulasi hasil timbunan dari perjuangan
kebajikan kita. Kehidupan kita ini bukan untung-untungan, bukan seperti orang
memungut lotere, atau bermain dadu, kadang-kadang kita berhasil, tetapi
kadang-kadang kita gagal. Sesungguhnya kehidupan kita adalah sesuatu yang
pasti, sesuatu yang tidak beralasan. Kalau kita menjadi was-was, menjadi
ragu-ragu atau khawatir atas hari depan kita. Kehidupan ini pasti karena
didasari oleh satu hukum yang pasti. Apapun yang kita alami kemudian tidak lain
adalah akibat timbunan dari perjuangan perbuatan dan keuletan kita
masing-masing. Kehidupan kita bukanlah seperti boneka yang dimainkan para
sutradara, kita bukan seperti wayang yang dijalani oleh mereka yang menjadi
dalang tetapi kita masing-masing adalah sutradara yang menyutradarai kehidupan
kita masing-masing. Kalau kita lengah dan ceroboh maka hari depan kita akan
banyak masalah, tetapi kalau sekarang saudara berjuang dengan keuletan, tidak
pantang menyerah, maka semuanya itu akan menjadi faktor yang amat menentukan
bagi kehidupan saudara kemudian.
Saudara-saudara, mungkin saya tidak bisa bertemu dengan saudara pada
saat tutup tahun atau pada saat tahun baru 1 Januari nanti, oleh karena itu saya
akan menggunakan kesempatan sekarang untuk membawakan pesan tahun baru untuk
saudara. Saya ingin membawakan satu uraian yang mudah-mudahan akan menjadi
bahan renungan bagi saudara sekarang dan untuk kemudian.
Saudara-saudara, kalau kita mau menyadari kehidupan ini dan mau dengan
jujur melihat masyarakat di sekitar, sering sekali saudara sulit antara manusia
yang satu untuk bergaul dengan manusia yang lain. Kakak beradik memang pada
waktu masih kanak-kanak bertengkar dan kemudian selesai, tetapi setelah menjadi
dewasa tidak jarang mereka kemudian bermusuhan, sering kita menjumpai suami
istrri yang sudah tidak bisa harmoni kembali, untuk menegurpun rasanya sulit
meskipun anaknya sudah banyak, dengan mertua, dengan tetangga kita, dengan
teman-teman kita, suatu saat saudara akan melihat saudara jauh dengan kita dan
mungkin suatu saat saudara merasa sulit bergaul dengan mereka.
Saudara-saudara, penghalang apakah yang menjadi penghalang atas semuanya
ini, Saudara melihat pagar, saudara melihat penyekat takbir bukan saja pagar
itu dari besi, bukan saja pagar itu dari tembok, mungkin juga dari tembok yang
sangat tebal seperti kalau saudara pernah melihat sendiri atau melihat gambar
The Great Wall namun demikian saudara, pagar apapun, pagar yang kita lihat,
apakah besi, cor, apakah tembok, apakah tembok yang sangat tebal, semuanya itu
sesungguhnya bukan pemisah yang sangat berbahaya.
Selain
pagar-pagar yang bisa kita lihat ada pemisah lainnya, ada pagar lainnya, ada
The Great Wall yang lain yang tidak bisa dilihat dengan mata daging ini, yang
sering memisahkan kita sehingga manusia sulit untuk bergaul dengan manusia yang
lain. Sekalipun mungkin itu saudaranya, mungkin orang tuanya sendiri atau
mungkin saudara kandungnya sendiri. Pemisah itu saudara, lebih hebat dari pagar
yang memagari masing-masing rumah kita. Pemisah itu lebih dahsyat dari The
Great Wall yang sangat tebal itu. Pemisah atau penyekat itu memang tidak kasat
mata, tidak mampu dideteksi dengan mata ini tetapi dia memisahkan manusia yang
satu dengan manusia yang lain.
Apakah
pemisah itu saudara? Yang kadang-kadang amat jahat sekali dan mungkin amat
pekat sekali yang sulit untuk diterobos, yang mengalahkan persaudaraan, yang
mengalahkan budi baik, yang mengalahkan hubungan baik, yang mengalahkan yang
lain-lain. Sehingga kemudian kita sulit unutk bergaul dengan yang lain. Pemisah
atau penyekat itu tidak lain adalah predikat-predikat yang kita punyai. Kalau
saya menyebutkan saya umat Buddha maka saya sudah membuat pemisah, penyekat
dengan umat beragama lain. Saya umat Buddha dan anda umat beragama lain, saya
bhikku dan anda adalah umat awam, saya pimpinan dan anda karyawan, saya murid
dan anda guru, saya orang mampu dan anda bawahan saya, sangat banyak saudara,
kalau saudara menuliskan predikat-predikat ini mungkin lebih tebal dari buku
telepon yang saudara punyai. Saya ibu, saya ayah, saya anak, saya umat Buddha,
saya karyawan atau saya majikan, saya pimpinan, sedangkan anda bukan. Begitu
saya menyadari saya umat Buddha maka saya merasa berbeda dengan umat yang
beragama lain. Begitu saya menyadari saya bhikkhu maka saya mengganggap saudara
berbeda dengan saya.
Saudara-saudara, jangan saudara salah mengerti, agama Buddha dan saya
pribadi tidak keberatan dengan predikat-predikat itu karena memang
predikat-predikat itu diperlukan dalam kehidupan masyarakat, tetapi saudara
untuk kepentingan batin kita, untuk pembentukan mental kita yang sehat kalau
suatu saat kita mau menyingkirkan semua predikat itu. Saya umat Buddha, saya
bhikkhu, saya pemimpin, saya orang tua, saya karyawan, saya atasan, kalau
saudara mau menyingkirkan semuanya itu untuk sementara demi kepentingan mental
saudara, maka apakah yang saudara lihat, kalau predikat-predikat yang merupakan
pagar, yang merupakan penyekat yang dahsyat itu kadang-kadang saudara, saudara
mau menyingkirkan sesaat maka saudara akan melihat akar yang sama pada setiap
orang. Apakah bhikkhu, apakah umat, apakah dia umat Buddha, apakah dia seorang
muslim, apakah dia seorang Kristen, apakah dia umat Hindu, apakah mereka yang
tidak menentu apakah agamanya, apakah mereka atasan saya, apakah mereka bawahan
saya, apakah mereka orang kebanyakan, apakah saya pemimpin, kalau semuanya itu
sejenak kita singkirkan maka kita akan melihat akar yang satu dan sama. Apakah
itu saudara, tidak lain bahwa kita semua adalah manusia, saya adalah manusia,
demikian juga saudara, pimipinan kita adalah manusia, saudarapun manusia,.
Saudara yang menjadi pimpinan manusia dan yang saudara pimpin juga manusia seperti
saudara.
Saudara-saudara, kesadaran akan hakekat kita sebagai manusia, inilah
yang kadang-kadang dibungkus dan kemudian disekat oleh bermacam-macam predikat.
Kalau saudara sudah maju dan sukses berhasil menjadi pimpinan, mempunyai
jabatan tertentu, merasa menjadi mempunyai peranan tertentu, maka kadang-kadang
saudara berpikir seolah-olah sudah bukan manusia lagi atau mungkin saudara
memandang yang lain menjadi bukan manusia lagi.
Saudara-saudara adalah esensi, adalah hakekat dari kita semua. Memang
saudara kalau saya ditanya, "Bhante, apakah Bhante sama dengan saya?"
Saya menjawab tidak, "Kalau tidak sama Bhante, tentu Bhante berbeda dengan
saya". Yah… tetapi tidak sepenuhnya berbeda. Sebaliknya saudara, kalau
saudara bertanya kepada saya, "Bhante, apakah Bhante berbeda dengan
saya?" Saya akan menjawab tidak. "Kalau tidak berbeda Bhante, tentu
Bhante sama dengan saya". Saya juga akan menjawab tidak, memang saudara
dengan saya tidak sepenuhnya berbeda, tetapi juga tidak sepenuhnya sama. Saya
dan anda sama, tetapi tidak persis sama. Saudara berbeda dengan saya, tetapi
tidak berbeda sama sekali. Apapun perbedaan saudara dengan saya, apapun
perbedaan saudara dengan saudara yang lain, kita semua adalah manusia.
Perbedaan
apapun yang boleh kita lihat bersama, semuanya itu tidak akan melunturkan sifat
kita yang sejati bahwa kita adalah manusia. Hal yang lain saudara yang akan
saya sampaikan kepada saudara, sebagai renungan akhir tahun dan menjelang
memasuki tahun yang baru dan ingatlah saudara semua manusia mempunyai
perjuangan yang sama. Umat beragama apapun, seorang Buddhis, seorang Muslim,
seorang Kristen, seorang Hindu, atau mereka yang tidak kenal agama, mereka yang
kaya, mereka yang miskin, mereka yang intelektual, atau mereka yang mempunyai
tingkat pendidikan rendah, semua manusia mempunyai obsesi yang sama, mempunyai
tujuan perjuangan yang sama. Apakah itu saudara? Semua manusia setiap orang
menginginkan kebahagiaan, tidak ada seorangpun yang tidak menginginkan
kebahagiaan. Saya mohon kepada saudara ingatlah ini, meskipun bukan sesama umat
Buddha, saudara-saudara kita umat beragama lainpun menginginkan kebahagiaan,
termasuk mereka yang tidak menyenangi saudara, yang memusihi saudara, yang
mengganggu saudara, merekapun menginginkan kebahagiaan.
Saya ingin
memberikan contoh kepada saudara, cobalah saudara lihat. Seorang pencuri yang
dengan cerdik mencuri barang-barang saudara atau merampas milik saudara, kalau
boleh saya bertanya kepada pencuri itu, "Hai… engkau mencuri".
"Ya.. Bhante saya tahu, apa yang saya lakukan itu sesuatu yang tidak
baik". "Apa tujuanmu mencuri?" Pencuri itu akan menjawab
saudara, "Bhante, saya mencuri ini saya ingin bahagia". Saya percaya
saudara, tidak ada pencuri yang mencuri yang ingin menderita, tidak orang yang
mencuri karena dia ingin menderita, tidak ada pencuri yang mencuri karena dia
ingin tertangkap dan kemudian digebuki beramai-ramai dan kemudian dijebloskan
di penjara. Dia mencuri sekalipun karena dia juga ingin bahagia. Memang cara
untuk bahagia yang dia tempuh adalah cara yang salah, karena cara yang dia
tempuh membuat penderitaan, membuat kesulitan manusia yang lain, tetapi tujuan
dia mencuri sebagai manusia dia ingin bahagia, tidak ada pencuri yang mencuri untuk
mencari kesengsaraan.
Saudara-saudara, kalau saudara mau merenungkan apa yang saya uraikan
ini, dengan jujur, sebagai sesama manusia semuanya menginginkan kebahagiaan,
maka akan timbullah kasihan, akan timbullah kasih sayang yang alami, kasih
sayang yang wajar dari dalam diri kita, melihat atau bertemu setiap orang.
Kasih sayang yang tidak dibuat-buat, kasih sayang yang tidak dipaksa-paksakan
tetapi kasih sayang yang alami, kasih sayang yang natural karena kita menyadari
siapapun adalah sesama manusia, sama seperti kita, sama seperti saudara, sama
seperti saya yang sama-sama juga menginginkan kebahagiaan. Mereka mencari
kebahagiaan dengan cara yang salah justru bukan kebencian yang timbul dalam
diri kita, kasihan, kasih sayang yang akan timbul dan timbul melihat dia.
Saudara-saudara semua, agama, semua kepercayaan mengajarkan cinta kasih,
janganlah engkau membenci, janganlah engkau memusuhi orang lain, karena mereka
juga manusia seperti engkau, meskipun mereka membencimu, memusuhimu, janganlah
engkau marah kepada mereka. Tetapi banyak orang berkata kepada saya, "Baik
bhante, saya ingin menjalani ajaran agama saya, saya ingin untuk tidak marah
kepada orang yang marah kepada saya, saya tidak ingin membenci kepada orang
yang jahat kepada saya, tetapi bhante, bagamaimanakah caranya? Amat sulit
sekali untuk tidak membenci kepada orang yang mengganggu saya, amat sulit
sekali untuk tidak jengkel kepada orang yang menjengkelkan saya, yah… saya
ingin menjalani agama saya, tetapi bagaimana caranya? Apakah saya harus
menyayangi dia, apakah saya harus mencintai dia yang menyulitkan saya dengan
pura-pura, apakah mencintai, menaruh kasih sayang kepada seseorang dengan
pura-pura adalah ajaran agama juga?"
Saudara-saudara, oleh karena itu Sang Buddha meletakkan pengertian benar
sebagai unsur yang pertama dalam delapan unsur jalan Ariya. Unsur yang pertama
dari delapan unsur jalan Ariya itulah pengertian benar, karena seseorang untuk
dibangkitkan pengertian, diperluas wawasannya, maka dengan sendirinya akan
timbul sifat-sifat yang baik secara alami, bukan timbul secara artifision,
secara pura-pura yang mungkin orang lain mengatakan munafik. Kalau seseorang
diperluas wawasannya, dibukakan pengertiannya, diberikan kesadarannya, bahwa
kita adalah sesama manusia yang memang tidak sama, tetapi tidak sepenuhnya
berbeda, yang memang berbeda tetapi tidak sepenuhnya tidak sama. Kita adalah
sesama manusia sebagai sesama manusia demikian juga kita, merekapun
menginginkan kebahagiaan.
Dengan menyadari
ini saudara, maka akan timbullah kasih sayang yang sejati. Kasih sayang yang
bukan kita jalankan, karena semata-mata takut pada agama, kasih sayang yang
tidak kita paksakan karena itu sudah perintah agama, tetapi kasih sayang yang
muncul karena pengertiaan kita berkembang, karena wawasan kita berkembang.
Kalau pengertian kita berkembang saudara, maka sikap mental kita akan berubah.
Kalau sikap mental kita berubah, maka prilaku kita akan berubah, jangan harap
saudara akan bisa merubah prilaku seseorang, tingkah laku anak-anak
saudara,kalau saudara tidak berhasil mengubah cara berpikir, sikap mentalnya,
tanpa perubahan sikap mental, perubahan tingkah laku hanya sementara.
Saudara-saudara, di dalam permulaan khotbah saya, saya mengutip Karanīya
Metta Sutta, salah satu baitnya menyebutkan:
Na paro param nikubbethaNātimaññetha katthaci nam kañciByārosanā
patīghasaññāNāññamaññassa dukkhamiccheyya
Artinya:
Jangan menipu orang lain Atau menghina siapa saja
Jangan karena marah dan benciMengharapkan orang lain celaka
Jangan karena marah dan benciMengharapkan orang lain celaka
Semua orang
menginginkan kebahagiaan, semua orang takut penderitaan. Dengan memikirkan dan
merenungkan ini saudara, maka akan timbullah rasa kasihan, karena yang
sesungguhnya saudara-saudara memang kita mempunyai profesi dan profesi itu,
tugas itu memberikan predikat kepada kita, masyarakat membutuhkan itu, saudara
sebagai kepala rumah tangga, saudara sebagai suami, saudara sebagai istri,
saudara sebagai mahasiswa, saudara sebagai atasan, saudara sebagai pengurus,
saudara sebagai pemimpin, tetapi untuk kepentingan ke dalam, untuk kepentingan
kemajuan batin saudara, saudara harus sadar bahwa di belakang predikat itu, di
belakang semua jabatan itu, jabatan kita yang utama adalah manusia.
Yang kita
pimpin atau yang menjadi atasan kita, saudara kita, sesama umat Buddha atau
umat beragama lain, mereka semua adalah manusia yang mempunyai obsesi yang
sama, berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan.
Saudara-saudara, oleh karena itu, saya pernah menyampaikan di Klaten,
Semarang dan beberapa tempat di Jawa Tengah, sayapun juga minta kepada umat
Buddha untuk diperlakukan sebagai manusia, karena Bhikkhu juga manusia, yang
bisa sakit, yang bisa capai, yang mempunyai tenaga terbatas seperti juga
saudara.
Mungkin
menjadi tidak adil dan tidak sesuai dengan Dhamma, kalau saudara melihat saya
sebagai bukan manusia, apakah dewa, apakah mungkin robot, saya minta perlakukan
juga para Bhikkhu sebagai manusia, karena mereka juga manusia seperti saudara.
Saudara-saudara, mengapa kalau kita menyadari bahwa semua manusia ingin
bahagia, tetapi kemudian kita dengan tega melakukan perbuatan-perbuatan yang
membuat manusia yang lain menderita, seperti yang saya contohkan di depan:
mencuri, melakukan tindakan-tindakan yang merugikan mahkluk atau manusia lain,
mengapa? Menurut Dhamma saudara, kekotoran batin itulah yang menjadi
penyebabnya.
Kalau
kekotoran batin itu kemudian muncul, maka kekotoran batin itulah akan menjadi
sekat yang lain.
Penyekat yang
tidak seberapa, adalah pagar yang kita lihat, tembok, dinding, dsb. Penyekat
yang lebih halus yang sangat berbahaya adalah predikat-predikat yang kita
punyai tanpa sadar. Ada penyekat yang lebih halus lagi, dan lebih berbahaya
lagi, penyekat itu adalah kekotoran batin yang dalam bahasa Pali disebut
Kilesa. Kalau kilesa itu sudah muncul seolah-olah dunia kita ini menjadi gelap,
ceramah-ceramah, khotbah-khotbah, kaset-kaset yang kita punyai, diskusi-diskusi
yang pernah kita ikuti semua seolah-olah lenyap, dunia kita menjadi hitam,
pekat, kita tidak bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang
berguna, mana yang merugikan, mana yang baik, mana yang jahat, pendeknya saya
mau, saya akan melakukan penyekat ini lebih halus lagi, saudara sangat halus…
sekali, hanya mereka yang telah mencapai penerangan sempurna seperti Sang
Buddha yang mampu mendeteksi penyekat ini.
Saudara rajin
mendengarkan Dhamma, saudara mengerti Dhamma, saudara mengerti bahayanya
kejahatan, resiko kalau berbuat jahat, mungkin mempunyai reputasi yang jelek,
nama yang jelek, mungkin bisa dikeluarkan dari pekerjaan, dsb, tetapi
pengertian itu akan bisa menjadi lenyap total pada saat kekotoran batin itu
muncul. Mengapa kekotoran batin itu muncul saudara? Kekotoran batin itu muncul karena
dipancing untuk muncul. Apakah, siapakah yang memancing, yang memancing adalah
panca indria kita, yang terpancing adalah objek yang diluar ini. Mata melihat,
telinga mendengar, hidung membau sesuatu, lidah kita memakan, fisik kita meraba
sesuatu, maka itulah yang memancing atau yang membuat panca indra ini
terpancing dan kemudian memancing hawa nafsu itu untuk muncul, timbullah
kejengkelan, kemarahan, kebencian, keserakahan, hawa nafsu, kesombongan, dsb.
Oleh karena itu saudara, kesadaran merupakan kunci untuk menjaga panca indra
ini melihat dengan kesadaran, mendengar dengan kesadaran, membau dengan
kesadaran, menyentuh sesuatu dengan kesadaran, kalau sati (kesadaran) itu
muncul, maka sampajjana (pengertian) yang kita punyai akan berfungsi. Kalau sati
(kesadaran) itu absen, maka pengertian apapun yang kita punyai lenyap saudara,
saat itu menjadi lenyap dan kemudian kita akan berani melakukan kejahatan. Oleh
karena itu saudara, marilah kita memasuki tahun yang baru ini dengan mengingat
betapa pentingnya kesadaran kita. Pada saat mata kontak dengan yang dilihat,
melihatlah dengan kesadaran, jangan apa yang dilihat itu membuat panca indria
ini terpancing dan memancing hawa nafsu sehingga kita hanyut pada perbuatan
yang merugikan kita.
Ada satu contoh
saudara. Kalau sang suami kerja di perusahaan yang besar, kemudian mendapatkan
tugas ke luar kota 3 hari, 4 hari kalau di luar kota yang sudah 3 hari, 4 hari,
dia meninggalkan rumahnya sendiri itu dia melihat orang tua yang berjalan
tertatih-tatih, maka penglihatan atas si orang tua itu memancing ingatannya,
dia ingat orang tuanya yang di rumah, bagaimana ibu, mama yang dirumah, sudah
2, 3 hari, mudah-mudahan sehat, karena waktu saya pergi mama sakit, kalau sudah
3 hari, seminggu meninggalkan rumah, kemudian melihat anak kecil tertawa-tawa
lucu sekali, maka kemudian yang kita lihat itu memancing ingatan kita, ingat
anak yang di rumah, bagaimana anak saya sekarang, sudah saya tinggalkan
seminggu, tetapi saudara kalau sang suami melihat wanita yang cantik, yang
terpancing bukan ingatan istri di rumah, yang terpancing eh.. cewek itu kok
cantik, saya mau dekat, saya mau kenalan, dsb.
Itulah apa
yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita raba, kalau tidak
kesadaran itu memancing hawa nafsu indria, tidak peduli saudara bisa
berkhotbah, mempunyai pengertian Dhamma yang lengkap, mengerti agama yang baik,
tidak ada kesadaran, maka hawa nafsu muncul dan semua menjadi gelap, tidak
ingat lagi hukum Kamma, tidak ingat resiko, tidak ingat nama jelek, dsb, tidak
ingat oleh karena hawa nafsu itu memberikan kenikmatan yang spontan dan manusia
mencari kenikmatan yang spontan, hawa nafsu kita tidak sabar untuk menunggu,
untuk dengan tekun dan ulet memperjuangkan kebahagiaan yang sejati, tetapi
kalau bisa sekonyong-konyong kaya, sekonyong-konyong enak, sekonyong-konyong
nikmat, sekonyong-konyong maju, itulah tuntutan hawa nafsu dan
sekonyong-konyong itu tidak pernah cocok dengan hukum semesta. Hukum semesta
ini tidak mengenal proses sekonyong-konyong, hukum semesta ini mempunyai hukum
bertahap, kalau sudah tidak bisa bertahan, maka saudara berada di tengah jalan.
Saudara-saudara, hal yang lain yang ingin saya pesankan kepada saudara.
Kalau kita melihat sifat yang alami dari kehidupan ini, yang pertama saya ingin
mengajak saudara di depan untuk menyadari sifat yang alami kita sebagai
manusia, tetapi ada sifat alami dari kehidupan ini yang lain saudara.
Sifat alami
atau sifat yang sangat wajar dari kehidupan ini yang kedua, kalau boleh saya
memberikan nomor dua adalah kehidupan itu saling bergantungan, saling
membutuhkan, jangan saudara meremehkan atau mencemooh siapapun juga sekalipun
mereka yang tidak senang kepada saudara, sekalipun mereka yang tidak peduli
kepada saudara, saya ingin memberikan contoh yang sederhana sekali.
Saudara semua
mengerti tawon yang kecil, tawon itu tidak mengenal saudara, dan kalau saudara
mengganggu, dia akan menyengat saudara mati-matian meskipun sesudah menyengat
dia itu mati, dia tidak kenal pada saudara dan sebagai mahkluk, dia mahkluk
yang sangat kecil, tidak pernah kita perhatikan, tidak pernah kita urus, tetapi
saudara, saudara membutuhkan madu, madu itu tawon yang membuat, manusia
memerlukan madu, manusia memuji-muji madu, manusia memberikan harga yang sangat
mahal kepada madu yang murni dan saudara harus ingat binatang-binatang yang
kecil-kecil itu yang membuat madu untuk saudara, yang menghasilkan, mempunyai
koneksi dengan keberadaan mereka. Dengan keberadaan tawon-tawon yang
kecil-kecil itu demikianlah saudara, kita harus menghargai mahkluk-mahkluk yang
lain demikianlah kita harus menghargai semuanya itu sebagai kehidupan yang
menginginkan kebutuhan orang lain itu.
Pada waktu
saya diminta berceramah di depan mahasiswa-mahasiswa fakultas Theologia
Universitas Kristen Duta Wacana di Yogya sangat menarik saudara. Di aula yang
besar cukup penuh, saya menyampaikan dengan pelan-pelan, karena mereka
menginginkan pengertian tentang agama Buddha dari tangan yang pertama, dari
penganutnya sendiri, tidak hanya dari buku. Saya yakin meskipun mereka tidak
menjadi umat Buddha kemudian dan itu bukan harapan saya, tetapi mereka
memberikan respek, hormat pada agama Buddha, tidak ada satupun yang kemudian
mencemooh, dan kemudian secara frontal menyerang uraian saya, semuanya merasa
puas dan mereka menginginkan suatu saat akan datang ke Vihara untuk bermalam,
mungkin lebih kurang 7 hari (seminggu) untuk belajar mengerti kehidupan di
dalam vihara. Mereka menanyakan doa saudara, saya menjawab doa umat Buddha sesungguhnya
sangat sederhana dan doa ini bisa digunakan pada setiap kesempatan. Di dalam
bahasa pali Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta —semoga semua makhluk berbahagia.
"Kalau mau tidur bagaimana bhante?" Ucapkan saja semoga semua bakhluk
berbahagia. "Kalau bangun tidur bagaimana bhante?" Semoga semua
makhluk berbahagia. "Kalau makan bhante doanya bagaimana?" Kalau anda
butuh doa mau makan ucapkan saja 'Semoga semua makhluk berbahagia'. Itu doa
yang universal saudara, berlaku untuk semua kepentingan. "Kalau menghadapi
saudara saya yang meninggal, bagaimana bhante?" Doakan saja semoga saudara
saya, semoga semua makhluk berbahagia, itu doanya orang intelek saudara, nggak
usah panjang-panjang, pendek saja, tetapi cukup dan berguna, cocok untuk setiap
kesempatan.
Ada satu
cerita saudara. Ada seseorang yang datang ke vihara karena mengalami kesulitan
dan berkata kepada bhikkhu yang sudah selesai bermeditasi, selesai membaca
paritta, saya ceritakan itu pada waktu saya memberikan ceramah di Duta Wacana.
"Bhante doakanlah saya, saya mengalami banyak kesulitan, semoga kesulitan
saya bisa selesai". Bhikkhu itu menjawab: "Baik, saya sudah mendoakan
saudara bahkan sebelum saudara datang kemari saya sudah mendoakan saudara,
sebelum saudara kenal pada saya dan sebelum saya kenal saudara, saya sudah
mendoakan untuk saudara". Orang itu mengatakan "Ah bhante, yang benar
sajalah, mungkinkah itu? Sebelum bhante kenal saya, bhante sudah mendoakan
saya?" "Benar, karena setiap saat saya bermeditasi, setiap saat saya
membaca paritta, saya mengucapkan semoga semua makhluk berbahagia dan saudara
sudah termasuk didalam semua makhluk". Semoga semua makhluk berbahagia
saudara, saya jelaskan kepada mereka semoga semua makhluk yang tampak, yang
tidak tampak termasuk binatang, termasuk mereka yang tidak menyenangi saudara,
termasuk mereka yang mengatakan umat Buddha kafir, menyembah berhala termasuk
semuanya itu kita doakan semoga mereka semuanya berbahagia.
Sulit saudara
mencari doa yang singkat dan sangat bermakna seperti ini, saya mengatakan hanya
orang-orang intelek yang mau menggunakan doa yang seperti ini, tidak usah
panjang, sulit menghafal, hanya semoga semua makhluk berbahagia. Kalau saudara
naik pesawat Sempati, di situ ada kartu doa, bermacam-macam doa, ada yang panjang
sekali, sampai satu halaman, ada yang setengah halaman. Pada waktu umat Buddha
ditanya oleh pihak Sempati apa doa perjalanan umat Buddha, bhikkhu, yah
sederhana saja, Namo Tassa tiga kali, lalu Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta
—semoga semua makhluk berbahagia, mungkin juga kalau penumpang-penumpang yang
lain melihat wah ini sajalah yang pendeng, gampang diingat.
Saudara-saudara saya harus menyelesaikan uraian saya pagi hari ini
dengan pesan saya yang terakhir, satu tahun telah kita lalui, dan kita telah
lalui bertahun-tahun yang dibelakang kita, kita akan memasuki ditahun yang
baru, apa yang akan kita hadapi, kita tidak mengerti, apa yang menjadi
tantangan kita, kita tidak mengerti, tetapi jangan khawatir saudara, apapun
yang terjadi tidak mungkin lebih dari kapasitas saudara. Jadi kalau saudara itu
satu kendaraan, kalau saudara itu satu traktor, apa yang menjadi beban saudara
itu tidak akan mungkin lebih dari kemampuan angkut dan kemampuan tahan saudara,
Mengapa demikian? Saya cukup mempunyai alasan, karena apapun yang akan terjadi
kemudian saudara, itu tidak lain adalah akibat perbuatan saudara sendiri bukan
produk buatan makhluk lain, bukan hukum, bukan kutukan, bukan hadiah makhluk
lain, tetapi semata-mata hasil akumulasi timbunan-timbunan dari
perbuatan-perbuatan saudara. Kalau saudara sendiri yang melakukan dan membuat,
saya yakin akibatnya itu tidak akan lebih dari daya tahan saudara sendiri,
karena saudara sendiri yang melakukan, apakah itu baik, apakah itu tidak baik,
yang lain saudara apapun yang terjadi kekecewaan, kegagalan, kemunduran,
semuanya adalah tidak kekal, tidak ada kebahagiaan yang kekal, tidak ada
kenikmatan yang kekal, tetapi juga tidak ada penderitaan, kesulitan,
problema-problema dan itulah sesungguhnya bagi saya pribadi yang memberikan
kekuatan pada saya, kekuatan saya sebagai manusia untuk bertahan, kekuatan saya
sebagai bhikkhu untuk bertahan, kesulitan apapun tidak ada yang abadi,
kejengkelan apapun tidak ada yang abadi, kejenuhan apapun tidak ada yang abadi,
kalau saudara mengerti dan menyadari sifat kehidupan ini, maka itu akan
menimbulkan kekuatan saudara untuk bertahan.
Saudara-saudara. Satu hal yang tidak boleh kita abaikan adalah keuletan,
daya tahan, dan itu meliputi juga kesabaran (khanti). Sebagai penutupan dari
uraian khotbah saya saudara, saya ingin mengingatkan saudara siapakah yang bisa
melatih saudara untuk sabar? Bukan para bhikkhu, bukan para pandita, mungkin
juga bukan orang tua saudara, orang tua, para bhikkhu dan para pandita itu
hanya menceritakan tentang kesabaran, menceritakan tenatang keuletan, tetapi
mereka mungkin tidak bisa mendidik, melatih keuletan, dan kesabaran saudara.
Siapakah guru yang sesungguhnya yang bisa melatih keuletan dan kesabaran
saudara?! Guru yang paling baik yang bisa melatih meningkatkan, menambah
keuletan dan kesabaran saudara adalah orang-orang yang tidak menyenangi
saudara. Orang-orang yang mengganggu saudara, mereka yang menjengkelkan
saudara, mereka yang membuat masalah pada saudara, mereka itulah yang sesungguhnya
yang melatih saudara untuk sabar, untuk ulet dan untuk bertahan.
Orang yang
menjengkelkan saudara, yang memfitnah saudara, yang marah pada saudara, yang
salah paham pada saudara, yang sengaja merongrong pada saudara, mereka itulah
guru yang baik, guru yang sebenarnya melatih saudara untuk sabar dan mempunyai
keuletan. Orang yang memanjakan saudara, orang yang membantu saudara bukan guru
yang baik, yang bisa melatih kesabaran untuk saudara tetapi saudara saya minta
nanti kalau pulang ke rumah, anaknya, familinya, jangan kemudian bikin
gara-gara, bikin ramailah, itulah "Eh.. kamu ini bagaimana, aku inilah
menurut Bhante Pañña guru yang terbaik". Nanti anda melakukan kejahatan,
anda menjadi guru tetapi melakukan kejahatan.
Mereka adalah
guru yang terbaik bagi kita, yang diganggu, yang digoda, tetapi memang kita
tidak perlu berterima kasih kepada guru yang baik itu, kita anggap mereka guru
yang baik di dalam latihan kita supaya kita tidak membenci mereka. Orang Jawa
mengatakan Wong mereka mengganggu anda juga punya tujuan yang sama juga kok
dengan anda, apakah? Ingin bahagia, jadi mereka yang mengganggu anda, mereka
yang merongrong anda, mereka yang meminta anda, mereka juga ingin bahagia,
hanya caranya salah, ngawur karena itu kita kasihan kepada mereka.
Saudara-saudara, semoga renungan saya pada akhir tahun ini bermanfaat
bagi saudara. Apa yang saya sampaikan ini, saya yakin bukan persolan bagaimana
umat Buddha saja, persolan ini adalah persoalan kehidupan, persoalan ini adalah
persoalan bagi semua orang, oleh karena itu saya sendiri ingin menyumbangkan
pengetahuan Dhamma saya kepada masyarakat, bukan tujuan saya membuat mereka
semuanya menjadi umat Buddha, silahkan mereka menjadi umat Kristen, umat Islam,
umat Hindu, tetapi sebagai umat Buddha saya ingin menyumbangkan Dhamma yang
saya miliki, yang saya ketahui sebagai kontribusi saya kepada masyarakat.
Semoga mereka
mendapatkan manfaat dari dalam yang diwariskan Sang Buddha yang demikian luas
dan yang demikian dalam sekali yang menyejukkan dan memperluas wawasan kita.
Selamat memasuki tahun baru saudara, semoga timbul semangat yang baru, tekad
yang lebih kuat, arah yang benar, jangan berhenti di tengah jalan. Tujuan kita
masih panjang dan jangan mengkhawatirkan sesuatu, semangat baru, tekadnya baru,
dan semoga anda mencapai kesejahteraan yang baru, rejekinya juga baru, hanya
satu hal suaminya atau istrinya jangan baru.
Semoga semua
makhluk berbahagia, Semoga Sang Tiratana selalu memberkahi saudara, sekian dan
terima kasih.***
oleh : Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
Sumber : KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 4; Sri Paññavaro
Mahâthera; 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar